Billy terdiam sesaat, memasang wajah datar, kemudian berkata, "Kalau hujanya gak reda juga, terpaksa kamu tidur di sini. Terlalu bahaya kalau berkendara disaat hujan deras seperti ini. Saya akan anter kamu pulang besok pagi. Kamu bisa tidur di kamar saya dan saya akan tidur di sini."Mata Nindy membeliak seketika. "Saya harus pulang, Pak. Kalau Bapak tidak bisa mengantar saya, nanti saya bisa naik taksi."Tidak pantas rasanya jika menginap di sana karena keduanya tidak memiliki ikatan apa pun. Apalagi, Billy sudah memiliki kekasih, takut Shela akan salah paham padanya jika sampai dia tahu kalau dirinya menginap di sana."Saya hanya bercanda." Billy menyesap teh hangatnya dengan datar, lalu menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Nanti akan saya antar kamu pulang, tapi tunggu sedikit reda."Nindy menoleh ke arah jendela untuk melihat kondisi hujan di luar. Ternyata hujan masih sangat deras. Dia pun menghela napas, setelah itu kembali menatap Billy. "Iya, Pak, tapi saya minta izin ke toilet seb
Ketika ingin mengubah posisi kursi Nindy, tiba-tiba saja Nindy membuka matanya. Saat melihat wajah Billy yang berada di depannya, spontan saja dia bergerak. Namun, gerakannya itu justru membuat bibirnya menyentuh wajah Billy. Nindy pun membelalak dengan tubuh membeku selama beberapa saat. "Maaf." Nindy segera menarik kepalanya ke samping kiri ketika menyadari kalau Billy juga mematung ketika pipinya disentuh oleh bibirnya. "Aku ... gak bermaksud ..." Mencium kamu. Namun, kata-kata itu hanya bisa terucap di dalam hatinya karena Nindy merasa malu untuk mengucapkannya. "Sudah sampai. Kamu tidak mau turun?" Usai mendengar itu, Nindy segera menatap ke depan dan baru menyadari kalau mereka sudah berada di depan rumahnya. "Jika tidak, aku akan membawamu pulang kembali ke hotelku." "Saya mau turun, Pak," kata Nindy dengan cepat. Takut kalau Billy benar-benar mewujudkan perkataannya dan membawanya kembali ke hotel. "Terima kasih sudah mengantar saya. Maaf, sudah merepotkan Bapak." Ke
"Bisa aja dia beneran jatuh cinta sama kamu setelah taruhan itu," ucap Dimas dengan santai. "Kalau itu terjadi, gimana? Mau balikan sama dia lagi?" Sebelum ini, Nindy tidak pernah memikirkan hal itu sama sekali. "Aku juga gak tau." Melihat Nindy termenung, Dimas memutuskan untuk mengalihkan ke topik lain. "Minggu depan mau balik sama aku gak? Denis juga mau balik ke Bandung katanya." Sejak bekerja di Surabaya, Nindy tidak pernah kembali ke Jakata, Nindy selalu pulang ke Bandung bersama Dimas. Terkadang dia bertemu dengan orang tuanya di sana jika dia merindukan mereka. "Mendadak banget, kenapa? Ada acara?" tanya Nindy. Dimas baru saja kembali 2 minggu lalu dari Bandung, itu sebabnya Nindy merasa heran, kenapa pria itu ingin pulang lagi. "Gak ada. Cuma pengen pulang aja." "Aku gak bisa ikut." Nindy menyandarkan punggung di sofa dengan wajah lesu, kemudian berkata, "Lagi banyak kerjaan di kantor." "Kalau capek kerja, brenti aja. Kamu bisa jadi Nyonya Denis. Kamu gak bakal
Billy berpikir sejenak dengan wajah serius, kemudian bertanya, "Di perumahan kamu, apa ada rumah yang disewain?" “Kamu mau tinggal di perumahan aku?” Billy mengangguk ringan. “Jika memang ada yang kosong, saya mau.” “Tapi, lokasinya gak deket sama kantor. Rumah di sana juga gak sebagus yang kita lihat tadi.” “Saya memang mau cari rumah yang biasa,” kata Billy dengan santai. “Sepertinya, di tempat kamu suasananya tenang." Billy terbiasa hidup dengan kemewahan, belum terbiasa hidup biasa. Jadi, Nindy agak meragukan keputusan pria itu ingin menyewa rumah yang biasa. Meskipun, dulu kesehariannya selalu berpenampilan biasa. Namun, semua yang ada di dirinya serta yang melekat tubuhnya memiliki nilai tinggi. Sebenarnya perumah Nindy tidak bisa dikatakan biasa. Karena perumahan itu termasuk perumahan yang harga cukup tinggu. Khusus diperuntukkan untuk kalangan menegah ke atas. Kenapa Nindy mengatakan perumahan itu biasa, karena dia sedikit tahu tentang kekayaan keluarga Billy. Sebagai
"Yang aku mau ..." Billy semakin membungkukkan tubuhnya dan memajukan wajahnya ke arah depan. Tiba-tiba saja Nindy menjadi panik dan langsung menutup matanya ketika hidung keduanya nyaris menempel. "Adalah ..." Ketika melihat Nindy mengerutkan wajah dengan mata terpejam, Billy menarik senyuman tipis, lalu mendekatkan mulutnya ke telinga Nindy dan berbisik, "Kamu." Mata Nindy seketika terbuka lebar. Dia menatap Billy dengan bingung yang baru saja menarik dirinya ke belakang. Namun, masih mengungkung dirinya. "Aku?" Billy mengangguk ringan. "Ya. Saya mau kamu temani saya berbelanja ke mal. Saya tidak memiliki baju ganti lagi. Jadi, temani saya mencari baju." Melihat Nindy terdiam dengan wajah bingung, Billy kembali angkat bicara, "Saya tidak tahu daerah sini, kamu, kan, sudah lama di sini. Jadi, pasti tahu di mana tempat yang memiliki store terlengkap." Nindy tidak langsung menyetujuinya. Namun, menimang selama beberapa saat. "Kamu gak mau temenin saya beli baju?" tanya Billy ak
"Bill, ngapain kamu di sini?" Ketika Billy dan Nindy menoleh, ada seorang wanita yang sedang menatap ke arahnya dengan tatapan heran. "Berbelanja," jawab Billy datar. "Maksud aku, kamu ngapain di kota ini?" Wanita itu melirik pada Nindy sekilas setelah bertanya pada Billy. "Kamu, kan, tinggal di Jakarta." "Lagi ada kerjaan." Wanita cantik bermata sipit itu mengangguk, kemudian beralih pada Nindy. "Siapa?" tanya Nindy. "Pacar kamu?" Billy langsung meraih tangan Nindy dan menggengamnya sambil tersenyum. "Iya." Nindy yang mendengar itu, seketika menoleh pada Billy dengan ekspesi terkejut. "Oh." Raut wajah wanita itu sekilas terlihat kecewa. Namun, detik selanjutnya dia kembali tersenyum. "Kamu ada kerjaan apa di sini? Kenapa gak bilang?" tanya wanita itu lembut sambil tersenyum manis. "Cuma mau ngecek kantor cabang." Wanita itu kembali mengangguk. "Di mana kantor cabang kamu? Kapan-kapan aku boleh mampir ke sana? Kita, kan, udah lama gak ketemu." "Jen, sory. Kami lag
Nindy semakin panik. Berbeda dengan Billy yang tampak tenang. "Cincinnya sempit dijari kamu?" Nindy menggeleng. "Nggak juga. Cuma ini nyangkut di tengah pas mau dilepas." Nindy kemudian menunjukkan jari manisnya pada Billy. "Liat nih." Dia memutar cincinnya beberapa kali dan terlihat tidak ada hambatan apa pun. Cincin itu bisa berputar dengan sempurna. "Nggak sempit, cuma susah dilepas." Sebenarnya, Nindy bisa saja melepas cincin itu sedikit dengan paksaan. Hanya saja, dia takut cincin itu akan lecet atau tergores. Dilihat dari desain serta permata berkilau di tengah cincin itu, Nindy bisa menebak kalau harga cincin itu sangat mahal. Meskipun, dia orang yang berkucukupan dan bisa mengganti kerugian cincin itu, tapi dia tidak ingin membuang-buang uang untuk hal yang menurutnya tidak diperlukan. "Kalau begitu jangan dilepas. Biarin cincin itu di tangan kamu." "Apa?" Pupil mata Nindy membola dengan ekspresi wajah bodoh dan tampak bingung. "Cincin itu nggak bisa dilepas, ka
"Itu artinya kamu harus menjadi milikku."Nindy tiba-tiba saja teringat kembali dengan ucapan Billy semalam. Dia sampai tidak bisa tidur nyenyak karena terus memikirkan kata-kata itu. Semalam, saat dia menanyakan maksud dari perkataan mantannya itu, bukannya menjawab, Billy justru mengalihkan ke pembicaraan lain dan menyuruhnya untuk segera turun dari mobil."Cincin dari siapa tuh? Berkilau banget?"Perkataan Dewi mengalihkan pandangan Denis yang sedang fokus menyetir, dia melirik sekilas pada jemari tangan Nindy yang terlihat mengenakan cincin berlian di jemari tangannya. Meskipun Nindy mencoba menutupi cincin itu. Namun, tetap masih bisa terlihat sedikit olehnya."Dari kamu, Den?" tambah Dewi lagi sambil melayangkan tatatapan menyelidik. "Kalian uda resmi jadian, ya?""Itu bukan dari aku," jawab Denis sambil melirik pada Nindy yang sedang duduk di sebelahnya."Kalau bukan dari kamu, terus dari siapa?" tanya Dewi dengan heran. "Kamu punya pacar baru, Nin?"Nindy yang sejak tadi hanya
"Menantu Anda tidak sakit, tapi dia sedang hamil," jawab Dokter wanita itu dengan senyuman tipis. "Hamil?" ulang Amara dengan wajah tercengang. "Maksud Dokter, ada calon cucu saya di perut menantu saya?" Meski dia sudah menduga kalau menantunya hamil, tapi Amara tetap terkejut ketika mendengar langsung berita baik itu dari mulut sang dokter. "Benar sekali." Nindy yang sejak tadi mendengar itu, tampak mengusap perutnya dengan lembut sambil tersenyum bahagia. Bagaimana tidak bahagia, dirinya bisa langsung hamil setelah pulang dari berbulan madu, sementara kakak iparnya belum hamil sampai sekarang. Padahal, dia sangat berharap bisa segera hamil setelah menikah. "Untuk memastikannya, silahkan langsung melakukan pemeriksaan USG dengan Dokter Obgyn." Setelah tiba di rumah sakit, Amara langsung membawa Nindy ke IGD. Sebenarnya, dia sudah curiga sejak awal kalau menantunya sedang hamil setelah putranya bercerita kalau sudah beberapa hari Nindy tidak napsu makan dan pagi tadi mengal
"Sayang, berhenti. Jangan main-main." Billy mencoba memperingatkan Nindy sejak tadi terus memainkan jemari lentiknya di dada bidangnya. Saat ini keduanya sedang berbaring di ranjang dengan posisi Billy bertelanjang dada menghadap ke langit-langit, sementara Nindy sedang berbaring miring menghadap Billy dengan mengenakan pakaian tidur tipis dan seksi "Aku cuma mau pegang, memangnya nggak boleh?" Billy memejamkan mata sambil menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan saat merasakan tangan Nindy semakin turun ke bawah. "Boleh, tapi jangan lama-lama. Nanti kamu menyesal." Nindy mengabaikan peringatan Billy dan semakin berani meraba tubuh sang suami. "Sayang, cukup." Nindy seketika menghentikan gerakan tangannya ketika tiba di otot perut Billy. "Kamu nggak suka aku pegang badan kamu?" Sebisa mungkin Billy berkata dengan pelan agar tidak menyinggung perasaan sang istri. "Nggak, Sayang. Aku suka, tapi ini untuk kebaikan kamu. Kamu sendiri yang rugi kalau terus memancin
"Sayang, kamu berdiri di sana, nanti aku foto," tunjuk Billy pada latar bangunan berwarna putih yang memiliki kubah warna biru. Saat ini keduanya sedang berada di Thira atau lebih dikenal dengan Santorini. Thira atau Santorini adalah pulau vulkanik yang berada di antara Pulau Ios dan Anafi, Yunani. Santorini terletak di Kepulauan Cyclades sekitar 200 km dari daratan Yunani. Di pulau ini, sangat terkenal dengan sejarah gunung meletus serta keindahan bangunan-bangunan putih dan gereja berkubah biru yang berada di pinggir tebing atau di bangun di atas lereng kaldera yang berada di kota Oia. "Aku nggak mau foto sendirian, maunya sama kamu." Ketika mendengar itu, Billy tidak tahan untuk menggodanya. "Sekarang, kayaknya kamu nggak bisa jauh-jauh dari aku, maunya nempel terus. Aku pergi ke mana, selalu aja mau ikut. Kamu begitu, apa karena takut suami kamu diambil orang?" "Jangan ngeledek terus. Cepetan, ke sini atau aku nanti aku foto sama orang lain." "Jangan coba-coba atau aku lempar
"Sayang, ayo kita berenang di bawah," ajak Nindy sambil menghampiri Billy yang sedang duduk bersantai di bawah payung pantai yang berada di pinggir kolam. "Kamu duluan aja, Sayang. Nanti aku nyusul." "Aku nggak mau berenang sendirian." "Aku istirahat sebentar, ya? Aku masih capek." Bagaimana tidak capek, kemarin dia habis menggempur Nindy hingga malam, lalu dia lanjutkan lagi menjelang pagi. Setelah itu, dia menemani Nindy bermain jet ski hingga pukul 9 pagi, kemudian bermain banana boat, parasailing hingga pukul 12 siang. Setelah makan siang, mereka berjalan-jalan di sekitar pulau sampai menjelang pukul 2 siang, kemudian pulang dan berendam bersama sambil menikmati pemandangan di luar. Jika dihitung-hitung, dia hanya beristirahat selama setengah jam. "Sebentar aja Sayang nanti habis berenang kamu bisa istirahat." Nindy meraih tangan Billy dan mencoba untuk menariknya, tapi sang suami tidak bergerak sedikit pun. "Nanti aku nyusul, Sayang. Aku liatin kamu dulu dari sini." "Ya, u
"Bagus banget pemandangannya." Mata Nindy tampak berbinar ketika melihat pemadangan bintang dari tempat tidurnya. Saat ini, dia dan Billy sedang berbaring di ranjang sambil menikmati pemandangan bintang di malam hari. Kebetulan sekali kamar mereka dilengkapi dengan atap kamar yang bisa dibuka tutup secara otomatis menggunakan tombol. "Rasanya aku pengen tinggal di sini terus." Billy yang sedang berbaring miring menghadap sang istri yang sedang tidur terlentang seketika tersenyum. "Nanti kita ke sini lagi kalau aku ada waktu." "Beneran?" tanya Nindy seketika memiringkan tubuhnya ke arah Billy. "Iya, Sayang." Nindy pun tersenyum. "Besok kita mau ke mana lagi?" Seharian ini, mereka sudah melakukan banyak hal. Snorkling, berjalan-jalan, bersepeda di sekitar resort, bermain air di pantai sampai sore hari, kemudian melakukan spa di resort tersebut. Malam harinya, mereka makan malam romantis di gedung utama resort. "Besok istirahat aja di kamar. Sorenya baru kita jalan-jalan
"Sayang, bangun. Ini sudah pagi."Billy sedang duduk di tepi ranjang kembali memberikan kecupan singkat di pipi sang istri yang masih terlelap sejak siang hingga 7 sore hari. Sejak tadi, dia sudah berusaha untuk membangun Nindy dengan memberikan kecupan-kecupan ringan di wajahnya, tapi sang istri tidak terpengaruh sedikit pun.Sore kemarin, mereka baru saja tiba di penginapan Soneva Jani yang terletak di pulau Medhufaru. Nindy yang kelelahan akibat perjalanan jauh langsung tertidur setelah makan malam bersama dengan Billy dan belum terbangun hingga kini. Padahal, dia bilang ingin berenang sambil melihat matahari terbit."Jam berapa ini?" tanya Nindy dengan suara serak.Akhirnya, dia membuka mata setelah dibangun selama kurang lebih 15 menit oleh Billy. Meski sudah terbangun, tapi matanya belum terbuka dengan sempurna."Jam 7 pagi, Sayang," jawab Billy lembut sambil merapihkan anak rambut sang istri yang menutupi sebagian matanya. "Kamu masih ngantuk?"Nindy menggeleng lemah. "Nggak. C
Baru saja Dimas memasuki lift untuk turun ke lantai bawah, tiba-tiba saja ada seorang wanita ambruk di depannya. Sebelum wanita itu sempat terjatuh di lantai, Dimas sudah lebih dulu menangkap tubuh wanita itu dan menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Selain Dimas dan wanita itu, ada seorang pria juga yang berada di dalam lift."Nona, ada apa denganmu?" tanya Dimas sambil menepuk wajah wanita yang sudah menyandarkan kepala di bahunya."Maaf, ini teman saya. Dia lagi sakit. Biar saya yang bawa dia."Pria yang berada satu lift dengan mereka akhir membuka suara setelah pintu lift tertutup.Saat pria itu akan menyentuh wanita itu, Dimas segera mencengkram tangannya dengan tatapan tajam. "Kau mau berbuat apa dengan wanita yang sedang pingsan?"Pria tinggi berkulit sawo matang yang mengaku sebagai teman wanita itu tampak tidak senang mendengar ucapan Dimas. "Dia temanku. Jadi, apa masalahmu?""Bagaimana aku bisa tahu kalau kau memang temannya? Bisa saja kau mengaku-ngaku. Aku tidak bisa membi
"Di mana Nindy?" tanya Angga setelah Billy duduk di kursi depannya.Siang ini Billy bertemu dengan Angga di restoran hotel tempatnya menginap. Di sana jugalah nanti dia akan bertemu dengan teman-temanya yang berasal dari Singapore."Lagi tidur."Angga seketika tersenyum mendengar itu. "Masih jam 10 pagi, tapi dia udah tidur?Sepertinya kau habis menggempurnya habis-habisan semalam sampai membuatnya kelelahan seperti itu."Bukannya marah diolok-olok oleh Angga, Billy justru menanggapi dengan santai, "Nggak ada yang salah dengan itu. Dia udah resmi menjadi istriku.""Tapi, setidaknya tahan dirimu sedikit. Dia pasti lelah setelah melewati resepsi pernikahan yang panjang. Seharusnya, biarkan dia beristirahat dulu sehari, setelah itu kau bisa melakukannya.""Aku nggak bisa menahannya.""Tapi, selama ini kau berhasil menahannya, bahkan sampai 6 tahun. Kau juga tidak pernah terpengaruh dengan Shela yang sudah berkali-kali menggodamu.""Tidak bisa jika Nindy orangnya," jawab Billy santai, "jan
"Sayang, kamu yakin mau sarapan bersama?" tanya Billy sambil menghampiri Nindy yang sedang mengeringkan rambut di depan cermin kamar mandi dengan menggunakan hairdryer."Iya, nggak enak kalau nggak ikut sarapan.""Memangnya kamu bisa jalan?" Billy melingkarkan tangan di perut istrinya sambil menatapnya dari pantulan cermin setelah Nindy mematikan pengering rambut yang ada di tangan kanannya."Bisa, tapi pelan-pelan." Setelah itu, Nindy membalik tubuhnya menghadap Billy."Kalau nggak bisa, jangan dipaksa, Sayang. Lebih baik sarapan di kamar aja. Mereka juga pasti maklum, kita, kan, pengantin baru.""Ini salah kamu. Katanya cuma sebentar, tapi ternyata keterusan."Billy terkekeh pelan melihat wajah cemberut istrinya. "Maaf, Sayang. Kamu tahu sendiri, aku udah menahannya sejak lama. Ini aja aku masih sedikit menahan diri karena kasihan sama kamu.""Menahan diri apanya, kamu jangan bercanda. Badan aku sakit semua karena ulah kamu."Billy kembali terkekeh pelan. Setelah tawanya mereda, dia