Nibras sudah tampak seperti zombie di mata Gary. Matahari padahal sudah keluar dari peraduannya dan menyapa dunia nyaris setengah hari, tetapi pria itu tak mengerjakan apapun bahkan bergerak pun tidak. Beruntung sangat sepupunya itu karena bernapas merupakan suatu aktivitas otomatis yang dimiliki tubuh manusia tanpa memerlukan usaha. Jika tidak, mungkin Nibras sudah mati! Gary yang berdiri di pinggir tempat tidur dengan kedua tangan masuk ke dalam sak celana pendeknya, menatap ke arah Nibras yang masih saja bergeming. Tatapannya sungguh kosong membuat Gary menghela napas perlahan. “Ayolah, berhenti bertingkah menyedihkan seperti ini.” Gary mendecak sedikit kesal sekaligus miris. “Pergi dari sini,” gumam Nibras sembari menutupi kepalanya dengan bantal membuat sepupunya semakin kesal. Ditariknya bantal itu dan ganti Nibras yang menjadi kesal. “Brengsek! Aku tak ingin diganggu!” sahutnya sembari menarik kembali bantal yang diambil, tetapi Gary lebih kuat tentu saja. “Mau samp
Esok paginya, Nibras duduk di kursi kantor kebesarannya dengan tatapan kosong ke arah layar laptop yang menyala di depannya, tetapi tak melakukan apapun. Kata-kata Gary terus terngiang di kepalanya, mengusik setiap sudut pikirannya. "Jadi, sebelum kau melanjutkan hidupmu atau apapun yang menjadi rencanamu, sembuhkanlah dirimu terlebih dahulu.” Kalimat itu terasa seperti tamparan yang tidak hanya menyadarkannya, tetapi juga mengguncang dunianya yang sudah rapuh. Ia tahu, ada kebenaran di balik ucapan sepupunya itu. Namun, bagaimana mungkin pria itu bisa memulai proses penyembuhan ketika luka yang ditinggalkan Agnia masih menganga? Bagaimana bisa ia move on jika setiap kenangan bersama Agnia seperti bayangan hantu yang selalu mengikutinya? Nibras menyugar rambutnya sedikit kasar diikuti helaan napas berat bersamaan dengan sebuah ketukan terdengar di pintu. “Masuk,” ucapnya dan tak lama, Gunawan pun sudah berjalan mendekat dan berhenti di depan meja kerjanya. “Lima belas men
"Dari mana kau mendapatkan ini semua?" tanya Nibras dengan nada tak percaya, menatap Gunawan yang berdiri di hadapannya.Nibras tahu, informasi ini bukanlah sesuatu yang mudah diakses oleh orang luar.Dokumen ini tidak hanya menunjukkan angka-angka, tetapi juga menunjukkan sebuah fakta suram tentang kejatuhan finansial yang sebentar lagi tak akan terelakkan."Arjuna mengirimnya tadi pagi," jawab Gunawan, mengamati perubahan wajah sang atasannya yang semakin suram saja saat kembali membaca laporan tersebut.Mendengar nama pria itu disebut, seketika Nibras teringat jika dirinya memang pernah meminta tolong pada Arjuna beberapa waktu lalu."Dia membobol sistem keamanan finansial HBC. Semua data di dalamnya adalah aktual, Pak,” lanjut Gunawan."Dia melakukannya dengan bersih, 'kan?" tanya Nibras tanpa mengangkat wajahnya dari lembaran di tangan."Semoga saja begitu.""Kau tau apa yang harus dil
Nama Agnia tidak muncul sebagai pewaris utama HB Construction membuat kecurigaan Nibras semakin dalam.‘Bagaimana mungkin Agnia, putri kandung dari Hadi Bachtiar, hanya mendapat bagian kecil dari perusahaan yang seharusnya menjadi haknya?’ batin pria itu semakin merasa sesuatu jelas tidak beres dan ada yang sedang dimainkan di balik layar."Gunawan, kita harus menyelidiki ini lebih jauh," perintah Nibras dengan suara yang tegas pun dingin.Pria itu tak akan membiarkan ketidakadilan ini terus berlanjut tanpa mengetahui kebenarannya. Ada perasaan kuat dalam dirinya bahwa Agnia telah dikhianati, dan ia takkan tinggal diam.“Ya, tentu saja, Pak. Saya tak akan membiarkan Nona Agnia mengalami masalah karena kelakuan seseorang,” tukas Gunawan mengangguk berjanji pada dirinya sendiri akan segera menindaklanjuti perintah tersebut dengan menggali informasi lebih dalam.***Nibras tak dapat berhenti memikirkan segala yang ia dengar seharian ini. Semuanya terlalu rumit dan mengejutkan meski ia me
Keesokan paginya, Nibras tiba di kantor cukup pagi. Ia harus menyelesaikan beberapa berkas yang tertunda. Saat dirinya tenggelam dalam keseriusan, Gunawan masuk ke dalam ruangannya setelah meminta izin."Ada apa?" tanya Nibras melepas kacamatanya yang mulai terasa berat. "Bapak tak ingin mengganti dengan kontak lensa, Pak?" usul Gunawan tanpa ujung pangkal."Mungkin sebaiknya kau membicarakan hal yang lebih berguna." Nibras memutar kedua maniknya malas membuat Gunawan terkekeh.“Kau … belum menemukan Agnia berada di mana?” tanya Nibras menatap dengan harap pada sang asiten.Tawa Gunawan perlahan mereda seiring wajahnya kembali serius. Pria itu menggelengkan kepala pelan. “Tapi, saya tidak berhenti mencari, Pak.”Nibras menghela napas pelan. “Baiklah. Apa yang ingin kau sampaikan?""Berdasarkan informasi yang saya dapat, Hadi Bakhtiar secara sadar menunjuk Lyman sebagai ahli waris HB Construction sepenuhnya," lapor Gunawan dengan hati-hati.Sesuai dugaan, raut wajah atasannya cukup te
Nibras mendesah pelan, mengusap wajahnya sedikit kasar seakan mencoba mengusir rasa frustrasi yang tiba-tiba menyergap. Nama ayahnya muncul di saat yang paling tidak tepat. Ah, tidak. Sepertinya ayahnya selalu menghubungi dirinya di saat yang tidak pernah tepat. Hubungan mereka memang tidak pernah harmonis dan panggilan ini hanya akan menambah ketegangan yang sudah ada. Meski hati Nibras terasa berat karena rasa enggan, tetapi pria itu tahu bahwa menolak panggilan tersebut sama saja menggali kuburannya sendiri. Dalam situasi ini, ia tidak memiliki kuasa untuk menghindar lebih lama meski dapat menebak apa yang akan menjadi topik pembicaraan sang ayah. Ditariknya napas dalam-dalam sebelum akhirnya Nibras menekan tombol untuk menerima panggilan. “Selamat pagi, Ayah.” “Lama sekali kau mengangkatnya,” dengkus Hakeem dengan suara berat dan otoriter terdengar di ujung telepon. Tiba-tiba saja Nibras merasa seluruh ruang kerjanya terasa didominasi dengan aura yang menegangkan dari sang
Agnia sedang fokus menyelesaikan pekerjaannya ketika tiba-tiba suasana kantor menjadi ramai. Suara langkah kaki dan bisikan-bisikan memenuhi ruangan, membuatnya penasaran.Ia pun melirik ke arah pintu dan melihat beberapa rekan kerjanya bergegas menuju suatu titik. Tidak ingin ketinggalan informasi, Agnia mendekati salah satu rekan kerja yang juga terlihat terburu-buru."Ada apa?" tanyanya, berusaha mengimbangi langkah cepat rekannya itu. Tanpa menghentikan langkah, rekannya menjawab dengan suara sedikit tertahan, "Tuan Stuart Brogan datang dari Australia.""Apa?" Mendengar nama itu, Agnia langsung terkejut dan menghentikan langkahnya.Stuart Brogan, pimpinan pusat FutureIt, yang jarang sekali turun langsung ke cabang-cabangnya, kini berada di kantor mereka.Perasaan terkejut dan panik bercampur aduk dalam diri Agnia. Ia bergegas menuju ruang rapat, tempat di mana para rekannya tampak sudah berkerumun di depannya.Setelah mendekat, langkah Agnia tiba-tiba terasa berat karena perasaan
Stuart Brogan terdiam sejenak, terkejut dengan ketegasan Agnia yang tak tergoyahkan meski pria itu berusaha tak mengatakan apapun. Sebelum bertemu dengan wanita ini, Stuart memang sudah mendengar desas-desus tentang Nibras yang berusaha mendekati Agnia, tetapi dia menganggap hal itu sebagai urusan pribadi yang tidak perlu ia campuri, terutama karena fokusnya sepenuhnya pada bisnis. Namun, ketika Agnia mengungkapkan alasan pengunduran dirinya, Stuart menyadari betapa seriusnya situasi ini. Proyek cabang di Indonesia, yang telah ia persiapkan selama lima tahun dengan kerja keras dan dedikasi, berada di ujung tanduk. Jika hari ini dia gagal membujuk Agnia untuk kembali ke FutureIt, semua usaha dan pengorbanannya selama ini akan berakhir sia-sia. Stuart telah mencurahkan segalanya untuk membangun fondasi yang kuat bagi kantor cabang di Indonesia. Masih tersimpan rapi dalam ingatannya bagaimana dirinya melakukan perjalanan bolak-balik antara Australia dan Indonesia, membangun jaringan