Nibras sudah menduga Agnia akan memberikan penolakan dan sikap defensif. Tapi Nibras tidak akan mundur. Tujuannya malam ini adalah mengetahui lebih dalam tentang keluarga sang mantan istri.
Mata Nibras tidak lepas menghunjam dalam dan lekat pada Agnia yang semakin tampak tak nyaman.
“Katakan padaku sejujurnya.” Menjeda sebentar pria itu. “Apapun yang akan kita bicarakan malam ini, jauh di dalam hatimu kau akan tetap menerima ajakanku, bukan?” tanyanya dengan nada tenang namun tegas.
Agnia tak menjawab. Dia hanya mengalihkan pandangan ke arah lain sambil bersedekap. Ketegangan terlihat jelas di wajahnya.
Ia sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini. Dia selalu tahu. Namun, tiada gunanya melarikan diri sekarang. Mereka sudah terlalu jauh untuk mundur.
“Diammu kuanggap sebagai jawaban iya,” tukas Nibras dan Agnia juga tak repot-repot untuk membalasnya.
Terulas senyum samar setipi
Nibras tak lagi menahan Agnia saat mantan istrinya itu benar-benar beranjak dari hadapannya. Melihatnya sekilas mengusap pipi, ia yakin wanita itu pasti menangis. Pedih menerjang pria itu di dalam dada, tetapi kali ini ia hanya diam menatap punggung Agnia yang menjauh lalu menghilang di balik pintu. Tergugu dirinya cukup lama hingga suara seorang pelayan sedikit mengejutkan menyapanya. "Ehm, permisi, Tuan." Nibras dapat melihat keraguan bercampur sedikit takut-takut pada pelayan itu. "Makan malamnya..." "Batalkan saja," sahutnya dengan rahang mengeras sekilas. Ia kembali teringatkan bagaimana sang mantan istrinya melayangkan tanda ke wajah. "B-Baik, Tuan." Tak mengindahkan tatapan dari semua manusia yang berada di ruangan nan megah itu, Nibras melangkahkan kakinya lebar-lebar menuju lobi depan. Berharap sangat ia masih bertemu dengan Agnia. Namun, harapannya sirna karena tak menemukan siapapun di sana kecuali petugas valet yang menyambutnya. Saat menunggu mobilnya ti
Debaran dalam dada Nibras mulai meningkat perlahan seiring benaknya yang mulai mengingat-ingat kejadian yang dijadikan alasan untuk Hakeem berbicara seperti itu.Interaksi antara dirinya dan Shania benar-benar sangat jarang dan tak sekalipun ia pernah melakukan hal yang menyebabkan wanita itu trauma.Nibras menatap ke arah sang ayah dengan kebingungan di wajahnya. “Ayah, apa maksud Ayah dengan trauma? Apa yang sedang Ayah bicarakan?” tanyanya dengan suara bergetar. Perasaan was-was dan ketidakpastian memenuhi diri.Dalam hati, tak henti ia mengumpati wanita licik yang telah menyebabkan dirinya terjebak dalam situasi yang menghebohkan ini!“Pak Tasrif menelponku dan mengatakan Shania menangis tak berhenti dan tertekan. Ia menjadi seperti itu setelah bertemu denganmu! Setiap ayahnya bertanya, ia semakin menangis menjadi-jadi dan menyalahkan dirimu! Jadi apa itu kalau bukan trauma?!”Hakeem terus-terusan berkata dengan nada tingginya. Urat lehernya bahkan menonjol karena saking marahnya
Kejadian kemarin benar-benar membuat Nibras terjaga di semalaman di apartemennya. Ia sama sekali tak dapat memejamkan mata hingga matahari telah naik menampakkan kecerahannya.Hari ini dimulai dengan segala kepenatan dan pikiran yang kusut. Namun, Nibras memaksakan diri untuk tetap berangkat bekerja.Sesaat setelah selesai membersihkan diri, ia keluar dari kamar mandi dengan handuk terlilit di pinggang. Berjalan dirinya menuju nakas tempat ponselnya berada.Ia segera menghubungj Gunawan melalui pesan chat agar mengirimkan supir kantor untuk menjemput ke apartemen.[Gunawan : Anda baik-baik saja, Pak?]Nibras tersenyum samar, seakan dapat membaca nada khawatir yanh tertulis di pesan balasan sang asisten. Ia memang jarang sekali meminta hal seperti ini karena kemanapun ia pergi ia selalu memilih menyetir kendaraannya sendiri selama itu di dalam kota.Setelah membalas kekhawatiran dengan jawaban yang cukup menenangkan, Nibras melangkah ke walk in closet untuk berpakaian lalu keluar kamar
Nibras menghela napas lega atas kedatangan Gunawan. Setidaknya ia dapat menjeda sebentar agar tidak meladeni keegoisan Shania yang tiada berujung. Tanpa menunggu persetujuan wanita itu, Nibras pun memberi tanda pada Gunawan untuk mengikutinya pergi meninggalkan Shania begitu saja."Nibras! Kau mengacuhkanku lagi?" pekik Shania dan menghentakkan kakinya kesal. "Nibras!"Gunawan melihat sekilas ke belakang lalu berbisik pada atasannya. "Pak, apakah ini tidak apa-apa? Saya takut nona itu berulah lagi...""Aku tak peduli!" tukas Nibras cepat dengan rahang mengetat sekilas. Ia benar-benar tak peduli dengan apa yang akan dilakukan oleh wanita licik itu. Gunawan pun hanya diam mengikuti Nibras yang ternyata berjalan menuju ruangan sang asisten. Setelah mereka masuk, Nibras segera mengunci pintu.Pria itu sempat menghubungi petugas keamanan untuk mengurus keberadaan Shania. Lalu kembali fokus pada masalah yang ada.“Ada apa?” tanya Nibras pada Gunawan, menatap lekat.Asistennya terlihat gelis
Pintu penumpang belakang dibanting cukup keras oleh Nibras seiring pria itu menghempaskan tubuhnya. Ia membuka kancing teratasnya untuk melegakan diri yang masih saja terasa sesak. Bersandar pada kursi, Nibras mendongakkan wajah ke atas berusaha mengatur pasokan udara yang masuk. Sementara di samping supir, Gunawan melihat ke arah atasannya khawatir lalu memerintahkan pada supir untuk segera melajukan mobil yang mereka tumpangi. “Are you really okay, Sir?” tanya Gunawan hati-hati untuk memastikan. Tiada jawaban membuat pria itu kembali mengamati Nibras. Tampaknya atasannya masih mengatur napasnya sehingga ia memberi pria itu waktu. “Gunawan, cari tau dimana Agnia sekarang dan apa-apa saja yang dia lakukan.” Suara Nibras yang sedikit lemah itu memberi instruksi memecah keheningan. “Jangan lupa bernegosiasi dengan Tuan Brogan untuk menarik kembali Agnia bekerja di FutureIt. Katakan padanya, jika
Sementara itu, di sebuah kafe yang tidak terlalu ramai pengunjung itu tampak Agnia sedang berbincang dengan seorang pria. Wajah keduanya sama seriusnya dengan percakapan yang mereka lakukan sore itu.Sang pria menyesap minumannya sebentar sebelum berkata pada Agnia. “Kau yakin dengan cara ini dia akan menyerah?” tanya pria itu menatap Agnia sungguh-sungguh.Agnia tak segera menjawab. Wanita itu terdiam cukup lama lalu menghela napas lirih. “Sungguh, aku sendiri tidak tau.”“Pikirkan lagi, Agnia. Aku tau kau begitu mencintai FutureIt.”Perkataan pria di depannya membuat hati Agnia kembali galau. Memang betul, ia begitu mencintai FutureIt, bahkan perusahaan ini adalah segalanya bagi dirinya.Masih teringat jelas dalam ingatan bagaimana Agnia berjuang untuk bergabung dengan perusahaan startup ini dari keadaan tidak memiliki apa-apa hingga tumbuh bersama teman-teman kerjanya.Selama Agnia hidup, baru kali ini merasakan sesuatu atas keputusannya sendiri dan menikmati kehidupan. Karena itu,
Nibras sudah tampak seperti zombie di mata Gary. Matahari padahal sudah keluar dari peraduannya dan menyapa dunia nyaris setengah hari, tetapi pria itu tak mengerjakan apapun bahkan bergerak pun tidak. Beruntung sangat sepupunya itu karena bernapas merupakan suatu aktivitas otomatis yang dimiliki tubuh manusia tanpa memerlukan usaha. Jika tidak, mungkin Nibras sudah mati! Gary yang berdiri di pinggir tempat tidur dengan kedua tangan masuk ke dalam sak celana pendeknya, menatap ke arah Nibras yang masih saja bergeming. Tatapannya sungguh kosong membuat Gary menghela napas perlahan. “Ayolah, berhenti bertingkah menyedihkan seperti ini.” Gary mendecak sedikit kesal sekaligus miris. “Pergi dari sini,” gumam Nibras sembari menutupi kepalanya dengan bantal membuat sepupunya semakin kesal. Ditariknya bantal itu dan ganti Nibras yang menjadi kesal. “Brengsek! Aku tak ingin diganggu!” sahutnya sembari menarik kembali bantal yang diambil, tetapi Gary lebih kuat tentu saja. “Mau samp
Esok paginya, Nibras duduk di kursi kantor kebesarannya dengan tatapan kosong ke arah layar laptop yang menyala di depannya, tetapi tak melakukan apapun. Kata-kata Gary terus terngiang di kepalanya, mengusik setiap sudut pikirannya. "Jadi, sebelum kau melanjutkan hidupmu atau apapun yang menjadi rencanamu, sembuhkanlah dirimu terlebih dahulu.” Kalimat itu terasa seperti tamparan yang tidak hanya menyadarkannya, tetapi juga mengguncang dunianya yang sudah rapuh. Ia tahu, ada kebenaran di balik ucapan sepupunya itu. Namun, bagaimana mungkin pria itu bisa memulai proses penyembuhan ketika luka yang ditinggalkan Agnia masih menganga? Bagaimana bisa ia move on jika setiap kenangan bersama Agnia seperti bayangan hantu yang selalu mengikutinya? Nibras menyugar rambutnya sedikit kasar diikuti helaan napas berat bersamaan dengan sebuah ketukan terdengar di pintu. “Masuk,” ucapnya dan tak lama, Gunawan pun sudah berjalan mendekat dan berhenti di depan meja kerjanya. “Lima belas men