Galuh telah menyiapkan baju kerja milik Angga, sedari tadi ia menunggu hadir suaminya yang katanya pergi keluar mencari sesuatu itu.
"Dimana Mas Angga, sebentar lagi dia harus segera berangkat kerja." Berulang kali Galuh mencoba menelpon Angga namun sama sekali tak ada satupun panggilan darinya yang dijawab.Suara hentak kaki mendekati kamar, Galuh sudah menduga jika itu adalah suaminya. "Mas, pakaian kamu!" Betapa terkejutnya Galuh karena bukanlah Angga yang datang, melainkan orang lain."Astagfirullah," ucap Galuh."E, Galuh. Kamu ada di sini?" tanya lelaki berbadan tinggi dengan rambut yang sedikit ikal itu. Dia adalah Ridwan, sepupunya Ina dan Galuh yang tinggal di Jawa. Ina memang sudah memberitahu Galuh akan hal itu jika sepupu mereka akan datang dan Ina juga memberitahu jika ia pergi untuk menjemput Ridwan ke bandara."Iya, Ridwan. Baru mau sebulan aku di sini," jawab Galuh. "Oh iya, Kak Ina nya mana?""Nggak tahu aku. Aku ke sini naik ojek tadi. Tapi, Ina ada WA aku katanya aku langsung ke rumah saja, pintu tidak dikunci. Makanya aku langsung nyelonong masuk, eh taunya kamu ada di sini," jelas Ridwan.Galuh mengangguk saja, namun ada yang sedang mengganjal pikirannya. 'Tapi kata Kak Ina tadi mau jemput Ridwan ke bandara kan? Terus, kok? Arghh, Galuh... Mungkin ada sesuatu hal yang mendadak yang mengharuskan Kak Ina membatalkan jemputannya.' Galuh tidak jadi berpikiran negatif pada Ina, kakaknya."Ya sudah, Ridwan. Kamu istirahat aja di kamar! Kalau kamu lapar, makanan ada di atas meja di dapur. Aku mau keluar dulu sebentar." Galuh memutuskan untuk keluar mencari Angga."Siap.""Oh iya, aku titip Alif sebentar ya!""Alif? Wah, kangen banget aku sama Alif. Sudah lama banget nggak ketemu sama dia."Galuh pun tersenyum simpul, kemudian ia melenggang pergi dari rumah. Sore hari ini nampak tak begitu cerah oleh mentari, ada gemuruh yang sedari tadi bersahutan namun tak jua hujan turun ke bumi.Galuh menggunakan motor maticnya, ia gegas mencari Angga gang tidak bisa ia hubungi itu. Rasa takut dan khawatir terjadi apa-apa pada Angga berpadu menjadi satu. Meski perlakuan Angga dua hari ini nampak berbeda, namun Galuh tak pernah mempertanyakan hal itu."Mas, kamu dimana?" gumam Galuh.Saat berada di depan kantor tempat Angga bekerja, Galuh melihat sosok Jono yang sedang berjaga itu. Galuh pun berikhtiar untuk bertanya karena mungkin saja ada yang melihat kemana jejak kaki Angga melangkah."Mang Jon," panggil Galuh."Eh, Galuh. Kenapa nih?" tanya Jono gegas mendekat pada Galuh."Galuh tak turun dari motornya. "Mang Jon ada lihat suami Galuh nggak? Mas Angga?" tanya Galuh.Jono menelan berat salivanya. Tatapannya seketika berubah begitu saja. "Eeee, ada sih Galuh. Tapi,...."Galuh tersenyum mendapati kabar itu. "Kira-kira ke arah mana ya, pak? Ini mau hujan soalnya, mana bentar lagi kan Mas Angga harus masuk kerja, Galuh takut dia kehujanan karna lupa bawa jas hujan."Jono meremas jari-jarinya. Membuat Galuh keanehan dengan eksperinya itu. "Kenap, Mang Jon?" tanya Galuh merendahkan nada bicaranya."Emmm. Itu motornya Angga, Galuh!" Jono menujuk ke arah motor yang terparkir di samping posko jaganya."Oh, jadi Mas Angga di sini. Syukurlah kalau gitu. Galuh minta tolong nitip ini, jas hujan ya, Mang Jon.""I-iya, Galuh. Nanti Amang kasih ke Angga.""Makasih, Mang Jon. Kalau gitu Galuh pulang. Assalamu'alaikum.""Waalaikumussalam."Baru saja Galuh beranjak dari hadapan Jono. Jono tiba-tiba merasa lunglai tak berdaya. "Galuh, maafkan Amang, Galuh. Aku takut jika aku memberitahumu yang sebenarnya, kamu akan sakit hati. Ina, kamu benar-benar tega pada adikmu sendiri! Awas saja kau Ina, karma pasti akan menghampirimu!"Entah apa yang Jono sembunyikan dari Galuh saat ini, namun ia begitu tak sanggup jika harus memberitahukan Galuh kejadian yang sebenarnya terjadi. Angga tidak ada di kantor, hanya motornya saja yang ia titipkan pada Jono setengah jam yang lalu.Galuh gegas kembali ke rumah, melihat cuaca yang juga semakin menggelap. Mobil Ina telah terparkir di depan rumah, saat Galuh hendak memasuki rumah, ia melihat sendal Angga yang tergeletak di sana."Mas Angga?" gumamnya."Assalamu'alaikum." Galuh memasuki rumah, ia gegas menuju kamar dan dilihatnya Angga berada di sana yang sedang memakai baju kerjanya."Mas, kamu kok ada di rumah?" tanya Galuh heran karena baru saja ia melihat motor Angga di dekat posko jaga Jono tadi."Kamu darimana aja, Alif ditinggal di rumah. Kalau terjadi apa-apa sama dia gimana?""Maaf, Mas. Tadi Galuh dari kantor kamu nyariin kamu. Tapi, kok motor kamu ada di sana, Mas? Terus, kamu pulang pakai apa?"Angga menghentikan gerakan tangannya mengancing baju. "Oh, itu. Tadi aku ikut Kak Ina pulang. Motor aku tadi mati, nggak bisa hidup di deket kantor pas mau pulang. Jadi, aku tinggal di sana!" jelas Angga.Galuh menggaruk pelipisnya yang tak gatal, berusaha mencerna dua kejadian ini. 'Kenapa Mang Jon nggak bilang ya kalau Mas Angga kemogokan motor?' gumamnya."Aku mau berangkat sekarang!" ucap Angga ketus. Tidak seperti biasanya. Ia langsung melenggang pergi tanpa meminta doa istri dan berpamitan dengan ucapan salam terlebih dahulu.Galuh yang telah mengulurkan tangan itu tak digubris oleh Angga."Mas, Al-qur'an kamu ketinggalan!" Galuh membawakan Alquran yang selalu Angga bawa ke kantor itu. Sudah dua hari ini ia tak bergeser dari tempatnya."Aku nggak wudhu, Sayang.""Kenapa nggak wudhu dulu, Mas?" tanya Galuh dengan nada kecewa.Angga yang baru menyelesaikan ikatan tali sepatunya itu pun menatap Galuh dengan lekat. "Kamu kenapa sih banyak tanya banget sekarang? Ya, aku lagi buru-buru, lagian bukan masalah besar juga kan aku nggak bawa itu, kan? Kunci motor, aku pakai motor kamu ke kantor."Galuh mendadak mematung. Nada bicara Angga sungguh berbeda, suaranya lebih nyaring dari biasanya. Dimana kelembutan itu?"Di motor, Mas. Hati-hati di jalan!"Galuh menatap heran pada Ina yang tengah asyik menekan layar gawainya di sofa. Sesekali ia tertawa dan tersenyum ria. Nampak saja kebahagiaan dari sorot dua matanya. "Galuh, ngapain kamu liatin aku kayak gitu? Kenapa, nggak pernah lihat orang yang lagi pacaran, heh? Ke dapur sana, masakin makan malam buat Ridwan!" titah Ina. Galuh hanya mengangguk dan gegas pergi ke dapur. Ia pun mulai memasak. Tiba-tiba Ridwan mendatangi Galuh. "Wih, masak apa nih wangi bener." Ridwan menengok masakan yang masih beradu di dalam panci. Galuh tersenyum simpul. "Masak sop ayam," jawab Galuh. "Enak bener nih. Udah lama banget nggak makan sop ayam pakai kuah telur itik." "Hehe, sebentar lagi matang kok. Kamu tunggu aja dulu." "Siap!" Ridwan pun melenggang dari samping Galuh, ia gegas mengeluarkan gawainya yang berdering. 'Assalamu'alaikum, Paman. Ada apa?' Terlihat Ridwan tengah menempelkan gawainya ke telinga. 'Apa? Baik, Ridwan secepatnya ke sana.' Mendengar ucapan Ridwan dan ekspresi yang beru
Pemakaman dilaksanakan malam ini jua, digiring banyak orang menuju liang lahad. Amin mengikuti setiap rangkaian pemakan, ia juga mengazankan istrinya di tempat peristirahatan terakhir istrinya. Alunan azan yang dibubuhi dengan nada yang menyayat hati, membuat semua yang hadir juga merasakan kesedihan yang bertengger di hati Amin. "Ummi, kenapa nenek Adah nangis?" tanya Alif yang langsung membuat Galuh kaget. "Nak, kamu lihat nenek? Di mana?" tanya Galuh penasaran. Sedangkan mayat Adah sudah masuk ke dalam liang lahad. "Itu, Ummi." Alif menunjuk ke arah dekat Amin. Galuh menelan berat salivanya, getaran di dadanya memacu dan menderu. 'Acil, apakah ada sesuatu yang membuat acil tidak tenang?' Kesedihan menghujam kembali hati Galuh. Proses pemakaman pun selesai setelah talkin dan doa dibacakan. Perlahan, orang-orang pun beranjak pergi kembali menuju rumah mereka masing-masing. Tinggallah Amin, Ridwan, Galuh dan Alif. Amin masih menatap lekat onggokan tanah yang telah menimbun seluruh
Sesampainya Galuh di rumah, nampak Angga sedang tengah menunggu Galuh dan Alif, sorot matanya panas. "Assalamu'alaikum, mas," ucap Galuh yang baru saja turun dari mobil. Angga tak menjawab salam, ia menatap ke arah Ridwan yang tak turun dari mobil. "Masuk!" titah Angga pada Galuh dan Alif. "Ayok, Nak. Kita masuk!" "Hey, Angga. Lama tidak bertemu!" sapa Ridwan dari mobil. Angga hanya menjawab dengan anggukan. "Aku kembali ke rumah paman," ucapnya. "Iya," jawab Angga singkat. Mobil pun beranjak dari depan rumah. Angga melengos masuk ke rumah dan menutup pintu dengan keras, sedangkan Galuh dan Alif sudah masuk ke dalam kamar. Galuh yang melihat ekspresi Angga yang tidak begitu enak dipandang itu pun meminta Alid untuk pergi ke kamar mandi. Khawatir jika terjadi sesuatu yang todak pantas untuk disaksikan oleh anak kecil. "Alif, kamu cuci kaki sama tangan dan gosok gigi sama ambil wudhu dulu ya sebelum tidur!" ucap Galuh sangat lembut. "Iya, ma." Gegas Alif
Angga telah kembali ke kantornya karena memang jadwalnya bekerja malam. Galuh tak bisa memejamkan mata, rasa sakit hatinya tak jua menuntunnya untuk pergi ke dunia mimpi. Sesak di dada tak jua pudar, Galuh hanya bisa meneteskan air mata tanpa suara isak dari kedua bibirnya. 'Mas, kenapa kamu berubah?' pertanyaan yang sama selalu menghantui pikiran Galuh kala ini jua. Jam telah menunjukkan pukul satu malam. Suara isakan terdengar mendayu, Galuh gegas menajamkan gendang telinganya. "Kak Ina?" Galuh bermonolog. Galuh pun mengambil jilbab dan memasangnya, gegas ia menuju kamar Ina. Ia pun mengetuk pintu kamar Ina perlahan. "Kak, Kakak. Kak Ina.." Berulangkali Galuh berusaha memanggil Ina, namun tak ada jawaban. Suara tangisan itu juga tiada terdengar lagi setelah Galuh keluar dari biliknya. Galuh pun meraih knop pintu kamar Ina, namun ternyata pintunya tidak dikunci. Dengan penuh pertimbangan, Galuh pun akhirnya memberanikan diri membuka pintu kamar Ina. Gelap, tidak ada cahaya sed
Kejadian menyedihkan itu telah berlalu seminggu lamanya, kian hari Angga semakin berubah kembali sikapnya semula. Angga datang dari kantornya, tak lupa makanan ia bawa untuk istri dan anaknya setelah lebih dari seminggu ini ia tak membawanya. "Assalamu'alaikum, sayang," ucap Angga. Tapi yang ia dapati ternyata Galuh sedang tertidur dengan Alif. Angga tersenyum simpul lalu mengecup lembut rambut Galuh, membuat Galuh terbangun dari tidurnya. "Maaf sayang Mas ganggu tidur kamu ya?" ucap Angga. Gegas Galuh bangkit. "Mas, kamu udah pulang. Astaghfirullah, maaf mas, Galuh ketiduran." Galuh mengucek kedua matanya. "Nggak papa. Itu Alif nggak sekolah?" tanya Angga seraya melepas jaket dan baju kerjanya. Mengganti pakaian. Galuh turun dari ranjang, ia gegas mengambil kerudung dan memasangnya. "Katanya Alif nggak enak badan, Mas. Udah seminggu ini badannya dingin. Makanya aku nggak izinin dia buat sekolah dulu hari ini." "Demam?" tanya Angga. "Enggak, Mas. Aku sudah bu
Malam hari dengan rembulan yang menyinari gelapnya bumi, tepat malam ke-15 yang mana bulan bersinar terang. Ina tengah mengendap-endap, menuju rumah Mbah Iwa. "Huhh, akhirnya..." "Ina," ucap mbah Iwa yang mengagetkan Ina. "Mbah, ngagetin aja!" "Kenapa kamu kemari lagi?" tanya mbah Iwa sembari berjalan menuju tempat duduknya yang diikuti oleh Ina. "Mbah, kenapa Angga kembali lagi pada jati dirinya? Bukannya kata mbah kalau aku berhasil kasih makam dia dengan pirundukku, Angga hanya akan mendengarkan ucapanku? Tapi, tadi pagi aku lihat dia mesra-mesraan sama Galuh, mbah." Mbah Iwa membuka penutup kendi keramatnya. "Kamu yang salah, Ina. Kamu tidak memenuhi persyaratan yang sudah aku katakan padamu." Ina menatap menyelidik. "Persyaratan mana yang tidak aku lakukan mbah?" nada bicara Ina merendah. "Bukannya aku sudah bilang untuk memberinya makanan yang kotor-kotor darimu," jelas mbah Iwa. Ina menyimak dengan seksama. "Iya, mbah. Sulit bagi Ina untuk melakukan persyarata
Galuh duduk lesu di bangku tunggu, badannya lemas tak berdaya setelah dokter mengatakan jikalau penyakit anaknya tidak diketahui oleh medis, dokter masih berusaha mencari tahu gejala apa yang sedang Alif alami dan Alif masih belum sadarkan diri, terbaring di ruangan inap. Ia kembali ditangani oleh dokter setelah kejang-kejang dan tubuhnya berwarna kemerahan. "Sayang, kamu istirahat dulu ya. Nanti kamu juga sakit," ucap Angga lembut. Galuh masih menatap kosong ke arah lantai. Tak ada gerakan dari bibirnya. Angga menggenggam tangan Galuh pelan. "Sayang, jangan gini. Ingat Allah, jangan putus asa!" Angga masih berusaha menguatkan istrinya. "Sakit!!!" teriak dari dalam ruangan yang membuat Angga dan Galuh terperangah. "Alif," ucap keduanya. "Mas, Alif Mas!" Galuh semakin khawatir mendengar teriakan Alif yang kesakitan. Begitu pun Angga, ia berusaha tegar namun batinnya tersiksa. Tiba-tiba penglihatan Galuh menguning, sekian detik semakin menggelap, dan brukkk.... Galuh pingsan di t
Angga pulang ke rumah untuk mengambil beberapa keperluan, sedangkan Galuh menunggu Alif di rumah sakit. Galuh tak beranjak, ia menunggu Alif sembari membaca al-qur'an tepat di telinga Alif yang masih terbaring kaku. "Angga,"panggil Amin saat bertemu dengan Angga di jalan. Angga tersenyum simpul. "Paman," jawab Angga. "Mau kemana kamu bawa barang sebanyak ini?" tanya paman menyelidik barang bawaan Angga. Angga menghela nafas. Ia bingung harus bilang apa pada Amin tentang Alif. "Oh iya, gimana keadaan Alif sekarang, sudah sehat kan?" tanya Amin. Angga menggeleng. "Alif di rumah sakit paman, sudah lima hari ini Alif belum sadarkan diri." "Inna lillahi, kenapa kamu ndak bilang ke paman? Cepat, bawa aku ke sana sekarang!" "Maaf paman, kami ndak mau nambah pikiran paman. Mari, kita ke rumah sakit sekarang!" Amin pun naik ke atas motor Angga di boncengan belakang. Sedangkan Galuh di rumah sakit, sedari tadi ia merasakan angin dingin yang berhembus di lehernya. Ia juga mer
Berbulan-bulan telah berlalu, Galuh merasa sangat tenang tinggal di rumah Ustaz yang menampungnya saat ini. Ia juga ikut salat berjamaah dengan para jamaah perempuan dan berinteraksi dengan orang-orang yang sangat lemah lembut dan beragama yang kuat. Hari ini ustaz beserta rombongan pergi lagi ke kampung tempat Sari berada dan ini bukan kali pertama namun sudah yang kesekian kalinya. Galuh tidak bisa diam sembari menanti kabar. “Tenang, mbak Galuh. In syaa Allah semuanya akan baik-baik saja.” Istri ustaz menenangkan Galuh. “Iya, bu ustazah. Semoga saja semuanya baik-baik saja.” Tidak berapa lama suara gesekan kaki terdengar. “Assalamu’alaikum.” “Waalaikumussalam,” jawab orang yang berada di dalam rumah. “Nah itu pasti mereka,” tebak istri ustaz. Galuh beserta yang lain pun gegas berdiri dan tidak sabar dengan berita yang akan mereka terima. Benar saja, rombongan yang tadi pagi berangkat itu sudah kembali dengan jumlah yang lengkap bahkan jumlah mereka bertambah, sumringa
“Assalamu'alaikum,” ucap Galuh mengetuk pintu. Tidak berapa lama ada jawaban dari dalam. “Waalaikumussalam.” Pintu pun terbuka, nampaklah sosok perempuan yang mengenakan hijab labuh dan lebar yang sedang tersenyum pada Galuh. “Nyari siapa ya, mbak?” tanyanya. Galuh mengeluarkan kertas yang sudah Sari berikan padanya. “Saya Galuh, mbak. Temennya Sari.” Galuh pun menyerahkan kertas tersebut. “Sari?” ucapnya sembari membaca kertas dari Galuh itu. “Mas, sini mas!” panggilnya. Hingga munculah sosok lelaki dengan wajah teduh dan basah dengan air wudhu. “Kenapa, sayang? Eh, ada tamu. Kenapa ndak disuruh masuk?” “Astagfirullah, kelupaan. Maaf ya, mbak. Silakan masuk!” “nggih, makasih.” Galuh pun masuk ke dalam rumah. “Ini loh, Mas. Sari, ada kabar dari Sari.” “Sari..” Keduanya pun nampak serius membaca kertas tersebut. Setelah itu pun mereka meminta Galuh menceritakan semua yang telah Sari ceritakan padanya sebagaimana sesuai dengan instruksi Sari sebelumnya. “Jadi begitu, ya Allah
Mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan mereka, hingga akhirnya mereka sampai pada sebuah gerbang yang bertuliskan “kuburan muslimin” Galuh pun menatap ke arah Sari. “Ada yang mau aku ziarahi, mau ikut ke dalam atau nunggu di sini?” tanya Sari. “Jika dibolehkan aku ikut,” jawab Galuh. “Tentu saja boleh, Galuh. Mari!” Galuh dan Sari pun masuk ke dalam gerbang itu, hamparan tanah luas yang sudah mulai sesak dengan batu nisan dan gundukan tanah memenuhi pandangan mata. Sari menuju satu pekuburan yang berada dekat pohon besar yang diikat dengan kain berwarna kuning paling pojok pekuburan. Ia duduk bertelimpuh kaki dekat kuburan itu yang diikuti oleh Galuh. Sari nampak sedang menabur bunga di atas kuburan serta air doa, Galuh yang tak ingin memgganggu itu pun hanya diam dan mendoakan dalam hatinya. “Galuh, kita sama-sama tahu rasanya kehilangan orang yang sangat kita sayangi. Kamu pastinya mengeetj bagaimana perasaaku,” tutur Sari yang mana rona di wajahnya berubah menjadi sendu.
Kejanggalan mulai lebih terasa oleh Galuh, terlebih bentuk gangguan dari makhluk sebelah yang membuat Galuh bahkan tidak bisa memejamkan matanya hingga kokokan ayam subuh menggema. Bukan hanya itu, ia juga sering kali mendengar Indah yang berteriak di tengah malam namun tidak ada satupun yang menghiraukan. "Ridwan," panggil Galuh dari balik pintu. Tidak berapa lama Ridwan dengan muka bantalnya membuka pintu. "Ada apa Galuh? Kamu lihat hantu lagi?" tanya Ridwan setelah menguap. "Maaf mengganggu waktu tidurmu, tapi tadi aku denger tante Indah teriak. Takutnya dia kenapa-napa," jelas Galuh. Ridwan membalasnya dengan seutas senyuman. "Ibu memang seperti itu kalau jam segini, Galuh. Maaf kalau teriakkan ibu mengganggu tidurmu, kamu ndak perlu khawatirin ibu, dia ndak kenapa-napa kok." "Tapi, Wan." "Tapi apa, Galuh? Ya sudah, aku bilangin ibu dulu ya jangan teriak-teriak biar kamu bisa tidur." "Ndak, bukan gitu, Wan. Aku cuman takut terjadi apa-apa aja ke tante." Ridwan mena
Di tengah malam yang sangat sunyu, suara gonggongan anjing memekak telinga, Galuh yang masih terjaga lantas saja membaca doa. Sudah dua malam ini dia tinggal di rumah Ridwan, sangat sulit baginya untuk memejamkan mata. Ketakutan menghantui Galuh setiap kali ia menuju alam mimpi, mimpi buruk memenuhi alam bawah sadarnya. Pula, terdengar bisikan memanggil nama Galuh tepat di samping telinganya, namun tiada siapapun ia dapati. Galuh menaruh mushaf kecilnya ke atas nakas, perlahan ia membuka pintu agar tidak menimbulkan suara berisik yang dapat membangunkan penghuni rumah. Tenggorokan Galu terasa kering dan botol air yang tersedia di kamarnya sudah tiada berisi. Ia dengan terpaksa keluar kamar mengambil air ke dapur. Setelah mengambil air dan berniat untuk kembali ke kamar, terdengar suara aneh dari dalam kamar Indah. Galuh merasa penasaran, namun ia juga tidak berani bertindak semena-mena di rumah orang. "Galuh, jangan! Ini bukan rumahmu. Cepat pergi ke kamar!" gumam Galuh pada meme
Tatkala kamar terbuka, sebuah aroma busuk mulai menyeringai masuk ke rongga hidung. Galuh berusaha menahan rasa tidak sukanya, terlebih ia sedang mengandung yang mana tidak bisa mencium bau aneh apapun. Kamar dengan cahaya redup, tidak ada cahaya dari celah jendela atau pun dari celah ventilasi udara, sangat pengap dan berhawa panas. Semakin masuk ke dalam, terdengar suara rintihan kecil yang semakin meninggi. Galuh dengan erat memegangi ujung jilbabnya, ada gelitik rasa takut di dadanya namun ia tetap harus melangkah maju mengekori budhe yang sedang berjalan di depannya. "Galuh, kamu mual?" tanya budhe yang tiba-tiba menghentikan langkah kakinya. Galuh menelan ludah dengan pelan. "Tidak, budhe." "Jangan bohong, kamu sekarang sedang hamil pasti sangat mual kan? Sebentar lagi ya, kita tidak akan lama di sini. Setelah bertemu dengan Indah, sudah bertahun-tahun ia ingin bertemu denganmu." Akhirnya, mereka sampai pada kain tipis tembus pandang berwarna kuning yang dibuat
Setelah subuh, Galuh gegas untuk mengambil sapu dan menyapu lantai. Ia sibuk dengan pekerjaan rumahnya. "Galuh, sudah. Biar aku saja, kamu ndak perlu repot- repot gini." Tiba-tiba Ridwan datang dari pintu belakang. "Nggak papa, Wan. Lagian aku capek kalau cuman duduk diam nggak ngelakuin apa-apa. Boleh ya aku bantuin bersih-bersih rumah, masak dan kalau ada yang bisa aku bantu-bantu aku bakal ngerasa lebih nyaman." Galuh memegangi erat batang sapu sembari memohon kepada Ridwan. Ridwan menghela napas panjang, kemudian ia tersenyum dan mengangguk. "Ya sudah kalau itu mau kamu. Anggap aja ini rumah kamu, kamu boleh ngelakuin apa saja yang bisa bikin kamu senang dan nyaman. Tapi ingat, jangan sampai kecapean!" "Siap. Makasih, Wan." Galuh dengan senang hati melakukan segala kegiatan yang telah ia rancang. Saat Galuh asyik membereskan rumah serta mengumpulkan sampah-sampah yang tidak terbuang dari sudut-sudut rumah, tiba-tiba ia terhenti tatkala mendengar suara perempuan yang
Saat Galuh merebahkan badannya, ia teringat akan isi tas yang sedari tadi ia jaga. Galuh kembali bangkit fan mengambil tas miliknya yang ia taruh di atas nakas, ia pun membawa tas tersebut bersamanya ke atas ranjang, Galuh duduk di bibir ranjang dan perlahan membuka tas miliknya. Galuh mengeluarkan kotak kecil pemberian Salma padanya, menatapnya perlahan dan menaruhnya kembali ke dalam tas. "Aku masih penasaran dengan maksud Salma. Apa yang akan aku ketahui nantinya tentang Ridwan?" gumamnya yang kemudian ia mengambil ponselnya yang juga berada di dalam tas itu. "Astagfirullah sudah jam segini. Aku harus segera melaksanakan sholat." Galuh gegas kembali berdiri dan menaruh kembali tasnya di atas nakas. Galuh pun berjalan menuju dapur karena sudah diberitahu oleh budhe di mana tempatnya. Langkah kaki Galuh nampak pelan agar tidak membuat keributan menapak lantai semen tanpa kramik. Saat ia menyibak kain yang menjuntai di tengah pintu yang menjadi pembatas antara ruangan teng
Mereka berdua sudah sama-sama berada di dalam mobil taksi. "Wan, kamu sudah sampaikan permintaan maafku?" tanya Galuh yang duduk di samping Ridwan, namun dipisah tas besar yang berada di tengah mereka berdua. "Sudah, Galuh. Aku sudah sampaikan permintaanmu pada paman. Kata paman, pasti akan dia sampaikan. Kamu tenang saja," jawab Ridwan. Galuh pun menghembuskan napas pelan, kemudian menyandarkan punggungnya sembari memejamkan mata. Ridwan melirik pelan ke arah Galuh, lalu tersenyum dengan lembut. 'Ridwan sangat baik, aku nggak akan bisa berpikiran yang aneh-aneh padanya. Salma, mungkin prasangkamu telah salah,' gumam Galuh dalam hatinya. "Galuh, kamu yakin ndak mau ziarah ke makam Alif dulu sebelum pergi?" tanya Ridwan. Galuh gegas membuka matanya, kemudian menilik ke arah Ridwan yang berada di sebelah kirinya. Perlahan kepalanya mengangguk. "Aku takut, Wan. Kalau aku ke sana aku bakalan ngerasa sedih lagi dan pingsan lagi. Jadi, aku rasa lebih baik begini. Tapi, doa