Apa yang diharapkan dari pria lajang tampan dan mapan, tentu saja seorang pasangan.
šššDARA memegangi sebuah album foto lama yang berisi fotonya dengan Aji saat masih remaja. Foto-foto alay yang mereka hasilkan selama tiga tahun pacaran.Dara memegangi satu demi satu lembar foto dengan berbagai pose itu dengan wajah muram. Semuanya hanya kenangan. Masa lalu yang tak lagi kembali terjadi di masa depan.Aji sudah melupakan semuanya. Aji sudah melupakan tentang kebahagiaan mereka dulu, bahkan status hubungan mereka di masa lalu.Jujur, dia lebih merasa sakit hati saat Galih tidak mau mengakuinya sebagai mantan pacar, daripada hinaan Felicia secara terang-terangan pada dirinya. Namun, Dara mencoba berpikir lebih realistis sekarang.Mungkin, Galih malu mengakuinya sebagai mantan. Apalagi alasan berakhirnya hubungan mereka, karena Dara yang mengakhirinya lebih dulu.Mantan ... kenangan yang harus dilupakan.Dara mengalihkan pandangannya ke kalender yang terpasang di tembok kamarnya. Sebuah tanggal yang dilingkari membuat dia tersenyum masam.Genap sembilan tahun mereka berpisah dan genap sembilan tahun mereka berubah. Dara harus tetap terus melangkah, menatap masa depan dan melupakan mantan kekasihnya, walaupun sangat susah."Kalau memang begitu maumu, aku akan melupakan semuanya, Ji."***Pagi-pagi sekali, ibunya sudah merecoki Dara agar ia tidak lupa meminta izin cuti selama seminggu ke depan. Dara hanya mengangguk dan mengiyakan, karena ia tidak akan pernah lupa tentang hari yang membuat hidupnya merasa sangat kehilangan sembilan tahun belakangan.Setelah sarapan, dia pamit untuk mengantar adiknya ke sekolah menengah pertama, sedang ibunya masih bersiap-siap sebelum berangkat kerja. Dara berpesan pada Lintang sebelum meninggalkannya seperti biasa."Sekolah yang rajin, nanti pulangnya ikut Dika, ya?"Lintang hanya mengangguk dan melambaikan tangan padanya. Dara langsung menaiki motor matic berwarna biru dan melesat segera menuju kantor. Dia memang pulang paling akhir setiap hari, tapi dia juga biasa nyaris kesiangan setiap hari.Tiba-tiba motornya berhenti. Dara mencoba menstarter motornya berulang kali, tapi tak ada suara apa pun yang keluar dari benda roda dua yang biasa menemani hidupnya selama beberapa tahun terakhir ini.Dengan panik, Dara terus menerus menekan tombol starter motornya seraya berkata, "Astaga, ini masih pagi, Blu, kamu nggak mungkin mogok pagi-pagi, kan?"Dara melirik kanan kiri dan melihat bengkel tak jauh dari tempat motornya berhenti. Tanpa berpikir dua kali, dia turun dan menuntun motornya ke sana."Mas, motor saya mati, bisa tolong bantu dibenerin nggak, ya? Nggak mau nyala ini starternya." Dara memarkir motornya dan menghampiri mas-mas yang kini keluar dari bagian bawah mobil."Bentar, Mbak." Dengan muka penuh oli, mas-mas itu keluar menghampiri Dara sambil menepuk-nepuk tangannya.Didekatinya motor Dara, lalu ia coba nyalakan, dan menstarternya. Dia sangat berharap motor itu bisa berbunyi jadi pengunjung bengkelnya bisa hilang satu, tapi harapannya pupus saat motor itu sama sekali tak mengeluarkan suara apa pun."Mbak-nya buru-buru banget, nggak? Kalau iya, mending ditinggal sini aja motornya, nanti siang bisa bisa disamperin lagi. Saya perlu cek dulu, apa cuma businya yang bermasalah atau mesinnya yang gangguan. Apalagi, ini motor keluaran lama, takutnya nanti Mbak malah kelamaan nunggunya."Dara mengembuskan napas kasar. "Tinggal aja, deh, Mas. Di sini ada pangkalan ojek terdekat nggak, ya?"Mas-mas itu tampak berpikir sejenak. "Kayaknya nggak ada ojek yang biasa mangkal dekat sini, Mbak. Mau pesan ojek online saja?"Dara mendesah kasar. "Kayaknya bakal lama sampainya juga, Mas."Mas-mas itu terdiam, dia berbalik menatap seseorang yang baru datang dan bersiap bergabung dengannya. "Yo, lo bisa gantiin gue bentar, nggak?"Orang itu mengernyitkan dahi menatap sahabatnya dengan tatapan tidak mengerti. "Bisa.""Oke." Mas-mas tadi menatap Dara lagi. "Saya anter ke tempat tujuannya gimana, jauh, nggak?""Nggak jauh, sih, Mas. Dua lampu merah dari sini sampai. Tapi emang nggak ngerepotin, Mas?" tanya Dara agak tidak enak mengganggu seorang montir bengkel yang sedang sibuk-sibuknya dengan pekerjaannya.Banyak motor bahkan mobil yang ditinggal di sana, bukti nyata jika bengkel itu sedang ramai-ramainya.Mas-mas itu memamerkan cengirannya. "Nggak apa-apa, Mbak. Saya anterin saja."Mas-mas itu beranjak dari sana, meraih jaket, lalu mengeluarkan salah satu motor gede dari parkiran. Dara hanya berdoa kalau itu bukan motor curian, dengan dandanan yang amit-amit dekil dan wajahnya yang belepotan oli, dan pekerjaan sebagai montir. Dara ragu, mas itu bisa beli motor gede satu itu."Ayo, Mbak!""Eh, ini beneran nggak apa-apa, Mas?"Mas itu mengangguk mantap dan Dara tak kuasa menolak ajakannya untuk segera berangkat, karena dia memang butuh tumpangan secepatnya sebelum ia terlambat.***Lampu merah terakhir, kantornya sudah dekat, tapi macet lampu merah lebih panjang dari seharusnya. Dara berterima kasih banyak, dia berniat turun di sana saja dan berlari sampai kantornya. Dia sudah mengutarakan niat dan mengeluarkan uang lima puluh ribuan yang langsung ditolak montir bengkel itu dengan senyum membayang."Nggak usah, Mbak-nya kelihatan buru-buru juga.""Makasih banget tumpangannya, Mas. Saya lari saja dari sini, sudah dekat, kok, tinggal beberapa ratus meter lagi."Montir itu hanya mengangguk, dia tak bisa memaksa, karena sepertinya pengunjungnya itu terlihat sangat buru-buru sekali. Dia hanya melihat sosok Dara yang menjauh dengan senyuman terpatri di bibirnya."Nanti, kalau kita ketemu lagi, lo keberatan nggak kenalan sama gue sebagai temen?" Montir itu tertawa, kemudian dia mulai mengikuti arus lampu hijau yang menyala sebelum putar balik.Tak jauh dari tempatnya, sosok itu melihatnya dengan wajah datar dan tatapan dingin yang mematikan. Ada sebuah amarah tak terucapkan, tapi mulutnya hanya terkatup rapat-rapat."Gue lagi mikir, ini hari apa, sih, sampai gue bisa sial banget seharian ini?"šššAPES itu nasib.Dara tahu, tapi dia benar-benar lagi apes hari ini. Bagaimana tidak? Berangkat kerja tiba-tiba motor mati di jalan, tidak bisa menyala. Dapat tumpangan gratis, tapi akhirnya dia harus terjebak macet dan lari-larian sampai tempat kerja.Berhenti sejenak di dekat pagar kantor, niatnya mengambil napas sejenak sebelum masuk bangunan, tapi mobil Felicia lewat untuk menghancurkan kubangan air lumpur dari lubang jalan dekat pagar yang langsung mengguyur tubuhnya.Bak tikus kecemplung got, Dara harus menerima keadaannya dengan lapang dada. Untung malaikat baik hati masih sedikit berpihak padanya saat dia masuk kantor dan langsung bertemu Dira."Ya ampun, Ra, lo kenapa bisa jadi kayak gini?!" tanyanya terdengar panik. Dira mendekati Dara, melihat kondisi temannya yang mengenaskan. "Gue kayaknya bawa baju ganti di mobil, lo ke toilet dulu, deh, gue ambilin bajunya bentar!"Dara mengangguk dan me
Kamu tahu rasanya terjebak di antara cerita cinta masa lalu?Sesek, nggak enak, kayak di bus penuh orang dan kamu ada di tengah lagi desak-desakan.šššNIAT bertemu klien dan mengambil motornya dari bengkel sirna sudah begitu Galih meminta Agus mengerjakan tugas lain di kantor. Dara pun keberatan menemui klien sendirian, karena selain sedang tidak bawa kendaraan, klien yang satu ini juga agak ... menjengkelkan."Apa kamu mau berangkat menemui klien dengan saya?" tawar Galih tiba-tiba.Ragu-ragu, Dara menatap Agus yang menganggukkan kepala. "Daripada lo sendirian ketemu mereka, mending sama Pak Bos, biar ada yang ngelindungin lo kalau sampai terjadi apa-apa," kata Agus pelan.Dara pun menganggukkan kepala menatap Galih. "Baik, Pak.""Kalian janji temu di mana dan jam berapa?" Dara menyebutkan waktu dan tempat mereka bertemu dengan klien, sebelum pamit dari sana. Dia tetap harus naik taksi, karena ia tidak mungkin meminta numpang ke mobil Galih atau mobil Felicia setelah peristiwa ta
DARA merasa dirinya sedang ditelanjangi dengan perlahan. Sekeras apa pun dia berusaha menutupi, orang di depannya seperti bisa melihat bentuk tubuhnya dengan pasti.Tentu saja karena pakaiannya yang ketat itu sudah lebih dari cukup untuk membuat siapa pun membayangkan bayang-bayang lekuk tubuhnya. Namun, tetap saja dia tidak berharap orang ini akan melakukan hal menjijikkan itu padanya.Dara duduk dengan rasa tak nyaman. Dia ingin segera pulang saja. Terlebih karena dia tidak melakukan apa-apa di sana. Dia yang harusnya bekerja kini hanya duduk diam, karena pekerjaannya diambil alih Galih secara tiba-tiba. Pria itu yang menjelaskan semuanya kepada klien mereka, tapi tetap saja pria tua yang menjadi klien itu terus memandangi tubuh Dara."Nak Dara sudah punya pacar?" Pertanyaan tiba-tiba itu membuat Galih berhenti bicara dan menatap klien dengan tatapan dingin yang menakutkan.Dara hanya meringis mendengarnya. "Belum, Pak.""Apakah Nak Dara tertarik dengan pria yang sudah matang?" Perta
DARA akhirnya sampai di bengkel tempat ia menitipkan motornya tadi pagi. Dia mencari-cari montir yang tadi pagi mengantarnya sampai lampu merah, tapi yang dia lihat hanyalah pria lain yang diselimuti oli di seluruh wajah.Dara mengernyit. Dia ingat, pria ini adalah sosok yang sebelumnya dipanggil "Yo" oleh pria yang dia pasrahi motor tadi pagi. Dengan segera Dara mendekatinya."Mas Yo, motor saya sudah selesai diperbaiki?" tanyanya pada pria itu.Si Yo menoleh, menatapnya beberapa saat tanpa berkedip, sebelum menggeleng kuat-kuat. "Maaf, Mbak, ciri-ciri motornya seperti apa?""Vespa keluaran lama warnanya biru," kata Dara mantap.Mas Yo mengitarkan pandangannya ke sekitar, tampak berpikir sejenak sebelum menunjuk satu-satunya vespa warna biru yang ada di bengkel. "Adanya vespa lama ya satu itu, Mbak. Tapi kata teman saya tadi, Mbak yang punya bajunya warna hijau dan bakal diambil siang ini." Mas Yo melirik pakaian Dara, warnanya putih, jadi bukan dia pemilik motornya.Dara mengalihkan
Tidak bisakah kau diam saja dan mengabaikan semuanya? Kenapa kau harus ikut campur masalah yang tak seharusnya kau urus dalam hidupmu?šššKEMBALINYA Dara siang itu berhasil menarik perhatian teman-teman satu divisinya. Bukan hanya karena tidak terlihatnya Galih di sisinya, juga karena sebuah jaket hitam khas milik seorang pria yang sedang dia gunakan sekarang."Lo sendirian, Ra? Pak Bos mana?" tanya Agus yang menyambut kedatangan Dara untuk pertama kalinya.Semuanya menoleh dan lantas menanyakan hal serupa pada Dara.Dara mengangkat bahu, tampak acuh tak acuh saat menjawab, "Mana gue tahu, kita kan pisah waktu balik. Gue ke bengkel, dia langsung balik ke kantor. Mungkin dia lagi makan siang kali?"Dara meringis pelan, teringat kalau dirinya sendiri belum makan siang. Dia berniat pamit pada teman-temannya untuk makan saat tiba-tiba saja Dira mengatakan sesuatu yang membuat jantungnya berhenti berdetak."Tapi dia belum ada kelihatan batang hidungnya dari tadi lho, Ra? Mungkin nggak
SEMENJAK hari itu, Galih menjadi atasan yang suka uring-uringan. Masalah kecil sekali pun akan menjadi besar jika berurusan dengannya dan hal itu benar-benar menyebalkan.Dara tahu, mungkin semua itu karena salahnya. Namun, dia tidak merasa telah melakukan kesalahan apa-apa. Dia mengatakan apa yang seharusnya dia katakan, karena Galih memang tidak punya hak untuk mengetahui apa pun tentang urusan pribadinya. Sekalipun pria itu sekarang adalah bosnya.Harusnya Galih mengerti itu, karena status hubungan mereka bukanlah sepasang kekasih lagi seperti dulu. Namun nyatanya, Galih masih seperti itu selama beberapa hari terakhir."Gue lama-lama pengen resign aja dari sini," gumam Agus yang kini meletakkan kepalanya di atas meja kafetaria, bersebelahan dengan makanan pesanannya yang tak kunjung disentuh sejak tadi."Kenapa lagi lo?" Farhan sontak berkomentar.Dia tahu Galih belakangan ini memang suka naik darah, tapi harusnya itu sudah biasa bagi para bawahan seperti mereka. Apalagi kalau meman
DARA mengerjapkan matanya berulang kali ketika melihat pria tampan dengan senyum mematikan tengah melambaikan tangan ke arahnya. Dia melihat ponselnya, kemudian memandangi pria itu sekali lagi dengan tatapan tidak percaya.Dia ... Gilang?Dara mencoba mengingat kembali sosok Gilang dalam ingatan terakhirnya. Pria tinggi yang terlihat ramah walaupun seluruh wajahnya nyaris tertutup oli hingga membuatnya tampak dekil sekali.Namun pria yang kini berdiri tak jauh darinya itu tidak kelihatan dekil sedikit pun. Wajahnya terlalu bersih, bahkan dia tak memiliki satu pun bekas jerawat yang menghiasi wajah tampannya.Dara menelan ludah susah payah. Akhirnya dia tahu kalau penilaian dia sebelumnya sepenuhnya salah. Dia berdiri di depan Gilang yang kini menyapanya dengan sopan."Sore, Dara!""Sore juga," tanpa membuang waktu lagi Dara menyodorkan jaket hitam itu kepada pemiliknya, "terima kasih jaketnya, ya.""Sama-sama." Gilang tersenyum manis. Senyum mematikan yang bisa membuat jantung siapa p
"KALI ini lo abis ngapain lagi? Udah seminggu lebih, Pak Bos bukannya membaik, sifatnya malah makin parah dari kemaren." Agus kontan bertanya sewaktu jam makan siang tiba dan mereka berkumpul di kafetaria.Dia berniat bicara langsung di ruang kerja, tapi kalau tiba-tiba Galih keluar lalu mencuri dengar semuanya, bisa langsung melayang kepalanya. Terlebih sejak awal Galih memang tampak tidak begitu suka padanya. Entah karena apa, tapi sepertinya karena Agus cukup dekat dengan Dara.Dara terdiam, dia pun bingung dengan apa yang terjadi. Jika apa yang teman-temannya perkirakan soal perubahan sifat Galih itu berkaitan dengannya, lalu untuk apa ucapan pria itu di awal-awal dia bekerja di sini?Dara masih ingat dengan baik saat Galih bicara padanya, kalau Dara tidak boleh terlalu berharap untuk bisa balikan dengannya.Jujur, Dara memang masih memiliki rasa pada Aji. Kalau soal balikan, selama pria itu masih cinta dan mau kembali menjalin hubungan kembali, kenapa tidak dicoba?Akan tetapi, G