"Jangan nunduk terus, nanti kamu jatuh." Billy memperingatkan Nindy yang sejak tadi terus menunduk setelah keluar dari kamar mereka. Siang ini rencananya mereka akan check out dan kembali ke Surabaya lagi. "Aku malu." Ketika dia dan Billy akan keluar dari kamar, salah satu tamu hotel yang sempat melihat Billy mencium wajahnya di kolam renang, tiba-tiba saja muncul dari depan mereka dan menatap mereka penuh arti. "Pantes lengket banget, pengantin baru ternyata." Itulah kata-kata yang keluar dari mulut wanita paruh baya yang tidak sengaja berpapasan dengan Nindy dan Billy di lorong hotel. Pagi tadi, Billy berhasil mengerjainya, dia pikir Billy akan mencium bibirnya. Namun, ketika hidung keduanya akan bersentuhan, tiba-tiba saja Billy memalingkan wajah dan membisikkan sesuatu padanya, kemudian mengecup pipinya dengan singkat. Walapun Billy hanya mencium pipi Nindy. Namun, tindakannya itu berhasil membuat wanita-wanita di sekitar kolam itu menjadi iri dan kecewa sekaligus. "Angkat
“Pakai ini.” Billy menyerahkan kaos putih miliknya pada Nindy yang sedang duduk di tepi ranjang. Nindy sudah memutuskan untuk menginap di sana. Saat dirinya akan pulang tadi, Billy memaksa untuk mengantarnya pulang menaiki mobilnya. Karena takut terjadi apa-apa dengan Billy, apalagi pria itu terlihat sudah kelelahan, Nindy pun membatalkan niatnya untuk pulang. “Ganti aja di kamar mandi.” Nindy mengangguk pelan, lalu berjalan menuju kamar mandi untuk berganti pakaian. Lima menit kemudian, dia keluar dari kamat mandi dengan mengenakan kaos dan bawahan hotpants. Dia terpaksa mengenakan itu karena tidak mungkin memiliki celana lain, tidak mungkin juga dia memakai celana milik Billy. “Langsung tidur aja. Ini sudah mau pagi.” Billy akhirnya memecah keheningan di antara keduanya yang sejak tadi terlihat canggung. “Kamu mau ke mana?” Dia menatap heran pada Billy saat melihatnya berjalan menuju pintu setelah mengambil bantal. “Saya mau tidur di luar.” Rencana dia akan tidur di sofa ya
"Kamu kenapa?" Nindy menatap heran pada Billy yang sedang duduk di sofa single yang letaknya di dekat di dinding kaca kamar yang menghadap langsung ke jalan raya. Pria itu terlihat sedang menatap keluar dengan ekspresi biasa. Namun, ada yang aneh dengan pria itu. Meksipun Billy sudah mandi dan berpakaian rapi, tapi wajahnya tampak lesu, matanya sedikit memerah dan guratan kelelahan tergambar jelas pada raut wajahnya. "Aku nggak apa-apa. Mandilah, habis itu aku antar kamu pulang untuk berganti pakaian." Baru setelah itu mereka akan pergi ke kantor bersama-sama. "Iya." Setelah Nindy masuk ke kamar mandi, Billy yang semula masih duduk, akhirnya bangkit dan berjalan keluar dari kamar menuju pantry mini di dekat ruangan depan. Dia menyeduh kopi, lalu meminumnya di ruangan depan sembari menunggu Nindy selesai mandi. "Kita sarapan dulu sebelum pergi." Karena Billy malas untuk turun ke bawah, jadi tadi dia meminta untuk sarapan mereka di antar ke kamar. "Bill, kamu beneran nggak apa-a
Pukul 9 pagi, Nindy memasuki ruangan Billy setelah dipanggil bosnya itu. Sejak tiba di kantor, dia memang belum pergi ke ruangan Billy untuk mengantarkan berkas karena dia sedang mengerjakan laporan."Buatkan saya kopi," pinta Billy."Kamu bukannya udah minum kopi tadi pagi?"Bahkan pria itu sudah minum kopi sebelum sarapan pagi mereka datang."Iya, tapi saya masih ngantuk.""Kenapa nggak izin pulang aja? Nanti kalau ada dokumen penting, aku kirim lewat email."Raut wajah Billy tampak begitu lelah, Nindy jadi merasa iba sekaligus bersalah. Bagaimanapun, itu kesalahannya karena sudah membuat pria itu tidak tidur sampai pagi."Nanti siang aja, masih banyak dokumen yang harus saya periksa dan tanda tangani.""Kalau begitu, aku buatin kopi dulu."Nindy keluar setelah melihat Billy mengangguk. Lima menit kemudian dia kembali ke ruangan Billy lagi dengan secangkir kopi panas."Kopinya mau ditaruh di mana?" tanya Nindy."Taruh aja di meja." Billy mengedikkan dagunya ke meja sofa yang ada di
"Apa yang kalian lakukan?" Suara itu berasal dari orang yang sudah berdiri di pintu dengan mata membulat. Nindy segera mendorong dada Billy dan segera berdiri dan menegakkan punggungnya dengan gugup. "Pak Angga. Jangan salah—" "Kau tidak lihat kami sedang apa?" Billy ikut bangkit dari tidurnya dan duduk dengan wajah acuh tak acuh. Kemudian menarik tangan Nindy hingga mantannya itu terduduk di sebelahnya. Ketika Nindy akan menggeser tubuhnya untuk memberikan jarak, Billy justru meraih pinggang dan merangkulnya dengan santai. Nindy ingin memprotes tindakan pria itu, tapi Billy memberikan kode dengan tatapan, seolah memintanya untuk diam. "Billy, aku tahu kau pemilik perusahaan ini, tapi kau juga harus tahu tempat, ini kantor bukan tempat untuk bermesraan." "Kalau nggak ada yang penting, lebih baik kau pergi. Jangan menggangguku." Angga berdecak lidah. "Sial sekali, kenapa juga aku harus melihat kemesraan kalian," umpatnya dengan kesal. "Lihat saja, aku akan mengadukanmu p
"Maaf, Denis. Aku nggak bisa menerima perasaan kamu."Nindy menatap Denis dengan wajah bersalah. Baru saja Denis mengungkapkan perasaannya padanya, tapi langsung ditolak olehnya tanpa basa-basi.Sejujurnya Nindy tidak tega menolak Denis, apalagi selama ini pria itu selalu bersikap baik dan sangat perhatian padanya. Namun, dia terpaksa menolaknya agar pria itu tidak berharap lagi padanya."Kenapa? Apa alasan kamu menolak aku?" tanya Denis dengan wajah kecewa, "apa ada yang kurang dari aku?""Nggak ada yang kurang dari kamu." Tentu saja tidak ada yang kurang dari Denis. Selain memiliki wajah tampan, Denis juga memiliki sikap yang baik dan juga berasal dari keluarga kaya di kotanya.Justru dirinyalah yang memiliki kekurangan. Bahkan, kekurangannya itu membuat dirinya merasa tidak pantas untuk pria sebaik Denis. Itulah salah satu alasan, kenapa dia tidak bisa menerima Denis, selain karena tidak mencintai pria itu."Terus, apa alasan kamu menolak aku? Apa kamu udah punya kekasih?"Tapi, s
"Ternyata sedang ada tamu." Senyuman sinis tersungging di bibir Billy setelah mengatakan itu. Nindy yang baru saja turun dari mobil Denis tampak mematung di tempat usai mendengar ucapan Billy. Bisa dia lihat dari tempatnya, seperti ada kekecewaan dan amarah di mata coklat Billy. "Kalau begitu, saya nggak akan ganggu kalian." Billy berlalu dari sana dengan wajah datarnya, dia menghampiri pemilik rumah yang akan dia beli, yang baru saja keluar dari rumahnya. Keduanya berbicara sebentar, setelah itu Billy masuk ke dalam mobilnya dan meninggalkan tempat itu. Sementara Nindy masih setia mematung di tempat dengan pandangan tertuju pada mobil Billy. "Kamu mau nyusul dia?" Denis akhirnya bersuara setelah melihat raut wajah cemas Nindy. "Nggak perlu." Karena jika dia menyusul Billy sekarang, kemungkinan Billy tidak akan mau mendengar penjelasannya. Menurutnya, lebih baik menunggu suasana menjadi dingin, baru dia mengajak Billy bicara. Kalau dulu, mungkin dia akan menjelaskan pada Billy
Setelah Angga pergi, barulah Nindy memencet bel kamar Billy. Namun, pintu tidak juga dibuka, padahal dia sudah memencet 5 kali. Disaat Nindy memutuskan untuk pergi, tiba-tiba saja pintu terbuka dan tangannya ditarik ke dalam. "Kenapa kamu ke sini?" Nindy menelan salivanya ketika tubuhnya dikurung dengan kedua tangan Billy di belakang pintu dengan tatapan mengintimidasi. "A-aku ..." Bulu mata Nindy bergerak naik-turun ketika merasakan hembusan napas Billy menerpa wajahnya. "A-aku mau bicara sama kamu." "Tapi, aku nggak mau." Billy menarik diri, kemudian berbalik. "Pergilah. Aku lagi nggak mau diganggu." Nindy menatap punggung Billy yang sudah mulai menjauh darinya dengan sorot mata sendu. "Aku cuma mau bicara sebentar, nggak lama." Billy berbalik setelah tiba di depan pintu kamarnya, kemudian berkata, "Aku capek. Nggak ada waktu untuk bicara sama kamu." Nindy menunduk dengan sorot mata sendu usai melihat Billy memasuki kamarnya tanpa menunggu dirinya berbicara dulu. Tanpa terasa