Informasi mengenai keluarga Agnia yang Nibras terima dari Gunawan beberapa hari lalu membuatnya selalu resah nyaris tiap hari. Apalagi belum ada perkembangan lebih lanjut dari asistennya itu mapun Arjuna.
Beruntung pekerjaan yang harus Nibras urusi di kantor cukup banyak sehingga pikirannya sering teralihkan meski terkadang masalah itu kembali muncul.
Sejak mendengar kabar tersebut, ingin sekali Nibras menghubungi Agnia tetapi mengingat wanita itu bahkan belum memberikan reaksi atas permintaan maafnya membuat dirinya urung.
Bisa-bisa Agnia kembali marah jika mengetahui dirinya melakukan penyelidikan tanpa sepengetahuan sang mantan istri.
“Ah, tapi mengingat aku pernah membawakannya kue kesukaannya sepertinya Agnia juga tau jika aku melakukan itu,” gumam Nibras mengingat-ingat.
"Haah!" Pria itu membuang napas keras dan kasar sembari melepas kacamata dan meletakkannya di meja sedikit asal. Segera dilonggarkannya dasi, berharap penat yang
Entah helaan napas keberapa yang telah Agnia lakukan dalam hari ini. Benaknya tidak bosan-bosan memutar ulang momen Nibras meminta maaf padanya. Wanita itu ingin sekali tidak memikirkan hal tersebut tetapi dirinya selalu saja kalah hingga akhirnya menyerah dan membiarkannya.Masih terasa, getaran suara Nibras saat mengucapkan maaf padanya. Kalimat yang diucapkan begitu tulus dan jujur, sesuatu yang tidak pernah Agnia bayangkan akan keluar dari mulut pria itu yang selama ini ia kenal kaku dan dingin.Jika setelah perceraian itu terjadi, ia lebih memilih momen yang menyakitkan, entah mengapa kali ini Agnia malah mengingat-ingat kebaikan Nibras selama pernikahan dua tahun mereka, meski dapat dihitung dengan jari.Atau mungkin, Agnia yang tak ingin mengingatnya sebagai kebaikan?Perlahan, Agnia meraih ponsel yang ia letakkan di dekatnya lalu membuka histori komunikasi antara dirinya dan Nibras. Wanita itu menghela napas seraya meletakkan kembali benda pipih itu setelah tak menemukan apapu
Seharusnya, Agnia tidak usah merasakan apapun karena antara dirinya dan mantan suaminya itu memang tidak ada hubungan yang lebih selain kolega.Namun, tanpa diminta rasa pedih mulai menjalar dalam tubuhnya hingga meremas dadanya perlahan, begitu menyesakkan bahkan kedua maniknya sudah mulai mengabur karena genangan air mata yang tiba-tiba saja muncul.Sementara, pria yang menjadi pusat perhatian hanya dapat mematung di tempatnya. Wajah Nibras berubah tegang saat melihat Agnia dan Gunawan di pintu.Berbeda dengan Shania yang justru menampakkan senyum licik penuh kemenanganbahkan mempererat lingkaran tangan di leher pria itu. Ia tampak puas dengan kekacauan yang baru saja ia ciptakan.Tak ketinggalan, Gunawan menatap ke arah atasannya sedikit kecewa dan juga penuh tanda tanya. Meski berita perjodohan antara Nibras dan Shania sempat merebak, tetapi ia pikir Nibras akan lebih memilih mantan istrinya melihat segala tingkah dan sikap yang pria itu lakukan
Agnia melangkahkan kakinya lebar-lebar. Hatinya berdegup kencang kala itelingan masih sempat mendengar perdebatan yang terjadi antara Nibras dan wanita yang bersama pria itu tadi.Bergegas ia meraih ponsel yang ada di dalam tasnya dengan gemetaran lalu mencari nomor Bernard dan segera menghubunginya.“Halo. Ada apa Agnia?”“Maafkan saya. Tapi, sepertinya pertemuan dengan Pak Nibras hari ini harus dibatalkan. Bisakah Anda menjadwal ulang waktunya?” Agnia berkata tanpa berhenti berjalan. Ia ingin segera pergi dari tempat ini!‘Kenapa liftnya jadi jauh sekali?!’ runtuk wanita itu dalam hati, merasa lorong yang ia lewati tiba-tiba terasa panjang. Ia hanya khawatir Gunawan atau Nibras mengejarnya sebelum ia sempat turun.“Hey, are you okay? Apa ada masalah?” Bernard seketika berubah khawatir mendengar suara Agnia yang tidak biasa dan seperti menahan tangis.“Tidak, tidak. Saya &hel
Mau tak mau, Agnia membalikkan tubuhnya kembali menghadap sang mantan suami. Nibras telah menatap ke arahnya dengan penuh percaya diri. Kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana membuat pria itu semakin tampak meremehkan dirinya.Agnia mendengkus sedikit kasar. “Apa hubungan Tuan Molloy dengan makan malam?”“Tak usah menyangkal jika kau dan pria itu memiliki hubungan khusus!” sindir Nibras, kali ini tatapannya mulai tak ramah.“Berapa kali harus aku bilang kalau dia hanya rekan kerja!” Agnia kembali mendengkus diikuti dengan kedua tangan yang sudah bersedekap.“Whatever. Apapun hubungan kalian, aku tidak suka!” ucap Nibras dengan nada rendah. Rahangnya yang mengetat sekilas disertai tatapan tajam membuat Agnia meremang sekaligus bertanya-tanya.“Apa ia benar-benar cemburu dengan Bernard?’“Lagipula kenapa aku harus mendengarkan pendapatmu soal hubungan kami? Aku masih ingat dengan jelas bagaimana kau menghinaku terakhir kali karena aku menerimanya sebagai tamu di rumah!” Agnia berk
“Serius?” tanya Gary menatap cukup terkejut ke arah Nibras yang sedang berkaca di depan cermin setinggi badan itu.Tak menoleh, Nibras hanya menyenggut lebih fokus pada pantulan dirinya. Pria itu berdecak pelan. “Kau tak punya baju yang lain? Ini terlihat lusuh sekali!”“Pulang sana ke apartemenmu sendiri!” gerutu Gary sembari melempar bantal sofa yang ada di kamarnya.“Apartemenmu lebih dekat dari restorannya. Aku malas pulang. Ck, sepertinya aku harus mampir ke butik dulu untuk membeli kemeja.”“Astaga! Kau ini hanya makan malam bukan ingin melamarnya!” Sepupunya itu kembali menggerutu tetapi kali ini mampu membuat pergerakan Nibras terhenti.Melihat itu, Gary pun tersadar akan ucapannya. “Jangan bilang kau memang …”“Aku ‘kan sudah pernah memintanya untuk menikah lagi denganku,” sahut Nibras santai tanpa rasa bersalah.“Itu bukan
Nibras sudah menduga Agniaakan memberikan penolakan dan sikap defensif. Tapi Nibras tidak akan mundur.Tujuannya malam ini adalah mengetahui lebih dalam tentang keluarga sang mantan istri.Mata Nibras tidak lepas menghunjam dalam dan lekat pada Agnia yang semakin tampak tak nyaman.“Katakan padaku sejujurnya.” Menjeda sebentar pria itu. “Apapun yang akan kita bicarakan malam ini, jauh di dalam hatimu kau akan tetap menerima ajakanku, bukan?” tanyanyadengan nada tenang namun tegas.Agnia tak menjawab. Dia hanya mengalihkan pandangan ke arah lain sambil bersedekap. Ketegangan terlihat jelas di wajahnya.Ia sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini. Dia selalu tahu. Namun, tiadagunanya melarikan diri sekarang. Mereka sudah terlalu jauh untuk mundur.“Diammu kuanggap sebagai jawaban iya,” tukas Nibras dan Agnia juga tak repot-repot untuk membalasnya.Terulas senyum samar setipi
Nibras tak lagi menahan Agnia saat mantan istrinya itu benar-benar beranjak dari hadapannya. Melihatnya sekilas mengusap pipi, ia yakin wanita itu pasti menangis. Pedih menerjang pria itu di dalam dada, tetapi kali ini ia hanya diam menatap punggung Agnia yang menjauh lalu menghilang di balik pintu. Tergugu dirinya cukup lama hingga suara seorang pelayan sedikit mengejutkan menyapanya. "Ehm, permisi, Tuan." Nibras dapat melihat keraguan bercampur sedikit takut-takut pada pelayan itu. "Makan malamnya..." "Batalkan saja," sahutnya dengan rahang mengeras sekilas. Ia kembali teringatkan bagaimana sang mantan istrinya melayangkan tanda ke wajah. "B-Baik, Tuan." Tak mengindahkan tatapan dari semua manusia yang berada di ruangan nan megah itu, Nibras melangkahkan kakinya lebar-lebar menuju lobi depan. Berharap sangat ia masih bertemu dengan Agnia. Namun, harapannya sirna karena tak menemukan siapapun di sana kecuali petugas valet yang menyambutnya. Saat menunggu mobilnya ti
Debaran dalam dada Nibras mulai meningkat perlahan seiring benaknya yang mulai mengingat-ingat kejadian yang dijadikan alasan untuk Hakeem berbicara seperti itu.Interaksi antara dirinya dan Shania benar-benar sangat jarang dan tak sekalipun ia pernah melakukan hal yang menyebabkan wanita itu trauma.Nibras menatap ke arah sang ayah dengan kebingungan di wajahnya. “Ayah, apa maksud Ayah dengan trauma? Apa yang sedang Ayah bicarakan?” tanyanya dengan suara bergetar. Perasaan was-was dan ketidakpastian memenuhi diri.Dalam hati, tak henti ia mengumpati wanita licik yang telah menyebabkan dirinya terjebak dalam situasi yang menghebohkan ini!“Pak Tasrif menelponku dan mengatakan Shania menangis tak berhenti dan tertekan. Ia menjadi seperti itu setelah bertemu denganmu! Setiap ayahnya bertanya, ia semakin menangis menjadi-jadi dan menyalahkan dirimu! Jadi apa itu kalau bukan trauma?!”Hakeem terus-terusan berkata dengan nada tingginya. Urat lehernya bahkan menonjol karena saking marahnya