“Bukannya itu mantan kamu?” Dimas langsung bertanya pada Nindy setelah keduanya duduk di ruangan tamu. "Kenapa dia di sini? Kalian balikan lagi?"
"Gak," jawab Nindy cepat. "Tahu dari mana kalau dia mantan aku?”Nindy mendaratkan punggungnya di sandaran sofa dengan wajah lelah.Dimas adalah sepupu Nindy. Dia anak dari kakak Ibu Nindy. Billy tidak tahu kalau Dimas adalah sepupu Nindy. Waktu mereka menjalin hubungan dulu, Nindy memang belum pernah mengenalkan Dimas pada Billy, karena dia tinggal di Bandung. Jadi, keduanya tidak pernah bertemu dan Billy tidak mengetahui hubungan keduanya.“Aku pernah melihat galeri foto kamu, ada fotonya di sana,” ungkap Dimas.Hanya ada satu pria yang ada di galeri foto ponsel Nindy saat dia tidak sengaja membuka galeri di ponselnya. Saat itu, Dimas ingin mengirim foto mereka berdua ketika wisuda dan dia tidak sengaja melihat foto Billy di wallpaper ponsel Nindy dan saat membuka galeri foto, banyak foto Nin"Bill, harus ada bukti kalau kamu memang udah tidur sama dia. Siapa yang bisa dapetin Nindy dan tidur sama dia, orang itu yang bakal jadi pemenangnya.""Bener, Bill. Kamu harus sportif. Tunjukkin buktinya. Setelah itu, kita semua gak bakal ngincar Nindy lagi."Setelah terdiam selama beberapa saat, Billy akhirnya mengambil ponsel, lalu menunjukkan foto kepada teman-temannya. "Ini buktinya." Semua serentak menatap layar ponsel dengan antusias. "Itu foto setelah kami melakukannya."Di dalam foto tersebut terlihat Billy bertelanjang dada dan ada Nindy di belakangnya sedang berbaring memunggunginya dengan tubuh berbalut selimut dan hanya menampakkan sedikit bahu putihnya.Wajahnya tidak terlihat jelas karena dia menghadap belakang. Namun, jika diperhatikan dengan jelas, memang sedikit mirip dengan Nindy, terutama rambut panjangnya."Kamu memang hebat Bill bisa dapetin Nindy. Padahal, selama ini banyak yang deketin dia, tapi gak ada yang berhasil dapetin dia. Aku aja ditolak dua kali sam
Dari pagi hingga siang hari, Nindy bekerja tanpa gangguan dari siapa pun. Tidak biasanya Billy tidak memanggilnya hingga menjelang makan siang. Pagi tadi, Billy hanya melewatinya tanpa menjawab sapaannya ketika mereka berpasasan. Nindy juga tidak mengerti, kenapa pria itu bersikap sangat dingin padanya. Apa mungkin karena dia tidak menjawab pertanyaan yang diajukan pria itu semalam? Itu sebabnya, dia mengabikannya pagi tadi?Pukul 11 siang, Nindy akhirnya pergi ke ruangan Billy. Namun, pria itu tidak ada di sana. Dia akhirnya pergi ke ruangan meeting untuk mencari pria itu, dan pria itu memang sedang berada di sana, mengobrol serius dengan Angga sembari menatap pada laptop yang ada di depannya."Ada apa, Nin?" Angga langsung bertanya ketika melihat Nindy membuka pintu."Saya mencari Pak Billy, Pak." Nindy menatap Billy setelah menjawab itu, sementara orang yang dimaksud hanya menampilkan wajah acuh tak acuh dengan sorot mata yang masih tertuju pada laptop, seolah bukan dia yang seda
Denis yang sedang duduk di samping Nindy seketika menoleh pada Nindy. "Kamu mau aku bawa ke sana terus ketemu sama mama?""Lah, kenapa aku yang mau dibawa? Ya, bawa pacar kamulah .""Gak ada pacar.""Masa ganteng-ganteng jomblo. Dari sekian banyak cewek masa gak ada yang kamu suka, sih?""Ada, tapi dianya gak suka sama aku.""Cewek buta mana sih yang gak mau sama kamu," sahut Dewi."Nindy, buktinya dia gak mau sama aku."Nindy yang disebut namanya, mendadak menghentikan gerakannya ketika akan meraih minumannya. "Kenapa dari tadi jadi aku yang dibawa-bawa terus?""Duuuh, Nin. Peka dikit dong. Denis lagi kasih kode keras sama kamu. Masa gitu aja gak tahu," ucap Dewi seraya memutar bola matanya.Nindy bukannya tidak tahu kalau Denis menyukainya. Dia tahu, tapi sengaja berpura-pura tidak tahu. Dia hanya tidak mau memberikan harapan paslu pada Denis. Luka di hatinya belum sembuh. Jadi, dia belum bisa menerima orang lain. Lagi pula, dia merasa tidak pantas untuk pria sebaik Denis, terlebih
“Nin, mau sarapan bareng?” ajak Denis ketika Nindy baru saja memasuki ruangan. Di ruangan itu hanya mereka berdua karena semua orang belum ada yang datang.“Boleh.” Setelah meletakkan tasnya di atas meja, Nindy menuju kantin bersama dengan Denis.Setelah tiba dikantin, mereka berdua langsung memesan makanan dan mencari tempat duduk yang berada di pojok. Baru saja duduk di kursi, seseorang menghampiri mereka berdua, orang itu adalah Dewi. Mereka bertiga pun sarapan bersama.Selesai sarapan, mereka berniat kembali ke ruangan, tapi tidak sengaja berpapasan dengan Angga, Pak Edwin serta Billy di tangga. Nindy, Denis, dan Dewi serempak menyapa mereka bertiga. Hanya Angga dan Pak Edwin yang menjawab, sementara Billy hanya menganggukkan kepala, lalu melangkah pergi.“Duuh, pak bos makin hari makin ganteng aja,” puji Dewi dengan tatapan memuja sambil terus mengikuti ke mana Billy melangkah."Kejar, Wi. Jangan sampai lepas," sahut Denis sambil terkekeh ringan."Pengennya gitu, tapi apalah daya,
“Tolong temani Pak Billy untuk mencari rumah sewa. Minggu ini saya ada acara keluarga di luar kota, jadi gak bisa nemanin Pak Billy,” jawab Pak Edwin. “Lokasi hotel Pak Billy saat ini jauh dari kantor. Jadi, untuk menghemat waktu, Pak Billy berencana untuk mencari rumah sewa yang lokasinya tidak jauh dari kantor kita. Kamu bisa, kan, nemenin Pak Billy?” Tiba-tiba saja Nindy merasa menyesal karena sudah menyanggupi permintaan Pak Edwin tadi. Jika dia tahu Pak Edwin memintanya untuk menemani Billy, dia pasti sudah menolak dari awal dengan berbagai alasan. Kalau sekarang dia menolak permintaan itu, tentu saja itu akan menimbulkan kecurigaan pada Pak Edwin dan Dewi. Dia tidak mau kalau orang kantor tahu kalau sebenarnya dia mengenal Billy, bahkan pernah sempat menjalin hubungan dengannya. “Saya aja Pak yang nemenin Pak Billy mencari rumah sewa. Saya juga tahu kok rumah sewa yang ada di dekat kantor,” tawar Dewi tanpa ada rasa sungkan sama sekali. Ini kesempatannya untuk bisa de
"Kamu menguping pembicaraan saya?" tebak Billy dengan mata memicing."Gak, Pak. Saya baru aja mau ngetuk pintu waktu Bapak keluar."Billy menyoroti wajah Nindy dengan mata hitamnya selama beberapa sesaat, setelah itu berkata, "Kenapa lama sekali, apa kamu tidak tahu kalau saya sudah menunggu kamu sejak tadi?""Maaf, Pak. Tadi saya sedang ke toilet."Billy memasang wajah datar, kemudian kembali ke meja kerja setelah meminta Nindy untuk masuk ke ruangannya. Keduanya duduk di sofa yang bersebelahan. Billy langsung menjelaskan sesuatu pada Nindy seraya menunjuk ke arah laptopnya. Namun, ternyata Nindy tidak mendengarkannya. Dia justru terlihat sedang melamun."Nindy, apa kamu dengar apa yang saya bicarakan dengan kamu sejak tadi?"Nindy yang sejak tadi sibuk dengan pikirannya sendiri seketika sadar ketika mendengar suara dingin bernada kesal dari pria yang sedang di sampingnya."Maaf, Pak. Tadi Bapak bilang apa?"Billy membuang napasnya dengan kasar, lalu menegakkan punggung dan sedikit m
"Nin, kamu lembur juga?"Angga yang baru saja memasuki ruang kerja Billy tampak terkejut ketika melihat keberadaan Nindy di sana."Iya, Pak.""Kamu mau aja dikerjain Billy. Jangan mau nemenin dia lembur," kata Angga seraya melemparkan senyuman penuh arti pada Billy."Jangan mengganggunya," ujar Billy dengan suara berat disertai tatapan tajam."Nin, Billy boongin kamu. Pekerjaan cuma alasan dia aja. Dia tuh sebenarnya mau berduaan sama kamu.""Keluar!"Angga langsung menghindar ketika Billy melemparkan bolpoin padanya."Nin, kalau dia macam-macam sama kamu, teriak aja. Nanti saya langsung datang."Ketika melihat Billy akan melemparkan buku ke arahnya, Angga bergegas keluar dari ruangan itu setelah terkekeh."Jangan dengarin dia. Angga selalu bicara omong kosong."Nindy hanya mengangguk dan meneruskan pekerjaannya. Sudah 3 jam mereka berada di kantor semenjak jam kerja selesai."Pekerjaan kamu belum selesai?" tanya Billy setengah jam kemudian."Belum, Pak."Billy berdiri, melepas jasnya
"Kamu takut sama saya?" Nindy membeku ketika wajah Billy semakin dekat. Saat dia akan membuka suara, tiba-tiba terdengar suara petir yang saling menyambar membuat keduanya terkejut. Disaat bersamaan, listrik tiba-tiba padam. Spontan saja Nindy memeluk tubuh Billy dengan kuat karena merasa takut. "Nin, lepaskan." Suara Billy terdengar serak. "Bill, jangan tinggalin aku. Aku takut." Billy menunduk, meskipun tidak bisa melihat wajah Nindy saat ini. Namun, dia bisa merasakan kalau wanita yang sedang memeluknya itu sangat ketakutan. Dia bisa merasakan tubuh Nindy gemetar dan jantungnya berdebar kencang saat ini. "Saya gak akan ninggalin kamu. Saya cuma mau ngambil ponsel saya buat nerangin kamar ini." Nindy menggeleng saat Billy ingin melepaskan diri. "Gak. Kamu pasti boong. Kamu pasti mau ninggalin aku." Duuuaaaaarrr!!! Nindy semakin memperat pelukannya setelah mendengar suara petir yang menggelegar. Firasatnya memang sudah tidak enak ketika melihat hujan turun dengan lebat
"Menantu Anda tidak sakit, tapi dia sedang hamil," jawab Dokter wanita itu dengan senyuman tipis. "Hamil?" ulang Amara dengan wajah tercengang. "Maksud Dokter, ada calon cucu saya di perut menantu saya?" Meski dia sudah menduga kalau menantunya hamil, tapi Amara tetap terkejut ketika mendengar langsung berita baik itu dari mulut sang dokter. "Benar sekali." Nindy yang sejak tadi mendengar itu, tampak mengusap perutnya dengan lembut sambil tersenyum bahagia. Bagaimana tidak bahagia, dirinya bisa langsung hamil setelah pulang dari berbulan madu, sementara kakak iparnya belum hamil sampai sekarang. Padahal, dia sangat berharap bisa segera hamil setelah menikah. "Untuk memastikannya, silahkan langsung melakukan pemeriksaan USG dengan Dokter Obgyn." Setelah tiba di rumah sakit, Amara langsung membawa Nindy ke IGD. Sebenarnya, dia sudah curiga sejak awal kalau menantunya sedang hamil setelah putranya bercerita kalau sudah beberapa hari Nindy tidak napsu makan dan pagi tadi mengal
"Sayang, berhenti. Jangan main-main." Billy mencoba memperingatkan Nindy sejak tadi terus memainkan jemari lentiknya di dada bidangnya. Saat ini keduanya sedang berbaring di ranjang dengan posisi Billy bertelanjang dada menghadap ke langit-langit, sementara Nindy sedang berbaring miring menghadap Billy dengan mengenakan pakaian tidur tipis dan seksi "Aku cuma mau pegang, memangnya nggak boleh?" Billy memejamkan mata sambil menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan saat merasakan tangan Nindy semakin turun ke bawah. "Boleh, tapi jangan lama-lama. Nanti kamu menyesal." Nindy mengabaikan peringatan Billy dan semakin berani meraba tubuh sang suami. "Sayang, cukup." Nindy seketika menghentikan gerakan tangannya ketika tiba di otot perut Billy. "Kamu nggak suka aku pegang badan kamu?" Sebisa mungkin Billy berkata dengan pelan agar tidak menyinggung perasaan sang istri. "Nggak, Sayang. Aku suka, tapi ini untuk kebaikan kamu. Kamu sendiri yang rugi kalau terus memancin
"Sayang, kamu berdiri di sana, nanti aku foto," tunjuk Billy pada latar bangunan berwarna putih yang memiliki kubah warna biru. Saat ini keduanya sedang berada di Thira atau lebih dikenal dengan Santorini. Thira atau Santorini adalah pulau vulkanik yang berada di antara Pulau Ios dan Anafi, Yunani. Santorini terletak di Kepulauan Cyclades sekitar 200 km dari daratan Yunani. Di pulau ini, sangat terkenal dengan sejarah gunung meletus serta keindahan bangunan-bangunan putih dan gereja berkubah biru yang berada di pinggir tebing atau di bangun di atas lereng kaldera yang berada di kota Oia. "Aku nggak mau foto sendirian, maunya sama kamu." Ketika mendengar itu, Billy tidak tahan untuk menggodanya. "Sekarang, kayaknya kamu nggak bisa jauh-jauh dari aku, maunya nempel terus. Aku pergi ke mana, selalu aja mau ikut. Kamu begitu, apa karena takut suami kamu diambil orang?" "Jangan ngeledek terus. Cepetan, ke sini atau aku nanti aku foto sama orang lain." "Jangan coba-coba atau aku lempar
"Sayang, ayo kita berenang di bawah," ajak Nindy sambil menghampiri Billy yang sedang duduk bersantai di bawah payung pantai yang berada di pinggir kolam. "Kamu duluan aja, Sayang. Nanti aku nyusul." "Aku nggak mau berenang sendirian." "Aku istirahat sebentar, ya? Aku masih capek." Bagaimana tidak capek, kemarin dia habis menggempur Nindy hingga malam, lalu dia lanjutkan lagi menjelang pagi. Setelah itu, dia menemani Nindy bermain jet ski hingga pukul 9 pagi, kemudian bermain banana boat, parasailing hingga pukul 12 siang. Setelah makan siang, mereka berjalan-jalan di sekitar pulau sampai menjelang pukul 2 siang, kemudian pulang dan berendam bersama sambil menikmati pemandangan di luar. Jika dihitung-hitung, dia hanya beristirahat selama setengah jam. "Sebentar aja Sayang nanti habis berenang kamu bisa istirahat." Nindy meraih tangan Billy dan mencoba untuk menariknya, tapi sang suami tidak bergerak sedikit pun. "Nanti aku nyusul, Sayang. Aku liatin kamu dulu dari sini." "Ya, u
"Bagus banget pemandangannya." Mata Nindy tampak berbinar ketika melihat pemadangan bintang dari tempat tidurnya. Saat ini, dia dan Billy sedang berbaring di ranjang sambil menikmati pemandangan bintang di malam hari. Kebetulan sekali kamar mereka dilengkapi dengan atap kamar yang bisa dibuka tutup secara otomatis menggunakan tombol. "Rasanya aku pengen tinggal di sini terus." Billy yang sedang berbaring miring menghadap sang istri yang sedang tidur terlentang seketika tersenyum. "Nanti kita ke sini lagi kalau aku ada waktu." "Beneran?" tanya Nindy seketika memiringkan tubuhnya ke arah Billy. "Iya, Sayang." Nindy pun tersenyum. "Besok kita mau ke mana lagi?" Seharian ini, mereka sudah melakukan banyak hal. Snorkling, berjalan-jalan, bersepeda di sekitar resort, bermain air di pantai sampai sore hari, kemudian melakukan spa di resort tersebut. Malam harinya, mereka makan malam romantis di gedung utama resort. "Besok istirahat aja di kamar. Sorenya baru kita jalan-jalan
"Sayang, bangun. Ini sudah pagi."Billy sedang duduk di tepi ranjang kembali memberikan kecupan singkat di pipi sang istri yang masih terlelap sejak siang hingga 7 sore hari. Sejak tadi, dia sudah berusaha untuk membangun Nindy dengan memberikan kecupan-kecupan ringan di wajahnya, tapi sang istri tidak terpengaruh sedikit pun.Sore kemarin, mereka baru saja tiba di penginapan Soneva Jani yang terletak di pulau Medhufaru. Nindy yang kelelahan akibat perjalanan jauh langsung tertidur setelah makan malam bersama dengan Billy dan belum terbangun hingga kini. Padahal, dia bilang ingin berenang sambil melihat matahari terbit."Jam berapa ini?" tanya Nindy dengan suara serak.Akhirnya, dia membuka mata setelah dibangun selama kurang lebih 15 menit oleh Billy. Meski sudah terbangun, tapi matanya belum terbuka dengan sempurna."Jam 7 pagi, Sayang," jawab Billy lembut sambil merapihkan anak rambut sang istri yang menutupi sebagian matanya. "Kamu masih ngantuk?"Nindy menggeleng lemah. "Nggak. C
Baru saja Dimas memasuki lift untuk turun ke lantai bawah, tiba-tiba saja ada seorang wanita ambruk di depannya. Sebelum wanita itu sempat terjatuh di lantai, Dimas sudah lebih dulu menangkap tubuh wanita itu dan menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Selain Dimas dan wanita itu, ada seorang pria juga yang berada di dalam lift."Nona, ada apa denganmu?" tanya Dimas sambil menepuk wajah wanita yang sudah menyandarkan kepala di bahunya."Maaf, ini teman saya. Dia lagi sakit. Biar saya yang bawa dia."Pria yang berada satu lift dengan mereka akhir membuka suara setelah pintu lift tertutup.Saat pria itu akan menyentuh wanita itu, Dimas segera mencengkram tangannya dengan tatapan tajam. "Kau mau berbuat apa dengan wanita yang sedang pingsan?"Pria tinggi berkulit sawo matang yang mengaku sebagai teman wanita itu tampak tidak senang mendengar ucapan Dimas. "Dia temanku. Jadi, apa masalahmu?""Bagaimana aku bisa tahu kalau kau memang temannya? Bisa saja kau mengaku-ngaku. Aku tidak bisa membi
"Di mana Nindy?" tanya Angga setelah Billy duduk di kursi depannya.Siang ini Billy bertemu dengan Angga di restoran hotel tempatnya menginap. Di sana jugalah nanti dia akan bertemu dengan teman-temanya yang berasal dari Singapore."Lagi tidur."Angga seketika tersenyum mendengar itu. "Masih jam 10 pagi, tapi dia udah tidur?Sepertinya kau habis menggempurnya habis-habisan semalam sampai membuatnya kelelahan seperti itu."Bukannya marah diolok-olok oleh Angga, Billy justru menanggapi dengan santai, "Nggak ada yang salah dengan itu. Dia udah resmi menjadi istriku.""Tapi, setidaknya tahan dirimu sedikit. Dia pasti lelah setelah melewati resepsi pernikahan yang panjang. Seharusnya, biarkan dia beristirahat dulu sehari, setelah itu kau bisa melakukannya.""Aku nggak bisa menahannya.""Tapi, selama ini kau berhasil menahannya, bahkan sampai 6 tahun. Kau juga tidak pernah terpengaruh dengan Shela yang sudah berkali-kali menggodamu.""Tidak bisa jika Nindy orangnya," jawab Billy santai, "jan
"Sayang, kamu yakin mau sarapan bersama?" tanya Billy sambil menghampiri Nindy yang sedang mengeringkan rambut di depan cermin kamar mandi dengan menggunakan hairdryer."Iya, nggak enak kalau nggak ikut sarapan.""Memangnya kamu bisa jalan?" Billy melingkarkan tangan di perut istrinya sambil menatapnya dari pantulan cermin setelah Nindy mematikan pengering rambut yang ada di tangan kanannya."Bisa, tapi pelan-pelan." Setelah itu, Nindy membalik tubuhnya menghadap Billy."Kalau nggak bisa, jangan dipaksa, Sayang. Lebih baik sarapan di kamar aja. Mereka juga pasti maklum, kita, kan, pengantin baru.""Ini salah kamu. Katanya cuma sebentar, tapi ternyata keterusan."Billy terkekeh pelan melihat wajah cemberut istrinya. "Maaf, Sayang. Kamu tahu sendiri, aku udah menahannya sejak lama. Ini aja aku masih sedikit menahan diri karena kasihan sama kamu.""Menahan diri apanya, kamu jangan bercanda. Badan aku sakit semua karena ulah kamu."Billy kembali terkekeh pelan. Setelah tawanya mereda, dia