“Kenapa ke sini?” tanya Billy setelah mengurai pelukan wanita itu. “Aku sengaja ke sini untuk habiskan waktu sama kamu,” jawab wanita itu sambil tersenyum manis. “Kamu kangen aku gak?” tanyannya dengan manja sambil bergelayut manja di lengan Billy. “Shel, ini kantor. Jaga sikap kamu. Bagaimana kalau ada yang mel …” Ucapan Billy terhenti ketika menyadari kalau ada Nindy yang sedang berdiri tidak jauh dari sana. Dia lupa kalau sejak tadi Nindy mengikutinya dari belakang. “Maaf, mengganggu, Pak. Saya mau ambil laptop di dalam." Billy hanya diam mematung di tempat, tidak membalas ucapan Nindy dan hanya membiarkan Nindy masuk ke ruangannya dan mengambil laptopnya. Setelah kepergian Nindy, wanita bernama Shela itu terus menatap punggung wanita yang pernah menjadi mantan kekasih Billy. “Itu bukannya Nindy? Dia mantan kamu, kan?” tanya Shela. Setelah Nindy menghilang dari pandangannya, Shela menoleh pada Billy. “Kenapa kamu gak bilang sama aku kalau dia kerja di kantor kamu?” Tanpa menj
"Ikut aku. Kita harus bicara."Billy segera menarik tangan Nindy ketika melihatnya tiba di parkiran. Namun, tangannya tiba-tiba ditepis, membuat langkah Billy seketika terhenti."Bicara di sini aja."Billy mengedarkan pandangan ke sekitar, kemudian berkata, "Banyak orang kantor di sini. Kita bicara di mobilku."Billy hanya tidak ingin menjadi pusat perhatian orang-orang kantor. Itu sebabnya dia mengajak untuk bicara di mobilnya.Tanpa menunggu persetujuan Nindy, Billy segera menariknya masuk ke mobil. Nindy pun tidak menolak dan hanya diam setelah duduk di dalam mobil."Nin, kejadian siang tadi ...""Bill, aku gak mau tahu lagi soal kehidupan pribadi kamu. Itu bukan urusan aku lagi. Kamu mau dengan siapa dan berbuat apa, itu hak kamu. Kamu gak perlu ngasih penjelasan apa-apa sama aku."Melihat perubahan sikap yang tiba-tiba Nindy, Billy pun mengerutkan keningnya."Sebaiknya, mulai sekarang kita jaga jarak. Aku gak mau bertemu diam-diam lagi seperti sekarang. Selain urusan pekerjaan, a
“Dia mantan kekasihmu, kan?” tanya Dimas setelah keduanya berada di dalam perjalanan pulang.“Ya,” jawab Nindy tanpa menoleh pada Dimas. Tatapannya tertuju ke depan, seperti sedang menatap sesuatu, tapi juga tidak.“Perempuan tadi pacarnya?” tanyas Dimas lagi setelah menoleh sekilas pada Nindy yang kembali terdiam.“Bukan,” sanggah Nindy. “Itu calon istrinya.”"Dia udah mau nikah?"Ketika melihat raut wajah Nindy tampak berubah, Dimas tidak lagi bertanya sampai mereka tiba di rumah Nindy.Pukul 9 malam, mobil Billy berhenti di depan rumah Nindy. Dia melihat ada mobil lain di depan rumah Nindy, dia pun memutuskan untuk menunggu sampai pemilik mobil itu pergi baru setelah itu menghampiri Nindy.Namun, sampai pukul 12 malam, pemilik mobil itu belum juga pulang. Billy mencengkram kuat stirnya, kemudian menyalakan mobil dan meninggalkan tempat itu dengan raut wajah dingin.Keesokan harinya, Nindy ke kantor diantar oleh Dimas. Ketika sedang mengobrol dengan sepupunya di parkiran, mobil Bill
"Apa?" Dewi memajukan tubuhnya ke arah Nindy, kemudian berkata dengan lirih, "Aku denger Pak Billy sama calon istrinya mau nikah sebentar lagi." 'Ternyata berita itu udah nyebar di kantor' "Nin, kok malah bengong?" tanya Dewi saat melihat Nindy termenung. "Hah?" Dewi mengerucutkan bibirnya dengan kesal saat mendapati Nindy sedang tidak fokus. "Kamu tuh mikirin apa, sih?" "Gak ada." Nindy tiba-tiba berdiri. "Aku mau ke toilet dulu." Nindy buru-buru melangkah keluar, tidak sengaja berpapasan dengan Billy dan Shela. Nindy hanya mengangguk hormat, lalu melewati keduanya. Di dalam toilet, Nindy langsung terduduk di atas closet dengan sorot mata sendu. "Nin, lihat. Itu Pak Billy sama calon istrinya." Nindy pun mengikuti arah pandang Dewi dan melihat Shela dan Billy baru saja memasuki kantin kantor. Dia langsung menunduk ketika netranya tidak sengaja bertemu dengan manik coklat milik Billy setelah mantannya itu duduk di kursi. "Mereka serasi banget, ya? Pak Billy ganteng, calon istr
Wajah Nindy tiba-tiba saja menegang dan jantung berdebar kencang usai mendengar itu. Apalagi, ketika melihat tatapan memicing dari Dimas, jantung Nindy seperti akan melompat keluar saat itu juga."Kalau memang benar kamu udah pernah tidur sama dia, aku bakal bikin dia tanggung jawab sama kamu. Gak akan aku biarin dia lolos begitu aja dan menikah sama orang lain setelah merusak kamu."Melihat wajah serius Dimas dan sorot matanya berubah menjadi tajam, Nindy menjadi panik. Namun, sebisa mungkin tidak dia perlihatkan pada Dimas agar sepupunya itu tidak curiga."Gak. Aku gak pernah tidur sama dia," sanggah Nindy dengan cepat. "Alasan aku belum bisa lupain dia karena Billy cinta pertama aku. Kamu tahu sendiri, aku paling sulit jatuh cinta sama orang lain."Meskipun Nindy sudah menyangkal. Namun, Dimas terlihat belum sepenuhnya percaya dengan sepupunya itu."Nin, kamu gak perlu takut untuk mengakuinya. Kamu tenang aja, aku gak akan pernah cerita sama om dan tante. Aku cuma mau tahu yang seb
Nindy terdiam selama beberapa detik, kemudian berkata, "Saya cuma takut calon istri Bapak nanti salah paham sama saya." "Kamu gak perlu mikirin dia. Ini gak ada urusannya sama sekali sama dia." Setelah menimang selama beberapa saat, Nindy akhirnya setuju diantar Billy. Pukul 8 lewat, mereka akhirnya tiba di depan rumah Nindy. "Terima kasih, sudah mengantar saya, Pak." Billy hanya mengangguk sebagai jawaban. Setelah Nindy masuk ke dalam rumah, Billy tidak langsung pergi dari sana, melainkan dia terdiam sambil menatap lurus ke depan dengan tatapan tidak terbaca. Namun, tidak berapa lama, pintu rumah Nindy tiba-tiba saja terbuka dan mantan kekasihnya itu terlihat keluar rumah setelah mengunci pintu. Billy pun memutuskan untuk turun dari mobilnya dan menghampiri Nindy. "Kenapa keluar lagi?" "Lampu kamar saya mati, Pak. Saya mau beli lampu di minimarket depan." Sejak dulu, Nindy tidak bisa tidur dalam keadaan lampu kamar mati. Nindy takut gelap dan Billy tahu itu. "Biar saya yang b
Ketika Nindy akan bangkit, pinggangnya ditahan oleh Billy membuat tubuh keduanya kembali menempel."Bill, lepas. Aku mau bangun," pinta Nindy sambil memundurkan tubuhnya sedikit ke belakang."Jangan bergerak. Tangan saya sakit.""Sakit kenapa? Kan Bapak yang nahan saya pake tangan.""Kalau udah di luar, jangan panggil sama Bapak. Saya bukan Bapak kamu.""Bapak, kan, atasan saya.""Ini udah di luar jam kerja. Saya gak suka dipanggil seperti itu.""Ok, tapi lepasin saya dulu."Billy hanya diam. Namun, dia menjauhkan tangannya dari pinggang Nindy, kemudian ikut bangkit setelah Nindy berdiri tegak.Tidak lama berselang, lampu kamar menyala setelah Nindy menekan saklar lampunya."Akhirnya nyala ju ..." Ucapan Nindy terhenti ketika melihat lengan Billy dialiri cairan merah. "Bill, tangan kamu berdarah!" pekik Nindy dengan mata membelalak. "Kenapa bisa luka?"Billy melipat sikunya, sedikit mengangkatnya, lalu menatap sekilas pada lengannya berdarah. "Oh, ini. Tadi gak sengaja kena ujung tang
“Pagi tadi, gimana caranya kamu pake baju?” tanya Nindy sambil membatu Billy melepaskan kancing kemejanya.Setelah tadi berpikir selama beberapa detik, Nindy memutuskan untuk membantu Billy karena merasa kasih pada pria itu setelah mendengarnya kesulitan untuk melepas pakaian menggunakan satu tangan.“Angga yang bantu,” jawab Billy sambil menatap Nindy yang terus menunduk sejak tadi."Kalau masih sakit, kenapa nggak ke rumah sakit aja?""Saya malas ke rumah sakit."Sejak dulu, memang Billy tidak terlalu suka ke rumah sakit jika dia sedang sakit.“Maaf, seharusnya kamu nggak usah bantuin aku masang lampu kemarin malam.”Jika Billy tidak membantunya, pria itu pasti tidak akan terluka seperti saat ini.“Itu bukan salah kamu. Kalau saya nggak bantu kamu, justru kamu nanti yang bakal terluka.”“Lebih baik aku yang luka daripada kamu. Kalau udah kayak gini kamu jadi nggak bisa ngapa-ngapain.”“Saya justru nggak mau kamu terluka.”Ketika Nindy mendongakkan kepala, Billy sedang menatap lekat