Wajah Nindy tiba-tiba saja menegang dan jantung berdebar kencang usai mendengar itu. Apalagi, ketika melihat tatapan memicing dari Dimas, jantung Nindy seperti akan melompat keluar saat itu juga."Kalau memang benar kamu udah pernah tidur sama dia, aku bakal bikin dia tanggung jawab sama kamu. Gak akan aku biarin dia lolos begitu aja dan menikah sama orang lain setelah merusak kamu."Melihat wajah serius Dimas dan sorot matanya berubah menjadi tajam, Nindy menjadi panik. Namun, sebisa mungkin tidak dia perlihatkan pada Dimas agar sepupunya itu tidak curiga."Gak. Aku gak pernah tidur sama dia," sanggah Nindy dengan cepat. "Alasan aku belum bisa lupain dia karena Billy cinta pertama aku. Kamu tahu sendiri, aku paling sulit jatuh cinta sama orang lain."Meskipun Nindy sudah menyangkal. Namun, Dimas terlihat belum sepenuhnya percaya dengan sepupunya itu."Nin, kamu gak perlu takut untuk mengakuinya. Kamu tenang aja, aku gak akan pernah cerita sama om dan tante. Aku cuma mau tahu yang seb
Nindy terdiam selama beberapa detik, kemudian berkata, "Saya cuma takut calon istri Bapak nanti salah paham sama saya." "Kamu gak perlu mikirin dia. Ini gak ada urusannya sama sekali sama dia." Setelah menimang selama beberapa saat, Nindy akhirnya setuju diantar Billy. Pukul 8 lewat, mereka akhirnya tiba di depan rumah Nindy. "Terima kasih, sudah mengantar saya, Pak." Billy hanya mengangguk sebagai jawaban. Setelah Nindy masuk ke dalam rumah, Billy tidak langsung pergi dari sana, melainkan dia terdiam sambil menatap lurus ke depan dengan tatapan tidak terbaca. Namun, tidak berapa lama, pintu rumah Nindy tiba-tiba saja terbuka dan mantan kekasihnya itu terlihat keluar rumah setelah mengunci pintu. Billy pun memutuskan untuk turun dari mobilnya dan menghampiri Nindy. "Kenapa keluar lagi?" "Lampu kamar saya mati, Pak. Saya mau beli lampu di minimarket depan." Sejak dulu, Nindy tidak bisa tidur dalam keadaan lampu kamar mati. Nindy takut gelap dan Billy tahu itu. "Biar saya yang b
Ketika Nindy akan bangkit, pinggangnya ditahan oleh Billy membuat tubuh keduanya kembali menempel."Bill, lepas. Aku mau bangun," pinta Nindy sambil memundurkan tubuhnya sedikit ke belakang."Jangan bergerak. Tangan saya sakit.""Sakit kenapa? Kan Bapak yang nahan saya pake tangan.""Kalau udah di luar, jangan panggil sama Bapak. Saya bukan Bapak kamu.""Bapak, kan, atasan saya.""Ini udah di luar jam kerja. Saya gak suka dipanggil seperti itu.""Ok, tapi lepasin saya dulu."Billy hanya diam. Namun, dia menjauhkan tangannya dari pinggang Nindy, kemudian ikut bangkit setelah Nindy berdiri tegak.Tidak lama berselang, lampu kamar menyala setelah Nindy menekan saklar lampunya."Akhirnya nyala ju ..." Ucapan Nindy terhenti ketika melihat lengan Billy dialiri cairan merah. "Bill, tangan kamu berdarah!" pekik Nindy dengan mata membelalak. "Kenapa bisa luka?"Billy melipat sikunya, sedikit mengangkatnya, lalu menatap sekilas pada lengannya berdarah. "Oh, ini. Tadi gak sengaja kena ujung tang
“Pagi tadi, gimana caranya kamu pake baju?” tanya Nindy sambil membatu Billy melepaskan kancing kemejanya.Setelah tadi berpikir selama beberapa detik, Nindy memutuskan untuk membantu Billy karena merasa kasih pada pria itu setelah mendengarnya kesulitan untuk melepas pakaian menggunakan satu tangan.“Angga yang bantu,” jawab Billy sambil menatap Nindy yang terus menunduk sejak tadi."Kalau masih sakit, kenapa nggak ke rumah sakit aja?""Saya malas ke rumah sakit."Sejak dulu, memang Billy tidak terlalu suka ke rumah sakit jika dia sedang sakit.“Maaf, seharusnya kamu nggak usah bantuin aku masang lampu kemarin malam.”Jika Billy tidak membantunya, pria itu pasti tidak akan terluka seperti saat ini.“Itu bukan salah kamu. Kalau saya nggak bantu kamu, justru kamu nanti yang bakal terluka.”“Lebih baik aku yang luka daripada kamu. Kalau udah kayak gini kamu jadi nggak bisa ngapa-ngapain.”“Saya justru nggak mau kamu terluka.”Ketika Nindy mendongakkan kepala, Billy sedang menatap lekat
"Kenapa?" tanya Nindy dengan heran ketika tangannya dicekal oleh Billy. "Aku akan mengantarmu sampai bawah." "Tidak perlu. Aku bisa sendiri." Setelah berpamitan pada Billy, Nindy keluar dari kamar tersebut. Beruntung di hotel itu selalu tersedia taksi, jadi dia tidak perlu bersusah payah untuk memesannya. Saat dalam perjalanan pulang, sebuah pesan masuk di ponselnya yang berasal dari Shela. [Nindy, sepertinya kamu mengabaikan peringatan aku sebelumnya. Sudah kubilang padamu, menjauh dari Billy, tapi kamu justru ke hotelnya saat aku nggak ada. Kamu memang perempuan murahan yang bisanya menggoda calon suami orang. Nggak heran kalau kamu rela ditiduri oleh Billy waktu menjadi kekasihnya dulu.] Belum sempat Nindy membalas pesan tersebut, sebuah pesan singkat kembali masuk ke ponselnya. "Aku peringatin sekali lagi sama kamu, jauhi Billy, kalau nggak, aku bakal bikin kamu malu.] Nindy mencengkram ponselnya dengan kuat usai membaca pesan itu. Ada rasa marah ketika dia membaca
Setelah menerima kartu akses kamar yang mereka pesan, keduanya naik ke lantai 6 di mana kamar mereka berada. Tidak ada obrolan apa pun di antara keduanya sampai mereka tiba di kamar. "Kamu kalau mau istirahat, masih ada waktu 5 jam sebelum acara di mulai." Acara akan dimulai pukul 4 sore dan akan berakhir pukul 8 malam. Namun, Billy dan Nindy rencananya akan menghadiri acara lebih awal agar bisa kembali ke kamar sebelum hari gelap. "Kamu mau ke mana?" tanya Nindy ketika melihat Billy akan keluar kamar setelah meletakkan barangnya di sofa yang ada di dalam kamar. "Mau keluar sebentar." "Ke mana?" "Ke mall sebelah. Ada yang mau saya beli." Nindy yang semula duduk di tepi ranjang seketika bangkit dari duduknya. "Apa aku boleh ikut?" Selain karena ingin membeli sesuatu seperti Billy, Nindy juga ingin melihat-lihat di mall tersebut. Mesikipun dia sudah pernah ke sana dan sudah tidak asing lagi di tempat itu, tapi Nindy ingin melihat apakah ada hal sesuatu yang baru di sana. "Ikut a
"Kita mau ke mana?" tanya Nindy yang sejak tadi terus mengikuti langkah kaki Billy sampai tiba di lantai dua. "Temani saya hilangin stres," jawab Billy tanpa menghentikan langkahnya. Nindy yang merasa bingung, hanya bisa mengikuti ke mana Billy membawanya pergi sampai mereka tiba ruangan fitnes center yang berada di dekat kolam renang. "Ngapain ke sini?" tanya Nindy dengan wajah heran. "Olahraga," jawab Billy singkat. "Siang-siang gini?" Biasanya orang akan berolahraga di pagi, sore, atau malam hari. Saat ini masih sekitar pukul 2 siang. Jadi, wajar saja kalau Nindy merasa heran. "Cuma ini satu-satunya cara buat ngilangin stres yang ada di pikiran saya," jawab Billy, "kamu tunggu di sini." Usai mengatakan itu, Billy pergi ke ruangan ganti dengan membawa paper bag yang sempat dia ambil sebelum keluar dari kamar. Kurang lebih 10 menit, Billy keluar dari ruangan itu dengan mengenakan pakaian olahraga yang tadi sempat dia beli di mall. Setelah itu, dia menghampiri meja tempat pegaw
Setengah jam kemudian, mereka akhirnya kembali ke kamar setelah Billy menghilangkan keringat serta mendinginkan suhu tubuhnya. Billy langsung memasuki kamar mandi untuk mandi, sementara Nindy duduk di sofa sambil memainkan ponselnya.Saat sedang fokus dengan ponselnya, tiba-tiba ponsel Billy berbunyi. Karena terus berdering, Nindy akhirnya bangkit dan berjalan menuju nakas. Nama Shela terpampang di layar ponsel Billy. Dia pun memutuskan untuk kembali duduk di sofa.Setengah jam kemudian, Billy keluar dari dalam kamar mandi hanya mengenakan handuk yang terlilit di pinggangnya. Ketika melihat itu, Nindy segera memalingkan wajahnya ke samping dengan jantung yang berdebar kencang. Hari ini, total sudah 2 kali dia melihat pemandangan yang sangat disenangi oleh kaum hawa itu.“Bill, kenapa kamu keluar cuma pake handuk, memang kamu nggak malu?”Billy tersenyum tipis ketika melihat Nindy yang sedang memalingkan wajahnya ke samping kiri. Namun, matanya terlihat melirik padanya sesekali.“Malu