Mendengar tuturan kalimat Talia yang diduga manis namun akhirnya malah terasa menyindir, sontak membuat dada Lastri terangkat habis. Paruh baya yang sudah tak memiliki suami itu kini membuat sorot matanya refleks menajam. Dia kecewa, kenapa bisa Talia mengeluarkan racun namun seperti dikemas oleh madu?
“Oh, jadi seperti itu ya, Bu Lastri? Saya tidak pernah tahu selama ini kalau anak saya sering dipanggil ke rumah Bu Lastri untuk bantu-bantu. Sesering itukah? Ya ampun, Bu, saya saja gak berani kalau anak sudah berumah tangga. Kalau seperti itu, namanya bukan mantu harus berbakti. Jangan-jangan anak saya dijadikan pembantu ya? Pantas saja saya heran. Suami anak saya katanya manager, gajinya besar. Tapi di rumah anak saya yang besar kok tidak ada pembantu ya? Jadi begitu ceritanya?” Ibu Talia yang sejak tadi menahan kesal, kini akhirnya memberanikan diri membuka suara. Dia baru bisa bicara setelah tahu kenyataan putrinya diperlakukan selama ini. “Eh, Bu Titi jangan asal bicara ya? Kenapa ada kata-kata saya jadikan mantu saya pembantu? Gak ada lho. Saya gak ada jadikan mantu saya pembantu. Asal jeplak aja ya Ibu ini?” Lastri mulai tidak terima. “Jelas tadi Ibu hanya diam kan saat anak saya bicara begitu? Itu artinya Ibu ngerasa dong, Bu? Saya tidak menyangka.” Titi menggelengkan kepalanya dengan heran. “Bu, maaf, ya, Ibu jangan berlebihan. Wajar saja saya panggil Talia ke rumah untuk bantu beres-beres. Saya itu kasih dia suami gak main-main. Anak saya itu seorang GM, bukan hanya manajer, tapi lebih tinggi dari itu. Dia gajinya besar, tampan, dan juga mapan. Wajar kan kalau Talia bantu saya? Apa yang dia dapat itu sepadan, bahkan lebih.” Lastri kembali membanggakan putranya. Mungkin dia lupa, kalau kedatangan ke rumah besan itu untuk membawa menantunya pulang. Tapi … “Sudahlah. Ternyata saya salah merestui hubungan anak saya dan putra Ibu. Ternyata begini, ya? Sudah jelas barusan Ibu merendahkan kami. Kami memang bukan orang konglomerat, tapi kami juga punya harga diri. Mungkin saya sebelumnya akan kasih wejangan agar anak saya mempertahankan rumah tangganya. Tapi, sekarang saya sepertinya harus mendukung keputusan anak saya.” Jleb! Kelopak mata Lastri membelalak mendengar argumen sekaligus cambukan dari besan lelakinya itu, ayah Talia. Pria yang sejak tadi hanya diam, kini ikut angkat bicara. Dia tidak bisa melihat anak dan istrinya dipandang sebelah mata. Lalu, bagaimana usaha Lastri? Haruskah dia mengulang momen awal mengemis dengan syahdu? Kalau dia tidak berhasil membawa Talia, dia belum sanggup harus mengerjakan pekerjaan rumah sendiri. Apalagi Guntur juga akan gugur memberinya uang yang besar. Oh tidak … “Pak, Bapak jangan begitu. Tidak baik orang tua ikut campur rumah tangga anak mereka. Biarkan Talia yang memutuskan.” Mendengar keseriusan ayahnya Talia tadi, Lastri jadi semakin kesal. Kalau saja Talia tidak di dekat kedua orang tuanya, pasti rencana akan berhasil. “Ma, Mas Guntur sudah oke kok dengan perpisahan kita. Jadi, sepertinya Mama sekarang pulang saja. Karena Talia juga tidak akan pernah kembali lagi,” pungkas Talia yang membuat Lastri semakin tak percaya. Bukannya Lastri merendah, dia malah lagi-lagi terpancing kekesalannya. Seakan dia ingin membiarkan menantu tidak seberapa baginya itu pergi saja. “Kamu benar-benar ya, Talia. Kamu mungkin kehasut sama orang tua kamu. Padahal, Tuhan itu benci perceraian kan? Saya kecewa sama kamu atas apa yang sudah anak saya berikan. Baiklah, saya sudah muak juga ada di sini. Bukannya terima kasih karena sudah saya bujuk. Kalian malah sok tahan harga!” celetuk Lastri yang sudah tak mau lagi berbasa-basi. Memohon dan meminta agar menantunya mau kembali. Sudah jelas di sini, bahwa apa yang dia katakan tadi hanyalah sandiwara. “Eh, Bu Lastri, jadi begini sifat asli Ibu ya? Ternyata Ibu angkuh juga. Pantas, sekarang saya sangat percaya kalau anak saya tidak diratukan oleh anak Ibu yang jabatannya tinggi itu.” Titi kembali meraung. Dia yang notabene sama seperti ibu-ibu yang lain kalau kesal, tak ingin hanya diam saja. “Eh, Bu Titi kok sewot sih? Emang iya kok, anak saya kasih segalanya sama anak Ibu. Terima kasih dong, bukan gini. Mungkin baju-baju yang dulu jelek udah jadi kain pel. Saya yakin, dia bawa baju banyak ke mari! Itu semua, dari uang Guntur kan?” Lastri mendelik dengan pongahnya. “Maaf, Ma, Talia sama sekali nggak bawa apa-apa dari rumah. Kalau Mama nggak percaya, Talia baju pun nggak bawa sama sekali. Hanya yang dipakai ini yang Talia bawa. Kalau nggak percaya, silahkan tanya anak Mama. Dan satu hal lagi, Ma, Mama nggak perlu pura-pura membujuk. Talia yakin, Mama hanya sayang dengan tenaga Talia kan? Bukan semata-mata agar mempertahankan keluarga kami.” Kembali lagi bola mata Lastri membelalak sempurna mendengar kalimat dari menantunya. Talia yang dulu hanya selalu iya, kenapa sekarang malah bisa membalikkan kata-kata? “Silahkan pulang, Bu Lastri. Pintu sudah membuka.” Titi mengusir perempuan yang masih resmi menjadi besannya. Tentu saja Lastri pun tidak suka. Dia malah bicara dengan mengancam. “Lihat setelah ini, ya? Kalian pasti akan menyesal. Talia, kamu jangan pernah merengek minta kembali. Faham?” tukas Lastri dengan nanar. “Faham, Ma.” Seperti dibangunkan dari tidur di siang bolong mendadak. Lastri kaget dengan jawaban santai menantunya. Bukannya takut, tapi … “Awas kalian!” Lastri pun kini terburu-buru pergi setelah diusir oleh besan perempuannya. Apalagi Titi langsung membawa gagang sapu seperti akan menyuruh pergi seekor ayam yang akan buang kotoran di teras. Momen itu pun membuat Lastri semakin naik pitam. Dia merasa terhina hebat oleh mertua putranya itu. “Dasar orang utan!” pekik Lastri sambil memasukkan kaki pada sandal berhak tiga senti yang dia pakai. Nyaris saja paruh baya itu keseleo karena parno dikejar gagang sapu. “Anda yang orang utan, Bu Lastri. Ayok, silahkan pergi, Bu!” sambung Titi lagi dengan sangat kesalnya. Lastri masuk ke dalam mobil. Kepalanya bisa saja terkena ujung sapu kalau sampai terlambat ke dalam. “Ingat, ya? Kalian akan menyesal. Saya akan tunggu kalian di pengadilan agama. Pokoknya, kalau anak Anda mau balikan, saya gak akan kasih restu!” teriak Lastri dari dalam penuh percaya diri. “Hemh. Lihat saja nanti, Bu. Siapa yang akan menyesal, ya? Saya juga gak mau terus-terusan membiarkan anak saya jadi babu di rumah kalian!” sembur Titi lagi. Sedangkan Suaminya dan juga Talia, hanya menyaksikan dari jauh. “Kalian yang akan nyesel seumur hidup. Saya pastikan, sidang perceraian mereka akan rampung dalam waktu singkat!” Lastri semakin mengancam lagi. Dia berharap lawannya akan tahu diri dan merasa kalau keputusan mereka itu salah. Tapi, sepertinya rencananya itu gagal. Dia terus diusir sampai kaca belakang mobilnya saja kena getok sapu. “Heurkh. Aku harus bicara malam ini juga sama si Guntur.” Lastri sambil membanting setir bicara sendiri dengan gemuruh emosi. Dia akan langsung pergi ke rumah putranya saat itu juga.“Apa? Mama gagal bujuk Talia pulang?”Guntur mengangkat kasar tubuhnya yang sedari tadi duduk karena kesal dengan ibunya. Apa yang diharapkan nyatanya tidak bisa terjadi. Lastri tidak bisa membujuk Talia.“Ya mau bagaimana lagi, Tur? Sudahlah, Mama gak mau lagi ke sana. Muka mamamu ini mau ditaruh di mana? Tadi aja sama ibunya si Talia Mama malah diusir pakek sapu!” Lastri yang sempat membuat kesal anaknya itu kini tidak mau salah sendiri. Dia tidak ingin disalahkan karena tidak bisa mengembalikan keadaan.Guntur memijat kepalanya dengan keras. Satu tangannya berkacak pinggang, yang seakan-akan pasti ambruk kalau tak dipegangi dengan erat.“Mama tadi sudah pede akan bawa Talia pulang. Kok bisa jadi gagal? Mungkin drama Mama kurang kan?” pekik Guntur lagi.“Tahu ah, Mama juga pusing. Ngapain sih kamu pertahanin perempuan yang udah gak mau sama kamu. Ya sudah saja kamu cepet bawa yang baru. Pasti si Talia cemburu dan menyesal sudah tinggalin kamu!” Saran dan masukkan yang dikemas dala
“Tapi, kalau kamu nikah sama selingkuhan kamu itu, uang belanja Mama masih, kan? Gak akan dikurangi?”Tidak lain dan tidak bukan kekhawatiran Lastri hanyalah perihal uang bulanan. Guntur pikir ibunya itu mempermasalahkan apa. Tapi …“Ya ampun, Ma, cuma itu doang? Ya nggaklah, Ma. Malah Ineu kan kerja juga. Dia punya pemasukan, gak seperti Talia yang pengangguran. Kerjaannya cuma minta uang dari aku.” Guntur mengembuskan nafas dengan kasar.“Baguslah kalau begitu. Cepet-cepet aja kalian nikah, karena kamu juga musti ada yang urus. Si Ineu mau cerai juga sama suaminya?”“Iya, Ma. Dia kan gak cinta sama suaminya yang bloon itu. Cuma mau uangnya aja.”“Ya ampun, gak paham sama cinta anak zaman sekarang. Terserah deh, itu keputusan dan urusan kalian. Mama sekarang mau pulang dulu. Mama udah capek dan pegel. Mama mau istirahat. Awas, jangan minta Mama pergi ke rumah si Talia lagi. Malas Mama tuh!” celetuk Lastri dengan wajah yang masih menahan amarah pada keluarga besannya.Tapi, baru saja
Setelah kepergian ibu mertuanya, Talia masih belum bisa menenangkan diri. Menangis sesenggukan atas apa yang dialami berulang kali. Dia tidak pernah menyangka, Guntur akan berbuat hal memalukan dan menjijikan dengan orang yang sama berkali-kali.Kalau tadi dia bisa menghadapi ibu mertuanya dengan tegar, sekarang setelah sendiri, tidak bisa. Apa yang dilihatnya tadi, dan apa yang selama ini terjadi, tidak berhenti mengiang di kepala.“Yang sabar ya, Nak. Ibu dan bapak hanya bisa mensupport kamu. Bagaimana keputusan kamu sebenarnya? Apa kamu benar ingin bercerai?” Titi–ibu kandung Talia kembali membuka suaranya. Setelah sejak lama dia mendiamkan dulu putrinya itu. Mungkin memang sebentar butuh ketenangan. Tapi, sudah cukup. Mereka harus bicara Titi mendekat dan kini ikut duduk di tepi ranjang kamar Talia.Paruh baya itu mengelus lembut punggung putrinya yang sedang terluka hati. Ingin menenangkan, semoga putrinya bisa lebih baik.“Kalau Talia harus ceritakan semuanya, Ibu pasti akan s
“Kamu kenapa, Nak? Apa jangan-jangan ….”Talia sudah faham apa yang dimaksud oleh ibunya. Membuat pikirannya kini terombang-ambing oleh dugaan yang bisa saja benar adanya.Tidak, bagaimana kalau dia tengah hamil? Bukankah selama ini juga Talia tidak memakai KB, karena sulit untuk memiliki keturunan? Ah, haruskah dalam keadaan seperti ini? Di saat rumah tangganya sudah terkoyak oleh orang ke tiga?“Bu, bagaimana ini? Bukan aku menolak rezeki Tuhan. Tapi ….” Talia yang matanya masih merah bekas air mata itu semakin cemas. Kalau benar positif hamil, bagaimana bisa pergi dari Guntur?“Kamu jangan cemas dulu. Ayok bawa Talia ke klinik sambil berobat, Bu. Takut juga Talia masuk angin atau kena asam lambung. Biar kita pastikan semuanya.”Atas saran dari bapaknya, Talia pun manut untuk pergi ke klinik kesehatan. ***Talia masuk ke dalam ruangan dokter. Dia pun menunggu hasil setelah diperiksa darah dan urine sebelumny
Talia sebenarnya ingin mengusir Guntur. Karena pria itu pun telah menjatuhkan kata talaknya.Guntur main nyelonong masuk dan duduk di kursi rumah orang tua Talia. Entah apa yang akan dia katakan pada wanita yang secara hukum tetap masih jadi istrinya itu.Pria itu tidak datang dengan tangan kosong. Ada tas hitam ditentengnya. Mungkin akan pergi ke kantor, karena pakaiannya pun rapi. Hanya saja, kenapa harus ke rumah orang tua Talia dulu?Talia tidak duduk. Dia hanya berdiri karena malas harus menghadapi pria itu. Untuk menyodorkan minuman saja enggan. Biarkan, orang kaya tidak akan kekurangan air di jalan.“Ada apa kamu, Mas? Mau kasih undangan pernikahan?” ucap Talia lebih dulu, yang langsung dijawab kemudian oleh Guntur.“Aku beri kamu kesempatan sekali lagi, Talia. Kesempatan untuk kembali padaku. Bagaimana?”Pernyataan dan pertanyaan itu sontak membuat Talia heran bukan main? Kesempatan? Memang siapa di sini yang berbuat sal
“Ini apa, Mas?”Talia masih belum membuka amplop besar kuning keemasan itu. Yang talinya saja belum diputar untuk bisa dibuka.“Itu adalah keputusan final atas keinginan kamu.”Kening Talia benar-benar mengernyit dengan apa yang dikatakan oleh Guntur. Secepat kilat Talia pun langsung meraba benang yang jadi pengikat amplop itu. Dikeluarkannya isi di dalamnya, dan amplop putihlah yang ada di dalam sana.Tak ingin banyak bertanya lagi, Talia langsung membuka amplop yang tidak direkatkan itu. Sungguh luar biasa, apa yang dia inginkan nyatanya sudah dikabulkan.Talia tersenyum sinis. “Mas, Mas, nyerahin surat gugatan saja pakek drama segala. Dari tadi aja kamu kasih ke aku. Baguslah, aku senang melihat ini. Aku pikir apa.”Guntur kini memasang wajah kesal. Kenapa dia tidak melihat wajah penyesalan di paras istrinya? Kenapa Talia sangat gembira pisah darinya? Padahal, bagi Guntur, gelar janda itu sering diremehkan.Persetan d
Guntur meninggalkan rumah orang tua Talia dengan sangat emosi. Mobil yang dia parkir di depan melesat kencang sampai knalpotnya mengepulkan asap. Sepertinya dia benar-benar sakit hati, karena disepelekan.Dia sadar, memang dirinyalah yang selingkuh. Bahkan, sejak lama. Tapi, apa sih wanita? Seharusnya bisa memaafkan lah. Mau nafkah berapa? Akan dikasih!“Harkh, dasar orang-orang miskin! Ego mereka selangit. Nggak tahu aja mereka nyeselnya nanti bagaimana!”Guntur memukul setir dengan keras. Laju kendaraannya melesat kencang seperti orang brutal. Untung tidak ada polisi, kalau tidak, dia bisa diberhentikan. Apalagi jalan dari rumah Talia menuju rumahnya lumayan lengang.Di rumah orang tua Talia pun sama halnya. Ibu Talia benar-benar tidak pernah menyangka sebelumnya, kalau Guntur memiliki sifat seperti tadi.“Gila memang suamimu, Talia. Ibu tidak tahu kalau karakter Guntur seperti itu. Angkuh mirip ibunya. Gila jabatan!” pekik Titi yang me
“Bu Talia?”Sapaan itu membuat Talia bangkit dari kursi yang sejak tadi dia duduki. Pasalnya di sekitar hanya ada beberapa orang saja, dan sepertinya tidak ada lagi yang bernama Talia. Apalagi mobil itu berhenti tepat di hadapan Talia.Talia mendekat untuk memastikan. Atau dia salah lihat orang? Mana mungkin juga …“Pak Mirza?”Talia mengernyit lagi. Ternyata yang menyapanya itu benar pria yang pernah dikenalnya. Mirza Perwira Surya Atmaja. Pria yang menjadi pimpinan perusahaan di tempat suaminya bekerja.“Bu Talia sedang apa?” Pria itu mendongak dari dalam mobil. Hanya membuka kaca mobilnya untuk menyapa Talia.“Pak, saya sedang menunggu angkutan umum.” Sebenarnya Talia dipersilahkan untuk memakai kendaraan orang tuanya. Tapi, dia memilih untuk naik angkutan umum. Sambil melatih diri juga untuk berjalan kaki setelah sekian lama.Dia sadar, belum sah menjadi janda, dan masih terikat pernikahan secara hukum. Tap
“Itu, semuanya sudah saya ganti rugi. Beres kan?” Ardhya nampak sudah mengotak-atik handphone miliknya. Sedangkan orang yang berseteru di sana sudah tidak ada lagi. Bahkan, kendaraannya pun sudah enyah. Ya, hanya Ardhya yang sanggup dan mampu bertanggung jawab di cafe plus resto itu.“Terima kasih. Tapi bukan berarti Mas nanti bisa porak-porandakan lagi kafe ini ya, Mas? Ini peringatan. Kalau sampai terjadi lagi, saya gak akan segan-segan bawa Mas ke kantor polisi!” kata manajer itu sedikit mengancam. Dia terlihat sudah melihat nominal uang masuk, untuk memperbaiki barang-barang yang rusak. Di sana ternyata sudah ada Talia. Dia tadi maju ke depan dan ikut menengahi. Apalagi Talia juga merasa kalau itu sebuah perikemanusiaan. Talia datang untuk meredam suasana. Sayangnya, perempuan yang masih diakui Ardhya masih pacarnya itu sudah pergi dengan pria yang berseteru dengan Ardhya. Mereka juga seperti menghindar, tak mau ganti rugi.Ardhya sudah
Talia menepikan kendaraan. Dia seperti melihat Ardhya yang ada dalam perkelahian itu. Ada juga seorang wanita yang menjerit-jerit, seakan berusaha menengahi. Ditambah orang-orang sekitar, mereka meraih keduanya masing-masing untuk menghentikan perseteruan.“Cukup, kalian kayak anak kecil!” pekik wanita yang memakai pakaian seksi itu. Talia melihat dengan jelas, memang benar di sana Ardhya. Apa sedang memperebutkan wanita?“Sudah-sudah, kalian akan kami bawa ke kantor polisi kalau terus membuat gaduh!” Salah seorang warga berkata. Keduanya pun kini memang nampak sejenak meredam emosi.Talia semakin mendekat. Dia sangat penasaran, kenapa sampai mereka beradu? Padahal tadi Ardhya baik-baik saja, malah marah-marah pada Talia. Sekarang berhenti di tempat berbeda, dan sudah berkelahi?“Mas, bagaimana, kalian mau kami bawa?” tanya salah seorang warga lagi yang sedang menahan pria asing yang satunya. Mereka tampak sebaya, pasti sedang memperebutkan sesuatu.“Oke, kita pergi saja. Dasar orang
“Mas Ardhya, maafin saya, Mas. Saya gak sengaja. Tadi saya ….” Talia benar-benar sulit untuk bicara. Menjelaskan apa? Ardhya tidak akan tahu menahu dengan kronologi yang terjadi.Talia terlihat bingung. Dia takut juga dikira mengada-ada. Kok bisa kebetulan itu mobilnya Ardhya ya?“Saya, apa? Kamu ngapain coba di sini? Jelasin kalau bener lagi ada sesuatu.” Ardhya sengaja menggertak Talia yang kini mematung kebingungan. Ardhya menyangka, kalau itu hanya akal-akalan Talia agar bisa merusak dan mengganggu hidupnya. Ardhya menduga Talia dendam pada dirinya.“Saya … saya lagi ….” Intinya Talia juga bingung. Apa dia perlu bicara kalau sedang mengintip Mirza tadi yang sedang berkomplot dengan preman? Tapi Ardhya tahu apa? Ini sama sekali bukan urusannya.“Pokoknya kamu harus ganti rugi. Lihat, mobil saya jadi lecet!”Talia yang masih kebingungan pun kaget bukan main. Dia seperti disambar oleh petir ketika diminta ganti r
Saat ini Talia berada di perjalanan pulang. Dia memutuskan untuk tidak ikut bersama Mirza karena tidak enak sama sekali.Tadi Talia coba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tentu saja itu untuk memperjarak agar perasaan Mirza tidak semakin dalam pada dirinya.Talia berharap Mirza bisa bertemu dengan perempuan lain dan memikirkan orang lain. Kalau terus dekat dan sering jalan bersama Bagaimana bisa Mirza melupakan Talia?Talia membawa kendaraan dengan lumayan kencang. Rasa trauma memang masih melanda tapi dia ingin segera berada di rumah.Untung saja di perjalanan pun ramai. Dia yakin, preman tadi sudah kabur jauh.Sampai di rumah nanti, rencana Talia yaitu ingin mengompres bagian tubuhnya yang dirasa memar. Setelah itu dia pun ingin istirahat.Masih mengendarai dengan penuh kecemasan, Talia pun mengingat sesuatu. Entah kenapa ada benda yang tidak ikut dengannya. Tadi, perasaan pergi ke kondangan dia ditemani tas kecil. Sekarang mana?Talia pun kini menepi lagi. Badan terasa rings
“Turun, woy! Turun!”Suara itu membuat Talia lumayan gentar. Kenapa ada preman yang mengikutinya? Apa dia akan dijahati? Apalagi jalan menuju sepi.Talia pun terus saja menancap gas. Dia tidak mau berhenti meski sebuah motor yang ditumpangi dua orang itu terus mengejarnya. Bahkan menghimpit kendaraannya yang nyaris terguling ke sisi kiri.Talia ingin berusaha menuju tempat yang ramai. Tapi nihil, dua orang jahat itu berhasil membuat dirinya jatuh.Brakg!“Arkh!”Talia mengerang kesakitan. Meski terlihat tidak parah dan berdarah, tapi rasa sakit pasti sudah dia rasakan.“Woi, sudah gue bilang turun. Mana uang lho?”Talia benar-benar resah dan gelisah. Dia tidak melihat orang yang mendekat. Ada motor yang berlalu lalang pun, tidak sampai membuatnya jadi pusat perhatian.Kenapa berani sekali merampok di siang bolong seperti ini? Talia benar-benar bingung bercampur dengan ketakutan.“Toloooong!” Talia berteriak meminta pertolongan. Salah satu dari dua preman itu terburu-buru turun untuk m
Talia saat ini seperti akan dipermalukan oleh mantan keluarganya. Lihat saja, meski dia datang dengan Mirza, tapi sepertinya tetap dipandang sepele.“Talia, datang sama siapa? Laki-laki yang waktu itu mana?” Lastri nyeletuk dengan tatapan yang ingin mempermalukan Talia di depan beberapa orang. Tapi, kini langsung ditegur oleh Guntur yang secepatnya mendekat.“Bu, sudah. Ibu tahu, dia bosku?” Guntur membisikkan kalimat itu pada ibunya. Yang sontak saja itu membuat Lastri mematung diam. Guntur pun kembali ke kursi pelaminan.Talia dan Mirza yang menyadari pun hanya diam saja. Mereka melanjutkan langkah untuk menghampiri kedua mempelai.“Selamat ya, kalian memang cocok.” Talia menjulurkan tangan lebih dulu untuk bersalaman. Dengan penuh kepuasan, Ineu pun menyalami balik. Sedangkan Guntur di samping Ineu, sepertinya merasa gelisah.“Makasih, Talia. Makasih juga udah datang, ya? Ini pasti berat lho!” kata Ineu lagi dengan jumawa. Ingin bicara lebih dari itu, tapi ada mantan bosnya di sana
Talia berjalan bersama sejak awal dengan Mirza. Tidak ada lagi yang di kenali, ya kecuali keluarga dari keturunan Guntur sendiri. Tapi ya itu, mereka hanya cuek saja. Seakan tidak pernah ada hubungan kekerabatan di masa lalu.Entah mungkin otak mereka sudah diracuni oleh Lastri agar tidak menyapa Talia. Hingga saat Talia menyapa mereka pun, tak ada timbal balik yang baik. Membuat Talia jadi malas dan enggan berbaik hati pada mereka.“Ya ampun, Talia, datang juga, ya? Gak tahu malu, udah selingkuh, malah nampakkin muka.”Kalimat itu Talia dengar dari mulut salah seorang saudara Lastri. Yang juga didengar oleh Mirza.“Iya, tukang selingkuh. Bikin malu. Dia mau lepas dari ponakan kita yang seorang manajer kelas atas. Kasihan hidup dia.” Celetuk lagi yang lain. Padahal, selama ini komunikasi Talia dengan mereka juga tidak terlalu sering. Kalau bukan ada hajatan atau keluarga Guntur itu ada keperluan. Mereka tidak pernah akrab. Jadi, bukan masalah juga bagi Talia.Talia pun acuh saja. Dia
“Bu, ayok, katanya mau ikut ke kondangan?”Talia yang sudah berpakaian rapi, juga berpoles dengan sedikit make-up tipis, mengernyit heran. Padahal ini sudah menjelang siang, tapi ibunya belum siap-siap.“Ah, Ibu nggak jadi ikut, Talia. Bapak ngajakin Ibu buat ke kebun.” Alasan ibu Talia yang tiba-tiba berubah dari sebelumnya.“Lho, katanya mau ikut? Katanya pengen lihat istri baru Mas Guntur.” Talia masih coba mengingatkan apa yang sudah ibunya katakan sebelumnya.“Nggak jadi, Talia. Lagipula Ibu malas. Takut kebawa emosi sama ibunya Guntur yang suka nyorocos itu.” Titi menambahkan lagi. Entah ada alasan apalagi yang membuat dia urung seketika.“Seriusan, Bu?” kata Talia lagi. Dia padahal sudah bersiap-siap, dan percaya diri akan hadir ke pernikahan Guntur bersama ibunya.“Iya, kamu saja sendiri ya?” Ibunya Talia nampak berkutat dengan sesuatu.Talia pun jadi bingung. Pergi sendiri memang tidak masalah baginya. Hanya saja, dia di sana perlu teman ngobrol. Entah harus dengan siapa diri
“Ya sudah, Mas, silahkan kalau Mas mau ambil. Saya gak apa-apa kok.”Talia mengalah, menimbang dirinya pun tidak ada pesan dari siapapun untuk membeli makanan tersebut.“Hemh, di mana-mana kamu sukanya pencitraan, ya? Sok baik.”Mendengar itu Talia pun lumayan kesal. Padahal dirinya sudah berbaik hati untuk memberikan pancake, tapi Ardhya malah bicara aneh-aneh.“Oh ya sudah, bungkus, Mbak. Buat saya saja. Saya mau bayar. Totalnya berapa?”Ardhya bingung dengan keputusan Talia yang tiba-tiba saja berubah. Dia pikir wanita itu akan memaksa. Tapi, nyatanya malah omong belaka.“Baik, Mbak.” Pelayan mengangguk dan langsung mengemas pesanan.“Kamu sebenarnya niat ngasih gak, ya?” Ardhya pun protes lagi. Tentu saja Talia jadi sangat kesal.“Maaf ya, Mas, saya tidak suka pencitraan. Jadi saya gak akan kasih ini. Lebih baik saya makan dengan keluarga saya.”Talia langsung mengeluarkan dompet. Dia rogoh isinya untuk membayar pesanan. Sudah hafal estimasi harga, sehingga Talia pun tidak bingung