"Bill, ngapain kamu di sini?" Ketika Billy dan Nindy menoleh, ada seorang wanita yang sedang menatap ke arahnya dengan tatapan heran. "Berbelanja," jawab Billy datar. "Maksud aku, kamu ngapain di kota ini?" Wanita itu melirik pada Nindy sekilas setelah bertanya pada Billy. "Kamu, kan, tinggal di Jakarta." "Lagi ada kerjaan." Wanita cantik bermata sipit itu mengangguk, kemudian beralih pada Nindy. "Siapa?" tanya Nindy. "Pacar kamu?" Billy langsung meraih tangan Nindy dan menggengamnya sambil tersenyum. "Iya." Nindy yang mendengar itu, seketika menoleh pada Billy dengan ekspesi terkejut. "Oh." Raut wajah wanita itu sekilas terlihat kecewa. Namun, detik selanjutnya dia kembali tersenyum. "Kamu ada kerjaan apa di sini? Kenapa gak bilang?" tanya wanita itu lembut sambil tersenyum manis. "Cuma mau ngecek kantor cabang." Wanita itu kembali mengangguk. "Di mana kantor cabang kamu? Kapan-kapan aku boleh mampir ke sana? Kita, kan, udah lama gak ketemu." "Jen, sory. Kami lag
Nindy semakin panik. Berbeda dengan Billy yang tampak tenang. "Cincinnya sempit dijari kamu?" Nindy menggeleng. "Nggak juga. Cuma ini nyangkut di tengah pas mau dilepas." Nindy kemudian menunjukkan jari manisnya pada Billy. "Liat nih." Dia memutar cincinnya beberapa kali dan terlihat tidak ada hambatan apa pun. Cincin itu bisa berputar dengan sempurna. "Nggak sempit, cuma susah dilepas." Sebenarnya, Nindy bisa saja melepas cincin itu sedikit dengan paksaan. Hanya saja, dia takut cincin itu akan lecet atau tergores. Dilihat dari desain serta permata berkilau di tengah cincin itu, Nindy bisa menebak kalau harga cincin itu sangat mahal. Meskipun, dia orang yang berkucukupan dan bisa mengganti kerugian cincin itu, tapi dia tidak ingin membuang-buang uang untuk hal yang menurutnya tidak diperlukan. "Kalau begitu jangan dilepas. Biarin cincin itu di tangan kamu." "Apa?" Pupil mata Nindy membola dengan ekspresi wajah bodoh dan tampak bingung. "Cincin itu nggak bisa dilepas, ka
"Itu artinya kamu harus menjadi milikku."Nindy tiba-tiba saja teringat kembali dengan ucapan Billy semalam. Dia sampai tidak bisa tidur nyenyak karena terus memikirkan kata-kata itu. Semalam, saat dia menanyakan maksud dari perkataan mantannya itu, bukannya menjawab, Billy justru mengalihkan ke pembicaraan lain dan menyuruhnya untuk segera turun dari mobil."Cincin dari siapa tuh? Berkilau banget?"Perkataan Dewi mengalihkan pandangan Denis yang sedang fokus menyetir, dia melirik sekilas pada jemari tangan Nindy yang terlihat mengenakan cincin berlian di jemari tangannya. Meskipun Nindy mencoba menutupi cincin itu. Namun, tetap masih bisa terlihat sedikit olehnya."Dari kamu, Den?" tambah Dewi lagi sambil melayangkan tatatapan menyelidik. "Kalian uda resmi jadian, ya?""Itu bukan dari aku," jawab Denis sambil melirik pada Nindy yang sedang duduk di sebelahnya."Kalau bukan dari kamu, terus dari siapa?" tanya Dewi dengan heran. "Kamu punya pacar baru, Nin?"Nindy yang sejak tadi hanya
"Boleh, Pak. Boleh banget malah."Ini adalah kesempatan langka yang belum tentu bisa dia dapatkan lagi. Menonton bersama dengan pria idamannya adalah impian Dewi. Jadi, dia langsung menyetujui tanpa bertanya lebih dulu pada Denis dan Nindy."Kalian gak keberatan kalau kami gabung, kan?" tanya Angga sembari menatap pada Nindy dan Denis secara bergantian."Gak, Pak. Silahkan gabung kalau mau," jawab Denis santai."Yes. Kapan lagi nonton ditemenin sama 3 cowok ganteng," gumam Dewi dalam hati."Biar saya yang beli tiketnya," usul Angga setelah mereka semua memasuki area bioskop. "Kalian duduk aja."Keempat orang lainnya, akhirnya berjalan menuju tempat duduk kosong yang letaknya berada di dekat pintu masuk."Bapak gak malem mingguan sama pacar?"Dewi memulai obrolan dengan Billy karena sejak tadi semuanya hanya diam sembari sibuk dengan ponselnya masing-masing."Saya gak punya pacar."Jawaban Billy membuat Dewi seketika tersenyum lebar, sementara Nindy tampak menghentikan gerakan jarinya
"Jangan suka melihat yang seperti itu. Itu bisa merusak pikiranmu nanti," bisik Billy dengan suara rendahnya. Saat akan menjauhkan diri dari Nindy, tiba-tiba saja pria yang duduk di sebelah Billy tidak sengaja menyenggol bahunya ketika akan melewatinya, membuat Billy terdorong ke depan dan tanpa sengaja bibirnya menyentuh pipi Nindy dan keduanya pun mematung dengan wajah terkejut selama beberapa detik. "Maaf, Pak. Saya gak sengaja. Gelap, jadi saya gak lihat." Setelah meminta maaf, pria itu segera berlalu dari sana dan turun dengan langkah cepat. Pria itu tampak terburu-buru, seperti sedang menahan sesuatu. "Yang tadi itu tidak sengaja," ucap Billy setelah menjauhkan diri dari Nindy setelah berdeham. Keduanya tampak canggung setelah kejadian itu. Sampai film berakhir, mereka tidak mengobrol apa-apa. Beruntung ruangan bioskop gelap. Jika tidak, maka pasti wajah Nindy akan terlihat memerah. "Pak Angga, terima kasih atas teraktirannya malam," ucap Dewi setelah keduanya keluar dari a
Melihat Nindy terdiam, Billy tidak tahan untuk kembali bersuara, "Jadi, benar pacar kamu sering menginap di sini?" Nindy menatap Billy sejenak yang tampak seperti sedang menahan amarah. Alasan kenapa sejak tadi dia sama karena dia masih terkejut dengan tindakan Billy yang tiba-tiba menyudutkannya. "Ganti bajumu dulu, kita bicara lagi nanti." Ketika Nindy akan menurunkan tangannya, Billy semakin kuat menahan tangannya di tembok. Bahkan, dia semakin mendekatkan tubuhnya pada Nindy, menyisakan jarak tipis di antara keduanya, membuat indra pencium Nindy dengan mudah menangkap aroma maskulin yang menguar dari tubuh Billy. "Kamu gak bisa pergi sebelum menjawab pertanyaan saya." Saking dekatnya jarak di antara keduanya, Nindy bisa merasakan hawa dingin di sekitar tubuh mantannya itu. "Billy, apa kamu beneran mau bahas itu sekarang?" Dengan wajah datar. Namun, dengan sorot mata menuntut, Billy berkata, "Ya. Saya mau kamu menjawab pertanyaan saya dengan jujur sekarang. Kalau gak, ja
"Maaf, Pak. Tapi, pekerjaan saya belum selesai."Jika dia harus menunggu sampai Billy selesai mengecek berkas itu, kemungkinan akan memakan waktu yang lama, apalagi berkas yabg harus diperiksa Billy sangat banyak. Itu berarti pekerjaannya akan terabaikan dan dia tidak mau nanti disalahkan oleh pihak kantor karena hal itu."Tinggal aja dulu. Berkas ini lebih penting. Karena kamu yang jadi asisten Pak Billy, jadi kamu yang harus ke sana.""Baik, Pak."Setelah mengambil tumpukan kertas itu, Nindy keluar dari ruangan Pak Edwin. Di lantai 2, dia tidak sengaja bertemu dengan Angga ketika dia akan turun ke bawah. Pria itu pun menanyakan apa yang sedang dibawa oleh Nindy."Sekalian bawain makanan atau buah buat Billy, ya, Nin? Dia pasti belum makan. Saya gak sempat nengokin dia pagi tadi. Buru-buru soalnya," kata Angga. "Ini uangnya."Ketika Angga menyodorkan lembaran uang merah beberapa lembar pada Nindy, dia segera menolaknya. "Gak usah, Pak. Kalau cuma makanan, saya bisa beli pake uang say
"Kenapa?" tanya Nindy sambil menoleh pada Billy yang sedang terduduk dengan sorot mata sendu. "Tolong ambilkan air hangat. Tenggorokan saya gatal." Nindy mengangguk. "Tunggu sebentar." Setelah Nindy dari kamarnya, Billy berbaring usai menyalakan pendingin ruangan. Tidak sampai 3 menit, Nindy kembali masuk. Dia melihat tubuh Billy sudah di balut selimut tebal. "Ini minumnya" Billy membuka matanya kembali setelah sebelumnya sempat memejamkan mata. "Tolong ambilkan obat saya di laci." Nindy segera membuka laci nakas paling atas, lalu mengeluarkan plastik obat dari dalam sana dan memberikan pada Billy. "Kamu udah berobat?" Billy mengangguk, kemudian meminum obat tersebut, setelah itu meletakkan gelas itu di atas nakas yang berada di samping kiri tempat tidurnya. "Kamu keringetan. Kenapa pake selimut tebal?" tanya Nindy ketika Billy kembali membalut tubuhnya dengan selimut usai berbaring di tempat tidur. "Dingin." Nindy mengernyit. Kalau dia kedinginan, kenapa berkeringat? "Kal