"Ka-kamu mau apa?" tanya Nindy dengan wajah pucat ketika melihat Billy memajukan tubuhnya.Nindy semakin beringsut ke belakang saat Billy semakin mendekat ke arahnya. Sementara Billy hanya diam sambil membungkukkan tubuhnya ke arah Nindy, hingga wajah mereka berada di jarak yang sangat dekat.Nindy semakin panik. Dengan gugup, dia menahan napasnya ketika merasakan hembusan napas hangat Billy menyapu wajahnya. "Billy, kamu jangan macam-macam."Tepat ketika Nindy mengatakan itu, terdengar bunyi pengait sabuk pengaman dilepas. Nindy seketika menoleh ke arah kanan. Ternyata, hanya membantunya melepas sabuk pengamannya. Ketika menyadari itu, wajah Nindy langsung memerah. Dia pikir tadi Billy ingin ..."Kenapa diam? Gak mau turun?" Suara Billy mengembalikan kesadaran Nindy, seketika itu juga dia sudah mengangkat kepalanya dan melihat Billy sudah berada di posisinya yang semula, namun tatapan masih tertuju padanya."Mau ikut pulang sama saya ke hotel?" lanjut Billy lagi melihat Nindy bergemi
“Diam di sini. Jangan jauh-jauh dari saya.” Tatapan keduanya bertemu dengan jarak yang sangat dekat. Debaran jantung Nindy semakin tidak karuan saat Billy menatapnya dengan lekat. “Saya tidak bisa melihat laporan yang kamu buat kalau kamu duduk jauh dari saya,” tambah Billy lagi, takut Nindy salah mengartikan ucapannya tadi.“Maaf,” ucap dengan wajah memerah. Bisa-bisanya dia merasa salah tingkah hanya karena ucapan Billy tadi. Padahal, Billy sudah menjelaskan mengenai alasan dari tindakannya tadi.Setelah itu, tidak ada percakapan apa pun antara mereka berdua, Nindy sibuk dengan pekerjaannya, sementara Billy sibuk dengan ponselnya. Hanya sesekali dia terlihat mengecek pekerjaan Nindy. Meskipun sejak tadi Nindy terlihat fokus pada pekerjaannya, tapi nyatanya fokusnya terbagi menjadi dua, pada pekerjaannya dan pada pria yang berada di sampingnya. Sedari tadi pria di sampingnya itu terlihat sibuk mengetik sesuatu di layar ponselnya. Bahkan, beberapa kali ponselnya berdering. Namun, t
"Kamu tahu dari mana, Shel?""Dari sepupu aku. Dia kenal dekat sama Billy. Dia juga ikut dalam taruhan itu."Nindy langsung terduduk di atas closet dengan wajah pucat pasi. Sementara suasana diluar menjadi semakin heboh. Keempat yang sedang berada di luar bilik toilet melanjutkan obrolan mereka dengan antusias."Nindy memang cantik, tapi masih banyak lebih cantik dari dia. Lagian, yang suka sama Billy juga banyak dan cantik semua. Gampang banget kalau Billy mau dapatin yang lebih dari Nindy.""Tapi, aku liat Billy perhatian banget sama Nindy. Dia juga selalu bersikap lembut sama Nindy dan gak pernah ngerespon cewek yang suka sama dia. Kayaknya dia memang sayang banget sama Nindy." "Itu cuma topeng aja. Billy gak pernah cinta sama Nindy. Dia itu cuma sandiwara demi dapetin Nindy."Nindy langsung membekap mulutnya dengan kedua tangannya setelah mendengar itu. Air matanya pun jatuh begitu saja tanpa bisa dia cegah.Dia sangat terkejut ketika mendengar perkataan perempuan-perempuan itu.
Melihat Denis menjeda ucapannya, Nindy jadi tidak sabar untuk mendengar kelanjutannya. "Sedang apa?"Denis terdiam sesaat, kemudian menjawab pertanyaan Nindy dengan senyuman yang dibuat-buat, "Aku pernah liat dia mandangi kamu terus waktu di parkiran."Padahal, bukan itu yang ingin Denis beritahukan pada Nindy. Dia tidak ingin memberitahu yang sebenarnya pada Nindy karena ingin memastikan lebih dulu dugaannya apakah benar atau tidak."Aku kira apaan." Nindy menggeser piring miliknya, lalu meminum es jeruknya."Kenapa muka kamu kayak lesu gitu, capek?" tanya Denis ketika melihat Nindy ceria seperti biasanya. Bahkan, dia terlihat tidak bersemangat sejak tadi. "Atau kamu masih sakit?""Gak. Cuma lagi males ngapa-ngapain."Padahal, pikirannya terganggu sejak dia mendengar nama Shela disebut oleh Angga. Nama itu berhasil mengusik ketenangannya. Tidak bisa dipungkiri olehnya kalau dia masih merasakan kekecewaan jika mengingat masa lalu."Kemarin, aku lihat Pak Billy panik waktu liat kamu pi
"Nindy pulang sama saya, Pak." Suara itu adalah suara Billy. "Kami sudah janjian pulang bersama." Nindy membulatkan matanya, lalu melayangkan tatapan tajam pada Billy. Bisa-bisanya pria itu berbohong pada Pak Edwin. Padahal, tidak ada obrolan apa pun di antara mereka sebelum dirinya keluar dari ruangan Billy tadi. "Maaf, Pak Billy. Saya gak tahu. Kalau begitu saya duluan, Pak.." Billy hanya mengangguk sambil berjalan mendekati Nindy. "Nin, saya duluan, ya?" pamit Pak Edwin pada Nindy. "Iya, Pak." Setelah mobil Pak Edwin pergi, Nindy langsung menoleh pada Billy dan memberikan tataoab menusuk pada pria itu. "Kenapa kamu bilang gitu sama Pak Edwin? Gimana kalau dia mikir yang gak-gak sama kita?" Billy tersenyum miring melihat wajah kesal Nindy. "Saya memang mau antar kamu pulang," jawab Billy enteng. "Ada yang mau saya diskusikan sama kamu." "Tapi, saya gak—" "Cepat ikut saya. Saya buru-buru." Kalau saja Billy tidak memiliki pengaruh besar di kantornya, sudah pasti Nindy akan to
“Bukannya itu mantan kamu?” Dimas langsung bertanya pada Nindy setelah keduanya duduk di ruangan tamu. "Kenapa dia di sini? Kalian balikan lagi?""Gak," jawab Nindy cepat. "Tahu dari mana kalau dia mantan aku?” Nindy mendaratkan punggungnya di sandaran sofa dengan wajah lelah.Dimas adalah sepupu Nindy. Dia anak dari kakak Ibu Nindy. Billy tidak tahu kalau Dimas adalah sepupu Nindy. Waktu mereka menjalin hubungan dulu, Nindy memang belum pernah mengenalkan Dimas pada Billy, karena dia tinggal di Bandung. Jadi, keduanya tidak pernah bertemu dan Billy tidak mengetahui hubungan keduanya.“Aku pernah melihat galeri foto kamu, ada fotonya di sana,” ungkap Dimas.Hanya ada satu pria yang ada di galeri foto ponsel Nindy saat dia tidak sengaja membuka galeri di ponselnya. Saat itu, Dimas ingin mengirim foto mereka berdua ketika wisuda dan dia tidak sengaja melihat foto Billy di wallpaper ponsel Nindy dan saat membuka galeri foto, banyak foto Nin
"Bill, harus ada bukti kalau kamu memang udah tidur sama dia. Siapa yang bisa dapetin Nindy dan tidur sama dia, orang itu yang bakal jadi pemenangnya.""Bener, Bill. Kamu harus sportif. Tunjukkin buktinya. Setelah itu, kita semua gak bakal ngincar Nindy lagi."Setelah terdiam selama beberapa saat, Billy akhirnya mengambil ponsel, lalu menunjukkan foto kepada teman-temannya. "Ini buktinya." Semua serentak menatap layar ponsel dengan antusias. "Itu foto setelah kami melakukannya."Di dalam foto tersebut terlihat Billy bertelanjang dada dan ada Nindy di belakangnya sedang berbaring memunggunginya dengan tubuh berbalut selimut dan hanya menampakkan sedikit bahu putihnya.Wajahnya tidak terlihat jelas karena dia menghadap belakang. Namun, jika diperhatikan dengan jelas, memang sedikit mirip dengan Nindy, terutama rambut panjangnya."Kamu memang hebat Bill bisa dapetin Nindy. Padahal, selama ini banyak yang deketin dia, tapi gak ada yang berhasil dapetin dia. Aku aja ditolak dua kali sam
Dari pagi hingga siang hari, Nindy bekerja tanpa gangguan dari siapa pun. Tidak biasanya Billy tidak memanggilnya hingga menjelang makan siang. Pagi tadi, Billy hanya melewatinya tanpa menjawab sapaannya ketika mereka berpasasan. Nindy juga tidak mengerti, kenapa pria itu bersikap sangat dingin padanya. Apa mungkin karena dia tidak menjawab pertanyaan yang diajukan pria itu semalam? Itu sebabnya, dia mengabikannya pagi tadi?Pukul 11 siang, Nindy akhirnya pergi ke ruangan Billy. Namun, pria itu tidak ada di sana. Dia akhirnya pergi ke ruangan meeting untuk mencari pria itu, dan pria itu memang sedang berada di sana, mengobrol serius dengan Angga sembari menatap pada laptop yang ada di depannya."Ada apa, Nin?" Angga langsung bertanya ketika melihat Nindy membuka pintu."Saya mencari Pak Billy, Pak." Nindy menatap Billy setelah menjawab itu, sementara orang yang dimaksud hanya menampilkan wajah acuh tak acuh dengan sorot mata yang masih tertuju pada laptop, seolah bukan dia yang seda