"Kamu kenapa?" Nindy menatap heran pada Billy yang sedang duduk di sofa single yang letaknya di dekat di dinding kaca kamar yang menghadap langsung ke jalan raya. Pria itu terlihat sedang menatap keluar dengan ekspresi biasa. Namun, ada yang aneh dengan pria itu. Meksipun Billy sudah mandi dan berpakaian rapi, tapi wajahnya tampak lesu, matanya sedikit memerah dan guratan kelelahan tergambar jelas pada raut wajahnya. "Aku nggak apa-apa. Mandilah, habis itu aku antar kamu pulang untuk berganti pakaian." Baru setelah itu mereka akan pergi ke kantor bersama-sama. "Iya." Setelah Nindy masuk ke kamar mandi, Billy yang semula masih duduk, akhirnya bangkit dan berjalan keluar dari kamar menuju pantry mini di dekat ruangan depan. Dia menyeduh kopi, lalu meminumnya di ruangan depan sembari menunggu Nindy selesai mandi. "Kita sarapan dulu sebelum pergi." Karena Billy malas untuk turun ke bawah, jadi tadi dia meminta untuk sarapan mereka di antar ke kamar. "Bill, kamu beneran nggak apa-a
Pukul 9 pagi, Nindy memasuki ruangan Billy setelah dipanggil bosnya itu. Sejak tiba di kantor, dia memang belum pergi ke ruangan Billy untuk mengantarkan berkas karena dia sedang mengerjakan laporan."Buatkan saya kopi," pinta Billy."Kamu bukannya udah minum kopi tadi pagi?"Bahkan pria itu sudah minum kopi sebelum sarapan pagi mereka datang."Iya, tapi saya masih ngantuk.""Kenapa nggak izin pulang aja? Nanti kalau ada dokumen penting, aku kirim lewat email."Raut wajah Billy tampak begitu lelah, Nindy jadi merasa iba sekaligus bersalah. Bagaimanapun, itu kesalahannya karena sudah membuat pria itu tidak tidur sampai pagi."Nanti siang aja, masih banyak dokumen yang harus saya periksa dan tanda tangani.""Kalau begitu, aku buatin kopi dulu."Nindy keluar setelah melihat Billy mengangguk. Lima menit kemudian dia kembali ke ruangan Billy lagi dengan secangkir kopi panas."Kopinya mau ditaruh di mana?" tanya Nindy."Taruh aja di meja." Billy mengedikkan dagunya ke meja sofa yang ada di
"Apa yang kalian lakukan?" Suara itu berasal dari orang yang sudah berdiri di pintu dengan mata membulat. Nindy segera mendorong dada Billy dan segera berdiri dan menegakkan punggungnya dengan gugup. "Pak Angga. Jangan salah—" "Kau tidak lihat kami sedang apa?" Billy ikut bangkit dari tidurnya dan duduk dengan wajah acuh tak acuh. Kemudian menarik tangan Nindy hingga mantannya itu terduduk di sebelahnya. Ketika Nindy akan menggeser tubuhnya untuk memberikan jarak, Billy justru meraih pinggang dan merangkulnya dengan santai. Nindy ingin memprotes tindakan pria itu, tapi Billy memberikan kode dengan tatapan, seolah memintanya untuk diam. "Billy, aku tahu kau pemilik perusahaan ini, tapi kau juga harus tahu tempat, ini kantor bukan tempat untuk bermesraan." "Kalau nggak ada yang penting, lebih baik kau pergi. Jangan menggangguku." Angga berdecak lidah. "Sial sekali, kenapa juga aku harus melihat kemesraan kalian," umpatnya dengan kesal. "Lihat saja, aku akan mengadukanmu p
"Maaf, Denis. Aku nggak bisa menerima perasaan kamu."Nindy menatap Denis dengan wajah bersalah. Baru saja Denis mengungkapkan perasaannya padanya, tapi langsung ditolak olehnya tanpa basa-basi.Sejujurnya Nindy tidak tega menolak Denis, apalagi selama ini pria itu selalu bersikap baik dan sangat perhatian padanya. Namun, dia terpaksa menolaknya agar pria itu tidak berharap lagi padanya."Kenapa? Apa alasan kamu menolak aku?" tanya Denis dengan wajah kecewa, "apa ada yang kurang dari aku?""Nggak ada yang kurang dari kamu." Tentu saja tidak ada yang kurang dari Denis. Selain memiliki wajah tampan, Denis juga memiliki sikap yang baik dan juga berasal dari keluarga kaya di kotanya.Justru dirinyalah yang memiliki kekurangan. Bahkan, kekurangannya itu membuat dirinya merasa tidak pantas untuk pria sebaik Denis. Itulah salah satu alasan, kenapa dia tidak bisa menerima Denis, selain karena tidak mencintai pria itu."Terus, apa alasan kamu menolak aku? Apa kamu udah punya kekasih?"Tapi, s
"Ternyata sedang ada tamu." Senyuman sinis tersungging di bibir Billy setelah mengatakan itu. Nindy yang baru saja turun dari mobil Denis tampak mematung di tempat usai mendengar ucapan Billy. Bisa dia lihat dari tempatnya, seperti ada kekecewaan dan amarah di mata coklat Billy. "Kalau begitu, saya nggak akan ganggu kalian." Billy berlalu dari sana dengan wajah datarnya, dia menghampiri pemilik rumah yang akan dia beli, yang baru saja keluar dari rumahnya. Keduanya berbicara sebentar, setelah itu Billy masuk ke dalam mobilnya dan meninggalkan tempat itu. Sementara Nindy masih setia mematung di tempat dengan pandangan tertuju pada mobil Billy. "Kamu mau nyusul dia?" Denis akhirnya bersuara setelah melihat raut wajah cemas Nindy. "Nggak perlu." Karena jika dia menyusul Billy sekarang, kemungkinan Billy tidak akan mau mendengar penjelasannya. Menurutnya, lebih baik menunggu suasana menjadi dingin, baru dia mengajak Billy bicara. Kalau dulu, mungkin dia akan menjelaskan pada Billy
Setelah Angga pergi, barulah Nindy memencet bel kamar Billy. Namun, pintu tidak juga dibuka, padahal dia sudah memencet 5 kali. Disaat Nindy memutuskan untuk pergi, tiba-tiba saja pintu terbuka dan tangannya ditarik ke dalam. "Kenapa kamu ke sini?" Nindy menelan salivanya ketika tubuhnya dikurung dengan kedua tangan Billy di belakang pintu dengan tatapan mengintimidasi. "A-aku ..." Bulu mata Nindy bergerak naik-turun ketika merasakan hembusan napas Billy menerpa wajahnya. "A-aku mau bicara sama kamu." "Tapi, aku nggak mau." Billy menarik diri, kemudian berbalik. "Pergilah. Aku lagi nggak mau diganggu." Nindy menatap punggung Billy yang sudah mulai menjauh darinya dengan sorot mata sendu. "Aku cuma mau bicara sebentar, nggak lama." Billy berbalik setelah tiba di depan pintu kamarnya, kemudian berkata, "Aku capek. Nggak ada waktu untuk bicara sama kamu." Nindy menunduk dengan sorot mata sendu usai melihat Billy memasuki kamarnya tanpa menunggu dirinya berbicara dulu. Tanpa terasa
"Sekarang tolong jelaskan, apa alasan Bapak merumahkan saya sementara?"Karena di ruangan itu masih ramai, Billy meminta beberapa staff audit untuk keluar dari sana hingga tersisa Manager Audit, Pak Edwin, dan Angga di ruangan itu."Kamu diduga bekerja sama dengan Pak Hengky menggelapkan dana perusahaan senilai 500 juta," jawab Billy wajah tenang cenderung datar.Ketika mendengar itu, Nindy langsung membantahnya, "Saya nggak pernah menggelapkan dana perusahaan dan saya nggak mungkin melakukan itu, Pak!"Mungkin karena terbawa emosi, nada bicara Nindy terdengar meninggi dan sedikit bergetar."Tapi, ada tanda tangan kamu di dokumen itu."Billy melemparkan tumpukan berkas putih ke ujung meja yang berdekatan dengan posisi Nindy yang sedang berdiri di depan meja kerja Billy."Bagaimana kamu menjelaskan itu?"Dengan cepat, Nindy melangkah maju dan mengambil tumpukan dokumen itu. Dia membolak-balikkan kertas itu, membacanya dengan cepat dan melihat ada nama dan tanda tangannya di sana."Saya
Kali ini, dia tidak mengintip terlebih dahulu dan langsung membuka pintu rumahnya. Dia cukup terkejut ketika melihat siapa yang datang sore itu ke rumahnya."Kamu, kenapa ke sini?"Nindy bertanya pada Denis yang sedang berdiri di hadapannya setelah mengatasi keterkejutannya."Maaf, aku nggak ngabarin kami dulu ke sini."Denis sengaja ke sana karena dia merasa khawatir dengan Nindy. Siang tadi, dia sempat melihat wajah sembab Nindy sebelum meninggalkan ruangan mereka. Dia hanya ingin memastikan kalau Nindy baik-baik saja. Maka dari itu, dia berkunjung ke sana."Apa aku boleh masuk?" tanya Denis saat melihat Nindy masih terdiam."Boleh. Ayo, masuk."Nindy segera membuka pintu dengan lebar kemudian menggeser tubuhnya ke dekat dinding agar bisa masuk."Dimas mau ke sini juga. Dia lagi di jalan."Denis memulai obrolan setelah duduk di sofa bersebrangan dengan Nindy."Dia mau ke sini juga?""Iya."Baru selesai Denis menjawab, terdengar suara mobil di depan rumah Nindy. Dia pun segera bangki
"Menantu Anda tidak sakit, tapi dia sedang hamil," jawab Dokter wanita itu dengan senyuman tipis. "Hamil?" ulang Amara dengan wajah tercengang. "Maksud Dokter, ada calon cucu saya di perut menantu saya?" Meski dia sudah menduga kalau menantunya hamil, tapi Amara tetap terkejut ketika mendengar langsung berita baik itu dari mulut sang dokter. "Benar sekali." Nindy yang sejak tadi mendengar itu, tampak mengusap perutnya dengan lembut sambil tersenyum bahagia. Bagaimana tidak bahagia, dirinya bisa langsung hamil setelah pulang dari berbulan madu, sementara kakak iparnya belum hamil sampai sekarang. Padahal, dia sangat berharap bisa segera hamil setelah menikah. "Untuk memastikannya, silahkan langsung melakukan pemeriksaan USG dengan Dokter Obgyn." Setelah tiba di rumah sakit, Amara langsung membawa Nindy ke IGD. Sebenarnya, dia sudah curiga sejak awal kalau menantunya sedang hamil setelah putranya bercerita kalau sudah beberapa hari Nindy tidak napsu makan dan pagi tadi mengal
"Sayang, berhenti. Jangan main-main." Billy mencoba memperingatkan Nindy sejak tadi terus memainkan jemari lentiknya di dada bidangnya. Saat ini keduanya sedang berbaring di ranjang dengan posisi Billy bertelanjang dada menghadap ke langit-langit, sementara Nindy sedang berbaring miring menghadap Billy dengan mengenakan pakaian tidur tipis dan seksi "Aku cuma mau pegang, memangnya nggak boleh?" Billy memejamkan mata sambil menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan saat merasakan tangan Nindy semakin turun ke bawah. "Boleh, tapi jangan lama-lama. Nanti kamu menyesal." Nindy mengabaikan peringatan Billy dan semakin berani meraba tubuh sang suami. "Sayang, cukup." Nindy seketika menghentikan gerakan tangannya ketika tiba di otot perut Billy. "Kamu nggak suka aku pegang badan kamu?" Sebisa mungkin Billy berkata dengan pelan agar tidak menyinggung perasaan sang istri. "Nggak, Sayang. Aku suka, tapi ini untuk kebaikan kamu. Kamu sendiri yang rugi kalau terus memancin
"Sayang, kamu berdiri di sana, nanti aku foto," tunjuk Billy pada latar bangunan berwarna putih yang memiliki kubah warna biru. Saat ini keduanya sedang berada di Thira atau lebih dikenal dengan Santorini. Thira atau Santorini adalah pulau vulkanik yang berada di antara Pulau Ios dan Anafi, Yunani. Santorini terletak di Kepulauan Cyclades sekitar 200 km dari daratan Yunani. Di pulau ini, sangat terkenal dengan sejarah gunung meletus serta keindahan bangunan-bangunan putih dan gereja berkubah biru yang berada di pinggir tebing atau di bangun di atas lereng kaldera yang berada di kota Oia. "Aku nggak mau foto sendirian, maunya sama kamu." Ketika mendengar itu, Billy tidak tahan untuk menggodanya. "Sekarang, kayaknya kamu nggak bisa jauh-jauh dari aku, maunya nempel terus. Aku pergi ke mana, selalu aja mau ikut. Kamu begitu, apa karena takut suami kamu diambil orang?" "Jangan ngeledek terus. Cepetan, ke sini atau aku nanti aku foto sama orang lain." "Jangan coba-coba atau aku lempar
"Sayang, ayo kita berenang di bawah," ajak Nindy sambil menghampiri Billy yang sedang duduk bersantai di bawah payung pantai yang berada di pinggir kolam. "Kamu duluan aja, Sayang. Nanti aku nyusul." "Aku nggak mau berenang sendirian." "Aku istirahat sebentar, ya? Aku masih capek." Bagaimana tidak capek, kemarin dia habis menggempur Nindy hingga malam, lalu dia lanjutkan lagi menjelang pagi. Setelah itu, dia menemani Nindy bermain jet ski hingga pukul 9 pagi, kemudian bermain banana boat, parasailing hingga pukul 12 siang. Setelah makan siang, mereka berjalan-jalan di sekitar pulau sampai menjelang pukul 2 siang, kemudian pulang dan berendam bersama sambil menikmati pemandangan di luar. Jika dihitung-hitung, dia hanya beristirahat selama setengah jam. "Sebentar aja Sayang nanti habis berenang kamu bisa istirahat." Nindy meraih tangan Billy dan mencoba untuk menariknya, tapi sang suami tidak bergerak sedikit pun. "Nanti aku nyusul, Sayang. Aku liatin kamu dulu dari sini." "Ya, u
"Bagus banget pemandangannya." Mata Nindy tampak berbinar ketika melihat pemadangan bintang dari tempat tidurnya. Saat ini, dia dan Billy sedang berbaring di ranjang sambil menikmati pemandangan bintang di malam hari. Kebetulan sekali kamar mereka dilengkapi dengan atap kamar yang bisa dibuka tutup secara otomatis menggunakan tombol. "Rasanya aku pengen tinggal di sini terus." Billy yang sedang berbaring miring menghadap sang istri yang sedang tidur terlentang seketika tersenyum. "Nanti kita ke sini lagi kalau aku ada waktu." "Beneran?" tanya Nindy seketika memiringkan tubuhnya ke arah Billy. "Iya, Sayang." Nindy pun tersenyum. "Besok kita mau ke mana lagi?" Seharian ini, mereka sudah melakukan banyak hal. Snorkling, berjalan-jalan, bersepeda di sekitar resort, bermain air di pantai sampai sore hari, kemudian melakukan spa di resort tersebut. Malam harinya, mereka makan malam romantis di gedung utama resort. "Besok istirahat aja di kamar. Sorenya baru kita jalan-jalan
"Sayang, bangun. Ini sudah pagi."Billy sedang duduk di tepi ranjang kembali memberikan kecupan singkat di pipi sang istri yang masih terlelap sejak siang hingga 7 sore hari. Sejak tadi, dia sudah berusaha untuk membangun Nindy dengan memberikan kecupan-kecupan ringan di wajahnya, tapi sang istri tidak terpengaruh sedikit pun.Sore kemarin, mereka baru saja tiba di penginapan Soneva Jani yang terletak di pulau Medhufaru. Nindy yang kelelahan akibat perjalanan jauh langsung tertidur setelah makan malam bersama dengan Billy dan belum terbangun hingga kini. Padahal, dia bilang ingin berenang sambil melihat matahari terbit."Jam berapa ini?" tanya Nindy dengan suara serak.Akhirnya, dia membuka mata setelah dibangun selama kurang lebih 15 menit oleh Billy. Meski sudah terbangun, tapi matanya belum terbuka dengan sempurna."Jam 7 pagi, Sayang," jawab Billy lembut sambil merapihkan anak rambut sang istri yang menutupi sebagian matanya. "Kamu masih ngantuk?"Nindy menggeleng lemah. "Nggak. C
Baru saja Dimas memasuki lift untuk turun ke lantai bawah, tiba-tiba saja ada seorang wanita ambruk di depannya. Sebelum wanita itu sempat terjatuh di lantai, Dimas sudah lebih dulu menangkap tubuh wanita itu dan menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Selain Dimas dan wanita itu, ada seorang pria juga yang berada di dalam lift."Nona, ada apa denganmu?" tanya Dimas sambil menepuk wajah wanita yang sudah menyandarkan kepala di bahunya."Maaf, ini teman saya. Dia lagi sakit. Biar saya yang bawa dia."Pria yang berada satu lift dengan mereka akhir membuka suara setelah pintu lift tertutup.Saat pria itu akan menyentuh wanita itu, Dimas segera mencengkram tangannya dengan tatapan tajam. "Kau mau berbuat apa dengan wanita yang sedang pingsan?"Pria tinggi berkulit sawo matang yang mengaku sebagai teman wanita itu tampak tidak senang mendengar ucapan Dimas. "Dia temanku. Jadi, apa masalahmu?""Bagaimana aku bisa tahu kalau kau memang temannya? Bisa saja kau mengaku-ngaku. Aku tidak bisa membi
"Di mana Nindy?" tanya Angga setelah Billy duduk di kursi depannya.Siang ini Billy bertemu dengan Angga di restoran hotel tempatnya menginap. Di sana jugalah nanti dia akan bertemu dengan teman-temanya yang berasal dari Singapore."Lagi tidur."Angga seketika tersenyum mendengar itu. "Masih jam 10 pagi, tapi dia udah tidur?Sepertinya kau habis menggempurnya habis-habisan semalam sampai membuatnya kelelahan seperti itu."Bukannya marah diolok-olok oleh Angga, Billy justru menanggapi dengan santai, "Nggak ada yang salah dengan itu. Dia udah resmi menjadi istriku.""Tapi, setidaknya tahan dirimu sedikit. Dia pasti lelah setelah melewati resepsi pernikahan yang panjang. Seharusnya, biarkan dia beristirahat dulu sehari, setelah itu kau bisa melakukannya.""Aku nggak bisa menahannya.""Tapi, selama ini kau berhasil menahannya, bahkan sampai 6 tahun. Kau juga tidak pernah terpengaruh dengan Shela yang sudah berkali-kali menggodamu.""Tidak bisa jika Nindy orangnya," jawab Billy santai, "jan
"Sayang, kamu yakin mau sarapan bersama?" tanya Billy sambil menghampiri Nindy yang sedang mengeringkan rambut di depan cermin kamar mandi dengan menggunakan hairdryer."Iya, nggak enak kalau nggak ikut sarapan.""Memangnya kamu bisa jalan?" Billy melingkarkan tangan di perut istrinya sambil menatapnya dari pantulan cermin setelah Nindy mematikan pengering rambut yang ada di tangan kanannya."Bisa, tapi pelan-pelan." Setelah itu, Nindy membalik tubuhnya menghadap Billy."Kalau nggak bisa, jangan dipaksa, Sayang. Lebih baik sarapan di kamar aja. Mereka juga pasti maklum, kita, kan, pengantin baru.""Ini salah kamu. Katanya cuma sebentar, tapi ternyata keterusan."Billy terkekeh pelan melihat wajah cemberut istrinya. "Maaf, Sayang. Kamu tahu sendiri, aku udah menahannya sejak lama. Ini aja aku masih sedikit menahan diri karena kasihan sama kamu.""Menahan diri apanya, kamu jangan bercanda. Badan aku sakit semua karena ulah kamu."Billy kembali terkekeh pelan. Setelah tawanya mereda, dia