“Pagi tadi, gimana caranya kamu pake baju?” tanya Nindy sambil membatu Billy melepaskan kancing kemejanya.Setelah tadi berpikir selama beberapa detik, Nindy memutuskan untuk membantu Billy karena merasa kasih pada pria itu setelah mendengarnya kesulitan untuk melepas pakaian menggunakan satu tangan.“Angga yang bantu,” jawab Billy sambil menatap Nindy yang terus menunduk sejak tadi."Kalau masih sakit, kenapa nggak ke rumah sakit aja?""Saya malas ke rumah sakit."Sejak dulu, memang Billy tidak terlalu suka ke rumah sakit jika dia sedang sakit.“Maaf, seharusnya kamu nggak usah bantuin aku masang lampu kemarin malam.”Jika Billy tidak membantunya, pria itu pasti tidak akan terluka seperti saat ini.“Itu bukan salah kamu. Kalau saya nggak bantu kamu, justru kamu nanti yang bakal terluka.”“Lebih baik aku yang luka daripada kamu. Kalau udah kayak gini kamu jadi nggak bisa ngapa-ngapain.”“Saya justru nggak mau kamu terluka.”Ketika Nindy mendongakkan kepala, Billy sedang menatap lekat
"Kenapa?" tanya Nindy dengan heran ketika tangannya dicekal oleh Billy. "Aku akan mengantarmu sampai bawah." "Tidak perlu. Aku bisa sendiri." Setelah berpamitan pada Billy, Nindy keluar dari kamar tersebut. Beruntung di hotel itu selalu tersedia taksi, jadi dia tidak perlu bersusah payah untuk memesannya. Saat dalam perjalanan pulang, sebuah pesan masuk di ponselnya yang berasal dari Shela. [Nindy, sepertinya kamu mengabaikan peringatan aku sebelumnya. Sudah kubilang padamu, menjauh dari Billy, tapi kamu justru ke hotelnya saat aku nggak ada. Kamu memang perempuan murahan yang bisanya menggoda calon suami orang. Nggak heran kalau kamu rela ditiduri oleh Billy waktu menjadi kekasihnya dulu.] Belum sempat Nindy membalas pesan tersebut, sebuah pesan singkat kembali masuk ke ponselnya. "Aku peringatin sekali lagi sama kamu, jauhi Billy, kalau nggak, aku bakal bikin kamu malu.] Nindy mencengkram ponselnya dengan kuat usai membaca pesan itu. Ada rasa marah ketika dia membaca
Setelah menerima kartu akses kamar yang mereka pesan, keduanya naik ke lantai 6 di mana kamar mereka berada. Tidak ada obrolan apa pun di antara keduanya sampai mereka tiba di kamar. "Kamu kalau mau istirahat, masih ada waktu 5 jam sebelum acara di mulai." Acara akan dimulai pukul 4 sore dan akan berakhir pukul 8 malam. Namun, Billy dan Nindy rencananya akan menghadiri acara lebih awal agar bisa kembali ke kamar sebelum hari gelap. "Kamu mau ke mana?" tanya Nindy ketika melihat Billy akan keluar kamar setelah meletakkan barangnya di sofa yang ada di dalam kamar. "Mau keluar sebentar." "Ke mana?" "Ke mall sebelah. Ada yang mau saya beli." Nindy yang semula duduk di tepi ranjang seketika bangkit dari duduknya. "Apa aku boleh ikut?" Selain karena ingin membeli sesuatu seperti Billy, Nindy juga ingin melihat-lihat di mall tersebut. Mesikipun dia sudah pernah ke sana dan sudah tidak asing lagi di tempat itu, tapi Nindy ingin melihat apakah ada hal sesuatu yang baru di sana. "Ikut a
"Kita mau ke mana?" tanya Nindy yang sejak tadi terus mengikuti langkah kaki Billy sampai tiba di lantai dua. "Temani saya hilangin stres," jawab Billy tanpa menghentikan langkahnya. Nindy yang merasa bingung, hanya bisa mengikuti ke mana Billy membawanya pergi sampai mereka tiba ruangan fitnes center yang berada di dekat kolam renang. "Ngapain ke sini?" tanya Nindy dengan wajah heran. "Olahraga," jawab Billy singkat. "Siang-siang gini?" Biasanya orang akan berolahraga di pagi, sore, atau malam hari. Saat ini masih sekitar pukul 2 siang. Jadi, wajar saja kalau Nindy merasa heran. "Cuma ini satu-satunya cara buat ngilangin stres yang ada di pikiran saya," jawab Billy, "kamu tunggu di sini." Usai mengatakan itu, Billy pergi ke ruangan ganti dengan membawa paper bag yang sempat dia ambil sebelum keluar dari kamar. Kurang lebih 10 menit, Billy keluar dari ruangan itu dengan mengenakan pakaian olahraga yang tadi sempat dia beli di mall. Setelah itu, dia menghampiri meja tempat pegaw
Setengah jam kemudian, mereka akhirnya kembali ke kamar setelah Billy menghilangkan keringat serta mendinginkan suhu tubuhnya. Billy langsung memasuki kamar mandi untuk mandi, sementara Nindy duduk di sofa sambil memainkan ponselnya.Saat sedang fokus dengan ponselnya, tiba-tiba ponsel Billy berbunyi. Karena terus berdering, Nindy akhirnya bangkit dan berjalan menuju nakas. Nama Shela terpampang di layar ponsel Billy. Dia pun memutuskan untuk kembali duduk di sofa.Setengah jam kemudian, Billy keluar dari dalam kamar mandi hanya mengenakan handuk yang terlilit di pinggangnya. Ketika melihat itu, Nindy segera memalingkan wajahnya ke samping dengan jantung yang berdebar kencang. Hari ini, total sudah 2 kali dia melihat pemandangan yang sangat disenangi oleh kaum hawa itu.“Bill, kenapa kamu keluar cuma pake handuk, memang kamu nggak malu?”Billy tersenyum tipis ketika melihat Nindy yang sedang memalingkan wajahnya ke samping kiri. Namun, matanya terlihat melirik padanya sesekali.“Malu
Pukul 7 malam, setelah selesai bersiap keduanya langsung ke tempat acara pernikahan digelar. Billy dengan mengenakan kemeja batik tulis berwarna marun, sementara Nindy mengenakan one set batik berwarna coklat susu."Pegang lengan saya," pinta Billy sebelum keduanya memasuki tempat acara.Awalnya Nindy enggan menuruti permintaan Billy karena merasa malu. Namun, melihat pria itu sudah menekuk sikunya, dia pun terpaksa mengapit lengannya, kemudian melangkah masuk bersama Billy."Jangan dilepas. Nanti kamu hilang," ucap Billy sambil terus berjalan melewati tamu-tamu lain yang hadir di acara itu."Aku bukan anak kecil, Bill."Billy tidak mengubris protes Nindy dan terus mengajaknya untuk berjalan menemui sang pemilik acara."Ini siapa, Bill?" tanya Pak Roby, ayah dari mempelai pengantin wanita."Calon istri saya, Pak."Nindy langsung menoleh pada Billy ketika mendengar pengakuan pria di sampingnya itu."Pintar juga kamu pilih calon istri," ucap Pak Robby sambil tersenyum hangat pada Nindy.
"Masih dingin?"Nindy yang sejak tadi masih terkesiap dengan tindakan Billy yang tiba-tiba memeluknya, tanpa sadar mengangguk.Ketika melihat itu, Billy menarik senyuman tipis wajahnya. Setelah itu, dia menarik Nindy semakin mendekat, hingga tubuh keduanya tidak berjarak lagi, membuat sekujur tubuh Nindy tiba-tiba dialiri rasa hangat."Seharusnya, kamu dengerin saya tadi. Kamu nggak bakal kehujanan kalau saya pergi beli payung. Kamu bisa sakit nanti. Kalau sudah begitu, kamu sendiri yang susah."Keduanya pulang dalam keadaan basah kuyup karena menorobos hujan. Tubuh Nindy bahkan tidak henti gemetar sejak tadi akibat kedinginan. Padahal, suhu di kamar tidak terlalu dingin."Aku nggak bakal sakit cuma karena kehujanan sebentar. Dulu aja kita hujan-hujanan sampai ..."Nindy seketika menghentikan ucapanya ketika menyadari kalau dia hampir saja membahas malam ketika dirinya menyerahkan dirinya pada Billy.Hari itu, setelah pulang dari kuliah pagi, Billy mengajaknya ke puncak dengan mengend
"Bill, jam berapa kita check out?" Pagi-pagi sekali Nindy sudah bangun dan duduk di sofa kamar sambil memainkan ponselnya setelah selesai mandi. Dia terbangun lebih dulu daripada Billy. Tepatnya, dia tidak bisa tidur setelah Billy memintanya untuk kembali padanya lagi. "Jam 11, kita sarapan dulu." Hari ini rencananya mereka akan kembali ke Surabaya karena esok hari mereka harus kembali bekerja. “Kalau gitu. Aku ke bawah duluan.” Tanpa menunggu jawaban dari Billy, Nindy bergegas keluar dari kamar itu. Namun, secepat kilat dihentikan oleh Billy sebelum Nindy sempat membuka pintu. "Kenapa kamu ngehindarin saya?" Sejak kejadian semalam, Nindy seperti menghindarinya, dia juga lebih banyak diam, bahkan Nindy tidak pernah mau menatap wajahnya dan matanya ketika mereka sedang berbicara. "Kamu sudah setuju memberikan saya kesempatan untuk meyakinkan kamu mengenai perasaan saya, tapi kenapa kau malah mau jauhin saya?" Inilah alasan kenapa selama ini Billy tidak mau terburu-buru mengungk