Debaran dalam dada Nibras mulai meningkat perlahan seiring benaknya yang mulai mengingat-ingat kejadian yang dijadikan alasan untuk Hakeem berbicara seperti itu.Interaksi antara dirinya dan Shania benar-benar sangat jarang dan tak sekalipun ia pernah melakukan hal yang menyebabkan wanita itu trauma.Nibras menatap ke arah sang ayah dengan kebingungan di wajahnya. “Ayah, apa maksud Ayah dengan trauma? Apa yang sedang Ayah bicarakan?” tanyanya dengan suara bergetar. Perasaan was-was dan ketidakpastian memenuhi diri.Dalam hati, tak henti ia mengumpati wanita licik yang telah menyebabkan dirinya terjebak dalam situasi yang menghebohkan ini!“Pak Tasrif menelponku dan mengatakan Shania menangis tak berhenti dan tertekan. Ia menjadi seperti itu setelah bertemu denganmu! Setiap ayahnya bertanya, ia semakin menangis menjadi-jadi dan menyalahkan dirimu! Jadi apa itu kalau bukan trauma?!”Hakeem terus-terusan berkata dengan nada tingginya. Urat lehernya bahkan menonjol karena saking marahnya
Kejadian kemarin benar-benar membuat Nibras terjaga di semalaman di apartemennya. Ia sama sekali tak dapat memejamkan mata hingga matahari telah naik menampakkan kecerahannya.Hari ini dimulai dengan segala kepenatan dan pikiran yang kusut. Namun, Nibras memaksakan diri untuk tetap berangkat bekerja.Sesaat setelah selesai membersihkan diri, ia keluar dari kamar mandi dengan handuk terlilit di pinggang. Berjalan dirinya menuju nakas tempat ponselnya berada.Ia segera menghubungj Gunawan melalui pesan chat agar mengirimkan supir kantor untuk menjemput ke apartemen.[Gunawan : Anda baik-baik saja, Pak?]Nibras tersenyum samar, seakan dapat membaca nada khawatir yanh tertulis di pesan balasan sang asisten. Ia memang jarang sekali meminta hal seperti ini karena kemanapun ia pergi ia selalu memilih menyetir kendaraannya sendiri selama itu di dalam kota.Setelah membalas kekhawatiran dengan jawaban yang cukup menenangkan, Nibras melangkah ke walk in closet untuk berpakaian lalu keluar kamar
Nibras menghela napas lega atas kedatangan Gunawan. Setidaknya ia dapat menjeda sebentar agar tidak meladeni keegoisan Shania yang tiada berujung. Tanpa menunggu persetujuan wanita itu, Nibras pun memberi tanda pada Gunawan untuk mengikutinya pergi meninggalkan Shania begitu saja."Nibras! Kau mengacuhkanku lagi?" pekik Shania dan menghentakkan kakinya kesal. "Nibras!"Gunawan melihat sekilas ke belakang lalu berbisik pada atasannya. "Pak, apakah ini tidak apa-apa? Saya takut nona itu berulah lagi...""Aku tak peduli!" tukas Nibras cepat dengan rahang mengetat sekilas. Ia benar-benar tak peduli dengan apa yang akan dilakukan oleh wanita licik itu. Gunawan pun hanya diam mengikuti Nibras yang ternyata berjalan menuju ruangan sang asisten. Setelah mereka masuk, Nibras segera mengunci pintu.Pria itu sempat menghubungi petugas keamanan untuk mengurus keberadaan Shania. Lalu kembali fokus pada masalah yang ada.“Ada apa?” tanya Nibras pada Gunawan, menatap lekat.Asistennya terlihat gelis
Pintu penumpang belakang dibanting cukup keras oleh Nibras seiring pria itu menghempaskan tubuhnya. Ia membuka kancing teratasnya untuk melegakan diri yang masih saja terasa sesak. Bersandar pada kursi, Nibras mendongakkan wajah ke atas berusaha mengatur pasokan udara yang masuk. Sementara di samping supir, Gunawan melihat ke arah atasannya khawatir lalu memerintahkan pada supir untuk segera melajukan mobil yang mereka tumpangi. “Are you really okay, Sir?” tanya Gunawan hati-hati untuk memastikan. Tiada jawaban membuat pria itu kembali mengamati Nibras. Tampaknya atasannya masih mengatur napasnya sehingga ia memberi pria itu waktu. “Gunawan, cari tau dimana Agnia sekarang dan apa-apa saja yang dia lakukan.” Suara Nibras yang sedikit lemah itu memberi instruksi memecah keheningan. “Jangan lupa bernegosiasi dengan Tuan Brogan untuk menarik kembali Agnia bekerja di FutureIt. Katakan padanya, jika
Sementara itu, di sebuah kafe yang tidak terlalu ramai pengunjung itu tampak Agnia sedang berbincang dengan seorang pria. Wajah keduanya sama seriusnya dengan percakapan yang mereka lakukan sore itu.Sang pria menyesap minumannya sebentar sebelum berkata pada Agnia. “Kau yakin dengan cara ini dia akan menyerah?” tanya pria itu menatap Agnia sungguh-sungguh.Agnia tak segera menjawab. Wanita itu terdiam cukup lama lalu menghela napas lirih. “Sungguh, aku sendiri tidak tau.”“Pikirkan lagi, Agnia. Aku tau kau begitu mencintai FutureIt.”Perkataan pria di depannya membuat hati Agnia kembali galau. Memang betul, ia begitu mencintai FutureIt, bahkan perusahaan ini adalah segalanya bagi dirinya.Masih teringat jelas dalam ingatan bagaimana Agnia berjuang untuk bergabung dengan perusahaan startup ini dari keadaan tidak memiliki apa-apa hingga tumbuh bersama teman-teman kerjanya.Selama Agnia hidup, baru kali ini merasakan sesuatu atas keputusannya sendiri dan menikmati kehidupan. Karena itu,
Nibras sudah tampak seperti zombie di mata Gary. Matahari padahal sudah keluar dari peraduannya dan menyapa dunia nyaris setengah hari, tetapi pria itu tak mengerjakan apapun bahkan bergerak pun tidak. Beruntung sangat sepupunya itu karena bernapas merupakan suatu aktivitas otomatis yang dimiliki tubuh manusia tanpa memerlukan usaha. Jika tidak, mungkin Nibras sudah mati! Gary yang berdiri di pinggir tempat tidur dengan kedua tangan masuk ke dalam sak celana pendeknya, menatap ke arah Nibras yang masih saja bergeming. Tatapannya sungguh kosong membuat Gary menghela napas perlahan. “Ayolah, berhenti bertingkah menyedihkan seperti ini.” Gary mendecak sedikit kesal sekaligus miris. “Pergi dari sini,” gumam Nibras sembari menutupi kepalanya dengan bantal membuat sepupunya semakin kesal. Ditariknya bantal itu dan ganti Nibras yang menjadi kesal. “Brengsek! Aku tak ingin diganggu!” sahutnya sembari menarik kembali bantal yang diambil, tetapi Gary lebih kuat tentu saja. “Mau samp
Esok paginya, Nibras duduk di kursi kantor kebesarannya dengan tatapan kosong ke arah layar laptop yang menyala di depannya, tetapi tak melakukan apapun. Kata-kata Gary terus terngiang di kepalanya, mengusik setiap sudut pikirannya. "Jadi, sebelum kau melanjutkan hidupmu atau apapun yang menjadi rencanamu, sembuhkanlah dirimu terlebih dahulu.” Kalimat itu terasa seperti tamparan yang tidak hanya menyadarkannya, tetapi juga mengguncang dunianya yang sudah rapuh. Ia tahu, ada kebenaran di balik ucapan sepupunya itu. Namun, bagaimana mungkin pria itu bisa memulai proses penyembuhan ketika luka yang ditinggalkan Agnia masih menganga? Bagaimana bisa ia move on jika setiap kenangan bersama Agnia seperti bayangan hantu yang selalu mengikutinya? Nibras menyugar rambutnya sedikit kasar diikuti helaan napas berat bersamaan dengan sebuah ketukan terdengar di pintu. “Masuk,” ucapnya dan tak lama, Gunawan pun sudah berjalan mendekat dan berhenti di depan meja kerjanya. “Lima belas men
"Dari mana kau mendapatkan ini semua?" tanya Nibras dengan nada tak percaya, menatap Gunawan yang berdiri di hadapannya.Nibras tahu, informasi ini bukanlah sesuatu yang mudah diakses oleh orang luar.Dokumen ini tidak hanya menunjukkan angka-angka, tetapi juga menunjukkan sebuah fakta suram tentang kejatuhan finansial yang sebentar lagi tak akan terelakkan."Arjuna mengirimnya tadi pagi," jawab Gunawan, mengamati perubahan wajah sang atasannya yang semakin suram saja saat kembali membaca laporan tersebut.Mendengar nama pria itu disebut, seketika Nibras teringat jika dirinya memang pernah meminta tolong pada Arjuna beberapa waktu lalu."Dia membobol sistem keamanan finansial HBC. Semua data di dalamnya adalah aktual, Pak,” lanjut Gunawan."Dia melakukannya dengan bersih, 'kan?" tanya Nibras tanpa mengangkat wajahnya dari lembaran di tangan."Semoga saja begitu.""Kau tau apa yang harus dil
Nibras menarik napas panjang, menekan gejolak emosi yang mulai menguasai dirinya. Dengan senyum tipis namun penuh kendali, ia menoleh ke arah Agnia. "Agnia, mari ke meja VVIP. Ada beberapa tamu penting yang ingin kuperkenalkan padamu."Agnia terdiam sejenak, matanya melirik ke arah Bernard yang masih berdiri di sampingnya. Bernard, yang biasanya percaya diri, kini tampak ragu-ragu."Aku... sebaiknya?" gumam Bernard pelan, seolah bertanya pada dirinya sendiri apakah ia harus ikut.“Tidak perlu, Bernard. Aku rasa kau akan lebih nyaman menikmati suasana di sini. Ada banyak hidangan dan minuman yang bisa kau nikmati,” ujar Nibras cepat, menatap Bernard dengan senyum formal yang tajam seperti pisau.Tanpa menunggu jawaban, Nibras menyentuh punggung Agnia ringan, mengarahkannya untuk berjalan bersamanya. Bernard mengangguk pelan, meski jelas terlihat ada sedikit keraguan di matanya. Ia mundur selangkah, menyembunyikan rasa kikuknya di balik senyuman. "Baiklah, Pak Nibras. Selamat menikmati
Agnia melangkah memasuki ballroom yang megah dengan tatapan terpana. Gedung ini bukan sembarang tempat. Hanya kalangan atas yang bisa menyewa gedung sebesar ini, dan tentu saja, HS Group adalah salah satunya.Segala sesuatunya terlihat luar biasa. Lampu kristal yang menggantung tinggi, langit-langit yang dipenuhi ornamen indah, serta orang-orang yang mengenakan pakaian mewah, semuanya seakan mengundang rasa takjub.Agnia memandang sekelilingnya dengan mata terbuka lebar. Ada rasa kagum, tapi juga sedikit cemas menyusup di hati.Agnia tahu betul, acara seperti ini dihadiri oleh orang-orang berpengaruh. Masing-masing tamu berlomba untuk menarik perhatian dan memperkenalkan diri. Mereka mengenakan pakaian yang mencolok, dengan aksesori mewah dan tatapan tajam, seakan-akan ingin menunjukkan siapa diri mereka.Tapi, Agnia berbeda. Dia memilih untuk tampil dengan sederhana. Dengan gaun satin champagne yang elegan, dipadukan dengan perhiasan minimalis yang hanya
Agnia menggigit bibirnya, merasa sedikit kikuk sekaligus tertarik. “Aku... tidak ingin merepotkanmu,” katanya pelan, lalu menambahkan, “Aku pikir kau tak tertarik untuk datang.” Bernard terkekeh pelan, masih bersandar di pintu. “Sepertinya kau tidak pernah memberi kesempatan padaku untuk memutuskan sendiri,” katanya, nadanya setengah bercanda namun ada kejujuran yang jelas. “Jadi, bagaimana? Boleh aku menemanimu malam ini?” Agnia merasa pipinya sedikit memerah, tapi ia mengangguk perlahan, merasakan kehangatan di balik sorot mata Bernard yang tampak lebih lembut dari biasanya. “Tentu… kalau kau benar-benar mau ikut,” jawabnya sambil tersenyum kecil, dan tiba-tiba saja malam yang ia pikir akan terasa biasa-biasa saja berubah menjadi lebih spesial. Bernard tersenyum, menatap Agnia sejenak sebelum berkata, “Baiklah, Agnia. Kalau begitu, mari kita pergi.” *** Selama perjalanan menuju gedung pencakar langit tempat acara tersebut diadakan, Agnia semakin merasa cemas. Tubuhnya te
Agnia tiba di rumah tanpa hambatan di jalan. Begitu masuk, ia langsung menuju kamar mandi, membersihkan diri dengan teliti.Matanya melirik ke cermin, sedikit terkejut saat menyadari betapa detilnya ia merapikan diri dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah tubuhnya tak boleh sedikit pun kurang sempurna. Selesai mandi, ia memakaikan tubuhnya dengan jubah mandi, lalu mulai membongkar lemarinya.Di sana, Agnia mencari-cari gaun yang cocok untuk pesta perusahaan Nibras malam ini—acara mewah yang jelas akan dipenuhi oleh para petinggi bisnis. Ia tahu ini kesempatan penting, bukan hanya untuk tampil, tapi untuk memperluas koneksi. Nyaris setengah jam berlalu, kamar yang awalnya rapi kini penuh dengan tumpukan gaun yang ia coba dan singkirkan satu per satu. Gaun-gaun warna-warni tergeletak di mana-mana, sementara Agnia berdiri di depan cermin dengan wajah bingung, menghela napas berat.“Astaga, kenapa rasanya tidak ada yang cocok?” gumamny
Rapat mingguan baru saja selesai, dan Agnia melangkah cepat menuju ruang kerjanya. Langkah kakinya terdengar tegas. Suara sepatu yang bersinggungan dengan lantai kantornya nyaris berdebum, seakan waktu tak memberinya kesempatan untuk sekadar menoleh.Bernard, yang duduk di kursi tak jauh dari pintu, memperhatikan dengan seksama. Ada yang berbeda dari Agnia hari ini—langkahnya tergesa-gesa, wajahnya sedikit tegang, dan jemarinya bahkan tak henti-hentinya mengetuk-ngetuk tali tas yang tersampir di bahunya.Tak biasanya Agnia bersikap demikian.Bernard, yang merasa terpanggil oleh rasa ingin tahu, berdiri dan melangkah cepat, mensejajarkan langkahnya dengan Agnia yang seakan tak melihat kehadirannya di samping.“Kau tergesa-gesa sekali, Agnia,” katanya sambil tersenyum kecil, mencoba melumerkan suasana. “Apa ada masalah yang sedang terjadi?”Agnia hanya menghela napas, mengangkat bahunya tanpa menatap Bernard. Tangannya y
“Ada beberapa perkembangan terbaru yang ingin aku laporkan mengenai perusahaan konstruksi kita.” Lyman membuka pembicaraan, suaranya tenang penuh keyakinan. “Setelah mengalami kemacetan finansial beberapa waktu lalu, perusahaan kita mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitan. Aku telah melakukan berbagai langkah strategis untuk memastikan HB Construction kembali ke jalur yang benar.”Anderson mendengarkan dengan seksama, matanya fokus pada Lyman. Tiara, di sisi lain, tampak lebih khawatir, meskipun berusaha menyembunyikannya di balik wajahnya yang tenang. Mereka berdua tahu betapa pentingnya stabilitas finansial bagi perusahaan tersebut, dan kabar tentang perkembangan perusahaan itu tentu menjadi hal yang penting.“Aku juga sudah mendapatkan sumber dana tambahan yang akan sangat membantu kita ke depan,” lanjut Lyman, nada suaranya penuh percaya diri. “Nibras, mantan suami Agnia, telah setuju untuk mendanai perusahaan kita. Dengan begitu, uang yang masuk dari dia akan menjadi keuntungan
Gunawan terpana sejenak, bingung dengan perubahan mendadak ini. "Tapi, Pak, acara sebesar itu memerlukan persiapan yang cukup panjang. Kita perlu waktu lebih dari seminggu untuk mengatur semuanya."Nibras berdiri dari kursinya, menghampiri Gunawan dengan sorot mata yang tajam. "Kita tidak punya waktu untuk itu. Aku ingin acara ini terjadi minggu depan, apapun caranya. Jika perlu, libatkan semua staf dan sumber daya yang kita miliki. Ini bukan tentang ulang tahun perusahaan, Gunawan. Ini lebih dari itu."Gunawan hanya bisa mengangguk, meskipun masih diliputi oleh rasa tak percaya dan dongkol tentu saja. Ia tak percaya atasannya akan memutuskan sesuatu yang cukup besar hanya karena mengedepankan ego semata.Setelah Gunawan pergi untuk memulai persiapan, Nibras duduk kembali di kursinya, membiarkan pikiran-pikiran liar berputar di kepalanya.Pria itu tahu bahwa keputusannya ini berisiko, namun dia juga sadar bahwa kesempatan untuk mendekatkan dirinya kembali pada Agnia mungkin tidak akan
Ucapan Agnia terasa dingin, menegaskan batasan yang jelas antara mereka. Nibras tidak bisa menyembunyikan kekagumannya pada sikap Agnia yang tegas dan penuh percaya diri.Pria itu ingat betul, inilah salah satu alasan mengapa ia semakin tertarik pada wanita ini. Agnia berubah menjadi wanita yang kuat, dan kekuatan itulah yang selalu membuat Nibras tertantang.Namun, di balik kekagumannya, Nibras tidak bisa menahan diri untuk tidak merencanakan sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan bisnis.Dia ingin melihat apakah dia masih memiliki kekuasaan atas Agnia, atau setidaknya, apakah dia masih bisa mempengaruhinya seperti dulu.“Baiklah,” Nibras menjawab, meski di dalam hatinya dia tidak berniat untuk sepenuhnya mematuhi permintaan Agnia. “Mari kita mulai.”***Pertemuan antara HS Funding & Investment dengan FutureIt berjalan tanpa hambatan. Nibras memimpin rapat dengan ketenangan yang nyaris tak tertandingi, menyingkirkan semua potensi gangguan pribadi.Pikirannya yang biasanya dipenuhi
Mendengar itu, Agnia tersentak, matanya melebar. Ia menatap Bernard dengan ekspresi yang sulit diartikan. Sejenak, ruangan itu terasa semakin sunyi.Waktu seakan berhenti, dan hanya ada mereka berdua di sana, terjebak dalam percakapan yang tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar diskusi pekerjaan.Bernard tahu, dengan mengucapkan kalimat itu, ia baru saja melangkah ke wilayah yang belum pernah ia sentuh sebelumnya.Namun, entah mengapa, ia merasa lega. Mungkin karena akhirnya ia berani mengungkapkan sesuatu yang selama ini terpendam.Agnia, masih terdiam, merasakan detak jantungnya yang tiba-tiba berdetak lebih cepat. Kalimat Bernard bukan hanya sebuah pengakuan, tetapi juga sebuah tantangan yang membuatnya berpikir lebih dalam.Ia tahu, perasaannya terhadap Bernard adalah campuran antara kekaguman dan rasa hormat, tetapi apakah itu cukup untuk menjadi sesuatu yang lebih?“Bernard, aku…” Agnia terdiam sejenak, mencoba merangkai kata. “Kau tahu, aku tidak pernah mudah