"Maaf, Denis. Aku nggak bisa menerima perasaan kamu."Nindy menatap Denis dengan wajah bersalah. Baru saja Denis mengungkapkan perasaannya padanya, tapi langsung ditolak olehnya tanpa basa-basi.Sejujurnya Nindy tidak tega menolak Denis, apalagi selama ini pria itu selalu bersikap baik dan sangat perhatian padanya. Namun, dia terpaksa menolaknya agar pria itu tidak berharap lagi padanya."Kenapa? Apa alasan kamu menolak aku?" tanya Denis dengan wajah kecewa, "apa ada yang kurang dari aku?""Nggak ada yang kurang dari kamu." Tentu saja tidak ada yang kurang dari Denis. Selain memiliki wajah tampan, Denis juga memiliki sikap yang baik dan juga berasal dari keluarga kaya di kotanya.Justru dirinyalah yang memiliki kekurangan. Bahkan, kekurangannya itu membuat dirinya merasa tidak pantas untuk pria sebaik Denis. Itulah salah satu alasan, kenapa dia tidak bisa menerima Denis, selain karena tidak mencintai pria itu."Terus, apa alasan kamu menolak aku? Apa kamu udah punya kekasih?"Tapi, s
"Ternyata sedang ada tamu." Senyuman sinis tersungging di bibir Billy setelah mengatakan itu. Nindy yang baru saja turun dari mobil Denis tampak mematung di tempat usai mendengar ucapan Billy. Bisa dia lihat dari tempatnya, seperti ada kekecewaan dan amarah di mata coklat Billy. "Kalau begitu, saya nggak akan ganggu kalian." Billy berlalu dari sana dengan wajah datarnya, dia menghampiri pemilik rumah yang akan dia beli, yang baru saja keluar dari rumahnya. Keduanya berbicara sebentar, setelah itu Billy masuk ke dalam mobilnya dan meninggalkan tempat itu. Sementara Nindy masih setia mematung di tempat dengan pandangan tertuju pada mobil Billy. "Kamu mau nyusul dia?" Denis akhirnya bersuara setelah melihat raut wajah cemas Nindy. "Nggak perlu." Karena jika dia menyusul Billy sekarang, kemungkinan Billy tidak akan mau mendengar penjelasannya. Menurutnya, lebih baik menunggu suasana menjadi dingin, baru dia mengajak Billy bicara. Kalau dulu, mungkin dia akan menjelaskan pada Billy
Setelah Angga pergi, barulah Nindy memencet bel kamar Billy. Namun, pintu tidak juga dibuka, padahal dia sudah memencet 5 kali. Disaat Nindy memutuskan untuk pergi, tiba-tiba saja pintu terbuka dan tangannya ditarik ke dalam. "Kenapa kamu ke sini?" Nindy menelan salivanya ketika tubuhnya dikurung dengan kedua tangan Billy di belakang pintu dengan tatapan mengintimidasi. "A-aku ..." Bulu mata Nindy bergerak naik-turun ketika merasakan hembusan napas Billy menerpa wajahnya. "A-aku mau bicara sama kamu." "Tapi, aku nggak mau." Billy menarik diri, kemudian berbalik. "Pergilah. Aku lagi nggak mau diganggu." Nindy menatap punggung Billy yang sudah mulai menjauh darinya dengan sorot mata sendu. "Aku cuma mau bicara sebentar, nggak lama." Billy berbalik setelah tiba di depan pintu kamarnya, kemudian berkata, "Aku capek. Nggak ada waktu untuk bicara sama kamu." Nindy menunduk dengan sorot mata sendu usai melihat Billy memasuki kamarnya tanpa menunggu dirinya berbicara dulu. Tanpa terasa
"Sekarang tolong jelaskan, apa alasan Bapak merumahkan saya sementara?"Karena di ruangan itu masih ramai, Billy meminta beberapa staff audit untuk keluar dari sana hingga tersisa Manager Audit, Pak Edwin, dan Angga di ruangan itu."Kamu diduga bekerja sama dengan Pak Hengky menggelapkan dana perusahaan senilai 500 juta," jawab Billy wajah tenang cenderung datar.Ketika mendengar itu, Nindy langsung membantahnya, "Saya nggak pernah menggelapkan dana perusahaan dan saya nggak mungkin melakukan itu, Pak!"Mungkin karena terbawa emosi, nada bicara Nindy terdengar meninggi dan sedikit bergetar."Tapi, ada tanda tangan kamu di dokumen itu."Billy melemparkan tumpukan berkas putih ke ujung meja yang berdekatan dengan posisi Nindy yang sedang berdiri di depan meja kerja Billy."Bagaimana kamu menjelaskan itu?"Dengan cepat, Nindy melangkah maju dan mengambil tumpukan dokumen itu. Dia membolak-balikkan kertas itu, membacanya dengan cepat dan melihat ada nama dan tanda tangannya di sana."Saya
Kali ini, dia tidak mengintip terlebih dahulu dan langsung membuka pintu rumahnya. Dia cukup terkejut ketika melihat siapa yang datang sore itu ke rumahnya."Kamu, kenapa ke sini?"Nindy bertanya pada Denis yang sedang berdiri di hadapannya setelah mengatasi keterkejutannya."Maaf, aku nggak ngabarin kami dulu ke sini."Denis sengaja ke sana karena dia merasa khawatir dengan Nindy. Siang tadi, dia sempat melihat wajah sembab Nindy sebelum meninggalkan ruangan mereka. Dia hanya ingin memastikan kalau Nindy baik-baik saja. Maka dari itu, dia berkunjung ke sana."Apa aku boleh masuk?" tanya Denis saat melihat Nindy masih terdiam."Boleh. Ayo, masuk."Nindy segera membuka pintu dengan lebar kemudian menggeser tubuhnya ke dekat dinding agar bisa masuk."Dimas mau ke sini juga. Dia lagi di jalan."Denis memulai obrolan setelah duduk di sofa bersebrangan dengan Nindy."Dia mau ke sini juga?""Iya."Baru selesai Denis menjawab, terdengar suara mobil di depan rumah Nindy. Dia pun segera bangki
"Apa yang mau kamu bicarakan? Saya nggak bisa lama-lama."Billy menoleh pada Nindy yang baru saja berdiri di hadapannya setelah sejak tadi terus mengejar langkahnya."Bukan aku yang menggelapkan dana itu."Meskipun disitu tertera nama dan tanda tangannya. Namun, dia sangat yakin kalau dia tidak pernah menandatangi dokumen itu. Dia sudah membaca dengan teliti isi di dalamnya dan dia merasa tidak pernah menandatangani berkas itu.Dia sangat yakin itu karena setiap berkas atau dokumen yang membutuhkan tanda tangannya, selalu dia baca dengan teliti. Dia tidak mungkin lupa jika memang pernah menandatangani berkas itu, terlebih dia baru bekerja di sana kurang lebih 9 bulan."Lalu?" ujar Billy dengan datar. Ekspresi wajahnya tampak malas dan acuh tak acuh."Aku nggak terima sama keputusan kamu yang minta aku untuk nggak masuk selama seminggu. Aku nggak bersalah. Aku mau tetap masuk.""Kamu nggak berhak bernegoisasi sama saya," balas Billy sorot tegas, "kamu nggak boleh berada di kantor dan m
Namun, tiba-tiba saja Billy tersenyum miring sambil menunduk, kemudian kembali mengangkat kepala setelah menghilangkan senyuman di wajahnya."Kali ini, kamu mau kabur ke mana lagi?"Tampak kerutan halus di kening Nindy. Namun, langsung menghilang setelah tahu maksud dari pertanyaan Billy. "Saya mau resign, bukan mau kabur," sanggah Nindy dengan tegas, kesal karena melihat ekspresi wajah Billy yang seperti sedang mengoloknya."Kamu langsung mengajukan resign setelah terjadi masalah di kantor, apa itu bukan kabur namanya?" Kedua alis Billy terangkat saat mengatakan itu. "Apa kamu nggak capek seperti itu terus? Setiap ada masalah, bukannya diselesaikan, tapi kamu justru memilih untuk lari dan menghilang entah ke mana.""Saya nggak akan lari dari masalah ini. Kalau memang saya terbukti bersalah, saya akan bertanggung jawab, tapi saya tetap ingin resign dari sini.""Stella Anindya Putri, dengarkan saya baik-baik." Raut wajah Billy yang semula terlihat datar seketika berusaha serius, bahkan
"Apa kamu baik-baik aja?"Billy yang baru saja memasuki ruang IGD tampak menghampiri Nindy dengan wajah panik."Kenapa kamu bisa tau aku di sini?" tanya Nindy dengan heran. Pasal, dia tidak memberitahu Billy kalau dirinya mengalami kecelakaan."Saya dengar kamu mengalami kecelakaan. Pihak polisi menghubungi saya tadi." Karena tidak melihat luka luar pada tubuh Nindy, Billy pun bertanya dengan cepat, "Di bagian mana kamu terluka?"Nindy menatap Billy sebentar, kemudia berkata dengan ketus, "Bukan urusan kamu."Billy yang baru saja hendak maju untuk memeriksa Nindy, seketika menghentikan langkah melihat wajah tidak senang Nindy.Ketika Billy akan membuka suara, tiba-tiba saja perawat datang memberitahukan kalau Nindy sudah boleh pulang. Nindy tidak harus di rawat di rumah sakit karena hanya mengalami cidera di bagian kaki sebelah kanan akibat kecelakaan itu. Tidak terlalu parah. Hanya saja, dia membutuhkan beberapa waktu untuk menyembuhkan kakinya."Aku anter kamu pulang.""Nggak perlu.