Kedua alis Billy saling tertautan dengan rahang yang mengetat. "Aku gak pernah jadiin kamu mainan, Nin. Taruhan itu memang benar, tapi aku melakukan itu karena ...""Kamu gak perlu dijelaskan lagi. Aku udah tahu semuanya. Kamu gak perlu bersusah payah negejelisin sama aku. Kamu tenang aja, aku gak akan nyalahin kamu, karena itu memang kesalahan aku. Aku yang bodoh bisa percaya sama kamu. Aku kira kamu mencintai aku dengan tulus, tapi ternyata ..." Bukannya meneruskan ucapannya, Nindy justru memperlihatkan ekspresi menertawakan diri."Kata siapa aku gak mencintai kamu?" tanya Billy dengan suara penuh penekanan."Kalau kamu memang mencintai aku, kamu gak mungkin menjadikanku taruhan dan juga kamu gak mungkin dekat dengan wanita lain. Terlebih lagi, mengaku sudah putus sama aku. Padahal, saat itu kita masih menjalin hubungan.""Aku gak pernah dekat dengan wanita mana pun waktu kita masih pacaran," kata Billy dengan tegas. "Dan, aku gak pernah bilang sama siapa pun kalau kita sudah putus
"Apa bedanya kamu sama Adi? Pada akhirnya, kamu juga tidurin aku dan menjadikan aku tempat pelampiasan napsu kamu."Rahang Billy mengeras usai mendengar tuduhan Nindy. Matanya tampak berkilat, walaupun hanya sesaat. "Kalau aku memang jadiin kamu sebagai pelampiasan napsu aku, aku gak mungkin cuma nyentuh kamu satu kali. Aku pasti akan melakukannya berkali-kali seperti yang dilakukan teman-teman aku sama pacar mereka. Tapi, kamu lihat sendiri, aku gak pernah nyentuh kamu selain malam itu."Setelah malam itu, Billy memang tidak pernah menyentuh Nindy lagi. Bukannya tidak ingin, tapi berusaha keras untuk menahan diri agar tidak menyentuh Nindy lagi."Perlu kamu tahu, aku mati-matian menahan diri untuk gak menyentuh kamu lagi karena aku gak mau mengulang kesalahan yang sama. Satu hal yang paling aku sesali dalam hidup aku selama ini adalah menyentuh kamu sebelum waktunya. Aku merasa menjadi laki-laki paling brengksek karena sudah merusak kamu, Nin."Entah apa yang merasukinya malam itu, h
"Selamat malam Om, Tante," sapa Billy sopan setelah berada di hadapan keduan orang tua Nindy."Malam," jawab orang tua Nindy serempak."Ini siapa, Nin?" tanya Ayah Nindy sambil menatap putrinya.Sebelum Nindy sempat menjawab pertanyaan ayahnya, Billy sudah lebih dulu mengulurkan tangan sambil merendahkan sedikit tubuhnya ke depan. "Perkenalkan nama saya Billy, Om.""Saya Papanya Nindy." Setelah itu ayah Nindy memperkenalkan istrinya juga pada Billy."Kamu pacar Nindy?""Iy—"Nindy segera memotong ucapan Billy sebelum mantannya itu menyelesaikan ucapannya. "Bukan, Pa," sanggah Nindy. "Pak Billy ini bos Nindy di kantor," ralatnya. "Benar, kan, Pak?"Nindy memberikan kode lewat gerakan matanya agar Billy mengiyakan ucapannya. Jangan sampai Billy mengatakan kalau dirinya adalah mantan kekasih pria itu. Biasa ketahuan rahasianya selama ini jika dia pernah perpacaran dengan Billy ketika masih kuliah.Meskipun kejadian itu sudah lama berlalu, tapi bisa Nindy pastikan kalau dirinya akan dimar
"Bill, ada orang yang mau ke sini. Gimana ini?" Sebelum pintu berhasil di buka, Billy sudah lebih dulu menarik tangan Nindy dan bersembunyi dibalik lemari penyimpanan. Ssstttt! Billy memberikan isyarat pada Nindy untuk tidak bersuara ketika gagang pintu bergerak turun. Nindy tampak terdiam dengan pikiran kosong ketika Billy menyudutkannya ke dinding lemari dan tiba-tiba mengurungnya dengan sedikit jarak di antara keduanya. Sepertinya, Billy tidak sadar dengan hal itu karena sejak tadi dia sedang menajamkan pendengarannya supaya bisa mendengar pembicaraan dua orang wanita yang baru saja masuk ke ruangan itu. Dari yang Billy dengar, mereka seperti sedang mencari beberapa barang di ruangan itu atas perintah Pak Edwin. "Vit, bindernya di mana?" tanya Nuri pada wanita yang bernama Vita. "Aku lupa. Kayaknya di sana?" tunjuk Vita ke arah lemari penyimpanan, tempat Nindy dan Billy sedang bersembunyi. "Coba kamu cari sana, aku cari di sini." "Oke." Ketika mendengar suara langkah kaki m
"Masuk," titah Billy usai membuka pintu kamar hotelnya.Nindy yang sejak tadi mengekori Billy, menatap pria itu dengan heran sejenak, kemudian masuk ke dalam kamar hotel Billy dengan langkah pelan."Tunggu di sini."Billy beranjak ke kamarnya dan kembali keluar tidak lama setelahnya dengan membawa sesuatu di tangan. Dia duduk tepat di sebelah Nindy, kemudian berkata, "Kemarikan tangan kamu."Nindy mengernyit. Namun, tetap mengulurkan tangan pada Billy. "Tangan kanan kamu," kata Billy ketika Nindy menjulurkan tangan sebelah kiri.Nindy pun kembali mengulurkan tangannya, tapi kini yang sebelah kanan. Tanpa banyak bicara, Billy segera membuka kotak obat, kemudian mengeluarkan sesuatu dari sana. "Tutup mata kamu."Setelah Nindy menutup matanya, Billy menyemprotkan spray pereda sakit dan nyeri ke pergelangan tangan Nindy yang tampak membiru dengan beberapa kali semprot."Sudah."Nindy kembali membuka mata. Tangannya yang semula terasa sedikit nyeri, kini tergantikan dengan rasa dingin."La
“Kenapa ke sini?” tanya Billy setelah mengurai pelukan wanita itu. “Aku sengaja ke sini untuk habiskan waktu sama kamu,” jawab wanita itu sambil tersenyum manis. “Kamu kangen aku gak?” tanyannya dengan manja sambil bergelayut manja di lengan Billy. “Shel, ini kantor. Jaga sikap kamu. Bagaimana kalau ada yang mel …” Ucapan Billy terhenti ketika menyadari kalau ada Nindy yang sedang berdiri tidak jauh dari sana. Dia lupa kalau sejak tadi Nindy mengikutinya dari belakang. “Maaf, mengganggu, Pak. Saya mau ambil laptop di dalam." Billy hanya diam mematung di tempat, tidak membalas ucapan Nindy dan hanya membiarkan Nindy masuk ke ruangannya dan mengambil laptopnya. Setelah kepergian Nindy, wanita bernama Shela itu terus menatap punggung wanita yang pernah menjadi mantan kekasih Billy. “Itu bukannya Nindy? Dia mantan kamu, kan?” tanya Shela. Setelah Nindy menghilang dari pandangannya, Shela menoleh pada Billy. “Kenapa kamu gak bilang sama aku kalau dia kerja di kantor kamu?” Tanpa menj
"Ikut aku. Kita harus bicara."Billy segera menarik tangan Nindy ketika melihatnya tiba di parkiran. Namun, tangannya tiba-tiba ditepis, membuat langkah Billy seketika terhenti."Bicara di sini aja."Billy mengedarkan pandangan ke sekitar, kemudian berkata, "Banyak orang kantor di sini. Kita bicara di mobilku."Billy hanya tidak ingin menjadi pusat perhatian orang-orang kantor. Itu sebabnya dia mengajak untuk bicara di mobilnya.Tanpa menunggu persetujuan Nindy, Billy segera menariknya masuk ke mobil. Nindy pun tidak menolak dan hanya diam setelah duduk di dalam mobil."Nin, kejadian siang tadi ...""Bill, aku gak mau tahu lagi soal kehidupan pribadi kamu. Itu bukan urusan aku lagi. Kamu mau dengan siapa dan berbuat apa, itu hak kamu. Kamu gak perlu ngasih penjelasan apa-apa sama aku."Melihat perubahan sikap yang tiba-tiba Nindy, Billy pun mengerutkan keningnya."Sebaiknya, mulai sekarang kita jaga jarak. Aku gak mau bertemu diam-diam lagi seperti sekarang. Selain urusan pekerjaan, a
“Dia mantan kekasihmu, kan?” tanya Dimas setelah keduanya berada di dalam perjalanan pulang.“Ya,” jawab Nindy tanpa menoleh pada Dimas. Tatapannya tertuju ke depan, seperti sedang menatap sesuatu, tapi juga tidak.“Perempuan tadi pacarnya?” tanyas Dimas lagi setelah menoleh sekilas pada Nindy yang kembali terdiam.“Bukan,” sanggah Nindy. “Itu calon istrinya.”"Dia udah mau nikah?"Ketika melihat raut wajah Nindy tampak berubah, Dimas tidak lagi bertanya sampai mereka tiba di rumah Nindy.Pukul 9 malam, mobil Billy berhenti di depan rumah Nindy. Dia melihat ada mobil lain di depan rumah Nindy, dia pun memutuskan untuk menunggu sampai pemilik mobil itu pergi baru setelah itu menghampiri Nindy.Namun, sampai pukul 12 malam, pemilik mobil itu belum juga pulang. Billy mencengkram kuat stirnya, kemudian menyalakan mobil dan meninggalkan tempat itu dengan raut wajah dingin.Keesokan harinya, Nindy ke kantor diantar oleh Dimas. Ketika sedang mengobrol dengan sepupunya di parkiran, mobil Bill
"Menantu Anda tidak sakit, tapi dia sedang hamil," jawab Dokter wanita itu dengan senyuman tipis. "Hamil?" ulang Amara dengan wajah tercengang. "Maksud Dokter, ada calon cucu saya di perut menantu saya?" Meski dia sudah menduga kalau menantunya hamil, tapi Amara tetap terkejut ketika mendengar langsung berita baik itu dari mulut sang dokter. "Benar sekali." Nindy yang sejak tadi mendengar itu, tampak mengusap perutnya dengan lembut sambil tersenyum bahagia. Bagaimana tidak bahagia, dirinya bisa langsung hamil setelah pulang dari berbulan madu, sementara kakak iparnya belum hamil sampai sekarang. Padahal, dia sangat berharap bisa segera hamil setelah menikah. "Untuk memastikannya, silahkan langsung melakukan pemeriksaan USG dengan Dokter Obgyn." Setelah tiba di rumah sakit, Amara langsung membawa Nindy ke IGD. Sebenarnya, dia sudah curiga sejak awal kalau menantunya sedang hamil setelah putranya bercerita kalau sudah beberapa hari Nindy tidak napsu makan dan pagi tadi mengal
"Sayang, berhenti. Jangan main-main." Billy mencoba memperingatkan Nindy sejak tadi terus memainkan jemari lentiknya di dada bidangnya. Saat ini keduanya sedang berbaring di ranjang dengan posisi Billy bertelanjang dada menghadap ke langit-langit, sementara Nindy sedang berbaring miring menghadap Billy dengan mengenakan pakaian tidur tipis dan seksi "Aku cuma mau pegang, memangnya nggak boleh?" Billy memejamkan mata sambil menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan saat merasakan tangan Nindy semakin turun ke bawah. "Boleh, tapi jangan lama-lama. Nanti kamu menyesal." Nindy mengabaikan peringatan Billy dan semakin berani meraba tubuh sang suami. "Sayang, cukup." Nindy seketika menghentikan gerakan tangannya ketika tiba di otot perut Billy. "Kamu nggak suka aku pegang badan kamu?" Sebisa mungkin Billy berkata dengan pelan agar tidak menyinggung perasaan sang istri. "Nggak, Sayang. Aku suka, tapi ini untuk kebaikan kamu. Kamu sendiri yang rugi kalau terus memancin
"Sayang, kamu berdiri di sana, nanti aku foto," tunjuk Billy pada latar bangunan berwarna putih yang memiliki kubah warna biru. Saat ini keduanya sedang berada di Thira atau lebih dikenal dengan Santorini. Thira atau Santorini adalah pulau vulkanik yang berada di antara Pulau Ios dan Anafi, Yunani. Santorini terletak di Kepulauan Cyclades sekitar 200 km dari daratan Yunani. Di pulau ini, sangat terkenal dengan sejarah gunung meletus serta keindahan bangunan-bangunan putih dan gereja berkubah biru yang berada di pinggir tebing atau di bangun di atas lereng kaldera yang berada di kota Oia. "Aku nggak mau foto sendirian, maunya sama kamu." Ketika mendengar itu, Billy tidak tahan untuk menggodanya. "Sekarang, kayaknya kamu nggak bisa jauh-jauh dari aku, maunya nempel terus. Aku pergi ke mana, selalu aja mau ikut. Kamu begitu, apa karena takut suami kamu diambil orang?" "Jangan ngeledek terus. Cepetan, ke sini atau aku nanti aku foto sama orang lain." "Jangan coba-coba atau aku lempar
"Sayang, ayo kita berenang di bawah," ajak Nindy sambil menghampiri Billy yang sedang duduk bersantai di bawah payung pantai yang berada di pinggir kolam. "Kamu duluan aja, Sayang. Nanti aku nyusul." "Aku nggak mau berenang sendirian." "Aku istirahat sebentar, ya? Aku masih capek." Bagaimana tidak capek, kemarin dia habis menggempur Nindy hingga malam, lalu dia lanjutkan lagi menjelang pagi. Setelah itu, dia menemani Nindy bermain jet ski hingga pukul 9 pagi, kemudian bermain banana boat, parasailing hingga pukul 12 siang. Setelah makan siang, mereka berjalan-jalan di sekitar pulau sampai menjelang pukul 2 siang, kemudian pulang dan berendam bersama sambil menikmati pemandangan di luar. Jika dihitung-hitung, dia hanya beristirahat selama setengah jam. "Sebentar aja Sayang nanti habis berenang kamu bisa istirahat." Nindy meraih tangan Billy dan mencoba untuk menariknya, tapi sang suami tidak bergerak sedikit pun. "Nanti aku nyusul, Sayang. Aku liatin kamu dulu dari sini." "Ya, u
"Bagus banget pemandangannya." Mata Nindy tampak berbinar ketika melihat pemadangan bintang dari tempat tidurnya. Saat ini, dia dan Billy sedang berbaring di ranjang sambil menikmati pemandangan bintang di malam hari. Kebetulan sekali kamar mereka dilengkapi dengan atap kamar yang bisa dibuka tutup secara otomatis menggunakan tombol. "Rasanya aku pengen tinggal di sini terus." Billy yang sedang berbaring miring menghadap sang istri yang sedang tidur terlentang seketika tersenyum. "Nanti kita ke sini lagi kalau aku ada waktu." "Beneran?" tanya Nindy seketika memiringkan tubuhnya ke arah Billy. "Iya, Sayang." Nindy pun tersenyum. "Besok kita mau ke mana lagi?" Seharian ini, mereka sudah melakukan banyak hal. Snorkling, berjalan-jalan, bersepeda di sekitar resort, bermain air di pantai sampai sore hari, kemudian melakukan spa di resort tersebut. Malam harinya, mereka makan malam romantis di gedung utama resort. "Besok istirahat aja di kamar. Sorenya baru kita jalan-jalan
"Sayang, bangun. Ini sudah pagi."Billy sedang duduk di tepi ranjang kembali memberikan kecupan singkat di pipi sang istri yang masih terlelap sejak siang hingga 7 sore hari. Sejak tadi, dia sudah berusaha untuk membangun Nindy dengan memberikan kecupan-kecupan ringan di wajahnya, tapi sang istri tidak terpengaruh sedikit pun.Sore kemarin, mereka baru saja tiba di penginapan Soneva Jani yang terletak di pulau Medhufaru. Nindy yang kelelahan akibat perjalanan jauh langsung tertidur setelah makan malam bersama dengan Billy dan belum terbangun hingga kini. Padahal, dia bilang ingin berenang sambil melihat matahari terbit."Jam berapa ini?" tanya Nindy dengan suara serak.Akhirnya, dia membuka mata setelah dibangun selama kurang lebih 15 menit oleh Billy. Meski sudah terbangun, tapi matanya belum terbuka dengan sempurna."Jam 7 pagi, Sayang," jawab Billy lembut sambil merapihkan anak rambut sang istri yang menutupi sebagian matanya. "Kamu masih ngantuk?"Nindy menggeleng lemah. "Nggak. C
Baru saja Dimas memasuki lift untuk turun ke lantai bawah, tiba-tiba saja ada seorang wanita ambruk di depannya. Sebelum wanita itu sempat terjatuh di lantai, Dimas sudah lebih dulu menangkap tubuh wanita itu dan menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Selain Dimas dan wanita itu, ada seorang pria juga yang berada di dalam lift."Nona, ada apa denganmu?" tanya Dimas sambil menepuk wajah wanita yang sudah menyandarkan kepala di bahunya."Maaf, ini teman saya. Dia lagi sakit. Biar saya yang bawa dia."Pria yang berada satu lift dengan mereka akhir membuka suara setelah pintu lift tertutup.Saat pria itu akan menyentuh wanita itu, Dimas segera mencengkram tangannya dengan tatapan tajam. "Kau mau berbuat apa dengan wanita yang sedang pingsan?"Pria tinggi berkulit sawo matang yang mengaku sebagai teman wanita itu tampak tidak senang mendengar ucapan Dimas. "Dia temanku. Jadi, apa masalahmu?""Bagaimana aku bisa tahu kalau kau memang temannya? Bisa saja kau mengaku-ngaku. Aku tidak bisa membi
"Di mana Nindy?" tanya Angga setelah Billy duduk di kursi depannya.Siang ini Billy bertemu dengan Angga di restoran hotel tempatnya menginap. Di sana jugalah nanti dia akan bertemu dengan teman-temanya yang berasal dari Singapore."Lagi tidur."Angga seketika tersenyum mendengar itu. "Masih jam 10 pagi, tapi dia udah tidur?Sepertinya kau habis menggempurnya habis-habisan semalam sampai membuatnya kelelahan seperti itu."Bukannya marah diolok-olok oleh Angga, Billy justru menanggapi dengan santai, "Nggak ada yang salah dengan itu. Dia udah resmi menjadi istriku.""Tapi, setidaknya tahan dirimu sedikit. Dia pasti lelah setelah melewati resepsi pernikahan yang panjang. Seharusnya, biarkan dia beristirahat dulu sehari, setelah itu kau bisa melakukannya.""Aku nggak bisa menahannya.""Tapi, selama ini kau berhasil menahannya, bahkan sampai 6 tahun. Kau juga tidak pernah terpengaruh dengan Shela yang sudah berkali-kali menggodamu.""Tidak bisa jika Nindy orangnya," jawab Billy santai, "jan
"Sayang, kamu yakin mau sarapan bersama?" tanya Billy sambil menghampiri Nindy yang sedang mengeringkan rambut di depan cermin kamar mandi dengan menggunakan hairdryer."Iya, nggak enak kalau nggak ikut sarapan.""Memangnya kamu bisa jalan?" Billy melingkarkan tangan di perut istrinya sambil menatapnya dari pantulan cermin setelah Nindy mematikan pengering rambut yang ada di tangan kanannya."Bisa, tapi pelan-pelan." Setelah itu, Nindy membalik tubuhnya menghadap Billy."Kalau nggak bisa, jangan dipaksa, Sayang. Lebih baik sarapan di kamar aja. Mereka juga pasti maklum, kita, kan, pengantin baru.""Ini salah kamu. Katanya cuma sebentar, tapi ternyata keterusan."Billy terkekeh pelan melihat wajah cemberut istrinya. "Maaf, Sayang. Kamu tahu sendiri, aku udah menahannya sejak lama. Ini aja aku masih sedikit menahan diri karena kasihan sama kamu.""Menahan diri apanya, kamu jangan bercanda. Badan aku sakit semua karena ulah kamu."Billy kembali terkekeh pelan. Setelah tawanya mereda, dia