Talia pergi dari rumah itu. Dia tidak bisa mengendalikan emosi. Rasanya, kata maaf selama lima tahun bersama itu sudah cukup. Andai dia berikan lagi kesempatan, pasti Guntur akan melakukan hal yang sama lagi.
Guntur mengejar Talia yang pergi hanya mengandalkan sandal jepit. Tidak ada motor apalagi mobil yang membantunya berlari. Dia hanya seorang diri. “Talia, jangan gil* kamu, ya? Kamu mau nyakitin hati orang tua kamu? Kalau kamu ketahuan mau cerai, mereka pasti akan sangat sedih. Kamu mau mereka sakit?” Di tepi gerbang Guntur menarik tangan istrinya dan bicara dengan suara keras. Tentu saja tetangga dekat rumah bila sedang ada di luar pun, pasti mendengar perdebatan mereka. “Luapkan saja amarah dan alasan kamu, Mas. Gak ada alasan lagi untuk aku bertahan. Aku sudah muak sama kamu!” tandas lagi Talia dengan nanar. Tangannya pun langsung melambai pada sosok pengendara ojek di kejauhan sana. “Arkh, kamu benar-benar, ya? Oke, silahkan saja kamu pergi! Aku gak akan merayu lagi agar kamu kembali lagi ke rumah. Dan ingat, tidak ada harta gono-gini di perceraian kita. Aku gak akan kasih kamu apapun!” Guntur yang terpancing emosinya itu, kini lagi-lagi memutuskan dengan tegas. “Harta saja yang kamu pikirkan. Makan saja harta kamu dengan selingkuhan kamu, Mas. Aku lebih sayang sama hati dan perasaanku. Apa kamu pikir aku juga gak mampu tanpa kamu? Ingat ya, aku juga pernah kerja, hanya resign setelah kamu suruh!” Guntur semakin mengangkat dadanya. Dia melihat kali ini istrinya itu benar-benar marah besar. Kenapa tidak seperti dulu lagi yang mudah dibujuk dan dirayu dengan kata maaf? Ah, ini benar-benar menyebalkan. Guntur mengumpat dan menggerutu dalam hatinya. “Mbak, panggil saya? Mau ngojek, Mbak?” Roda dua yang tadi dipanggil itu mendekat. Orangnya bicara. “Iya, Mas. Antar saya pergi.” Talia langsung meminta helm pada pemilik motor itu. Dia pun langsung naik dan duduk di jok dengan keadaan wajah yang nyaris masih basah kuyup. Guntur hanya melihat dengan tatapan yang mengerikan. Dia tidak berbuat apa-apa lagi, karena pikirnya, dia gengsi di depan orang harus memohon istrinya kembali. Baiknya dia membiarkan Talia dibawa oleh ojek itu. Dan akhirnya istri yang dia selingkuhi itu benar-benar pergi. “Arkh!” Guntur melayangkan tangannya dengan gerakkan memukul keras. Taringnya terlihat seperti gen deruwo yang melihat musuh. Kini dia pun kembali masuk lagi ke dalam rumah dua lantai miliknya itu. Guntur langsung berinisiatif untuk menghubungi ibunya. Dia ingin meminta bantuan untuk membujuk Talia. Bagaimanapun juga, seharusnya Talia tidak meminta cerai darinya. Dia tidak ingin pisah, karena maunya nambah istri saja. Bukan seperti ini jadinya. “Halo, Tur?” sahut seorang wanita paruh baya di seberang sana. Tidak lain dan tidak bukan, tentu saja dia adalah ibu kandung Guntur. “Halo, Ma. Ma, Talia pergi dari rumah.” Tanpa basa-basi Guntur langsung bicara. Mendengar aduan tersebut, tentu saja ibunya Guntur yang bernama Lastri di jauh sana pun terkejut. “Apa? Pergi dari rumah?” Wanita yang sedang asyik-asyiknya menonton serial drama di televisi itu pun bangkit. Dia simpan wadah kacang almond yang dipegang, di atas meja. “Iya, Ma.” “Kenapa bisa? Dia kabur sama laki-laki lain?” tanya Lastri yang sangat penasaran. “Em, bukan, Ma. Tapi … tapi aku yang ketahuan selingkuh lagi. Tapi kali ini dia gak bisa dibujuk. Talia malah pergi.” Guntur menghempaskan tubuhnya di sofa dengan keras. Nafasnya berembus dengan garang. Sesekali ia pun menggaruk tempurung kepalanya yang tak gatal. “Ya ampun, Guntur, Guntur. Kamu jangan-jangan selingkuh lagi sama si Ineu itu, ya?” ucap Lastri sambil menggelengkan kepala. “Ya. Tolong jangan sampai Talia minta cerai dari aku, Ma.” “Lho, kenapa juga kamu gak mau bercerai? Itu salah kamu juga lah.” Lastri menarik kedua ujung bibirnya. “Ma, apa yang akan orang kantor katakan tentang aku? Aku pasti disangka laki-laki yang gak bisa urus keluarga. Pasti juga berita ini akan menyebar. Aku pasti dibuat malu.” Guntur menjelaskan dengan kesal. “Salah kamu sendiri sih, Tur. Ya sudah kalau gitu kamu nikah aja sama si Ineu itu. Gak usah pikirin soal omongan orang,” saran ibunya. “Ma, tolong dong, Ma. Nanti aku akan kasih Mama uang buat belanja. Tolong bujuk Talia.” Alih-alih setuju, Guntur malah memohon pada ibunya. “Jadi Mama musti gimana?” tanya Lastri sambil meninggikan kedua alisnya. “Ya datang ke rumah orang tua Talia. Bujuk Talia dan mereka, dan pastikan Talia mau memaafkan aku,” pungkas Guntur. “Kalau gak berhasil?” ujar Lastri lagi. Lalu kini tangannya merayap lagi untuk mengambil cemilan. Dengan enteng dia bicara sambil mengunyah, seakan putranya itu tidak sedang melakukan kesalahan besar. “Ya coba dulu, Ma.” “Hem, ya sudahlah. Tapi, Mama butuh buat bayar air sama listrik. Transfer dulu uangnya, Mama akan ke sana malam ini juga.” Akhirnya Guntur sedikit tersenyum mendengar jawaban ibunya. “Oke, Ma. Oke. Aku transfer setelah ini.” “Kamu juga ke sana, kan?” Lastri memastikan lagi. “Mama saja lah. Aku tadi udah terlanjur ngusir dia juga.” “Ya ampun. Ya sudah deh. Dasar kamu ini. Masalah beginian, musti Mama yang turun tangan!” “Kan waktu itu juga Mama berhasil, Ma. Semoga sekarang juga berhasil. Soalnya Talia itu istri penurut. Dia juga bisa urus rumah tanpa pembantu.” “Iya bener. Dia juga sering Mama panggil kan buat bantu-bantu di sini, dan dia baik-baik aja. Gak pernah kelihatan marah apalagi kesal. Sayang banget sih dia itu. Kan rajin. Cantiknya juga lumayan lah.” “Nah kan? Tolong ya, Ma?” “Oke, Tur. Mama nanti ke sana. Jangan lupa ya?” “Iya, iya. Uang aja, cepet.” “Ya mau apalagi? Segalanya butuh uang.” “Oke, oke.” Seperti perpaduan cocok antara ibu dan anak. Tidak ada sama sekali dari mereka yang bisa bertindak dewasa apalagi berlaku bijak. Ting! Akhirnya Lastri tersenyum setelah melihat notifikasi dari m-banking yang dia miliki. Nominal uang yang lumayan sudah masuk ke dalam rekeningnya. [Ok, Mama otw] Pesan itu dikirim Lastri untuk putranya yang telah berselingkuh. Pergi ke kamar untuk bersolek dan berganti pakaian, Lastri pun segera pergi menuju rumah orang tua Talia. Menggunakan mobil hatchback yang dia dapat tentu dari putranya sendiri. Sejak dulu memang dia sudah bisa mengemudi. Jadi, meski usia sudah dibilang paruh baya, dia tidak kesulitan. Meski seorang janda, dia bisa pergi ke mana-mana sendiri. Tak berselang lama, Lastri sudah tiba saja di rumah besannya. Rumah satu lantai yang sangat campernik, asri dan juga tanaman di depannya tertata rapi. Tapi, omong kosong dengan itu semua. Dia datang bukan untuk mengapresiasi kondisi rumah besannya. Tapi, untuk mengajak kembali menantunya pulang. “Lihat saja, Mama akan berhasil, Guntur. Lagian, Mama juga masih butuh Talia. Daripada harus bayar pembantu, lebih baik mempertahankan menantu. Hemh.” Dengan menaikkan leher sedikit, Lastri berjalan dengan sangat elegan. Tas kecil ditentengnya, dan kini dia pun sudah melepas sandal untuk menginjak teras rumah besannya.“Maaf, Ma, Talia sangat sakit hati. Dan ini bukan untuk kali pertama.” Lastri sudah tiba di rumah orang tua Talia. Tentu saja beberapa menit yang lalu dia sudah menjelaskan maksud kedatangannya. Dia percaya diri bahwa kali ini pun akan berhasil membujuk menantunya. Orang tua Talia yang tidak terlalu banyak ikut campur, memilih tetap diam sambil menyimak. Mereka juga belum begitu tahu banyak. Karena Talia belum sempat curhat segalanya. Lastri pun buru-buru datang sebelum membiarkan Talia terpengaruh oleh ibu dan ayahnya. “Pikiran tentang masa depan kalian, Talia. Guntur itu sudah mapan. Maaf, bukan membaguskan anak sendiri. Tapi, tidak banyak laki-laki yang punya pekerjaan bagus dengan gaji tinggi, Talia.” Lastri seperti seorang salesgirl yang terus mempromosikan putranya. Padahal di mata Talia, Guntur sudah jelek sejelek-jeleknya. “Maksud Mama, gaji Mas Guntur besar itu seberapa ya, Ma?” Alih-alih mendapatkan jawaban atas permintaan, Lastri malah dilempar pertanyaan tentang
Mendengar tuturan kalimat Talia yang diduga manis namun akhirnya malah terasa menyindir, sontak membuat dada Lastri terangkat habis. Paruh baya yang sudah tak memiliki suami itu kini membuat sorot matanya refleks menajam. Dia kecewa, kenapa bisa Talia mengeluarkan racun namun seperti dikemas oleh madu?“Oh, jadi seperti itu ya, Bu Lastri? Saya tidak pernah tahu selama ini kalau anak saya sering dipanggil ke rumah Bu Lastri untuk bantu-bantu. Sesering itukah? Ya ampun, Bu, saya saja gak berani kalau anak sudah berumah tangga. Kalau seperti itu, namanya bukan mantu harus berbakti. Jangan-jangan anak saya dijadikan pembantu ya? Pantas saja saya heran. Suami anak saya katanya manager, gajinya besar. Tapi di rumah anak saya yang besar kok tidak ada pembantu ya? Jadi begitu ceritanya?”Ibu Talia yang sejak tadi menahan kesal, kini akhirnya memberanikan diri membuka suara. Dia baru bisa bicara setelah tahu kenyataan putrinya diperlakukan selama ini. “Eh, Bu Titi jangan asal bicara ya? Kenap
“Apa? Mama gagal bujuk Talia pulang?”Guntur mengangkat kasar tubuhnya yang sedari tadi duduk karena kesal dengan ibunya. Apa yang diharapkan nyatanya tidak bisa terjadi. Lastri tidak bisa membujuk Talia.“Ya mau bagaimana lagi, Tur? Sudahlah, Mama gak mau lagi ke sana. Muka mamamu ini mau ditaruh di mana? Tadi aja sama ibunya si Talia Mama malah diusir pakek sapu!” Lastri yang sempat membuat kesal anaknya itu kini tidak mau salah sendiri. Dia tidak ingin disalahkan karena tidak bisa mengembalikan keadaan.Guntur memijat kepalanya dengan keras. Satu tangannya berkacak pinggang, yang seakan-akan pasti ambruk kalau tak dipegangi dengan erat.“Mama tadi sudah pede akan bawa Talia pulang. Kok bisa jadi gagal? Mungkin drama Mama kurang kan?” pekik Guntur lagi.“Tahu ah, Mama juga pusing. Ngapain sih kamu pertahanin perempuan yang udah gak mau sama kamu. Ya sudah saja kamu cepet bawa yang baru. Pasti si Talia cemburu dan menyesal sudah tinggalin kamu!” Saran dan masukkan yang dikemas dala
“Tapi, kalau kamu nikah sama selingkuhan kamu itu, uang belanja Mama masih, kan? Gak akan dikurangi?”Tidak lain dan tidak bukan kekhawatiran Lastri hanyalah perihal uang bulanan. Guntur pikir ibunya itu mempermasalahkan apa. Tapi …“Ya ampun, Ma, cuma itu doang? Ya nggaklah, Ma. Malah Ineu kan kerja juga. Dia punya pemasukan, gak seperti Talia yang pengangguran. Kerjaannya cuma minta uang dari aku.” Guntur mengembuskan nafas dengan kasar.“Baguslah kalau begitu. Cepet-cepet aja kalian nikah, karena kamu juga musti ada yang urus. Si Ineu mau cerai juga sama suaminya?”“Iya, Ma. Dia kan gak cinta sama suaminya yang bloon itu. Cuma mau uangnya aja.”“Ya ampun, gak paham sama cinta anak zaman sekarang. Terserah deh, itu keputusan dan urusan kalian. Mama sekarang mau pulang dulu. Mama udah capek dan pegel. Mama mau istirahat. Awas, jangan minta Mama pergi ke rumah si Talia lagi. Malas Mama tuh!” celetuk Lastri dengan wajah yang masih menahan amarah pada keluarga besannya.Tapi, baru saja
Setelah kepergian ibu mertuanya, Talia masih belum bisa menenangkan diri. Menangis sesenggukan atas apa yang dialami berulang kali. Dia tidak pernah menyangka, Guntur akan berbuat hal memalukan dan menjijikan dengan orang yang sama berkali-kali.Kalau tadi dia bisa menghadapi ibu mertuanya dengan tegar, sekarang setelah sendiri, tidak bisa. Apa yang dilihatnya tadi, dan apa yang selama ini terjadi, tidak berhenti mengiang di kepala.“Yang sabar ya, Nak. Ibu dan bapak hanya bisa mensupport kamu. Bagaimana keputusan kamu sebenarnya? Apa kamu benar ingin bercerai?” Titi–ibu kandung Talia kembali membuka suaranya. Setelah sejak lama dia mendiamkan dulu putrinya itu. Mungkin memang sebentar butuh ketenangan. Tapi, sudah cukup. Mereka harus bicara Titi mendekat dan kini ikut duduk di tepi ranjang kamar Talia.Paruh baya itu mengelus lembut punggung putrinya yang sedang terluka hati. Ingin menenangkan, semoga putrinya bisa lebih baik.“Kalau Talia harus ceritakan semuanya, Ibu pasti akan s
“Kamu kenapa, Nak? Apa jangan-jangan ….”Talia sudah faham apa yang dimaksud oleh ibunya. Membuat pikirannya kini terombang-ambing oleh dugaan yang bisa saja benar adanya.Tidak, bagaimana kalau dia tengah hamil? Bukankah selama ini juga Talia tidak memakai KB, karena sulit untuk memiliki keturunan? Ah, haruskah dalam keadaan seperti ini? Di saat rumah tangganya sudah terkoyak oleh orang ke tiga?“Bu, bagaimana ini? Bukan aku menolak rezeki Tuhan. Tapi ….” Talia yang matanya masih merah bekas air mata itu semakin cemas. Kalau benar positif hamil, bagaimana bisa pergi dari Guntur?“Kamu jangan cemas dulu. Ayok bawa Talia ke klinik sambil berobat, Bu. Takut juga Talia masuk angin atau kena asam lambung. Biar kita pastikan semuanya.”Atas saran dari bapaknya, Talia pun manut untuk pergi ke klinik kesehatan. ***Talia masuk ke dalam ruangan dokter. Dia pun menunggu hasil setelah diperiksa darah dan urine sebelumny
Talia sebenarnya ingin mengusir Guntur. Karena pria itu pun telah menjatuhkan kata talaknya.Guntur main nyelonong masuk dan duduk di kursi rumah orang tua Talia. Entah apa yang akan dia katakan pada wanita yang secara hukum tetap masih jadi istrinya itu.Pria itu tidak datang dengan tangan kosong. Ada tas hitam ditentengnya. Mungkin akan pergi ke kantor, karena pakaiannya pun rapi. Hanya saja, kenapa harus ke rumah orang tua Talia dulu?Talia tidak duduk. Dia hanya berdiri karena malas harus menghadapi pria itu. Untuk menyodorkan minuman saja enggan. Biarkan, orang kaya tidak akan kekurangan air di jalan.“Ada apa kamu, Mas? Mau kasih undangan pernikahan?” ucap Talia lebih dulu, yang langsung dijawab kemudian oleh Guntur.“Aku beri kamu kesempatan sekali lagi, Talia. Kesempatan untuk kembali padaku. Bagaimana?”Pernyataan dan pertanyaan itu sontak membuat Talia heran bukan main? Kesempatan? Memang siapa di sini yang berbuat sal
“Ini apa, Mas?”Talia masih belum membuka amplop besar kuning keemasan itu. Yang talinya saja belum diputar untuk bisa dibuka.“Itu adalah keputusan final atas keinginan kamu.”Kening Talia benar-benar mengernyit dengan apa yang dikatakan oleh Guntur. Secepat kilat Talia pun langsung meraba benang yang jadi pengikat amplop itu. Dikeluarkannya isi di dalamnya, dan amplop putihlah yang ada di dalam sana.Tak ingin banyak bertanya lagi, Talia langsung membuka amplop yang tidak direkatkan itu. Sungguh luar biasa, apa yang dia inginkan nyatanya sudah dikabulkan.Talia tersenyum sinis. “Mas, Mas, nyerahin surat gugatan saja pakek drama segala. Dari tadi aja kamu kasih ke aku. Baguslah, aku senang melihat ini. Aku pikir apa.”Guntur kini memasang wajah kesal. Kenapa dia tidak melihat wajah penyesalan di paras istrinya? Kenapa Talia sangat gembira pisah darinya? Padahal, bagi Guntur, gelar janda itu sering diremehkan.Persetan d
Talia saat ini seperti akan dipermalukan oleh mantan keluarganya. Lihat saja, meski dia datang dengan Mirza, tapi sepertinya tetap dipandang sepele.“Talia, datang sama siapa? Laki-laki yang waktu itu mana?” Lastri nyeletuk dengan tatapan yang ingin mempermalukan Talia di depan beberapa orang. Tapi, kini langsung ditegur oleh Guntur yang secepatnya mendekat.“Bu, sudah. Ibu tahu, dia bosku?” Guntur membisikkan kalimat itu pada ibunya. Yang sontak saja itu membuat Lastri mematung diam. Guntur pun kembali ke kursi pelaminan.Talia dan Mirza yang menyadari pun hanya diam saja. Mereka melanjutkan langkah untuk menghampiri kedua mempelai.“Selamat ya, kalian memang cocok.” Talia menjulurkan tangan lebih dulu untuk bersalaman. Dengan penuh kepuasan, Ineu pun menyalami balik. Sedangkan Guntur di samping Ineu, sepertinya merasa gelisah.“Makasih, Talia. Makasih juga udah datang, ya? Ini pasti berat lho!” kata Ineu lagi dengan jumawa. Ingin bicara lebih dari itu, tapi ada mantan bosnya di sana
Talia berjalan bersama sejak awal dengan Mirza. Tidak ada lagi yang di kenali, ya kecuali keluarga dari keturunan Guntur sendiri. Tapi ya itu, mereka hanya cuek saja. Seakan tidak pernah ada hubungan kekerabatan di masa lalu.Entah mungkin otak mereka sudah diracuni oleh Lastri agar tidak menyapa Talia. Hingga saat Talia menyapa mereka pun, tak ada timbal balik yang baik. Membuat Talia jadi malas dan enggan berbaik hati pada mereka.“Ya ampun, Talia, datang juga, ya? Gak tahu malu, udah selingkuh, malah nampakkin muka.”Kalimat itu Talia dengar dari mulut salah seorang saudara Lastri. Yang juga didengar oleh Mirza.“Iya, tukang selingkuh. Bikin malu. Dia mau lepas dari ponakan kita yang seorang manajer kelas atas. Kasihan hidup dia.” Celetuk lagi yang lain. Padahal, selama ini komunikasi Talia dengan mereka juga tidak terlalu sering. Kalau bukan ada hajatan atau keluarga Guntur itu ada keperluan. Mereka tidak pernah akrab. Jadi, bukan masalah juga bagi Talia.Talia pun acuh saja. Dia
“Bu, ayok, katanya mau ikut ke kondangan?”Talia yang sudah berpakaian rapi, juga berpoles dengan sedikit make-up tipis, mengernyit heran. Padahal ini sudah menjelang siang, tapi ibunya belum siap-siap.“Ah, Ibu nggak jadi ikut, Talia. Bapak ngajakin Ibu buat ke kebun.” Alasan ibu Talia yang tiba-tiba berubah dari sebelumnya.“Lho, katanya mau ikut? Katanya pengen lihat istri baru Mas Guntur.” Talia masih coba mengingatkan apa yang sudah ibunya katakan sebelumnya.“Nggak jadi, Talia. Lagipula Ibu malas. Takut kebawa emosi sama ibunya Guntur yang suka nyorocos itu.” Titi menambahkan lagi. Entah ada alasan apalagi yang membuat dia urung seketika.“Seriusan, Bu?” kata Talia lagi. Dia padahal sudah bersiap-siap, dan percaya diri akan hadir ke pernikahan Guntur bersama ibunya.“Iya, kamu saja sendiri ya?” Ibunya Talia nampak berkutat dengan sesuatu.Talia pun jadi bingung. Pergi sendiri memang tidak masalah baginya. Hanya saja, dia di sana perlu teman ngobrol. Entah harus dengan siapa diri
“Ya sudah, Mas, silahkan kalau Mas mau ambil. Saya gak apa-apa kok.”Talia mengalah, menimbang dirinya pun tidak ada pesan dari siapapun untuk membeli makanan tersebut.“Hemh, di mana-mana kamu sukanya pencitraan, ya? Sok baik.”Mendengar itu Talia pun lumayan kesal. Padahal dirinya sudah berbaik hati untuk memberikan pancake, tapi Ardhya malah bicara aneh-aneh.“Oh ya sudah, bungkus, Mbak. Buat saya saja. Saya mau bayar. Totalnya berapa?”Ardhya bingung dengan keputusan Talia yang tiba-tiba saja berubah. Dia pikir wanita itu akan memaksa. Tapi, nyatanya malah omong belaka.“Baik, Mbak.” Pelayan mengangguk dan langsung mengemas pesanan.“Kamu sebenarnya niat ngasih gak, ya?” Ardhya pun protes lagi. Tentu saja Talia jadi sangat kesal.“Maaf ya, Mas, saya tidak suka pencitraan. Jadi saya gak akan kasih ini. Lebih baik saya makan dengan keluarga saya.”Talia langsung mengeluarkan dompet. Dia rogoh isinya untuk membayar pesanan. Sudah hafal estimasi harga, sehingga Talia pun tidak bingung
Setelah keluar dari bank, Talia dikejar oleh Guntur. Tidak peduli meski dia merasa sudah bukan lagi suaminya. Tapi, Guntur masih menyimpan cemas terhadap Talia.“Talia, tunggu! Untuk apa kamu pinjam uang itu?”Ineu yang melihat Guntur lari pun merasa cemburu bukan main. Tapi, di sisi lain dia sedang menunggu panggilan dari teller yang tidak akan lama lagi. Talia menoleh dengan heran. Kenapa Guntur mengikutinya? Dia yang akan segera menghidupkan mesin motor pun urung seketika.“Ada apa ya, Mas? Bukan urusan kamu deh sepertinya, aku mau ambil uang berapapun.” Talia dengan kesalnya menjawab. “Talia, aku yakin kamu pinjam uang kan? Untuk apa? Sudah aku bilang, cerai dariku kamu pasti banyak utang.”Talia mengernyit heran. Kenapa pikiran Guntur selalu merendahkan dan menyepelekannya? Apa sulit untuk percaya kalau Talia memiliki uang dari hal lain?“Pinjam? Pinjam uang? Apa aku harus ya Mas pinjam uang ke bank? Apa kamu juga selalu berpikiran kalau aku ini miskin?”Di sekitar terlihat mas
“Setelah kami menimbang dari segala aspek, kami setuju ambil kesempatan dan tawaran dari perusahaan, Pak. Dan saat ini kami juga sedang mempersiapkan lahannya. Kami sudah memulai menanam untuk siap panen nanti.” Talia kini berada di sebuah ruangan. Dimna sedang ada pertemuan bersama manajer dan kepala pergudangan. “Baguslah kalau begitu, Mbak. Silahkan Mbak dibaca dulu kontraknya. Kalau sudah, kita akan tanda tangani bersama.” Talia pun membaca setiap detail isi dari kontrak kerjasama mereka. Meski dia dulu tidak faham, sekarang perlahan dia mulai harus bisa mengerti dan memahami, bagaimana cara menimbang kerjasama yang baik. Tanpa ada salah satu pihak yang akan dirugikan. Talia juga mencoba sedetail mungkin agar tidak ada penyelewengan. Dalam konteks tersebut, korupsi harga, jumlah, atau lain sebagainya. Semuanya murni dari tangan Talia langsung terpantau oleh petinggi pasar swalayan tersebut. “Baiklah, Pak, saya setuju. Semoga kami bisa konsisten, dan mampu memenuhi kebutu
“Lho, Mama sudah punya nomor rekening, Ineu? Dari kapan, Ma? Aku gak denger nyebutin angka, barusan. Kapan Mama tahu nomornya? Aku juga gak lihat Mama buka hape kayak baca pesan. Ineu kan gak pegang hape.”Guntur langsung menyelidiki keheranannya. Tidak mungkin ibunya itu jadi seorang paranormal yang bisa mengetahui nomor-nomor rekening orang asing.Ineu hanya terdiam dengan gelisah. Dia berharap calon ibu mertuanya tidak bicara jujur apa yang sebenarnya telah terjadi. Tapi, Lastri namanya. Dia tentu saja akan menjawab apa adanya, apalagi ini soal uang. Mungkinkah dia dirugikan?Ineu melirik Lastri, seakan memberi pertanda agar Lastri tidak bicara dulu. Hanya saja, itu tidak bisa dilakukan. Calon mertuanya kini langsung jujur di depan Guntur.“Sebulan yang lalu, Ineu pernah pinjam uang lima juta ke Mama, Tur. Mama juga baru inget lagi. Katanya Ineu mau bayar dan dilebihin. Tapi, nyatanya baru bayar tiga juta ke Mama. Jadi, kapan mau bayar, In?” La
“Apa, pinjam uang?”Lastri yang sedari tadi duduk dengan tenang, kini terperanjat kaget. Seperti dikagetkan macan jantan yang membuat bola matanya nyaris loncat.Kaget? Oh tentu. Pinjam uang sepuluh juta?“Ma, cuma sepuluh juta aja kok, Ma. Sebentar lagi sama Mas Guntur dibalikin kok, Ma. Mama jangan syok gitu ah.”Ineu dengan lihai mengikis jarak dengan calon mertuanya itu. Dia harus sebisa mungkin mengeluarkan jurus rayuan agar Lastri mau meminjamkan uang untuk pernikahan mereka.Guntur hanya terdiam seakan malu oleh ibunya. Malu dengan sikap Ineu yang berani merayu ibunya. Tapi, mau bagaimana lagi? Mereka harus segera melunasi gaun pengantin.Memang tadi datang-datang, tanpa basa-basi mereka langsung mengutarakan maksud. Ternyata, bukan hal bahagia yang Lastri dengar. Malah soal pinjam uang?“Kok bisa kalian gak punya uang sepuluh juta aja? Kamu gajian bulan kemarin masih ada lah, Tur? Terus kamu, Ineu, kamu pasti masih punya sisa uang pesangon kan?”Lastri belum terbujuk. Tanda ta
“Ardhya, sini! Kita makan sama-sama. Ada Talia ini!”Talia tersentak sedikit dengan kehadiran Ardhya. Pria yang sama sekali tidak menyukainya, menurut Talia. Saat ini wanita yang berpakaian rapi dengan rambut diikat satu itu pun sedikit gelisah.Ardhya mengernyit. Dia tiba-tiba saja melihat ibunya sudah mem-booking meja untuk makan siang.“Mama, aku kira di parkiran!” tanya Ardhya dengan heran. Pria berpakaian rapi itu pun mengikis jarak dengan ibunya.Ardhya tidak mengerti juga, kenapa ada saja Talia di sana. Untuk ke dua kalinya bertemu di tempat yang sama. Padahal, menurut Ardhya, jarak rumah Talia ke tempat saat ini, lumayan jauh.“Kamu sedang apa di sini? Bukannya rumah kamu jauh dari sini, ya? Hemh, tapi namanya juga cewek, belanja sama belanja. Ke mana pun dikejar.”Belum ada angin belum ada hujan, tiba-tiba saja Talia mendengar kata-kata Ardhya yang sangat menyentil pendengarannya. Apa maksudnya?“Ardhya!” Bu Wanda menegur putranya yang tengil menurutnya, “kamu yang sopan don