Halo! Sudah sampai bab ini? Terima kasih ya! Jangan lupa kasih dukungan buat author biar semangat nulis hehehe. Bisa komentar, ulasan, atau hadiah kalau ikhlas ekekekke. Jumpa yuk di IG : dsl_is_me! Kita bersapa di sana!
Agnia sedang fokus menyelesaikan pekerjaannya ketika tiba-tiba suasana kantor menjadi ramai. Suara langkah kaki dan bisikan-bisikan memenuhi ruangan, membuatnya penasaran.Ia pun melirik ke arah pintu dan melihat beberapa rekan kerjanya bergegas menuju suatu titik. Tidak ingin ketinggalan informasi, Agnia mendekati salah satu rekan kerja yang juga terlihat terburu-buru."Ada apa?" tanyanya, berusaha mengimbangi langkah cepat rekannya itu. Tanpa menghentikan langkah, rekannya menjawab dengan suara sedikit tertahan, "Tuan Stuart Brogan datang dari Australia.""Apa?" Mendengar nama itu, Agnia langsung terkejut dan menghentikan langkahnya.Stuart Brogan, pimpinan pusat FutureIt, yang jarang sekali turun langsung ke cabang-cabangnya, kini berada di kantor mereka.Perasaan terkejut dan panik bercampur aduk dalam diri Agnia. Ia bergegas menuju ruang rapat, tempat di mana para rekannya tampak sudah berkerumun di depannya.Setelah mendekat, langkah Agnia tiba-tiba terasa berat karena perasaan
Stuart Brogan terdiam sejenak, terkejut dengan ketegasan Agnia yang tak tergoyahkan meski pria itu berusaha tak mengatakan apapun. Sebelum bertemu dengan wanita ini, Stuart memang sudah mendengar desas-desus tentang Nibras yang berusaha mendekati Agnia, tetapi dia menganggap hal itu sebagai urusan pribadi yang tidak perlu ia campuri, terutama karena fokusnya sepenuhnya pada bisnis. Namun, ketika Agnia mengungkapkan alasan pengunduran dirinya, Stuart menyadari betapa seriusnya situasi ini. Proyek cabang di Indonesia, yang telah ia persiapkan selama lima tahun dengan kerja keras dan dedikasi, berada di ujung tanduk. Jika hari ini dia gagal membujuk Agnia untuk kembali ke FutureIt, semua usaha dan pengorbanannya selama ini akan berakhir sia-sia. Stuart telah mencurahkan segalanya untuk membangun fondasi yang kuat bagi kantor cabang di Indonesia. Masih tersimpan rapi dalam ingatannya bagaimana dirinya melakukan perjalanan bolak-balik antara Australia dan Indonesia, membangun jaringan
Menghela napas panjang Nibras akhirnya turun dari mobil setelah cukup lama merenung di dalam sana. "Tuan Muda," sapa seorang pelayan kediaman sang ayah seraya sedikit membungkukkan badannya saat Nibras melangkahkan kaki melalui teras depan. Pria itu hanya membalas dengan anggukan sekilas lalu menuju ruang tamu di mana semua orang menunggunya. Ia sengaja membuat dirinya terlambat dan berencana pulang lebih awal dengan alasan pekerjaan agar tidak terlalu lama berinteraksi dengan para manusia yang akan ia temui. Nibras menghentikan langkahnya saat kakinya nyaris memasuki ruangan tersebut. Ia dapat mendengar tawa ayah dan tamunya, seperti sedang membicarakan sesuatu yang membahagiakan. Meyakinkan dirinya sekali lagi, ia pun kembali berjalan sembari memasang senyum seramah yang ia mampu. "Selamat malam," sapanya begitu dirinya tampak bagi orang-orang yang ada di ruang tamu. "Ah, sang bintang utama sudah datang," sahut Hakeem yang cukup mengejutkan bagi Nibras karena melih
Setengah jam lamanya Nibras terkungkung dalam cengkeraman Shania yang tak mau melepaskan dirinya begitu saja. Bergerak sedikit saja, wanita itu kembali mengeratkan cekalannya bahkan tak jarang diikuti dengan tatapan awas tetapi penuh hasrat Shania benar-benar bertingkah bak cacing kepanasan yang haus akan perhatian dan sentuhan darinya, membuat Nibras meragukan jika wanita ini benar-benar dari keluarga yang katanya terhormat. Sikap itu juga yang turut meyakinkan Nibras bahwa Shania memang tidak pantas untuk ada di sisinya. Nibras melewati malam itu dengan penuh tekanan. Bahkan di saat kedua pria paruh baya itu serius memberikan wejangan seputar kehidupan pernikahan, pria itu tak mendengarkannya dengan baik. Pria itu lebih banyak termenung dalam diam. Benaknya masih penuh dengan segala informasi yang seharian ini ia dengar dari sang asisten hingga untuk bicara pun Nibras sudah kehilangan minatnya. Semua yang Nibras dengarkan dan yang terjadi malam ini pria itu anggap sebag
Jantung Nibras berdetak semakin kencang bahkan dirinya dapat mendengar saking kerasnya. Detik berikutnya, Hakeem bergegas berdiri dan menghujamkan tatapannyalang pun sedikit memerah, seakan pria paruh baya itu akan meledak saat itu juga. Nibras tahu ini adalah konsekuensi yang harus ia hadapi dari ayahnya. Namun, ia sudah membuatkan tekad dan tiada yang dapat mengubah keputusannya untuk saat ini. Bahkan usul Gary yang menyuruhnya untuk bersikap menurut sementara tak dapat lagi ia lakukan. Nibras sudah tak tahan dengan semua yang terjadi. "Sudah kubilang aku tidak ingin mendengarkan omong kosong darimu!" Hakeem berkata dengan suara nyaring dan penuh kemarahan. Perlahan Nibras turut berdiri, berhadapan dengan sang ayah. Ini adalah pertama kalinya ia berbuat sekurang ajar ini pada Hakeem. Pria itu berusaha keras menahan segala emosi yang berebutan untuk keluar. "Ayah, bisakah Ayah mendengarkan-" "Apa yang perlu aku dengarkan? Hah? Keputusan bodohmu ini? Apa yang sedang ingin kau
Rahang Hakeem yang tegas perlahan mengendur, penampakan itu menciptakan sebuah harapan dalam benak Nibras. Harapan jika sang ayah dapat menerima keputusannya.Namun, melihat pria paruh baya itu tak kunjung bersuara, Nibras menyayangkannya dalam hati. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia mengharapkan momen seperti ini dapat perlahan membuka tabir yang selama ini menghalangi dirinya dengan sang ayah.Hubungan mereka yang nyaris seperti atasan bawahan itu, ingin sekali Nibras singkirkan.Meski figur ayah seakan lenyap dalam diri Hakeem di matanya, tetapi Nibras berusaha keras untuk tidak membenci orang yang sudah berjuang keras membesarkannya selama iniapalagi seorang diri tanpa pendamping. Hingga akhirnya Nibras memilih untuk berdamai dengan masa lalu.Ruang tamu itu terasa semakin sesak dengan ketegangan yang menggantung di udara. Nibras mengatur napasnya, berusaha untuk tidak membiarkan emosinya menguasai, sementara Hakeem tampak semakin menjauh dalam si
Pagi itu, raga Nibras memang berada di kantor tetapi pertikaiannya dengan sang ayah benar-benar menguras pikirannya. Beberapa hari ia tak dapat tidur dengan tenang. Belum lagi masalah dengan Agnia dan pelik keluarga mantan istrinya yang masih menjadi misteri.Hanya dengan sekali lihat, semua orang akan tahu bagaimana buruknya penampilan pimpinan HS Funding & Investment untuk hari ini.Baru saja pria itu menginjakkan kaki di ruang kerjanya, dengan tak sabar ia memanggil Gunawan untuk segera menemuinya. Tak berapa lama, sang asisten pun telah berdiri di depannya. “Pagi, Pak,” sapa Gunawan penuh keramahan yang hanya dibalas dengan gumaman tak jelas dari sang atasan yang masih terpaku pada berkas di tangan.Setelah melepas kacamata dan meletakannya di meja, Nibras pun beralih pada pria di depannya sembari mengusap wajahnya perlahan. Helaan napas panjang terdengar di pendengaran Gunawan.Sedikit terkejut asistennya melihat wajah Nibras yang tampak kaku dengan kantung mata yang semakin m
Agnia menatap rumah mewah di depannya dengan tatapan penuh kepedihan.Di balik keindahan bangunannya, rumah itu menyimpan kenangan pahit yang terus menghantuinya.Setiap sudut rumah tersebut seolah berbisik tentang masa lalu yang ingin ia lupakan, tetapi tak pernah benar-benar bisa ia lepaskan.Di tempat itulah, rasa takut pertama kali merasuk ke dalam jiwanya, menancap seperti duri yang terus-menerus melukai.Ingatan tentang perlakuan kejam dari ibu tiri dan kakak tirinya, Tiara dan Lyman, masih segar dalam benaknya, seolah baru terjadi kemarin. Tidak ada obat yang cukup mujarab untuk menyembuhkan luka tersebut.Dari dalam taksi yang disewanya, Agnia hanya bisa menatap rumah itu dengan perasaan hampa.Hatinya dipenuhi rasa sesak yang mengerikan, seperti lubang hitam yang menelan habis semua kebahagiaan miliknya.Wanita itu masih ingat betul saat Hadi, ayahnya, dengan dingin menyuruhnya pergi ke Australia setelah perceraiannya dengan Nibras."Kamu butuh waktu untuk menenangkan diri,"
Nibras menarik napas panjang, menekan gejolak emosi yang mulai menguasai dirinya. Dengan senyum tipis namun penuh kendali, ia menoleh ke arah Agnia. "Agnia, mari ke meja VVIP. Ada beberapa tamu penting yang ingin kuperkenalkan padamu."Agnia terdiam sejenak, matanya melirik ke arah Bernard yang masih berdiri di sampingnya. Bernard, yang biasanya percaya diri, kini tampak ragu-ragu."Aku... sebaiknya?" gumam Bernard pelan, seolah bertanya pada dirinya sendiri apakah ia harus ikut.“Tidak perlu, Bernard. Aku rasa kau akan lebih nyaman menikmati suasana di sini. Ada banyak hidangan dan minuman yang bisa kau nikmati,” ujar Nibras cepat, menatap Bernard dengan senyum formal yang tajam seperti pisau.Tanpa menunggu jawaban, Nibras menyentuh punggung Agnia ringan, mengarahkannya untuk berjalan bersamanya. Bernard mengangguk pelan, meski jelas terlihat ada sedikit keraguan di matanya. Ia mundur selangkah, menyembunyikan rasa kikuknya di balik senyuman. "Baiklah, Pak Nibras. Selamat menikmati
Agnia melangkah memasuki ballroom yang megah dengan tatapan terpana. Gedung ini bukan sembarang tempat. Hanya kalangan atas yang bisa menyewa gedung sebesar ini, dan tentu saja, HS Group adalah salah satunya.Segala sesuatunya terlihat luar biasa. Lampu kristal yang menggantung tinggi, langit-langit yang dipenuhi ornamen indah, serta orang-orang yang mengenakan pakaian mewah, semuanya seakan mengundang rasa takjub.Agnia memandang sekelilingnya dengan mata terbuka lebar. Ada rasa kagum, tapi juga sedikit cemas menyusup di hati.Agnia tahu betul, acara seperti ini dihadiri oleh orang-orang berpengaruh. Masing-masing tamu berlomba untuk menarik perhatian dan memperkenalkan diri. Mereka mengenakan pakaian yang mencolok, dengan aksesori mewah dan tatapan tajam, seakan-akan ingin menunjukkan siapa diri mereka.Tapi, Agnia berbeda. Dia memilih untuk tampil dengan sederhana. Dengan gaun satin champagne yang elegan, dipadukan dengan perhiasan minimalis yang hanya
Agnia menggigit bibirnya, merasa sedikit kikuk sekaligus tertarik. “Aku... tidak ingin merepotkanmu,” katanya pelan, lalu menambahkan, “Aku pikir kau tak tertarik untuk datang.” Bernard terkekeh pelan, masih bersandar di pintu. “Sepertinya kau tidak pernah memberi kesempatan padaku untuk memutuskan sendiri,” katanya, nadanya setengah bercanda namun ada kejujuran yang jelas. “Jadi, bagaimana? Boleh aku menemanimu malam ini?” Agnia merasa pipinya sedikit memerah, tapi ia mengangguk perlahan, merasakan kehangatan di balik sorot mata Bernard yang tampak lebih lembut dari biasanya. “Tentu… kalau kau benar-benar mau ikut,” jawabnya sambil tersenyum kecil, dan tiba-tiba saja malam yang ia pikir akan terasa biasa-biasa saja berubah menjadi lebih spesial. Bernard tersenyum, menatap Agnia sejenak sebelum berkata, “Baiklah, Agnia. Kalau begitu, mari kita pergi.” *** Selama perjalanan menuju gedung pencakar langit tempat acara tersebut diadakan, Agnia semakin merasa cemas. Tubuhnya te
Agnia tiba di rumah tanpa hambatan di jalan. Begitu masuk, ia langsung menuju kamar mandi, membersihkan diri dengan teliti.Matanya melirik ke cermin, sedikit terkejut saat menyadari betapa detilnya ia merapikan diri dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah tubuhnya tak boleh sedikit pun kurang sempurna. Selesai mandi, ia memakaikan tubuhnya dengan jubah mandi, lalu mulai membongkar lemarinya.Di sana, Agnia mencari-cari gaun yang cocok untuk pesta perusahaan Nibras malam ini—acara mewah yang jelas akan dipenuhi oleh para petinggi bisnis. Ia tahu ini kesempatan penting, bukan hanya untuk tampil, tapi untuk memperluas koneksi. Nyaris setengah jam berlalu, kamar yang awalnya rapi kini penuh dengan tumpukan gaun yang ia coba dan singkirkan satu per satu. Gaun-gaun warna-warni tergeletak di mana-mana, sementara Agnia berdiri di depan cermin dengan wajah bingung, menghela napas berat.“Astaga, kenapa rasanya tidak ada yang cocok?” gumamny
Rapat mingguan baru saja selesai, dan Agnia melangkah cepat menuju ruang kerjanya. Langkah kakinya terdengar tegas. Suara sepatu yang bersinggungan dengan lantai kantornya nyaris berdebum, seakan waktu tak memberinya kesempatan untuk sekadar menoleh.Bernard, yang duduk di kursi tak jauh dari pintu, memperhatikan dengan seksama. Ada yang berbeda dari Agnia hari ini—langkahnya tergesa-gesa, wajahnya sedikit tegang, dan jemarinya bahkan tak henti-hentinya mengetuk-ngetuk tali tas yang tersampir di bahunya.Tak biasanya Agnia bersikap demikian.Bernard, yang merasa terpanggil oleh rasa ingin tahu, berdiri dan melangkah cepat, mensejajarkan langkahnya dengan Agnia yang seakan tak melihat kehadirannya di samping.“Kau tergesa-gesa sekali, Agnia,” katanya sambil tersenyum kecil, mencoba melumerkan suasana. “Apa ada masalah yang sedang terjadi?”Agnia hanya menghela napas, mengangkat bahunya tanpa menatap Bernard. Tangannya y
“Ada beberapa perkembangan terbaru yang ingin aku laporkan mengenai perusahaan konstruksi kita.” Lyman membuka pembicaraan, suaranya tenang penuh keyakinan. “Setelah mengalami kemacetan finansial beberapa waktu lalu, perusahaan kita mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitan. Aku telah melakukan berbagai langkah strategis untuk memastikan HB Construction kembali ke jalur yang benar.”Anderson mendengarkan dengan seksama, matanya fokus pada Lyman. Tiara, di sisi lain, tampak lebih khawatir, meskipun berusaha menyembunyikannya di balik wajahnya yang tenang. Mereka berdua tahu betapa pentingnya stabilitas finansial bagi perusahaan tersebut, dan kabar tentang perkembangan perusahaan itu tentu menjadi hal yang penting.“Aku juga sudah mendapatkan sumber dana tambahan yang akan sangat membantu kita ke depan,” lanjut Lyman, nada suaranya penuh percaya diri. “Nibras, mantan suami Agnia, telah setuju untuk mendanai perusahaan kita. Dengan begitu, uang yang masuk dari dia akan menjadi keuntungan
Gunawan terpana sejenak, bingung dengan perubahan mendadak ini. "Tapi, Pak, acara sebesar itu memerlukan persiapan yang cukup panjang. Kita perlu waktu lebih dari seminggu untuk mengatur semuanya."Nibras berdiri dari kursinya, menghampiri Gunawan dengan sorot mata yang tajam. "Kita tidak punya waktu untuk itu. Aku ingin acara ini terjadi minggu depan, apapun caranya. Jika perlu, libatkan semua staf dan sumber daya yang kita miliki. Ini bukan tentang ulang tahun perusahaan, Gunawan. Ini lebih dari itu."Gunawan hanya bisa mengangguk, meskipun masih diliputi oleh rasa tak percaya dan dongkol tentu saja. Ia tak percaya atasannya akan memutuskan sesuatu yang cukup besar hanya karena mengedepankan ego semata.Setelah Gunawan pergi untuk memulai persiapan, Nibras duduk kembali di kursinya, membiarkan pikiran-pikiran liar berputar di kepalanya.Pria itu tahu bahwa keputusannya ini berisiko, namun dia juga sadar bahwa kesempatan untuk mendekatkan dirinya kembali pada Agnia mungkin tidak akan
Ucapan Agnia terasa dingin, menegaskan batasan yang jelas antara mereka. Nibras tidak bisa menyembunyikan kekagumannya pada sikap Agnia yang tegas dan penuh percaya diri.Pria itu ingat betul, inilah salah satu alasan mengapa ia semakin tertarik pada wanita ini. Agnia berubah menjadi wanita yang kuat, dan kekuatan itulah yang selalu membuat Nibras tertantang.Namun, di balik kekagumannya, Nibras tidak bisa menahan diri untuk tidak merencanakan sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan bisnis.Dia ingin melihat apakah dia masih memiliki kekuasaan atas Agnia, atau setidaknya, apakah dia masih bisa mempengaruhinya seperti dulu.“Baiklah,” Nibras menjawab, meski di dalam hatinya dia tidak berniat untuk sepenuhnya mematuhi permintaan Agnia. “Mari kita mulai.”***Pertemuan antara HS Funding & Investment dengan FutureIt berjalan tanpa hambatan. Nibras memimpin rapat dengan ketenangan yang nyaris tak tertandingi, menyingkirkan semua potensi gangguan pribadi.Pikirannya yang biasanya dipenuhi
Mendengar itu, Agnia tersentak, matanya melebar. Ia menatap Bernard dengan ekspresi yang sulit diartikan. Sejenak, ruangan itu terasa semakin sunyi.Waktu seakan berhenti, dan hanya ada mereka berdua di sana, terjebak dalam percakapan yang tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar diskusi pekerjaan.Bernard tahu, dengan mengucapkan kalimat itu, ia baru saja melangkah ke wilayah yang belum pernah ia sentuh sebelumnya.Namun, entah mengapa, ia merasa lega. Mungkin karena akhirnya ia berani mengungkapkan sesuatu yang selama ini terpendam.Agnia, masih terdiam, merasakan detak jantungnya yang tiba-tiba berdetak lebih cepat. Kalimat Bernard bukan hanya sebuah pengakuan, tetapi juga sebuah tantangan yang membuatnya berpikir lebih dalam.Ia tahu, perasaannya terhadap Bernard adalah campuran antara kekaguman dan rasa hormat, tetapi apakah itu cukup untuk menjadi sesuatu yang lebih?“Bernard, aku…” Agnia terdiam sejenak, mencoba merangkai kata. “Kau tahu, aku tidak pernah mudah