Semalaman Ina mondar-mandir di kamarnya, ia tak tenang karena selalu memikirkan Angga pujaan hatinya. Ina seorang janda bergelimang harta yang menjadi pujangga desa ini mencintai adik iparnya sendiri. Bukan baru saja, rasa cintanya memanglah tertanam sejak lama.
"Mbah, tolong bantu Ina untuk mendapatkan Angga." Ina memohon pada orang pintar atau dukun yang sudah sejak lama ia kenal."Ina, kau masih saja mengejar lelaki itu. Apa kau yakin ingin merebut adik iparmu sendiri?""Yakin, Mbah. Ina harus dapatkan Angga. Selama ini Ina sudah berusaha agar terlihat menarik di mata Angga. Tapi, semuanya nihil, dia sama sekali nggak pernah lihat Ina apalagi jatuh cinta pada Ina.""Jalan satu-satunya. Pakailah pirunduk.""Pirunduk? Iya, Ina mau pakai pirunduk," ucap Ina."Iya, tapi apa kamu yakin sanggup menerima konsekuensinya?" ucap orang pintar itu meyakinkan Ina. Karena konsekuensi pirunduk itu bukanlah hal yang main-main."Yakin, Mbah. Apa pun Ina lakukan untuk mendapatkan Mas Angga.""Apa kamu siap memberikan Angga makanan kotor setiap hari?" tanya orang pintar lagi.Ina mengangguk pasti."Baiklah, kamu sediakan saja makanan khusus untuknya, biarkan dia memakanny sendiri. Bacakan mantra ini.... Ingat, hanya dia yang boleh memakan makananmu yang telah kau beri mantra pirunduk itu. Kalau kamu berhasil, sudah bisa dipastikan dia akan tunduk padamu, dia tak akan mendengarkan siapapun selain perkataan kamu." Ia memberikan mantra pada Ina."Baik, mbah. Ina mengerti."Al-kisahAngga adalah anak pendatang dari Jakarta, ayahnya seorang perantau yang memutuskan untuk tinggal di perantauannya yakni di Kalimantan sebagai petani yang bekerja pada ayahnya Ina dan Galuh.Angga yang ikut dengan ayahnya saat usia delapan belas tahun itu sangatlah menawan. Badannya yang tinggi dan putih serta potongan rambut yang serasi dengan bentuk wajahnya membuat para anak gadis di desa jatuh cinta padanya, tak terkecuali Ina yang telah berusia sembilan belas tahun. Angga juga melanjutkan sekolahnya hingga berkuliah di Kalimantan."Bah, itu siapa?" tanya Ina pada ayahnya."Oh, itu Angga anak Kasman, orang pendatang tu."Ina adalah gadis ganjen yang suka sekali berdandan, setiap kali keluar dari rumah pasti saja wajanya dipenuhi dengan riasan tipis bedak, celak dan juga lipstik. Tak lupa gelang, cincin, kalung dan bandonya. Surainya yang panjang dibiarkan tergerai. Berbeda dengan Galuh yang selalu tertutup dan pemalu. Galuh sangat jarang keluar rumah, kecuali ada sebuah keperluan saja."Hai Angga!" sapa Ina.Angga tersenyum simpul menanggapi. "Hai juga. Aku permisi ya, mau bantu ayah di ladang." Angga gegas pergi meninggalkan Ina. Ina mencabik kesal karena ia telah diabaikan olehnya sang pujaan hati.Setiap hari Ina tak bosan untuk menjaga Angga yang lewat depan rumahnya untuk pergi ke sekolah atau ke ladang, membantu ayahnya. Tanpa Ina ketahui, Angga juga ada maksud lain lewat di depan rumah Ina namun bukanlah untuk melihat Ina melainkan untuk melihat Galuh yang sibuk menjemur pakaian di samping rumah."Galuh," sapa Angga dengan senyum simpul.Galuh yang belum selesai menjemur pakaian itu gegas masuk kembali ke dalam rumah karena malu.Kian tahun berlalu, cinta Ina tak jua berbalas oleh Angga. Semakin nampak pula rasa katertarikan Angga pada Galuh yang juga tak bisa dibendung lagi."Kamu ada rasa sama Galuh anak Pak Nadi?" tanya ayahnya Angga.Angga yang telah menginjak usia dua puluh tiga tahun itu mengangguk membenarkan. "Benar, Yah. Sudah lama Angga menaruh rasa pada Galuh.""Kalau begitu kita akan datangi keluarganya Galuh untuk melamar.""Beneran, Yah?" tanya Angga dengan mata yang berkaca-kaca.Kasman mengangguk mengiyakan. Ia juga meminta sepupunya untuk membantunya datang ke rumah Pak Nadi."Kamu yang bener aja, Man. Pak Nadi itu pesugihan. Masa kamu mau besanan sama dia. Aku sih ogah.""Hush.. Nggak boleh gitu, Fan. Awas, jatuhnya fitnah.""Fitnah dari mana? Orang warga sini juga bilangnya gitu kok.""Sudahlah, itu biarlah jadi urusan beliau dengan Allah. Kamu juga tahu kan kalau anaknya yang bungsu itu bagus, juga Angga ngebet mau sama Galuh. Yah aku nggak bisa ngelarang dong, dia udah besar dan sudah punya jalannya sendiri.""Okelah, oke. Karena Angga yang mau. Besok aku bantu datang ke rumah Pak Nadi itu."****Keesokan harinya, datanglah Angga bersama Kasma dan juga Fandi ke rumah Pak Nadi dengan maksud melamar Galuh. Mereka bertiga disambut dengan baik oleh Nadi. Biasanya hanya Kasman dan Fandi saja jika ada keperluan ladang yang harus mereka laporkan."Kasman, Fandi. Tumben sekali bertamu kemari?" tanya Nadi."Iya, Pak Nadi. Sebenarnya kami datang kemari tak lain ada suatu hajat." Fandi mewakili."Hajat apakah gerangan? Apa pupuk ladang sudah habis atau kekurangan sesuatu di ladang?" tanya Nadi."Bukan, bukan masalah itu. Ini, sepupu saya Kasman bawa anaknya kemari dengan suatu hajat melamar anak bapak."Angga hanya menunduk. Saat ini Ina tidak berada di rumah karena sedang pergi ke kota bersama ibunya. Di rumah hanya ada Nadi dan Galuh saja."Wah, sangat tidak terduga. Angga, kamu yakin ingin menikahi anak gadisku, apa kamu siap mendapat olokan dari para warga karena fitnah yang beredar di luaran sana?""Apapun itu, saya siap Pak. Saya tidak peduli dengan kata orang yang tidak terbukti itu.""Baik, baik. Kamu tahu kan kalau aku punya dua anak gadis?"Angga mengangguk."Siapa yang ingin kamu jadikan istri?" tanya Nadi lagi."Galuh, Pak. Anak bungsu Bapak.""Owalah, Galuh. Padahal Ina anak pertamaku loh, dia juga belum menikah. Kenapa kamu milih Galuh."Angga menatap kepada Kasman.Kasman pun mengambil alih pembicaraan. "Begini, Pak. Anak saya ini katanya sudah lama menaruh rasa pada Galuh, anak bapak. Maaf jika...""Aaa, tidak perlu meminta maaf. Bagiku tidak masalah, mau anak pertama yang lebih dahulu atau anak terakhir ya bukan masalah besar. Kalau Nak Angga maunya sama Galuh, silakan. Keputusan sepenuhnya pada Galuh sendiri."Angga yang tadinya sangat gugup itu pun mulai merasa lega karena jawaban Nadi yang sangat santai itu. Nadi pun memanggil Galuh, sehingga Galuh yang menawan dengan balutan kerudung itu keluar menemui tamunya."Galuh, ini Angga datang kemari untuk melamarmu. Bagaimana, kamu terima atau tidak?" tanya Nadi.Galuh menunduk, wajahnya memerah malu-malu. Ia memang telah mengetahui Angga namun mereka berdua memnaglah tidak pernah bercakap berdua sekalipun."Galuh, gimana?" tanya Nadi lagi karena Galuh tak jua memberi jawaban."Diam tandanya mau," ujar Fandi."Apa benar kata Fandi, Galuh?"Akhirnya Galuh menjawab dengan anggukan. Sehingga acara lamaran ini pun berjalan dengan semestinya. Angga telah mengikat Galuh dengan seutas cincin emas.Setelah Ina mendapatkan kabar itu, ia tak mau lagi berbicara dengan Galuh. Dia marah besar dan memutuskan untuk tidak pulang ke desa dalam beberapa waktu. Namun, Nadi tak akan membatalkan pernikahan Galuh dengan Angga yang hanya akan membuatnya malu saja.Galuh tidak tahu alasan Ina menjauhinya, Ina juga tidak pernah mengatakan jika ia mencintai Angga, calon suami Galuh. Hingga pernikahan pun digelar tanpa acara besar-besaran.Nb: Apa itu pirunduk? Pirunduk adalah semacam pelet, mantra cinta atau mantra penunduk yang biasa digunakan seorang istri yang suaminya tak lagi mencintainya atau seorang perempuan yang mencintai seorang laki-laki agar tunduk dan cinta padanya."Ngapain lagi Ina ke tempat Mbah Iwa. Pasti ada yang nggak beres ini." Amin bermonolog setelah melihat Ina yang baru saja keluar mengendap-endap dari rumah Mbah Iwa yang terkenal sebagai orang pintar atau dukun di desa ini..."Bismillahirrahmanirrahim." Lantunan lembut terdengar dari arah kamar Galuh di tengah malam yang sunyi, sudah menjadi kebiasaannya bangun di sepertiga malam untuk melaksanakan salat tahajudnya.Baru separuh ayat ia baca, tiba-tiba Alif berteriak ketakutan seperti beberapa hari ini yang terjadi padanya.Galuh gegas mendatangi dengan terbirit-birit, dibacakannya terus menerus ayat kursi di telinga anaknya itu. Angga malam ini tak pulang karena ia jadwal kerja malam. Setiap kali Angga tak ada di rumah, maka Alif akan seperti ini."Sayang, istighfar! Istighfar, ingat Allah!"Kali ini bacaan dan ucapan Galuh tidaklah mempan, Alif masih mengamuk dan berteriak tanpa henti. Galuh pun gegas menuju kamar Ina untuk meminta bantuan, namun tak ada jawaban dari dalam sana."
"Ina, darimana kamu semalam?" tanya Amin."Aku, darimana? Ya, nggak darimana-mana lah paman.""Bohong! Kamu habis dari rumah Mbah Iwa kan? Ayok, ngaku kamu!" Amin berusaha memojokkan Ina.Ina mengalihkan pandangan, ia juga gegas menyalakan mobilnya namun cepat sekali Amin mencabut kunci mobil dari luar mobil Ina. "Jawab. Ngapain lagi kamu ketempat Mbah Iwa. Kata kamu kan sudah insaf, kenapa kamu kembali lagi padanya?""Paman, diam! Ini urusan aku, bukan urusan paman. Terserah aku dong mauku gimana, nggak usah ngatur hidup aku!" Ina merampas kembali kunci mobilnya dari tangan Amin dan ia pun melakukan mobilnya.Amin beristighar, sebelumnya sudah berapa kali ia berusaha mengingatkan Ina untuk bahayanya berurusan dengan hal semacam itu namun Ina sangatlah bebal. Ia malah mengikuti jejak mendiang ayahnya."Ina, entah apa yang engkau rencanakan kali ini. Bagaimana pun, aku tak akan membiarkan kau merusak kehidupan siapa pun lagi."Ina baru saja pulang berbelanja dari kota, ia dengan riang
Galuh telah menyiapkan baju kerja milik Angga, sedari tadi ia menunggu hadir suaminya yang katanya pergi keluar mencari sesuatu itu. "Dimana Mas Angga, sebentar lagi dia harus segera berangkat kerja." Berulang kali Galuh mencoba menelpon Angga namun sama sekali tak ada satupun panggilan darinya yang dijawab. Suara hentak kaki mendekati kamar, Galuh sudah menduga jika itu adalah suaminya. "Mas, pakaian kamu!" Betapa terkejutnya Galuh karena bukanlah Angga yang datang, melainkan orang lain. "Astagfirullah," ucap Galuh. "E, Galuh. Kamu ada di sini?" tanya lelaki berbadan tinggi dengan rambut yang sedikit ikal itu. Dia adalah Ridwan, sepupunya Ina dan Galuh yang tinggal di Jawa. Ina memang sudah memberitahu Galuh akan hal itu jika sepupu mereka akan datang dan Ina juga memberitahu jika ia pergi untuk menjemput Ridwan ke bandara. "Iya, Ridwan. Baru mau sebulan aku di sini," jawab Galuh. "Oh iya, Kak Ina nya mana?""Nggak tahu aku. Aku ke sini naik ojek tadi. Tapi, Ina ada WA aku katan
Galuh menatap heran pada Ina yang tengah asyik menekan layar gawainya di sofa. Sesekali ia tertawa dan tersenyum ria. Nampak saja kebahagiaan dari sorot dua matanya. "Galuh, ngapain kamu liatin aku kayak gitu? Kenapa, nggak pernah lihat orang yang lagi pacaran, heh? Ke dapur sana, masakin makan malam buat Ridwan!" titah Ina. Galuh hanya mengangguk dan gegas pergi ke dapur. Ia pun mulai memasak. Tiba-tiba Ridwan mendatangi Galuh. "Wih, masak apa nih wangi bener." Ridwan menengok masakan yang masih beradu di dalam panci. Galuh tersenyum simpul. "Masak sop ayam," jawab Galuh. "Enak bener nih. Udah lama banget nggak makan sop ayam pakai kuah telur itik." "Hehe, sebentar lagi matang kok. Kamu tunggu aja dulu." "Siap!" Ridwan pun melenggang dari samping Galuh, ia gegas mengeluarkan gawainya yang berdering. 'Assalamu'alaikum, Paman. Ada apa?' Terlihat Ridwan tengah menempelkan gawainya ke telinga. 'Apa? Baik, Ridwan secepatnya ke sana.' Mendengar ucapan Ridwan dan ekspresi yang beru
Pemakaman dilaksanakan malam ini jua, digiring banyak orang menuju liang lahad. Amin mengikuti setiap rangkaian pemakan, ia juga mengazankan istrinya di tempat peristirahatan terakhir istrinya. Alunan azan yang dibubuhi dengan nada yang menyayat hati, membuat semua yang hadir juga merasakan kesedihan yang bertengger di hati Amin. "Ummi, kenapa nenek Adah nangis?" tanya Alif yang langsung membuat Galuh kaget. "Nak, kamu lihat nenek? Di mana?" tanya Galuh penasaran. Sedangkan mayat Adah sudah masuk ke dalam liang lahad. "Itu, Ummi." Alif menunjuk ke arah dekat Amin. Galuh menelan berat salivanya, getaran di dadanya memacu dan menderu. 'Acil, apakah ada sesuatu yang membuat acil tidak tenang?' Kesedihan menghujam kembali hati Galuh. Proses pemakaman pun selesai setelah talkin dan doa dibacakan. Perlahan, orang-orang pun beranjak pergi kembali menuju rumah mereka masing-masing. Tinggallah Amin, Ridwan, Galuh dan Alif. Amin masih menatap lekat onggokan tanah yang telah menimbun seluruh
Sesampainya Galuh di rumah, nampak Angga sedang tengah menunggu Galuh dan Alif, sorot matanya panas. "Assalamu'alaikum, mas," ucap Galuh yang baru saja turun dari mobil. Angga tak menjawab salam, ia menatap ke arah Ridwan yang tak turun dari mobil. "Masuk!" titah Angga pada Galuh dan Alif. "Ayok, Nak. Kita masuk!" "Hey, Angga. Lama tidak bertemu!" sapa Ridwan dari mobil. Angga hanya menjawab dengan anggukan. "Aku kembali ke rumah paman," ucapnya. "Iya," jawab Angga singkat. Mobil pun beranjak dari depan rumah. Angga melengos masuk ke rumah dan menutup pintu dengan keras, sedangkan Galuh dan Alif sudah masuk ke dalam kamar. Galuh yang melihat ekspresi Angga yang tidak begitu enak dipandang itu pun meminta Alid untuk pergi ke kamar mandi. Khawatir jika terjadi sesuatu yang todak pantas untuk disaksikan oleh anak kecil. "Alif, kamu cuci kaki sama tangan dan gosok gigi sama ambil wudhu dulu ya sebelum tidur!" ucap Galuh sangat lembut. "Iya, ma." Gegas Alif
Angga telah kembali ke kantornya karena memang jadwalnya bekerja malam. Galuh tak bisa memejamkan mata, rasa sakit hatinya tak jua menuntunnya untuk pergi ke dunia mimpi. Sesak di dada tak jua pudar, Galuh hanya bisa meneteskan air mata tanpa suara isak dari kedua bibirnya. 'Mas, kenapa kamu berubah?' pertanyaan yang sama selalu menghantui pikiran Galuh kala ini jua. Jam telah menunjukkan pukul satu malam. Suara isakan terdengar mendayu, Galuh gegas menajamkan gendang telinganya. "Kak Ina?" Galuh bermonolog. Galuh pun mengambil jilbab dan memasangnya, gegas ia menuju kamar Ina. Ia pun mengetuk pintu kamar Ina perlahan. "Kak, Kakak. Kak Ina.." Berulangkali Galuh berusaha memanggil Ina, namun tak ada jawaban. Suara tangisan itu juga tiada terdengar lagi setelah Galuh keluar dari biliknya. Galuh pun meraih knop pintu kamar Ina, namun ternyata pintunya tidak dikunci. Dengan penuh pertimbangan, Galuh pun akhirnya memberanikan diri membuka pintu kamar Ina. Gelap, tidak ada cahaya sed
Kejadian menyedihkan itu telah berlalu seminggu lamanya, kian hari Angga semakin berubah kembali sikapnya semula. Angga datang dari kantornya, tak lupa makanan ia bawa untuk istri dan anaknya setelah lebih dari seminggu ini ia tak membawanya. "Assalamu'alaikum, sayang," ucap Angga. Tapi yang ia dapati ternyata Galuh sedang tertidur dengan Alif. Angga tersenyum simpul lalu mengecup lembut rambut Galuh, membuat Galuh terbangun dari tidurnya. "Maaf sayang Mas ganggu tidur kamu ya?" ucap Angga. Gegas Galuh bangkit. "Mas, kamu udah pulang. Astaghfirullah, maaf mas, Galuh ketiduran." Galuh mengucek kedua matanya. "Nggak papa. Itu Alif nggak sekolah?" tanya Angga seraya melepas jaket dan baju kerjanya. Mengganti pakaian. Galuh turun dari ranjang, ia gegas mengambil kerudung dan memasangnya. "Katanya Alif nggak enak badan, Mas. Udah seminggu ini badannya dingin. Makanya aku nggak izinin dia buat sekolah dulu hari ini." "Demam?" tanya Angga. "Enggak, Mas. Aku sudah bu
Berbulan-bulan telah berlalu, Galuh merasa sangat tenang tinggal di rumah Ustaz yang menampungnya saat ini. Ia juga ikut salat berjamaah dengan para jamaah perempuan dan berinteraksi dengan orang-orang yang sangat lemah lembut dan beragama yang kuat. Hari ini ustaz beserta rombongan pergi lagi ke kampung tempat Sari berada dan ini bukan kali pertama namun sudah yang kesekian kalinya. Galuh tidak bisa diam sembari menanti kabar. “Tenang, mbak Galuh. In syaa Allah semuanya akan baik-baik saja.” Istri ustaz menenangkan Galuh. “Iya, bu ustazah. Semoga saja semuanya baik-baik saja.” Tidak berapa lama suara gesekan kaki terdengar. “Assalamu’alaikum.” “Waalaikumussalam,” jawab orang yang berada di dalam rumah. “Nah itu pasti mereka,” tebak istri ustaz. Galuh beserta yang lain pun gegas berdiri dan tidak sabar dengan berita yang akan mereka terima. Benar saja, rombongan yang tadi pagi berangkat itu sudah kembali dengan jumlah yang lengkap bahkan jumlah mereka bertambah, sumringa
“Assalamu'alaikum,” ucap Galuh mengetuk pintu. Tidak berapa lama ada jawaban dari dalam. “Waalaikumussalam.” Pintu pun terbuka, nampaklah sosok perempuan yang mengenakan hijab labuh dan lebar yang sedang tersenyum pada Galuh. “Nyari siapa ya, mbak?” tanyanya. Galuh mengeluarkan kertas yang sudah Sari berikan padanya. “Saya Galuh, mbak. Temennya Sari.” Galuh pun menyerahkan kertas tersebut. “Sari?” ucapnya sembari membaca kertas dari Galuh itu. “Mas, sini mas!” panggilnya. Hingga munculah sosok lelaki dengan wajah teduh dan basah dengan air wudhu. “Kenapa, sayang? Eh, ada tamu. Kenapa ndak disuruh masuk?” “Astagfirullah, kelupaan. Maaf ya, mbak. Silakan masuk!” “nggih, makasih.” Galuh pun masuk ke dalam rumah. “Ini loh, Mas. Sari, ada kabar dari Sari.” “Sari..” Keduanya pun nampak serius membaca kertas tersebut. Setelah itu pun mereka meminta Galuh menceritakan semua yang telah Sari ceritakan padanya sebagaimana sesuai dengan instruksi Sari sebelumnya. “Jadi begitu, ya Allah
Mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan mereka, hingga akhirnya mereka sampai pada sebuah gerbang yang bertuliskan “kuburan muslimin” Galuh pun menatap ke arah Sari. “Ada yang mau aku ziarahi, mau ikut ke dalam atau nunggu di sini?” tanya Sari. “Jika dibolehkan aku ikut,” jawab Galuh. “Tentu saja boleh, Galuh. Mari!” Galuh dan Sari pun masuk ke dalam gerbang itu, hamparan tanah luas yang sudah mulai sesak dengan batu nisan dan gundukan tanah memenuhi pandangan mata. Sari menuju satu pekuburan yang berada dekat pohon besar yang diikat dengan kain berwarna kuning paling pojok pekuburan. Ia duduk bertelimpuh kaki dekat kuburan itu yang diikuti oleh Galuh. Sari nampak sedang menabur bunga di atas kuburan serta air doa, Galuh yang tak ingin memgganggu itu pun hanya diam dan mendoakan dalam hatinya. “Galuh, kita sama-sama tahu rasanya kehilangan orang yang sangat kita sayangi. Kamu pastinya mengeetj bagaimana perasaaku,” tutur Sari yang mana rona di wajahnya berubah menjadi sendu.
Kejanggalan mulai lebih terasa oleh Galuh, terlebih bentuk gangguan dari makhluk sebelah yang membuat Galuh bahkan tidak bisa memejamkan matanya hingga kokokan ayam subuh menggema. Bukan hanya itu, ia juga sering kali mendengar Indah yang berteriak di tengah malam namun tidak ada satupun yang menghiraukan. "Ridwan," panggil Galuh dari balik pintu. Tidak berapa lama Ridwan dengan muka bantalnya membuka pintu. "Ada apa Galuh? Kamu lihat hantu lagi?" tanya Ridwan setelah menguap. "Maaf mengganggu waktu tidurmu, tapi tadi aku denger tante Indah teriak. Takutnya dia kenapa-napa," jelas Galuh. Ridwan membalasnya dengan seutas senyuman. "Ibu memang seperti itu kalau jam segini, Galuh. Maaf kalau teriakkan ibu mengganggu tidurmu, kamu ndak perlu khawatirin ibu, dia ndak kenapa-napa kok." "Tapi, Wan." "Tapi apa, Galuh? Ya sudah, aku bilangin ibu dulu ya jangan teriak-teriak biar kamu bisa tidur." "Ndak, bukan gitu, Wan. Aku cuman takut terjadi apa-apa aja ke tante." Ridwan mena
Di tengah malam yang sangat sunyu, suara gonggongan anjing memekak telinga, Galuh yang masih terjaga lantas saja membaca doa. Sudah dua malam ini dia tinggal di rumah Ridwan, sangat sulit baginya untuk memejamkan mata. Ketakutan menghantui Galuh setiap kali ia menuju alam mimpi, mimpi buruk memenuhi alam bawah sadarnya. Pula, terdengar bisikan memanggil nama Galuh tepat di samping telinganya, namun tiada siapapun ia dapati. Galuh menaruh mushaf kecilnya ke atas nakas, perlahan ia membuka pintu agar tidak menimbulkan suara berisik yang dapat membangunkan penghuni rumah. Tenggorokan Galu terasa kering dan botol air yang tersedia di kamarnya sudah tiada berisi. Ia dengan terpaksa keluar kamar mengambil air ke dapur. Setelah mengambil air dan berniat untuk kembali ke kamar, terdengar suara aneh dari dalam kamar Indah. Galuh merasa penasaran, namun ia juga tidak berani bertindak semena-mena di rumah orang. "Galuh, jangan! Ini bukan rumahmu. Cepat pergi ke kamar!" gumam Galuh pada meme
Tatkala kamar terbuka, sebuah aroma busuk mulai menyeringai masuk ke rongga hidung. Galuh berusaha menahan rasa tidak sukanya, terlebih ia sedang mengandung yang mana tidak bisa mencium bau aneh apapun. Kamar dengan cahaya redup, tidak ada cahaya dari celah jendela atau pun dari celah ventilasi udara, sangat pengap dan berhawa panas. Semakin masuk ke dalam, terdengar suara rintihan kecil yang semakin meninggi. Galuh dengan erat memegangi ujung jilbabnya, ada gelitik rasa takut di dadanya namun ia tetap harus melangkah maju mengekori budhe yang sedang berjalan di depannya. "Galuh, kamu mual?" tanya budhe yang tiba-tiba menghentikan langkah kakinya. Galuh menelan ludah dengan pelan. "Tidak, budhe." "Jangan bohong, kamu sekarang sedang hamil pasti sangat mual kan? Sebentar lagi ya, kita tidak akan lama di sini. Setelah bertemu dengan Indah, sudah bertahun-tahun ia ingin bertemu denganmu." Akhirnya, mereka sampai pada kain tipis tembus pandang berwarna kuning yang dibuat
Setelah subuh, Galuh gegas untuk mengambil sapu dan menyapu lantai. Ia sibuk dengan pekerjaan rumahnya. "Galuh, sudah. Biar aku saja, kamu ndak perlu repot- repot gini." Tiba-tiba Ridwan datang dari pintu belakang. "Nggak papa, Wan. Lagian aku capek kalau cuman duduk diam nggak ngelakuin apa-apa. Boleh ya aku bantuin bersih-bersih rumah, masak dan kalau ada yang bisa aku bantu-bantu aku bakal ngerasa lebih nyaman." Galuh memegangi erat batang sapu sembari memohon kepada Ridwan. Ridwan menghela napas panjang, kemudian ia tersenyum dan mengangguk. "Ya sudah kalau itu mau kamu. Anggap aja ini rumah kamu, kamu boleh ngelakuin apa saja yang bisa bikin kamu senang dan nyaman. Tapi ingat, jangan sampai kecapean!" "Siap. Makasih, Wan." Galuh dengan senang hati melakukan segala kegiatan yang telah ia rancang. Saat Galuh asyik membereskan rumah serta mengumpulkan sampah-sampah yang tidak terbuang dari sudut-sudut rumah, tiba-tiba ia terhenti tatkala mendengar suara perempuan yang
Saat Galuh merebahkan badannya, ia teringat akan isi tas yang sedari tadi ia jaga. Galuh kembali bangkit fan mengambil tas miliknya yang ia taruh di atas nakas, ia pun membawa tas tersebut bersamanya ke atas ranjang, Galuh duduk di bibir ranjang dan perlahan membuka tas miliknya. Galuh mengeluarkan kotak kecil pemberian Salma padanya, menatapnya perlahan dan menaruhnya kembali ke dalam tas. "Aku masih penasaran dengan maksud Salma. Apa yang akan aku ketahui nantinya tentang Ridwan?" gumamnya yang kemudian ia mengambil ponselnya yang juga berada di dalam tas itu. "Astagfirullah sudah jam segini. Aku harus segera melaksanakan sholat." Galuh gegas kembali berdiri dan menaruh kembali tasnya di atas nakas. Galuh pun berjalan menuju dapur karena sudah diberitahu oleh budhe di mana tempatnya. Langkah kaki Galuh nampak pelan agar tidak membuat keributan menapak lantai semen tanpa kramik. Saat ia menyibak kain yang menjuntai di tengah pintu yang menjadi pembatas antara ruangan teng
Mereka berdua sudah sama-sama berada di dalam mobil taksi. "Wan, kamu sudah sampaikan permintaan maafku?" tanya Galuh yang duduk di samping Ridwan, namun dipisah tas besar yang berada di tengah mereka berdua. "Sudah, Galuh. Aku sudah sampaikan permintaanmu pada paman. Kata paman, pasti akan dia sampaikan. Kamu tenang saja," jawab Ridwan. Galuh pun menghembuskan napas pelan, kemudian menyandarkan punggungnya sembari memejamkan mata. Ridwan melirik pelan ke arah Galuh, lalu tersenyum dengan lembut. 'Ridwan sangat baik, aku nggak akan bisa berpikiran yang aneh-aneh padanya. Salma, mungkin prasangkamu telah salah,' gumam Galuh dalam hatinya. "Galuh, kamu yakin ndak mau ziarah ke makam Alif dulu sebelum pergi?" tanya Ridwan. Galuh gegas membuka matanya, kemudian menilik ke arah Ridwan yang berada di sebelah kirinya. Perlahan kepalanya mengangguk. "Aku takut, Wan. Kalau aku ke sana aku bakalan ngerasa sedih lagi dan pingsan lagi. Jadi, aku rasa lebih baik begini. Tapi, doa