Nibras menghela napas lega atas kedatangan Gunawan. Setidaknya ia dapat menjeda sebentar agar tidak meladeni keegoisan Shania yang tiada berujung. Tanpa menunggu persetujuan wanita itu, Nibras pun memberi tanda pada Gunawan untuk mengikutinya pergi meninggalkan Shania begitu saja."Nibras! Kau mengacuhkanku lagi?" pekik Shania dan menghentakkan kakinya kesal. "Nibras!"Gunawan melihat sekilas ke belakang lalu berbisik pada atasannya. "Pak, apakah ini tidak apa-apa? Saya takut nona itu berulah lagi...""Aku tak peduli!" tukas Nibras cepat dengan rahang mengetat sekilas. Ia benar-benar tak peduli dengan apa yang akan dilakukan oleh wanita licik itu. Gunawan pun hanya diam mengikuti Nibras yang ternyata berjalan menuju ruangan sang asisten. Setelah mereka masuk, Nibras segera mengunci pintu.Pria itu sempat menghubungi petugas keamanan untuk mengurus keberadaan Shania. Lalu kembali fokus pada masalah yang ada.“Ada apa?” tanya Nibras pada Gunawan, menatap lekat.Asistennya terlihat gelis
Pintu penumpang belakang dibanting cukup keras oleh Nibras seiring pria itu menghempaskan tubuhnya. Ia membuka kancing teratasnya untuk melegakan diri yang masih saja terasa sesak. Bersandar pada kursi, Nibras mendongakkan wajah ke atas berusaha mengatur pasokan udara yang masuk. Sementara di samping supir, Gunawan melihat ke arah atasannya khawatir lalu memerintahkan pada supir untuk segera melajukan mobil yang mereka tumpangi. “Are you really okay, Sir?” tanya Gunawan hati-hati untuk memastikan. Tiada jawaban membuat pria itu kembali mengamati Nibras. Tampaknya atasannya masih mengatur napasnya sehingga ia memberi pria itu waktu. “Gunawan, cari tau dimana Agnia sekarang dan apa-apa saja yang dia lakukan.” Suara Nibras yang sedikit lemah itu memberi instruksi memecah keheningan. “Jangan lupa bernegosiasi dengan Tuan Brogan untuk menarik kembali Agnia bekerja di FutureIt. Katakan padanya, jika
Sementara itu, di sebuah kafe yang tidak terlalu ramai pengunjung itu tampak Agnia sedang berbincang dengan seorang pria. Wajah keduanya sama seriusnya dengan percakapan yang mereka lakukan sore itu.Sang pria menyesap minumannya sebentar sebelum berkata pada Agnia. “Kau yakin dengan cara ini dia akan menyerah?” tanya pria itu menatap Agnia sungguh-sungguh.Agnia tak segera menjawab. Wanita itu terdiam cukup lama lalu menghela napas lirih. “Sungguh, aku sendiri tidak tau.”“Pikirkan lagi, Agnia. Aku tau kau begitu mencintai FutureIt.”Perkataan pria di depannya membuat hati Agnia kembali galau. Memang betul, ia begitu mencintai FutureIt, bahkan perusahaan ini adalah segalanya bagi dirinya.Masih teringat jelas dalam ingatan bagaimana Agnia berjuang untuk bergabung dengan perusahaan startup ini dari keadaan tidak memiliki apa-apa hingga tumbuh bersama teman-teman kerjanya.Selama Agnia hidup, baru kali ini merasakan sesuatu atas keputusannya sendiri dan menikmati kehidupan. Karena itu,
Nibras sudah tampak seperti zombie di mata Gary. Matahari padahal sudah keluar dari peraduannya dan menyapa dunia nyaris setengah hari, tetapi pria itu tak mengerjakan apapun bahkan bergerak pun tidak. Beruntung sangat sepupunya itu karena bernapas merupakan suatu aktivitas otomatis yang dimiliki tubuh manusia tanpa memerlukan usaha. Jika tidak, mungkin Nibras sudah mati! Gary yang berdiri di pinggir tempat tidur dengan kedua tangan masuk ke dalam sak celana pendeknya, menatap ke arah Nibras yang masih saja bergeming. Tatapannya sungguh kosong membuat Gary menghela napas perlahan. “Ayolah, berhenti bertingkah menyedihkan seperti ini.” Gary mendecak sedikit kesal sekaligus miris. “Pergi dari sini,” gumam Nibras sembari menutupi kepalanya dengan bantal membuat sepupunya semakin kesal. Ditariknya bantal itu dan ganti Nibras yang menjadi kesal. “Brengsek! Aku tak ingin diganggu!” sahutnya sembari menarik kembali bantal yang diambil, tetapi Gary lebih kuat tentu saja. “Mau samp
Esok paginya, Nibras duduk di kursi kantor kebesarannya dengan tatapan kosong ke arah layar laptop yang menyala di depannya, tetapi tak melakukan apapun. Kata-kata Gary terus terngiang di kepalanya, mengusik setiap sudut pikirannya. "Jadi, sebelum kau melanjutkan hidupmu atau apapun yang menjadi rencanamu, sembuhkanlah dirimu terlebih dahulu.” Kalimat itu terasa seperti tamparan yang tidak hanya menyadarkannya, tetapi juga mengguncang dunianya yang sudah rapuh. Ia tahu, ada kebenaran di balik ucapan sepupunya itu. Namun, bagaimana mungkin pria itu bisa memulai proses penyembuhan ketika luka yang ditinggalkan Agnia masih menganga? Bagaimana bisa ia move on jika setiap kenangan bersama Agnia seperti bayangan hantu yang selalu mengikutinya? Nibras menyugar rambutnya sedikit kasar diikuti helaan napas berat bersamaan dengan sebuah ketukan terdengar di pintu. “Masuk,” ucapnya dan tak lama, Gunawan pun sudah berjalan mendekat dan berhenti di depan meja kerjanya. “Lima belas men
"Dari mana kau mendapatkan ini semua?" tanya Nibras dengan nada tak percaya, menatap Gunawan yang berdiri di hadapannya.Nibras tahu, informasi ini bukanlah sesuatu yang mudah diakses oleh orang luar.Dokumen ini tidak hanya menunjukkan angka-angka, tetapi juga menunjukkan sebuah fakta suram tentang kejatuhan finansial yang sebentar lagi tak akan terelakkan."Arjuna mengirimnya tadi pagi," jawab Gunawan, mengamati perubahan wajah sang atasannya yang semakin suram saja saat kembali membaca laporan tersebut.Mendengar nama pria itu disebut, seketika Nibras teringat jika dirinya memang pernah meminta tolong pada Arjuna beberapa waktu lalu."Dia membobol sistem keamanan finansial HBC. Semua data di dalamnya adalah aktual, Pak,” lanjut Gunawan."Dia melakukannya dengan bersih, 'kan?" tanya Nibras tanpa mengangkat wajahnya dari lembaran di tangan."Semoga saja begitu.""Kau tau apa yang harus dil
Nama Agnia tidak muncul sebagai pewaris utama HB Construction membuat kecurigaan Nibras semakin dalam.‘Bagaimana mungkin Agnia, putri kandung dari Hadi Bachtiar, hanya mendapat bagian kecil dari perusahaan yang seharusnya menjadi haknya?’ batin pria itu semakin merasa sesuatu jelas tidak beres dan ada yang sedang dimainkan di balik layar."Gunawan, kita harus menyelidiki ini lebih jauh," perintah Nibras dengan suara yang tegas pun dingin.Pria itu tak akan membiarkan ketidakadilan ini terus berlanjut tanpa mengetahui kebenarannya. Ada perasaan kuat dalam dirinya bahwa Agnia telah dikhianati, dan ia takkan tinggal diam.“Ya, tentu saja, Pak. Saya tak akan membiarkan Nona Agnia mengalami masalah karena kelakuan seseorang,” tukas Gunawan mengangguk berjanji pada dirinya sendiri akan segera menindaklanjuti perintah tersebut dengan menggali informasi lebih dalam.***Nibras tak dapat berhenti memikirkan segala yang ia dengar seharian ini. Semuanya terlalu rumit dan mengejutkan meski ia me
Keesokan paginya, Nibras tiba di kantor cukup pagi. Ia harus menyelesaikan beberapa berkas yang tertunda. Saat dirinya tenggelam dalam keseriusan, Gunawan masuk ke dalam ruangannya setelah meminta izin."Ada apa?" tanya Nibras melepas kacamatanya yang mulai terasa berat. "Bapak tak ingin mengganti dengan kontak lensa, Pak?" usul Gunawan tanpa ujung pangkal."Mungkin sebaiknya kau membicarakan hal yang lebih berguna." Nibras memutar kedua maniknya malas membuat Gunawan terkekeh.“Kau … belum menemukan Agnia berada di mana?” tanya Nibras menatap dengan harap pada sang asiten.Tawa Gunawan perlahan mereda seiring wajahnya kembali serius. Pria itu menggelengkan kepala pelan. “Tapi, saya tidak berhenti mencari, Pak.”Nibras menghela napas pelan. “Baiklah. Apa yang ingin kau sampaikan?""Berdasarkan informasi yang saya dapat, Hadi Bakhtiar secara sadar menunjuk Lyman sebagai ahli waris HB Construction sepenuhnya," lapor Gunawan dengan hati-hati.Sesuai dugaan, raut wajah atasannya cukup te