Menghela napas panjang Nibras akhirnya turun dari mobil setelah cukup lama merenung di dalam sana. "Tuan Muda," sapa seorang pelayan kediaman sang ayah seraya sedikit membungkukkan badannya saat Nibras melangkahkan kaki melalui teras depan. Pria itu hanya membalas dengan anggukan sekilas lalu menuju ruang tamu di mana semua orang menunggunya. Ia sengaja membuat dirinya terlambat dan berencana pulang lebih awal dengan alasan pekerjaan agar tidak terlalu lama berinteraksi dengan para manusia yang akan ia temui. Nibras menghentikan langkahnya saat kakinya nyaris memasuki ruangan tersebut. Ia dapat mendengar tawa ayah dan tamunya, seperti sedang membicarakan sesuatu yang membahagiakan. Meyakinkan dirinya sekali lagi, ia pun kembali berjalan sembari memasang senyum seramah yang ia mampu. "Selamat malam," sapanya begitu dirinya tampak bagi orang-orang yang ada di ruang tamu. "Ah, sang bintang utama sudah datang," sahut Hakeem yang cukup mengejutkan bagi Nibras karena melih
Setengah jam lamanya Nibras terkungkung dalam cengkeraman Shania yang tak mau melepaskan dirinya begitu saja. Bergerak sedikit saja, wanita itu kembali mengeratkan cekalannya bahkan tak jarang diikuti dengan tatapan awas tetapi penuh hasrat Shania benar-benar bertingkah bak cacing kepanasan yang haus akan perhatian dan sentuhan darinya, membuat Nibras meragukan jika wanita ini benar-benar dari keluarga yang katanya terhormat. Sikap itu juga yang turut meyakinkan Nibras bahwa Shania memang tidak pantas untuk ada di sisinya. Nibras melewati malam itu dengan penuh tekanan. Bahkan di saat kedua pria paruh baya itu serius memberikan wejangan seputar kehidupan pernikahan, pria itu tak mendengarkannya dengan baik. Pria itu lebih banyak termenung dalam diam. Benaknya masih penuh dengan segala informasi yang seharian ini ia dengar dari sang asisten hingga untuk bicara pun Nibras sudah kehilangan minatnya. Semua yang Nibras dengarkan dan yang terjadi malam ini pria itu anggap sebag
Jantung Nibras berdetak semakin kencang bahkan dirinya dapat mendengar saking kerasnya. Detik berikutnya, Hakeem bergegas berdiri dan menghujamkan tatapannyalang pun sedikit memerah, seakan pria paruh baya itu akan meledak saat itu juga. Nibras tahu ini adalah konsekuensi yang harus ia hadapi dari ayahnya. Namun, ia sudah membuatkan tekad dan tiada yang dapat mengubah keputusannya untuk saat ini. Bahkan usul Gary yang menyuruhnya untuk bersikap menurut sementara tak dapat lagi ia lakukan. Nibras sudah tak tahan dengan semua yang terjadi. "Sudah kubilang aku tidak ingin mendengarkan omong kosong darimu!" Hakeem berkata dengan suara nyaring dan penuh kemarahan. Perlahan Nibras turut berdiri, berhadapan dengan sang ayah. Ini adalah pertama kalinya ia berbuat sekurang ajar ini pada Hakeem. Pria itu berusaha keras menahan segala emosi yang berebutan untuk keluar. "Ayah, bisakah Ayah mendengarkan-" "Apa yang perlu aku dengarkan? Hah? Keputusan bodohmu ini? Apa yang sedang ingin kau
Rahang Hakeem yang tegas perlahan mengendur, penampakan itu menciptakan sebuah harapan dalam benak Nibras. Harapan jika sang ayah dapat menerima keputusannya.Namun, melihat pria paruh baya itu tak kunjung bersuara, Nibras menyayangkannya dalam hati. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia mengharapkan momen seperti ini dapat perlahan membuka tabir yang selama ini menghalangi dirinya dengan sang ayah.Hubungan mereka yang nyaris seperti atasan bawahan itu, ingin sekali Nibras singkirkan.Meski figur ayah seakan lenyap dalam diri Hakeem di matanya, tetapi Nibras berusaha keras untuk tidak membenci orang yang sudah berjuang keras membesarkannya selama iniapalagi seorang diri tanpa pendamping. Hingga akhirnya Nibras memilih untuk berdamai dengan masa lalu.Ruang tamu itu terasa semakin sesak dengan ketegangan yang menggantung di udara. Nibras mengatur napasnya, berusaha untuk tidak membiarkan emosinya menguasai, sementara Hakeem tampak semakin menjauh dalam si
Pagi itu, raga Nibras memang berada di kantor tetapi pertikaiannya dengan sang ayah benar-benar menguras pikirannya. Beberapa hari ia tak dapat tidur dengan tenang. Belum lagi masalah dengan Agnia dan pelik keluarga mantan istrinya yang masih menjadi misteri.Hanya dengan sekali lihat, semua orang akan tahu bagaimana buruknya penampilan pimpinan HS Funding & Investment untuk hari ini.Baru saja pria itu menginjakkan kaki di ruang kerjanya, dengan tak sabar ia memanggil Gunawan untuk segera menemuinya. Tak berapa lama, sang asisten pun telah berdiri di depannya. “Pagi, Pak,” sapa Gunawan penuh keramahan yang hanya dibalas dengan gumaman tak jelas dari sang atasan yang masih terpaku pada berkas di tangan.Setelah melepas kacamata dan meletakannya di meja, Nibras pun beralih pada pria di depannya sembari mengusap wajahnya perlahan. Helaan napas panjang terdengar di pendengaran Gunawan.Sedikit terkejut asistennya melihat wajah Nibras yang tampak kaku dengan kantung mata yang semakin m
Agnia menatap rumah mewah di depannya dengan tatapan penuh kepedihan.Di balik keindahan bangunannya, rumah itu menyimpan kenangan pahit yang terus menghantuinya.Setiap sudut rumah tersebut seolah berbisik tentang masa lalu yang ingin ia lupakan, tetapi tak pernah benar-benar bisa ia lepaskan.Di tempat itulah, rasa takut pertama kali merasuk ke dalam jiwanya, menancap seperti duri yang terus-menerus melukai.Ingatan tentang perlakuan kejam dari ibu tiri dan kakak tirinya, Tiara dan Lyman, masih segar dalam benaknya, seolah baru terjadi kemarin. Tidak ada obat yang cukup mujarab untuk menyembuhkan luka tersebut.Dari dalam taksi yang disewanya, Agnia hanya bisa menatap rumah itu dengan perasaan hampa.Hatinya dipenuhi rasa sesak yang mengerikan, seperti lubang hitam yang menelan habis semua kebahagiaan miliknya.Wanita itu masih ingat betul saat Hadi, ayahnya, dengan dingin menyuruhnya pergi ke Australia setelah perceraiannya dengan Nibras."Kamu butuh waktu untuk menenangkan diri,"
“Terima kasih atas kehadiran Anda, Tuan.” Dengan penuh senyum, Nibras menjabat pria di depannya. Ia baru saja menyelesaikan dengan salah satu perusahaan yang cukup ternama di negeri ini dan berhasil ia gandeng untuk menjadi partnernya.Setelah berbincang ringan sebentar, tamu tersebut pamit dan keluar ruangan diikuti oleh asistennya. Saat telah sendirian, Nibras menghela napas sebentar sembari mengusap tengkuknya yang ia rasa sedikit penat. Ia ingin segera kembali ke ruangannya untuk duduk sebentar, menghilangkan letih.Pria itu sedang membereskan barang-barangnya saat Gunawan masuk ke ruang rapat. Kedatangannya yang sedikit tergesa menarik perhatian sang atasan.“Ada apa?” tanya Nibras dengan dahi sedikit berkerut.“Ada Tuan Brogan di ruangan Anda,” jawab Gunawan membuatnya sedikit terkejut.Nibras pun meraih barangnya begitu saja lalu segera melangkahkan kakinya ke sana diikuti oleh asistennya. “Mengapa i
Mendapat pertanyaan seperti itu, Agnia mau tak mau kembali melihat ke arah mantan suaminya. Tatapan mereka kembali beradu dan kali ini terjadi cukup lama. Namun, lagi-lagi dirinya yang harus menjadi pihak yang memutus terlebih dahulu dengan menundukkan kepala. Melihat suasana yang semakin canggung, Stuart segera mengambil alih pembicaraan. Nibras masih saja terus-terusan menatap ke wanita di sampingnya dengan aura yang cukup mengintimidasi. Semakin lama, Stuart merasa jika Nibras dan Agnia memiliki hubungan yang tidak biasa karena Nibras akhir-akhir ini terlalu frontal jika berkaitan dengan wanita ini. “Sebenarnya kedatangan kami...” Stuart sengaja menjeda kalimatnya hingga perhatian Nibras kembali padanya. Pria yang duduk tepat di seberang Stuart menunjukkan ekspresi yang masih sulit dibaca, menyimak setiap kata yang keluar dari mulut Stuart. Stuart menarik napas sejenak sebelum melanjutkan. "Sebenarnya kedatanganku bersama Agnia tak lain adalah untuk meluruskan kesalahpa