Melihat Nindy terdiam, Billy tidak tahan untuk kembali bersuara, "Jadi, benar pacar kamu sering menginap di sini?" Nindy menatap Billy sejenak yang tampak seperti sedang menahan amarah. Alasan kenapa sejak tadi dia sama karena dia masih terkejut dengan tindakan Billy yang tiba-tiba menyudutkannya. "Ganti bajumu dulu, kita bicara lagi nanti." Ketika Nindy akan menurunkan tangannya, Billy semakin kuat menahan tangannya di tembok. Bahkan, dia semakin mendekatkan tubuhnya pada Nindy, menyisakan jarak tipis di antara keduanya, membuat indra pencium Nindy dengan mudah menangkap aroma maskulin yang menguar dari tubuh Billy. "Kamu gak bisa pergi sebelum menjawab pertanyaan saya." Saking dekatnya jarak di antara keduanya, Nindy bisa merasakan hawa dingin di sekitar tubuh mantannya itu. "Billy, apa kamu beneran mau bahas itu sekarang?" Dengan wajah datar. Namun, dengan sorot mata menuntut, Billy berkata, "Ya. Saya mau kamu menjawab pertanyaan saya dengan jujur sekarang. Kalau gak, ja
"Maaf, Pak. Tapi, pekerjaan saya belum selesai."Jika dia harus menunggu sampai Billy selesai mengecek berkas itu, kemungkinan akan memakan waktu yang lama, apalagi berkas yabg harus diperiksa Billy sangat banyak. Itu berarti pekerjaannya akan terabaikan dan dia tidak mau nanti disalahkan oleh pihak kantor karena hal itu."Tinggal aja dulu. Berkas ini lebih penting. Karena kamu yang jadi asisten Pak Billy, jadi kamu yang harus ke sana.""Baik, Pak."Setelah mengambil tumpukan kertas itu, Nindy keluar dari ruangan Pak Edwin. Di lantai 2, dia tidak sengaja bertemu dengan Angga ketika dia akan turun ke bawah. Pria itu pun menanyakan apa yang sedang dibawa oleh Nindy."Sekalian bawain makanan atau buah buat Billy, ya, Nin? Dia pasti belum makan. Saya gak sempat nengokin dia pagi tadi. Buru-buru soalnya," kata Angga. "Ini uangnya."Ketika Angga menyodorkan lembaran uang merah beberapa lembar pada Nindy, dia segera menolaknya. "Gak usah, Pak. Kalau cuma makanan, saya bisa beli pake uang say
"Kenapa?" tanya Nindy sambil menoleh pada Billy yang sedang terduduk dengan sorot mata sendu. "Tolong ambilkan air hangat. Tenggorokan saya gatal." Nindy mengangguk. "Tunggu sebentar." Setelah Nindy dari kamarnya, Billy berbaring usai menyalakan pendingin ruangan. Tidak sampai 3 menit, Nindy kembali masuk. Dia melihat tubuh Billy sudah di balut selimut tebal. "Ini minumnya" Billy membuka matanya kembali setelah sebelumnya sempat memejamkan mata. "Tolong ambilkan obat saya di laci." Nindy segera membuka laci nakas paling atas, lalu mengeluarkan plastik obat dari dalam sana dan memberikan pada Billy. "Kamu udah berobat?" Billy mengangguk, kemudian meminum obat tersebut, setelah itu meletakkan gelas itu di atas nakas yang berada di samping kiri tempat tidurnya. "Kamu keringetan. Kenapa pake selimut tebal?" tanya Nindy ketika Billy kembali membalut tubuhnya dengan selimut usai berbaring di tempat tidur. "Dingin." Nindy mengernyit. Kalau dia kedinginan, kenapa berkeringat? "Kal
"Kenapa tiba-tiba menghilang setelah mutusin aku?" tanya Billy lagi ketika melihat Nindy terdiam dengan kepala tertunduk.“Aku cuma mau cari suasana baru aja,” jawab Nindy dengan datar.“Kalau begitu, beritahu aku kenapa kamu memutuskan aku waktu itu?”Nindy seketika memalingkan wajah ke samping usai mendapatkan pertanyaan tersebut. Matanya tampak mulai mengembun saat memikirkan alasan perpisahan mereka. Pertanyaan itulah yang paling sebenarnya paling dia hindari.“Jawab aku, Nin!” desak Billy melihat Nindy hanya diam dan tampak tidak berniat untuk menjawab pertanyaannya.Sebelum membuka suara, Nindy menarik panjang dan menghembuskannya dengan cepat. “Bill, bisakah kamu menyelesaikan pekerjaanmu lebih dulu baru kita bicara?”Dia yakin, jika saat ini tidak meminta Billy untuk menyelesaikan pekerjaannya lebih dulu, pria itu pasti tidak akan melepaskannya sebelum dia menjawab pertanyaannya.“Oke, tapi ingat, setelah itu, kamu harus jawab semua pertanyaanku.”Billy mengabaikan kebisuan Ni
Kedua alis Billy saling tertautan dengan rahang yang mengetat. "Aku gak pernah jadiin kamu mainan, Nin. Taruhan itu memang benar, tapi aku melakukan itu karena ...""Kamu gak perlu dijelaskan lagi. Aku udah tahu semuanya. Kamu gak perlu bersusah payah negejelisin sama aku. Kamu tenang aja, aku gak akan nyalahin kamu, karena itu memang kesalahan aku. Aku yang bodoh bisa percaya sama kamu. Aku kira kamu mencintai aku dengan tulus, tapi ternyata ..." Bukannya meneruskan ucapannya, Nindy justru memperlihatkan ekspresi menertawakan diri."Kata siapa aku gak mencintai kamu?" tanya Billy dengan suara penuh penekanan."Kalau kamu memang mencintai aku, kamu gak mungkin menjadikanku taruhan dan juga kamu gak mungkin dekat dengan wanita lain. Terlebih lagi, mengaku sudah putus sama aku. Padahal, saat itu kita masih menjalin hubungan.""Aku gak pernah dekat dengan wanita mana pun waktu kita masih pacaran," kata Billy dengan tegas. "Dan, aku gak pernah bilang sama siapa pun kalau kita sudah putus
"Apa bedanya kamu sama Adi? Pada akhirnya, kamu juga tidurin aku dan menjadikan aku tempat pelampiasan napsu kamu."Rahang Billy mengeras usai mendengar tuduhan Nindy. Matanya tampak berkilat, walaupun hanya sesaat. "Kalau aku memang jadiin kamu sebagai pelampiasan napsu aku, aku gak mungkin cuma nyentuh kamu satu kali. Aku pasti akan melakukannya berkali-kali seperti yang dilakukan teman-teman aku sama pacar mereka. Tapi, kamu lihat sendiri, aku gak pernah nyentuh kamu selain malam itu."Setelah malam itu, Billy memang tidak pernah menyentuh Nindy lagi. Bukannya tidak ingin, tapi berusaha keras untuk menahan diri agar tidak menyentuh Nindy lagi."Perlu kamu tahu, aku mati-matian menahan diri untuk gak menyentuh kamu lagi karena aku gak mau mengulang kesalahan yang sama. Satu hal yang paling aku sesali dalam hidup aku selama ini adalah menyentuh kamu sebelum waktunya. Aku merasa menjadi laki-laki paling brengksek karena sudah merusak kamu, Nin."Entah apa yang merasukinya malam itu, h
"Selamat malam Om, Tante," sapa Billy sopan setelah berada di hadapan keduan orang tua Nindy."Malam," jawab orang tua Nindy serempak."Ini siapa, Nin?" tanya Ayah Nindy sambil menatap putrinya.Sebelum Nindy sempat menjawab pertanyaan ayahnya, Billy sudah lebih dulu mengulurkan tangan sambil merendahkan sedikit tubuhnya ke depan. "Perkenalkan nama saya Billy, Om.""Saya Papanya Nindy." Setelah itu ayah Nindy memperkenalkan istrinya juga pada Billy."Kamu pacar Nindy?""Iy—"Nindy segera memotong ucapan Billy sebelum mantannya itu menyelesaikan ucapannya. "Bukan, Pa," sanggah Nindy. "Pak Billy ini bos Nindy di kantor," ralatnya. "Benar, kan, Pak?"Nindy memberikan kode lewat gerakan matanya agar Billy mengiyakan ucapannya. Jangan sampai Billy mengatakan kalau dirinya adalah mantan kekasih pria itu. Biasa ketahuan rahasianya selama ini jika dia pernah perpacaran dengan Billy ketika masih kuliah.Meskipun kejadian itu sudah lama berlalu, tapi bisa Nindy pastikan kalau dirinya akan dimar
"Bill, ada orang yang mau ke sini. Gimana ini?" Sebelum pintu berhasil di buka, Billy sudah lebih dulu menarik tangan Nindy dan bersembunyi dibalik lemari penyimpanan. Ssstttt! Billy memberikan isyarat pada Nindy untuk tidak bersuara ketika gagang pintu bergerak turun. Nindy tampak terdiam dengan pikiran kosong ketika Billy menyudutkannya ke dinding lemari dan tiba-tiba mengurungnya dengan sedikit jarak di antara keduanya. Sepertinya, Billy tidak sadar dengan hal itu karena sejak tadi dia sedang menajamkan pendengarannya supaya bisa mendengar pembicaraan dua orang wanita yang baru saja masuk ke ruangan itu. Dari yang Billy dengar, mereka seperti sedang mencari beberapa barang di ruangan itu atas perintah Pak Edwin. "Vit, bindernya di mana?" tanya Nuri pada wanita yang bernama Vita. "Aku lupa. Kayaknya di sana?" tunjuk Vita ke arah lemari penyimpanan, tempat Nindy dan Billy sedang bersembunyi. "Coba kamu cari sana, aku cari di sini." "Oke." Ketika mendengar suara langkah kaki m