Keesokan paginya, Nibras tiba di kantor cukup pagi. Ia harus menyelesaikan beberapa berkas yang tertunda. Saat dirinya tenggelam dalam keseriusan, Gunawan masuk ke dalam ruangannya setelah meminta izin."Ada apa?" tanya Nibras melepas kacamatanya yang mulai terasa berat. "Bapak tak ingin mengganti dengan kontak lensa, Pak?" usul Gunawan tanpa ujung pangkal."Mungkin sebaiknya kau membicarakan hal yang lebih berguna." Nibras memutar kedua maniknya malas membuat Gunawan terkekeh.“Kau … belum menemukan Agnia berada di mana?” tanya Nibras menatap dengan harap pada sang asiten.Tawa Gunawan perlahan mereda seiring wajahnya kembali serius. Pria itu menggelengkan kepala pelan. “Tapi, saya tidak berhenti mencari, Pak.”Nibras menghela napas pelan. “Baiklah. Apa yang ingin kau sampaikan?""Berdasarkan informasi yang saya dapat, Hadi Bakhtiar secara sadar menunjuk Lyman sebagai ahli waris HB Construction sepenuhnya," lapor Gunawan dengan hati-hati.Sesuai dugaan, raut wajah atasannya cukup te
Nibras mendesah pelan, mengusap wajahnya sedikit kasar seakan mencoba mengusir rasa frustrasi yang tiba-tiba menyergap. Nama ayahnya muncul di saat yang paling tidak tepat. Ah, tidak. Sepertinya ayahnya selalu menghubungi dirinya di saat yang tidak pernah tepat. Hubungan mereka memang tidak pernah harmonis dan panggilan ini hanya akan menambah ketegangan yang sudah ada. Meski hati Nibras terasa berat karena rasa enggan, tetapi pria itu tahu bahwa menolak panggilan tersebut sama saja menggali kuburannya sendiri. Dalam situasi ini, ia tidak memiliki kuasa untuk menghindar lebih lama meski dapat menebak apa yang akan menjadi topik pembicaraan sang ayah. Ditariknya napas dalam-dalam sebelum akhirnya Nibras menekan tombol untuk menerima panggilan. “Selamat pagi, Ayah.” “Lama sekali kau mengangkatnya,” dengkus Hakeem dengan suara berat dan otoriter terdengar di ujung telepon. Tiba-tiba saja Nibras merasa seluruh ruang kerjanya terasa didominasi dengan aura yang menegangkan dari sang
Agnia sedang fokus menyelesaikan pekerjaannya ketika tiba-tiba suasana kantor menjadi ramai. Suara langkah kaki dan bisikan-bisikan memenuhi ruangan, membuatnya penasaran.Ia pun melirik ke arah pintu dan melihat beberapa rekan kerjanya bergegas menuju suatu titik. Tidak ingin ketinggalan informasi, Agnia mendekati salah satu rekan kerja yang juga terlihat terburu-buru."Ada apa?" tanyanya, berusaha mengimbangi langkah cepat rekannya itu. Tanpa menghentikan langkah, rekannya menjawab dengan suara sedikit tertahan, "Tuan Stuart Brogan datang dari Australia.""Apa?" Mendengar nama itu, Agnia langsung terkejut dan menghentikan langkahnya.Stuart Brogan, pimpinan pusat FutureIt, yang jarang sekali turun langsung ke cabang-cabangnya, kini berada di kantor mereka.Perasaan terkejut dan panik bercampur aduk dalam diri Agnia. Ia bergegas menuju ruang rapat, tempat di mana para rekannya tampak sudah berkerumun di depannya.Setelah mendekat, langkah Agnia tiba-tiba terasa berat karena perasaan
Stuart Brogan terdiam sejenak, terkejut dengan ketegasan Agnia yang tak tergoyahkan meski pria itu berusaha tak mengatakan apapun. Sebelum bertemu dengan wanita ini, Stuart memang sudah mendengar desas-desus tentang Nibras yang berusaha mendekati Agnia, tetapi dia menganggap hal itu sebagai urusan pribadi yang tidak perlu ia campuri, terutama karena fokusnya sepenuhnya pada bisnis. Namun, ketika Agnia mengungkapkan alasan pengunduran dirinya, Stuart menyadari betapa seriusnya situasi ini. Proyek cabang di Indonesia, yang telah ia persiapkan selama lima tahun dengan kerja keras dan dedikasi, berada di ujung tanduk. Jika hari ini dia gagal membujuk Agnia untuk kembali ke FutureIt, semua usaha dan pengorbanannya selama ini akan berakhir sia-sia. Stuart telah mencurahkan segalanya untuk membangun fondasi yang kuat bagi kantor cabang di Indonesia. Masih tersimpan rapi dalam ingatannya bagaimana dirinya melakukan perjalanan bolak-balik antara Australia dan Indonesia, membangun jaringan
Menghela napas panjang Nibras akhirnya turun dari mobil setelah cukup lama merenung di dalam sana. "Tuan Muda," sapa seorang pelayan kediaman sang ayah seraya sedikit membungkukkan badannya saat Nibras melangkahkan kaki melalui teras depan. Pria itu hanya membalas dengan anggukan sekilas lalu menuju ruang tamu di mana semua orang menunggunya. Ia sengaja membuat dirinya terlambat dan berencana pulang lebih awal dengan alasan pekerjaan agar tidak terlalu lama berinteraksi dengan para manusia yang akan ia temui. Nibras menghentikan langkahnya saat kakinya nyaris memasuki ruangan tersebut. Ia dapat mendengar tawa ayah dan tamunya, seperti sedang membicarakan sesuatu yang membahagiakan. Meyakinkan dirinya sekali lagi, ia pun kembali berjalan sembari memasang senyum seramah yang ia mampu. "Selamat malam," sapanya begitu dirinya tampak bagi orang-orang yang ada di ruang tamu. "Ah, sang bintang utama sudah datang," sahut Hakeem yang cukup mengejutkan bagi Nibras karena melih
Setengah jam lamanya Nibras terkungkung dalam cengkeraman Shania yang tak mau melepaskan dirinya begitu saja. Bergerak sedikit saja, wanita itu kembali mengeratkan cekalannya bahkan tak jarang diikuti dengan tatapan awas tetapi penuh hasrat Shania benar-benar bertingkah bak cacing kepanasan yang haus akan perhatian dan sentuhan darinya, membuat Nibras meragukan jika wanita ini benar-benar dari keluarga yang katanya terhormat. Sikap itu juga yang turut meyakinkan Nibras bahwa Shania memang tidak pantas untuk ada di sisinya. Nibras melewati malam itu dengan penuh tekanan. Bahkan di saat kedua pria paruh baya itu serius memberikan wejangan seputar kehidupan pernikahan, pria itu tak mendengarkannya dengan baik. Pria itu lebih banyak termenung dalam diam. Benaknya masih penuh dengan segala informasi yang seharian ini ia dengar dari sang asisten hingga untuk bicara pun Nibras sudah kehilangan minatnya. Semua yang Nibras dengarkan dan yang terjadi malam ini pria itu anggap sebag
Jantung Nibras berdetak semakin kencang bahkan dirinya dapat mendengar saking kerasnya. Detik berikutnya, Hakeem bergegas berdiri dan menghujamkan tatapannyalang pun sedikit memerah, seakan pria paruh baya itu akan meledak saat itu juga. Nibras tahu ini adalah konsekuensi yang harus ia hadapi dari ayahnya. Namun, ia sudah membuatkan tekad dan tiada yang dapat mengubah keputusannya untuk saat ini. Bahkan usul Gary yang menyuruhnya untuk bersikap menurut sementara tak dapat lagi ia lakukan. Nibras sudah tak tahan dengan semua yang terjadi. "Sudah kubilang aku tidak ingin mendengarkan omong kosong darimu!" Hakeem berkata dengan suara nyaring dan penuh kemarahan. Perlahan Nibras turut berdiri, berhadapan dengan sang ayah. Ini adalah pertama kalinya ia berbuat sekurang ajar ini pada Hakeem. Pria itu berusaha keras menahan segala emosi yang berebutan untuk keluar. "Ayah, bisakah Ayah mendengarkan-" "Apa yang perlu aku dengarkan? Hah? Keputusan bodohmu ini? Apa yang sedang ingin kau
Rahang Hakeem yang tegas perlahan mengendur, penampakan itu menciptakan sebuah harapan dalam benak Nibras. Harapan jika sang ayah dapat menerima keputusannya.Namun, melihat pria paruh baya itu tak kunjung bersuara, Nibras menyayangkannya dalam hati. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia mengharapkan momen seperti ini dapat perlahan membuka tabir yang selama ini menghalangi dirinya dengan sang ayah.Hubungan mereka yang nyaris seperti atasan bawahan itu, ingin sekali Nibras singkirkan.Meski figur ayah seakan lenyap dalam diri Hakeem di matanya, tetapi Nibras berusaha keras untuk tidak membenci orang yang sudah berjuang keras membesarkannya selama iniapalagi seorang diri tanpa pendamping. Hingga akhirnya Nibras memilih untuk berdamai dengan masa lalu.Ruang tamu itu terasa semakin sesak dengan ketegangan yang menggantung di udara. Nibras mengatur napasnya, berusaha untuk tidak membiarkan emosinya menguasai, sementara Hakeem tampak semakin menjauh dalam si