“Tolong temani Pak Billy untuk mencari rumah sewa. Minggu ini saya ada acara keluarga di luar kota, jadi gak bisa nemanin Pak Billy,” jawab Pak Edwin. “Lokasi hotel Pak Billy saat ini jauh dari kantor. Jadi, untuk menghemat waktu, Pak Billy berencana untuk mencari rumah sewa yang lokasinya tidak jauh dari kantor kita. Kamu bisa, kan, nemenin Pak Billy?” Tiba-tiba saja Nindy merasa menyesal karena sudah menyanggupi permintaan Pak Edwin tadi. Jika dia tahu Pak Edwin memintanya untuk menemani Billy, dia pasti sudah menolak dari awal dengan berbagai alasan. Kalau sekarang dia menolak permintaan itu, tentu saja itu akan menimbulkan kecurigaan pada Pak Edwin dan Dewi. Dia tidak mau kalau orang kantor tahu kalau sebenarnya dia mengenal Billy, bahkan pernah sempat menjalin hubungan dengannya. “Saya aja Pak yang nemenin Pak Billy mencari rumah sewa. Saya juga tahu kok rumah sewa yang ada di dekat kantor,” tawar Dewi tanpa ada rasa sungkan sama sekali. Ini kesempatannya untuk bisa de
"Kamu menguping pembicaraan saya?" tebak Billy dengan mata memicing."Gak, Pak. Saya baru aja mau ngetuk pintu waktu Bapak keluar."Billy menyoroti wajah Nindy dengan mata hitamnya selama beberapa sesaat, setelah itu berkata, "Kenapa lama sekali, apa kamu tidak tahu kalau saya sudah menunggu kamu sejak tadi?""Maaf, Pak. Tadi saya sedang ke toilet."Billy memasang wajah datar, kemudian kembali ke meja kerja setelah meminta Nindy untuk masuk ke ruangannya. Keduanya duduk di sofa yang bersebelahan. Billy langsung menjelaskan sesuatu pada Nindy seraya menunjuk ke arah laptopnya. Namun, ternyata Nindy tidak mendengarkannya. Dia justru terlihat sedang melamun."Nindy, apa kamu dengar apa yang saya bicarakan dengan kamu sejak tadi?"Nindy yang sejak tadi sibuk dengan pikirannya sendiri seketika sadar ketika mendengar suara dingin bernada kesal dari pria yang sedang di sampingnya."Maaf, Pak. Tadi Bapak bilang apa?"Billy membuang napasnya dengan kasar, lalu menegakkan punggung dan sedikit m
"Nin, kamu lembur juga?"Angga yang baru saja memasuki ruang kerja Billy tampak terkejut ketika melihat keberadaan Nindy di sana."Iya, Pak.""Kamu mau aja dikerjain Billy. Jangan mau nemenin dia lembur," kata Angga seraya melemparkan senyuman penuh arti pada Billy."Jangan mengganggunya," ujar Billy dengan suara berat disertai tatapan tajam."Nin, Billy boongin kamu. Pekerjaan cuma alasan dia aja. Dia tuh sebenarnya mau berduaan sama kamu.""Keluar!"Angga langsung menghindar ketika Billy melemparkan bolpoin padanya."Nin, kalau dia macam-macam sama kamu, teriak aja. Nanti saya langsung datang."Ketika melihat Billy akan melemparkan buku ke arahnya, Angga bergegas keluar dari ruangan itu setelah terkekeh."Jangan dengarin dia. Angga selalu bicara omong kosong."Nindy hanya mengangguk dan meneruskan pekerjaannya. Sudah 3 jam mereka berada di kantor semenjak jam kerja selesai."Pekerjaan kamu belum selesai?" tanya Billy setengah jam kemudian."Belum, Pak."Billy berdiri, melepas jasnya
"Kamu takut sama saya?" Nindy membeku ketika wajah Billy semakin dekat. Saat dia akan membuka suara, tiba-tiba terdengar suara petir yang saling menyambar membuat keduanya terkejut. Disaat bersamaan, listrik tiba-tiba padam. Spontan saja Nindy memeluk tubuh Billy dengan kuat karena merasa takut. "Nin, lepaskan." Suara Billy terdengar serak. "Bill, jangan tinggalin aku. Aku takut." Billy menunduk, meskipun tidak bisa melihat wajah Nindy saat ini. Namun, dia bisa merasakan kalau wanita yang sedang memeluknya itu sangat ketakutan. Dia bisa merasakan tubuh Nindy gemetar dan jantungnya berdebar kencang saat ini. "Saya gak akan ninggalin kamu. Saya cuma mau ngambil ponsel saya buat nerangin kamar ini." Nindy menggeleng saat Billy ingin melepaskan diri. "Gak. Kamu pasti boong. Kamu pasti mau ninggalin aku." Duuuaaaaarrr!!! Nindy semakin memperat pelukannya setelah mendengar suara petir yang menggelegar. Firasatnya memang sudah tidak enak ketika melihat hujan turun dengan lebat
Billy terdiam sesaat, memasang wajah datar, kemudian berkata, "Kalau hujanya gak reda juga, terpaksa kamu tidur di sini. Terlalu bahaya kalau berkendara disaat hujan deras seperti ini. Saya akan anter kamu pulang besok pagi. Kamu bisa tidur di kamar saya dan saya akan tidur di sini."Mata Nindy membeliak seketika. "Saya harus pulang, Pak. Kalau Bapak tidak bisa mengantar saya, nanti saya bisa naik taksi."Tidak pantas rasanya jika menginap di sana karena keduanya tidak memiliki ikatan apa pun. Apalagi, Billy sudah memiliki kekasih, takut Shela akan salah paham padanya jika sampai dia tahu kalau dirinya menginap di sana."Saya hanya bercanda." Billy menyesap teh hangatnya dengan datar, lalu menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Nanti akan saya antar kamu pulang, tapi tunggu sedikit reda."Nindy menoleh ke arah jendela untuk melihat kondisi hujan di luar. Ternyata hujan masih sangat deras. Dia pun menghela napas, setelah itu kembali menatap Billy. "Iya, Pak, tapi saya minta izin ke toilet seb
Ketika ingin mengubah posisi kursi Nindy, tiba-tiba saja Nindy membuka matanya. Saat melihat wajah Billy yang berada di depannya, spontan saja dia bergerak. Namun, gerakannya itu justru membuat bibirnya menyentuh wajah Billy. Nindy pun membelalak dengan tubuh membeku selama beberapa saat. "Maaf." Nindy segera menarik kepalanya ke samping kiri ketika menyadari kalau Billy juga mematung ketika pipinya disentuh oleh bibirnya. "Aku ... gak bermaksud ..." Mencium kamu. Namun, kata-kata itu hanya bisa terucap di dalam hatinya karena Nindy merasa malu untuk mengucapkannya. "Sudah sampai. Kamu tidak mau turun?" Usai mendengar itu, Nindy segera menatap ke depan dan baru menyadari kalau mereka sudah berada di depan rumahnya. "Jika tidak, aku akan membawamu pulang kembali ke hotelku." "Saya mau turun, Pak," kata Nindy dengan cepat. Takut kalau Billy benar-benar mewujudkan perkataannya dan membawanya kembali ke hotel. "Terima kasih sudah mengantar saya. Maaf, sudah merepotkan Bapak." Ke
"Bisa aja dia beneran jatuh cinta sama kamu setelah taruhan itu," ucap Dimas dengan santai. "Kalau itu terjadi, gimana? Mau balikan sama dia lagi?" Sebelum ini, Nindy tidak pernah memikirkan hal itu sama sekali. "Aku juga gak tau." Melihat Nindy termenung, Dimas memutuskan untuk mengalihkan ke topik lain. "Minggu depan mau balik sama aku gak? Denis juga mau balik ke Bandung katanya." Sejak bekerja di Surabaya, Nindy tidak pernah kembali ke Jakata, Nindy selalu pulang ke Bandung bersama Dimas. Terkadang dia bertemu dengan orang tuanya di sana jika dia merindukan mereka. "Mendadak banget, kenapa? Ada acara?" tanya Nindy. Dimas baru saja kembali 2 minggu lalu dari Bandung, itu sebabnya Nindy merasa heran, kenapa pria itu ingin pulang lagi. "Gak ada. Cuma pengen pulang aja." "Aku gak bisa ikut." Nindy menyandarkan punggung di sofa dengan wajah lesu, kemudian berkata, "Lagi banyak kerjaan di kantor." "Kalau capek kerja, brenti aja. Kamu bisa jadi Nyonya Denis. Kamu gak bakal
Billy berpikir sejenak dengan wajah serius, kemudian bertanya, "Di perumahan kamu, apa ada rumah yang disewain?" “Kamu mau tinggal di perumahan aku?” Billy mengangguk ringan. “Jika memang ada yang kosong, saya mau.” “Tapi, lokasinya gak deket sama kantor. Rumah di sana juga gak sebagus yang kita lihat tadi.” “Saya memang mau cari rumah yang biasa,” kata Billy dengan santai. “Sepertinya, di tempat kamu suasananya tenang." Billy terbiasa hidup dengan kemewahan, belum terbiasa hidup biasa. Jadi, Nindy agak meragukan keputusan pria itu ingin menyewa rumah yang biasa. Meskipun, dulu kesehariannya selalu berpenampilan biasa. Namun, semua yang ada di dirinya serta yang melekat tubuhnya memiliki nilai tinggi. Sebenarnya perumah Nindy tidak bisa dikatakan biasa. Karena perumahan itu termasuk perumahan yang harga cukup tinggu. Khusus diperuntukkan untuk kalangan menegah ke atas. Kenapa Nindy mengatakan perumahan itu biasa, karena dia sedikit tahu tentang kekayaan keluarga Billy. Sebagai