Di kamarnya, Ina tengah memainkan surai panjang hitamnya, dia menyisir begitu pelan dan penuh kelembutan. Ditatapnya wajahnya yang cantik rupawan yang tak lekang oleh usia pada pantulan cermin.
“Angga, kamu masih sama seperti dulu; wajahmu, aroma harum tubuhmu dan lembut suaramu.... Ahhh, sudah sangat lama aku merindukan semua hal itu darimu. Kali ini, aku tidak akan membiarkanmu lepas dari genggamanku.”***“Jangan dimakan! Itu bukan untukmu, itu khusus untuk Angga,” teriak Ina gegas keluar dari dalam biliknya.Galuh, baru saja pindah ke kalimantan bersama dengan suaminya. Mereka telah menikah selama lima belas tahun tahun lamanya dan setelah menikah Galuh ikut dengan Angga ke Jakarta, namun dikarenakan pekerjaan Angga dipindah ke kalimantan tempat lahir Galuh, maka Galuh dan suami pun tinggal di rumah peninggalan orang tua Galuh dan Ina untuk beberapa waktu.Ina adalah seorang janda tiga kali ditinggal mati oleh suaminya, banyak hal ganjil yang terjadi di rumah tangga Ina yang kerap kali suaminya meninggal dunia.“Mas Angga sudah berangkat kerja, Ka. Tadi, kata Mas Angga dia makan di warung saja.” Galuh tidak jadi memakan makanan yang telah tersedia di atas piringnya.“Aku nggak mau tahu, jangan pernah sentuh makanan itu. Aku sudah masakan buat kamu juga anakmu. Tuh, ada di dalam rinjing(wajan kecil) di dapur.”Beberapa hari Galuh dengan Angga tinggal di rumah ini, nampak sekali kalau Ina terlihat berbeda. Setiap kali Angga ada di rumah, Ina bersikap sangatlah lembut dan anggun pada Galuh juga anaknya, namun setelah Angga pergi bekerja, maka sikap Ina akan berubah menjadi sangat ketusnya. Tapi, Galuh tidak pernah menaruh rasa benci atau apapun pada Ina karena ia mengenal bagaiaman watak jutek kakaknya itu sejak kecil.Tiba-tiba saja anak Galuh yang berusia tujuh tahun berteriak dari dalam bilik. “Ma...” teriaknya histeris, membuat Galuh gegas mendatangi dengan rasa khawatir.“Alif,” ucap Galuh saat melihat Alif, anaknya sudah terkapar di lantai dengan mata yang melotot.“Alif anak mama. Kenapa, Nak?” Galuh memeluk Alif dengan sangat erat. Mendapati anaknya yang aneh membuat Galuh membacakan ayat kursi di telinga Alif, anaknya.Secara perlahan, napas Alif kembali stabil dan mata Alif yang tadinya melotot perlahan normal kembali.“Ma, tadi Alif lihat orang tua wajahnya jelek sekali. Alif takut, dia mau makan Alif, Ma.” Badan Alif gemetar mengiringi ceritanya.“Istighfar, Nak. Kamu pasti cuman mimpi buruk, kamu lupa baca doa kan?”Alif mengangguk, Galuh mengusap peluh yang membubuhi ubun-ubun anaknya yang ketakutan itu.“Sekarang Alif pergi mandi, setelah itu kita berangkat ke sekolah.”Alif bukanlah anak yang pembangkang, ia anak yang cerdas dan penurut juga senang beribadah karena melihat kedua orang tuannya yang rajin ibadah. Galuh selalu mendidik anaknya dengan parenting yang baik, pastinya juga dibarengi oleh Angga yang ikut andil dalam mendidik anak.Galuh telah mengantarkan Alif ke sekolah, setelahnya Galuh tidak langsung kembali ke rumah melainkan ingin membawakan bekal untuk suaminya ke tempat kerja. Saat Galuh sampai di depan ruangan Angga, tiba-tiba ia mendengar suara perempuan yang sedang mengobrol dengan Angga di dalam sana. Galuh menempelkan daun telinganya ke pintu, mencoba mendengarkan percakapan yang sedang berlangsung di dalam sana.“Ini makanan untukmu, Angga. Jangan lupa dimakan! Maaf ya kalau istri kamu si Galuh itu nggak pinter masak, jadi kamu harus sarapan di warung terus.”“Nggak usah repot-repot, ka. Nggak papa, Galuh sibuk ngurusin anak, toh juga masak bukan tanggung jawabnya. Harusnya saya yang minta maaf, ka karena kami masih numpang. Tapi in syaa Allah pekan depan rumah kami sudah bisa kami tempati.”“Nggak papa, Angga. Nggak usah cepat-cepat juga pindahnya, selamanya pun aku nggak masalah. Lagian kan aku sendirian, kalau ada Alif dan kalian rasanya rumah jadi lebih hidup.”Galuh masih fokus mendengarkan percakapan itu. Ia tahu akan suara yan tak asing ia dengar itu yang tidak lain adalah suara Ina.“Astagfitullahal’adziim, maafkan hamba ya Allah. Hamba sudah su'udzhon pada suami hamba sendiri.” Galuh pun meraih knop pintu dan membukanya.“Assalamu’alaikum...,” ucap Galuh sembari tersenyum manis menenteng bungkusan berisi nasi dan lauknya."Walaikumussalam, sayang kamu ke sini?" sambut Angga lembut."Iya, Mas. Ini Galuh bawakan nasi kuning lauk masak habang iwak haruan( masak merah ikan gabus) kesukaan kamu, Mas.""Ya Allah, sayang. Kan aku sudah bilang, nggak usah repot-repot. Lagian aku bisa makan di kantin kok."Ina terlihat membuang muka."Ka Ina ngapain ke sini?" sapa Galuh."Galuh. He, aku cuman bawain ini, apa,, sisa masakan tadi pagi kan nggak kamu abisin, masih banyak sisanya. Jadi, aku bagi-bagiin sama Angga juga temen kerjanya. Sayang kan kalau mubazir.""Maaf, ka. Aku nggak tahu kalau masih banyak. Gini aja, gimana kita makan bareng, ajak yang lain juga?" tawar Galuh membuat wajah Ina menjadi pucat."Nah, aku setuju sayang. Ayok!""Enggak, kalian aja. Lagian masakan ini kan sudah dari pagi, pasti sudah basi." Ina mendadak menolak memberikan bekal yang telah ia siapkan untuk Angga itu."Nggak mungkin, ka. Kan masih jam segini. Masakan kakak selalu enak loh, mas kamu harus cobain!""Astaga aku lupa, aku harus ngasih makan Jono. Aku udah janji kemarin." Ina menepuk dahinya."Jono, pak satpam?" tanya Angga."Iya. Maaf ya, aku nggak bisa ngasih bekal ini. Soalnya aku janji kemarin buat bawain bekal buat Jono.""Iya, ngak papa kak."Ina pun keluar dari ruangan Angga, membawa kotak bekal yang ia peruntukkan untuk Angga seorang itu gagal ia berikan."Argh, ini semua gara-gara Galuh. Aku jadi gagal, kan." Ina menggerutu kesal marena jerih payahnya hanya sia-sia."Kiw, kiw. Ina,,, bawa apaan itu? Buat Aa ya?" goda Jono."Ih, enggak lah. Pede banget sih jadi orang," cerca Ina kesal."Nggak usah malu-malu. Kata Angga kamu bawain aku bekal hari ini. Pasti itu kan yang lagi kamu bawa?" Jono menggerak-gerakkan alisnya.Ina bergidik. "Enggak."Kemudian Jono mendekat pada Ina. "Kenapa, Na? Pasti di makanan itu sudah kamu apa-apakan? Kau pasti sedang mengincar seseorang, siapa kali ini? Apa adik iparmu sendiri?" bisik Jono.Ina mendorong Jono menjauh dari dekatnya. "Apaan sih, Jon. Kamu itu jangan fitnah orang sembarangan." Ina melengos pergi dengan kekesalan yang berlipat ganda."Emang ya. Semua orang di muka bumi ini nyebelin. Awas aja kamu Galuh. Aku nggak akan biarkan kamu hidup dengan tenang. Kamu telah merenggut masa depan indahku bersama Angga, kamu harus rasakan akibatnya." Ina mengamuk sejadi-jadinya.Semalaman Ina mondar-mandir di kamarnya, ia tak tenang karena selalu memikirkan Angga pujaan hatinya. Ina seorang janda bergelimang harta yang menjadi pujangga desa ini mencintai adik iparnya sendiri. Bukan baru saja, rasa cintanya memanglah tertanam sejak lama."Mbah, tolong bantu Ina untuk mendapatkan Angga." Ina memohon pada orang pintar atau dukun yang sudah sejak lama ia kenal."Ina, kau masih saja mengejar lelaki itu. Apa kau yakin ingin merebut adik iparmu sendiri?""Yakin, Mbah. Ina harus dapatkan Angga. Selama ini Ina sudah berusaha agar terlihat menarik di mata Angga. Tapi, semuanya nihil, dia sama sekali nggak pernah lihat Ina apalagi jatuh cinta pada Ina.""Jalan satu-satunya. Pakailah pirunduk.""Pirunduk? Iya, Ina mau pakai pirunduk," ucap Ina."Iya, tapi apa kamu yakin sanggup menerima konsekuensinya?" ucap orang pintar itu meyakinkan Ina. Karena konsekuensi pirunduk itu bukanlah hal yang main-main."Yakin, Mbah. Apa pun Ina lakukan untuk mendapatkan Mas Angga.""Apa ka
"Ngapain lagi Ina ke tempat Mbah Iwa. Pasti ada yang nggak beres ini." Amin bermonolog setelah melihat Ina yang baru saja keluar mengendap-endap dari rumah Mbah Iwa yang terkenal sebagai orang pintar atau dukun di desa ini..."Bismillahirrahmanirrahim." Lantunan lembut terdengar dari arah kamar Galuh di tengah malam yang sunyi, sudah menjadi kebiasaannya bangun di sepertiga malam untuk melaksanakan salat tahajudnya.Baru separuh ayat ia baca, tiba-tiba Alif berteriak ketakutan seperti beberapa hari ini yang terjadi padanya.Galuh gegas mendatangi dengan terbirit-birit, dibacakannya terus menerus ayat kursi di telinga anaknya itu. Angga malam ini tak pulang karena ia jadwal kerja malam. Setiap kali Angga tak ada di rumah, maka Alif akan seperti ini."Sayang, istighfar! Istighfar, ingat Allah!"Kali ini bacaan dan ucapan Galuh tidaklah mempan, Alif masih mengamuk dan berteriak tanpa henti. Galuh pun gegas menuju kamar Ina untuk meminta bantuan, namun tak ada jawaban dari dalam sana."
"Ina, darimana kamu semalam?" tanya Amin."Aku, darimana? Ya, nggak darimana-mana lah paman.""Bohong! Kamu habis dari rumah Mbah Iwa kan? Ayok, ngaku kamu!" Amin berusaha memojokkan Ina.Ina mengalihkan pandangan, ia juga gegas menyalakan mobilnya namun cepat sekali Amin mencabut kunci mobil dari luar mobil Ina. "Jawab. Ngapain lagi kamu ketempat Mbah Iwa. Kata kamu kan sudah insaf, kenapa kamu kembali lagi padanya?""Paman, diam! Ini urusan aku, bukan urusan paman. Terserah aku dong mauku gimana, nggak usah ngatur hidup aku!" Ina merampas kembali kunci mobilnya dari tangan Amin dan ia pun melakukan mobilnya.Amin beristighar, sebelumnya sudah berapa kali ia berusaha mengingatkan Ina untuk bahayanya berurusan dengan hal semacam itu namun Ina sangatlah bebal. Ia malah mengikuti jejak mendiang ayahnya."Ina, entah apa yang engkau rencanakan kali ini. Bagaimana pun, aku tak akan membiarkan kau merusak kehidupan siapa pun lagi."Ina baru saja pulang berbelanja dari kota, ia dengan riang
Galuh telah menyiapkan baju kerja milik Angga, sedari tadi ia menunggu hadir suaminya yang katanya pergi keluar mencari sesuatu itu. "Dimana Mas Angga, sebentar lagi dia harus segera berangkat kerja." Berulang kali Galuh mencoba menelpon Angga namun sama sekali tak ada satupun panggilan darinya yang dijawab. Suara hentak kaki mendekati kamar, Galuh sudah menduga jika itu adalah suaminya. "Mas, pakaian kamu!" Betapa terkejutnya Galuh karena bukanlah Angga yang datang, melainkan orang lain. "Astagfirullah," ucap Galuh. "E, Galuh. Kamu ada di sini?" tanya lelaki berbadan tinggi dengan rambut yang sedikit ikal itu. Dia adalah Ridwan, sepupunya Ina dan Galuh yang tinggal di Jawa. Ina memang sudah memberitahu Galuh akan hal itu jika sepupu mereka akan datang dan Ina juga memberitahu jika ia pergi untuk menjemput Ridwan ke bandara. "Iya, Ridwan. Baru mau sebulan aku di sini," jawab Galuh. "Oh iya, Kak Ina nya mana?""Nggak tahu aku. Aku ke sini naik ojek tadi. Tapi, Ina ada WA aku katan
Galuh menatap heran pada Ina yang tengah asyik menekan layar gawainya di sofa. Sesekali ia tertawa dan tersenyum ria. Nampak saja kebahagiaan dari sorot dua matanya. "Galuh, ngapain kamu liatin aku kayak gitu? Kenapa, nggak pernah lihat orang yang lagi pacaran, heh? Ke dapur sana, masakin makan malam buat Ridwan!" titah Ina. Galuh hanya mengangguk dan gegas pergi ke dapur. Ia pun mulai memasak. Tiba-tiba Ridwan mendatangi Galuh. "Wih, masak apa nih wangi bener." Ridwan menengok masakan yang masih beradu di dalam panci. Galuh tersenyum simpul. "Masak sop ayam," jawab Galuh. "Enak bener nih. Udah lama banget nggak makan sop ayam pakai kuah telur itik." "Hehe, sebentar lagi matang kok. Kamu tunggu aja dulu." "Siap!" Ridwan pun melenggang dari samping Galuh, ia gegas mengeluarkan gawainya yang berdering. 'Assalamu'alaikum, Paman. Ada apa?' Terlihat Ridwan tengah menempelkan gawainya ke telinga. 'Apa? Baik, Ridwan secepatnya ke sana.' Mendengar ucapan Ridwan dan ekspresi yang beru
Pemakaman dilaksanakan malam ini jua, digiring banyak orang menuju liang lahad. Amin mengikuti setiap rangkaian pemakan, ia juga mengazankan istrinya di tempat peristirahatan terakhir istrinya. Alunan azan yang dibubuhi dengan nada yang menyayat hati, membuat semua yang hadir juga merasakan kesedihan yang bertengger di hati Amin. "Ummi, kenapa nenek Adah nangis?" tanya Alif yang langsung membuat Galuh kaget. "Nak, kamu lihat nenek? Di mana?" tanya Galuh penasaran. Sedangkan mayat Adah sudah masuk ke dalam liang lahad. "Itu, Ummi." Alif menunjuk ke arah dekat Amin. Galuh menelan berat salivanya, getaran di dadanya memacu dan menderu. 'Acil, apakah ada sesuatu yang membuat acil tidak tenang?' Kesedihan menghujam kembali hati Galuh. Proses pemakaman pun selesai setelah talkin dan doa dibacakan. Perlahan, orang-orang pun beranjak pergi kembali menuju rumah mereka masing-masing. Tinggallah Amin, Ridwan, Galuh dan Alif. Amin masih menatap lekat onggokan tanah yang telah menimbun seluruh
Sesampainya Galuh di rumah, nampak Angga sedang tengah menunggu Galuh dan Alif, sorot matanya panas. "Assalamu'alaikum, mas," ucap Galuh yang baru saja turun dari mobil. Angga tak menjawab salam, ia menatap ke arah Ridwan yang tak turun dari mobil. "Masuk!" titah Angga pada Galuh dan Alif. "Ayok, Nak. Kita masuk!" "Hey, Angga. Lama tidak bertemu!" sapa Ridwan dari mobil. Angga hanya menjawab dengan anggukan. "Aku kembali ke rumah paman," ucapnya. "Iya," jawab Angga singkat. Mobil pun beranjak dari depan rumah. Angga melengos masuk ke rumah dan menutup pintu dengan keras, sedangkan Galuh dan Alif sudah masuk ke dalam kamar. Galuh yang melihat ekspresi Angga yang tidak begitu enak dipandang itu pun meminta Alid untuk pergi ke kamar mandi. Khawatir jika terjadi sesuatu yang todak pantas untuk disaksikan oleh anak kecil. "Alif, kamu cuci kaki sama tangan dan gosok gigi sama ambil wudhu dulu ya sebelum tidur!" ucap Galuh sangat lembut. "Iya, ma." Gegas Alif
Angga telah kembali ke kantornya karena memang jadwalnya bekerja malam. Galuh tak bisa memejamkan mata, rasa sakit hatinya tak jua menuntunnya untuk pergi ke dunia mimpi. Sesak di dada tak jua pudar, Galuh hanya bisa meneteskan air mata tanpa suara isak dari kedua bibirnya. 'Mas, kenapa kamu berubah?' pertanyaan yang sama selalu menghantui pikiran Galuh kala ini jua. Jam telah menunjukkan pukul satu malam. Suara isakan terdengar mendayu, Galuh gegas menajamkan gendang telinganya. "Kak Ina?" Galuh bermonolog. Galuh pun mengambil jilbab dan memasangnya, gegas ia menuju kamar Ina. Ia pun mengetuk pintu kamar Ina perlahan. "Kak, Kakak. Kak Ina.." Berulangkali Galuh berusaha memanggil Ina, namun tak ada jawaban. Suara tangisan itu juga tiada terdengar lagi setelah Galuh keluar dari biliknya. Galuh pun meraih knop pintu kamar Ina, namun ternyata pintunya tidak dikunci. Dengan penuh pertimbangan, Galuh pun akhirnya memberanikan diri membuka pintu kamar Ina. Gelap, tidak ada cahaya sed
Berbulan-bulan telah berlalu, Galuh merasa sangat tenang tinggal di rumah Ustaz yang menampungnya saat ini. Ia juga ikut salat berjamaah dengan para jamaah perempuan dan berinteraksi dengan orang-orang yang sangat lemah lembut dan beragama yang kuat. Hari ini ustaz beserta rombongan pergi lagi ke kampung tempat Sari berada dan ini bukan kali pertama namun sudah yang kesekian kalinya. Galuh tidak bisa diam sembari menanti kabar. “Tenang, mbak Galuh. In syaa Allah semuanya akan baik-baik saja.” Istri ustaz menenangkan Galuh. “Iya, bu ustazah. Semoga saja semuanya baik-baik saja.” Tidak berapa lama suara gesekan kaki terdengar. “Assalamu’alaikum.” “Waalaikumussalam,” jawab orang yang berada di dalam rumah. “Nah itu pasti mereka,” tebak istri ustaz. Galuh beserta yang lain pun gegas berdiri dan tidak sabar dengan berita yang akan mereka terima. Benar saja, rombongan yang tadi pagi berangkat itu sudah kembali dengan jumlah yang lengkap bahkan jumlah mereka bertambah, sumringa
“Assalamu'alaikum,” ucap Galuh mengetuk pintu. Tidak berapa lama ada jawaban dari dalam. “Waalaikumussalam.” Pintu pun terbuka, nampaklah sosok perempuan yang mengenakan hijab labuh dan lebar yang sedang tersenyum pada Galuh. “Nyari siapa ya, mbak?” tanyanya. Galuh mengeluarkan kertas yang sudah Sari berikan padanya. “Saya Galuh, mbak. Temennya Sari.” Galuh pun menyerahkan kertas tersebut. “Sari?” ucapnya sembari membaca kertas dari Galuh itu. “Mas, sini mas!” panggilnya. Hingga munculah sosok lelaki dengan wajah teduh dan basah dengan air wudhu. “Kenapa, sayang? Eh, ada tamu. Kenapa ndak disuruh masuk?” “Astagfirullah, kelupaan. Maaf ya, mbak. Silakan masuk!” “nggih, makasih.” Galuh pun masuk ke dalam rumah. “Ini loh, Mas. Sari, ada kabar dari Sari.” “Sari..” Keduanya pun nampak serius membaca kertas tersebut. Setelah itu pun mereka meminta Galuh menceritakan semua yang telah Sari ceritakan padanya sebagaimana sesuai dengan instruksi Sari sebelumnya. “Jadi begitu, ya Allah
Mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan mereka, hingga akhirnya mereka sampai pada sebuah gerbang yang bertuliskan “kuburan muslimin” Galuh pun menatap ke arah Sari. “Ada yang mau aku ziarahi, mau ikut ke dalam atau nunggu di sini?” tanya Sari. “Jika dibolehkan aku ikut,” jawab Galuh. “Tentu saja boleh, Galuh. Mari!” Galuh dan Sari pun masuk ke dalam gerbang itu, hamparan tanah luas yang sudah mulai sesak dengan batu nisan dan gundukan tanah memenuhi pandangan mata. Sari menuju satu pekuburan yang berada dekat pohon besar yang diikat dengan kain berwarna kuning paling pojok pekuburan. Ia duduk bertelimpuh kaki dekat kuburan itu yang diikuti oleh Galuh. Sari nampak sedang menabur bunga di atas kuburan serta air doa, Galuh yang tak ingin memgganggu itu pun hanya diam dan mendoakan dalam hatinya. “Galuh, kita sama-sama tahu rasanya kehilangan orang yang sangat kita sayangi. Kamu pastinya mengeetj bagaimana perasaaku,” tutur Sari yang mana rona di wajahnya berubah menjadi sendu.
Kejanggalan mulai lebih terasa oleh Galuh, terlebih bentuk gangguan dari makhluk sebelah yang membuat Galuh bahkan tidak bisa memejamkan matanya hingga kokokan ayam subuh menggema. Bukan hanya itu, ia juga sering kali mendengar Indah yang berteriak di tengah malam namun tidak ada satupun yang menghiraukan. "Ridwan," panggil Galuh dari balik pintu. Tidak berapa lama Ridwan dengan muka bantalnya membuka pintu. "Ada apa Galuh? Kamu lihat hantu lagi?" tanya Ridwan setelah menguap. "Maaf mengganggu waktu tidurmu, tapi tadi aku denger tante Indah teriak. Takutnya dia kenapa-napa," jelas Galuh. Ridwan membalasnya dengan seutas senyuman. "Ibu memang seperti itu kalau jam segini, Galuh. Maaf kalau teriakkan ibu mengganggu tidurmu, kamu ndak perlu khawatirin ibu, dia ndak kenapa-napa kok." "Tapi, Wan." "Tapi apa, Galuh? Ya sudah, aku bilangin ibu dulu ya jangan teriak-teriak biar kamu bisa tidur." "Ndak, bukan gitu, Wan. Aku cuman takut terjadi apa-apa aja ke tante." Ridwan mena
Di tengah malam yang sangat sunyu, suara gonggongan anjing memekak telinga, Galuh yang masih terjaga lantas saja membaca doa. Sudah dua malam ini dia tinggal di rumah Ridwan, sangat sulit baginya untuk memejamkan mata. Ketakutan menghantui Galuh setiap kali ia menuju alam mimpi, mimpi buruk memenuhi alam bawah sadarnya. Pula, terdengar bisikan memanggil nama Galuh tepat di samping telinganya, namun tiada siapapun ia dapati. Galuh menaruh mushaf kecilnya ke atas nakas, perlahan ia membuka pintu agar tidak menimbulkan suara berisik yang dapat membangunkan penghuni rumah. Tenggorokan Galu terasa kering dan botol air yang tersedia di kamarnya sudah tiada berisi. Ia dengan terpaksa keluar kamar mengambil air ke dapur. Setelah mengambil air dan berniat untuk kembali ke kamar, terdengar suara aneh dari dalam kamar Indah. Galuh merasa penasaran, namun ia juga tidak berani bertindak semena-mena di rumah orang. "Galuh, jangan! Ini bukan rumahmu. Cepat pergi ke kamar!" gumam Galuh pada meme
Tatkala kamar terbuka, sebuah aroma busuk mulai menyeringai masuk ke rongga hidung. Galuh berusaha menahan rasa tidak sukanya, terlebih ia sedang mengandung yang mana tidak bisa mencium bau aneh apapun. Kamar dengan cahaya redup, tidak ada cahaya dari celah jendela atau pun dari celah ventilasi udara, sangat pengap dan berhawa panas. Semakin masuk ke dalam, terdengar suara rintihan kecil yang semakin meninggi. Galuh dengan erat memegangi ujung jilbabnya, ada gelitik rasa takut di dadanya namun ia tetap harus melangkah maju mengekori budhe yang sedang berjalan di depannya. "Galuh, kamu mual?" tanya budhe yang tiba-tiba menghentikan langkah kakinya. Galuh menelan ludah dengan pelan. "Tidak, budhe." "Jangan bohong, kamu sekarang sedang hamil pasti sangat mual kan? Sebentar lagi ya, kita tidak akan lama di sini. Setelah bertemu dengan Indah, sudah bertahun-tahun ia ingin bertemu denganmu." Akhirnya, mereka sampai pada kain tipis tembus pandang berwarna kuning yang dibuat
Setelah subuh, Galuh gegas untuk mengambil sapu dan menyapu lantai. Ia sibuk dengan pekerjaan rumahnya. "Galuh, sudah. Biar aku saja, kamu ndak perlu repot- repot gini." Tiba-tiba Ridwan datang dari pintu belakang. "Nggak papa, Wan. Lagian aku capek kalau cuman duduk diam nggak ngelakuin apa-apa. Boleh ya aku bantuin bersih-bersih rumah, masak dan kalau ada yang bisa aku bantu-bantu aku bakal ngerasa lebih nyaman." Galuh memegangi erat batang sapu sembari memohon kepada Ridwan. Ridwan menghela napas panjang, kemudian ia tersenyum dan mengangguk. "Ya sudah kalau itu mau kamu. Anggap aja ini rumah kamu, kamu boleh ngelakuin apa saja yang bisa bikin kamu senang dan nyaman. Tapi ingat, jangan sampai kecapean!" "Siap. Makasih, Wan." Galuh dengan senang hati melakukan segala kegiatan yang telah ia rancang. Saat Galuh asyik membereskan rumah serta mengumpulkan sampah-sampah yang tidak terbuang dari sudut-sudut rumah, tiba-tiba ia terhenti tatkala mendengar suara perempuan yang
Saat Galuh merebahkan badannya, ia teringat akan isi tas yang sedari tadi ia jaga. Galuh kembali bangkit fan mengambil tas miliknya yang ia taruh di atas nakas, ia pun membawa tas tersebut bersamanya ke atas ranjang, Galuh duduk di bibir ranjang dan perlahan membuka tas miliknya. Galuh mengeluarkan kotak kecil pemberian Salma padanya, menatapnya perlahan dan menaruhnya kembali ke dalam tas. "Aku masih penasaran dengan maksud Salma. Apa yang akan aku ketahui nantinya tentang Ridwan?" gumamnya yang kemudian ia mengambil ponselnya yang juga berada di dalam tas itu. "Astagfirullah sudah jam segini. Aku harus segera melaksanakan sholat." Galuh gegas kembali berdiri dan menaruh kembali tasnya di atas nakas. Galuh pun berjalan menuju dapur karena sudah diberitahu oleh budhe di mana tempatnya. Langkah kaki Galuh nampak pelan agar tidak membuat keributan menapak lantai semen tanpa kramik. Saat ia menyibak kain yang menjuntai di tengah pintu yang menjadi pembatas antara ruangan teng
Mereka berdua sudah sama-sama berada di dalam mobil taksi. "Wan, kamu sudah sampaikan permintaan maafku?" tanya Galuh yang duduk di samping Ridwan, namun dipisah tas besar yang berada di tengah mereka berdua. "Sudah, Galuh. Aku sudah sampaikan permintaanmu pada paman. Kata paman, pasti akan dia sampaikan. Kamu tenang saja," jawab Ridwan. Galuh pun menghembuskan napas pelan, kemudian menyandarkan punggungnya sembari memejamkan mata. Ridwan melirik pelan ke arah Galuh, lalu tersenyum dengan lembut. 'Ridwan sangat baik, aku nggak akan bisa berpikiran yang aneh-aneh padanya. Salma, mungkin prasangkamu telah salah,' gumam Galuh dalam hatinya. "Galuh, kamu yakin ndak mau ziarah ke makam Alif dulu sebelum pergi?" tanya Ridwan. Galuh gegas membuka matanya, kemudian menilik ke arah Ridwan yang berada di sebelah kirinya. Perlahan kepalanya mengangguk. "Aku takut, Wan. Kalau aku ke sana aku bakalan ngerasa sedih lagi dan pingsan lagi. Jadi, aku rasa lebih baik begini. Tapi, doa