Setelah Angga pergi, barulah Nindy memencet bel kamar Billy. Namun, pintu tidak juga dibuka, padahal dia sudah memencet 5 kali. Disaat Nindy memutuskan untuk pergi, tiba-tiba saja pintu terbuka dan tangannya ditarik ke dalam. "Kenapa kamu ke sini?" Nindy menelan salivanya ketika tubuhnya dikurung dengan kedua tangan Billy di belakang pintu dengan tatapan mengintimidasi. "A-aku ..." Bulu mata Nindy bergerak naik-turun ketika merasakan hembusan napas Billy menerpa wajahnya. "A-aku mau bicara sama kamu." "Tapi, aku nggak mau." Billy menarik diri, kemudian berbalik. "Pergilah. Aku lagi nggak mau diganggu." Nindy menatap punggung Billy yang sudah mulai menjauh darinya dengan sorot mata sendu. "Aku cuma mau bicara sebentar, nggak lama." Billy berbalik setelah tiba di depan pintu kamarnya, kemudian berkata, "Aku capek. Nggak ada waktu untuk bicara sama kamu." Nindy menunduk dengan sorot mata sendu usai melihat Billy memasuki kamarnya tanpa menunggu dirinya berbicara dulu. Tanpa terasa
"Sekarang tolong jelaskan, apa alasan Bapak merumahkan saya sementara?"Karena di ruangan itu masih ramai, Billy meminta beberapa staff audit untuk keluar dari sana hingga tersisa Manager Audit, Pak Edwin, dan Angga di ruangan itu."Kamu diduga bekerja sama dengan Pak Hengky menggelapkan dana perusahaan senilai 500 juta," jawab Billy wajah tenang cenderung datar.Ketika mendengar itu, Nindy langsung membantahnya, "Saya nggak pernah menggelapkan dana perusahaan dan saya nggak mungkin melakukan itu, Pak!"Mungkin karena terbawa emosi, nada bicara Nindy terdengar meninggi dan sedikit bergetar."Tapi, ada tanda tangan kamu di dokumen itu."Billy melemparkan tumpukan berkas putih ke ujung meja yang berdekatan dengan posisi Nindy yang sedang berdiri di depan meja kerja Billy."Bagaimana kamu menjelaskan itu?"Dengan cepat, Nindy melangkah maju dan mengambil tumpukan dokumen itu. Dia membolak-balikkan kertas itu, membacanya dengan cepat dan melihat ada nama dan tanda tangannya di sana."Saya
Kali ini, dia tidak mengintip terlebih dahulu dan langsung membuka pintu rumahnya. Dia cukup terkejut ketika melihat siapa yang datang sore itu ke rumahnya."Kamu, kenapa ke sini?"Nindy bertanya pada Denis yang sedang berdiri di hadapannya setelah mengatasi keterkejutannya."Maaf, aku nggak ngabarin kami dulu ke sini."Denis sengaja ke sana karena dia merasa khawatir dengan Nindy. Siang tadi, dia sempat melihat wajah sembab Nindy sebelum meninggalkan ruangan mereka. Dia hanya ingin memastikan kalau Nindy baik-baik saja. Maka dari itu, dia berkunjung ke sana."Apa aku boleh masuk?" tanya Denis saat melihat Nindy masih terdiam."Boleh. Ayo, masuk."Nindy segera membuka pintu dengan lebar kemudian menggeser tubuhnya ke dekat dinding agar bisa masuk."Dimas mau ke sini juga. Dia lagi di jalan."Denis memulai obrolan setelah duduk di sofa bersebrangan dengan Nindy."Dia mau ke sini juga?""Iya."Baru selesai Denis menjawab, terdengar suara mobil di depan rumah Nindy. Dia pun segera bangki
"Apa yang mau kamu bicarakan? Saya nggak bisa lama-lama."Billy menoleh pada Nindy yang baru saja berdiri di hadapannya setelah sejak tadi terus mengejar langkahnya."Bukan aku yang menggelapkan dana itu."Meskipun disitu tertera nama dan tanda tangannya. Namun, dia sangat yakin kalau dia tidak pernah menandatangi dokumen itu. Dia sudah membaca dengan teliti isi di dalamnya dan dia merasa tidak pernah menandatangani berkas itu.Dia sangat yakin itu karena setiap berkas atau dokumen yang membutuhkan tanda tangannya, selalu dia baca dengan teliti. Dia tidak mungkin lupa jika memang pernah menandatangani berkas itu, terlebih dia baru bekerja di sana kurang lebih 9 bulan."Lalu?" ujar Billy dengan datar. Ekspresi wajahnya tampak malas dan acuh tak acuh."Aku nggak terima sama keputusan kamu yang minta aku untuk nggak masuk selama seminggu. Aku nggak bersalah. Aku mau tetap masuk.""Kamu nggak berhak bernegoisasi sama saya," balas Billy sorot tegas, "kamu nggak boleh berada di kantor dan m
Namun, tiba-tiba saja Billy tersenyum miring sambil menunduk, kemudian kembali mengangkat kepala setelah menghilangkan senyuman di wajahnya."Kali ini, kamu mau kabur ke mana lagi?"Tampak kerutan halus di kening Nindy. Namun, langsung menghilang setelah tahu maksud dari pertanyaan Billy. "Saya mau resign, bukan mau kabur," sanggah Nindy dengan tegas, kesal karena melihat ekspresi wajah Billy yang seperti sedang mengoloknya."Kamu langsung mengajukan resign setelah terjadi masalah di kantor, apa itu bukan kabur namanya?" Kedua alis Billy terangkat saat mengatakan itu. "Apa kamu nggak capek seperti itu terus? Setiap ada masalah, bukannya diselesaikan, tapi kamu justru memilih untuk lari dan menghilang entah ke mana.""Saya nggak akan lari dari masalah ini. Kalau memang saya terbukti bersalah, saya akan bertanggung jawab, tapi saya tetap ingin resign dari sini.""Stella Anindya Putri, dengarkan saya baik-baik." Raut wajah Billy yang semula terlihat datar seketika berusaha serius, bahkan
"Apa kamu baik-baik aja?"Billy yang baru saja memasuki ruang IGD tampak menghampiri Nindy dengan wajah panik."Kenapa kamu bisa tau aku di sini?" tanya Nindy dengan heran. Pasal, dia tidak memberitahu Billy kalau dirinya mengalami kecelakaan."Saya dengar kamu mengalami kecelakaan. Pihak polisi menghubungi saya tadi." Karena tidak melihat luka luar pada tubuh Nindy, Billy pun bertanya dengan cepat, "Di bagian mana kamu terluka?"Nindy menatap Billy sebentar, kemudia berkata dengan ketus, "Bukan urusan kamu."Billy yang baru saja hendak maju untuk memeriksa Nindy, seketika menghentikan langkah melihat wajah tidak senang Nindy.Ketika Billy akan membuka suara, tiba-tiba saja perawat datang memberitahukan kalau Nindy sudah boleh pulang. Nindy tidak harus di rawat di rumah sakit karena hanya mengalami cidera di bagian kaki sebelah kanan akibat kecelakaan itu. Tidak terlalu parah. Hanya saja, dia membutuhkan beberapa waktu untuk menyembuhkan kakinya."Aku anter kamu pulang.""Nggak perlu.
"Kamu yakin nggak mau papa temenin ke kantor?" Adrian menatap ragu pada putrinya yang sedang bersiap-siap di ruangan tengah. Rencananya siang Nindy akan pergi ke kantor. Setelah memikirkannya selama kurang lebih 4 hari, Nindy memutuskan untuk mengundurkan diri, seperti permintaan dari orang tuanya. Sebenarnya, lusa Nindy sudah bisa kembali bekerja, tapi dia tidak menunggu sampai hari itu. Jadi, dia memutuskan untuk pergi ke kantor hari ini. Sebelum ke kantor, sebenarnya Nindy sudah mengirimkan pesan pada Billy, dia menanyakan perihal kasus penggelapan itu, apakah sudah ada hasil akhirnya. Namun, tidak terkirim. Sejak 2 hari yang lalu, pesan yang dia kirimkan pada Billy, tidak ada satu pun yang terkirim. Saat ini mencoba menelponnya, nomor ponsel Billy sudah tidak aktif. Sebelumnya, Nindy sebenarnya sudah pernah mengirimkan pesan pada Billy dan nomor pria itu masih aktif. Hanya saja, tidak dibalas oleh pria itu. Salah satu Isinya pesan yang dia kirimkan pada Billy adalah Nindy tidak
"Nggak tahu apa, Pak?" "Pak Billy sudah kembali ke Jakarta." Pupil mata Nindy membesar, tidak menyangka kalau Billy sudah kembali ke Jakarta. "Dia sudah kembali 2 hari yang lalu, tugasnya sudah selesai di sini." Dua hari yang lalu, itu bertepatan dengan ponsel Billy mulai tidak aktif. "Pak Billy kembali dengan tim audit, Pak?" Pak Edwin menggeleng pelan. "Nggak. Tim audit baru kembali besok. Masih ada yang mereka urus hari ini." "Baik, Pak. Terima kasih informasinya." Nindy kembali naik ke lantai atas untuk mencari Angga untuk menanyakan sesuatu padanya. Ketika Nindy memasuki ruangan meeting yang biasa di tempati oleh tim audit, Angga tampak sedang sibuk berbicara di telpon. Ketika melihat Nindy masuk Angga segera mengakhiri panggilan tersebut. "Ada apa, Nin?" tanya Angga setelah meletakkan ponselnya di atas meja. "Saya mau bicara sebentar dengan Bapak di luar. Apa bisa?" Karena di ruangan itu banyak orang, Nindy merasa tidak nyaman berbicara di sana. Itu sebabnya Nindy ingi