Namun, tiba-tiba saja Billy tersenyum miring sambil menunduk, kemudian kembali mengangkat kepala setelah menghilangkan senyuman di wajahnya."Kali ini, kamu mau kabur ke mana lagi?"Tampak kerutan halus di kening Nindy. Namun, langsung menghilang setelah tahu maksud dari pertanyaan Billy. "Saya mau resign, bukan mau kabur," sanggah Nindy dengan tegas, kesal karena melihat ekspresi wajah Billy yang seperti sedang mengoloknya."Kamu langsung mengajukan resign setelah terjadi masalah di kantor, apa itu bukan kabur namanya?" Kedua alis Billy terangkat saat mengatakan itu. "Apa kamu nggak capek seperti itu terus? Setiap ada masalah, bukannya diselesaikan, tapi kamu justru memilih untuk lari dan menghilang entah ke mana.""Saya nggak akan lari dari masalah ini. Kalau memang saya terbukti bersalah, saya akan bertanggung jawab, tapi saya tetap ingin resign dari sini.""Stella Anindya Putri, dengarkan saya baik-baik." Raut wajah Billy yang semula terlihat datar seketika berusaha serius, bahkan
"Apa kamu baik-baik aja?"Billy yang baru saja memasuki ruang IGD tampak menghampiri Nindy dengan wajah panik."Kenapa kamu bisa tau aku di sini?" tanya Nindy dengan heran. Pasal, dia tidak memberitahu Billy kalau dirinya mengalami kecelakaan."Saya dengar kamu mengalami kecelakaan. Pihak polisi menghubungi saya tadi." Karena tidak melihat luka luar pada tubuh Nindy, Billy pun bertanya dengan cepat, "Di bagian mana kamu terluka?"Nindy menatap Billy sebentar, kemudia berkata dengan ketus, "Bukan urusan kamu."Billy yang baru saja hendak maju untuk memeriksa Nindy, seketika menghentikan langkah melihat wajah tidak senang Nindy.Ketika Billy akan membuka suara, tiba-tiba saja perawat datang memberitahukan kalau Nindy sudah boleh pulang. Nindy tidak harus di rawat di rumah sakit karena hanya mengalami cidera di bagian kaki sebelah kanan akibat kecelakaan itu. Tidak terlalu parah. Hanya saja, dia membutuhkan beberapa waktu untuk menyembuhkan kakinya."Aku anter kamu pulang.""Nggak perlu.
"Kamu yakin nggak mau papa temenin ke kantor?" Adrian menatap ragu pada putrinya yang sedang bersiap-siap di ruangan tengah. Rencananya siang Nindy akan pergi ke kantor. Setelah memikirkannya selama kurang lebih 4 hari, Nindy memutuskan untuk mengundurkan diri, seperti permintaan dari orang tuanya. Sebenarnya, lusa Nindy sudah bisa kembali bekerja, tapi dia tidak menunggu sampai hari itu. Jadi, dia memutuskan untuk pergi ke kantor hari ini. Sebelum ke kantor, sebenarnya Nindy sudah mengirimkan pesan pada Billy, dia menanyakan perihal kasus penggelapan itu, apakah sudah ada hasil akhirnya. Namun, tidak terkirim. Sejak 2 hari yang lalu, pesan yang dia kirimkan pada Billy, tidak ada satu pun yang terkirim. Saat ini mencoba menelponnya, nomor ponsel Billy sudah tidak aktif. Sebelumnya, Nindy sebenarnya sudah pernah mengirimkan pesan pada Billy dan nomor pria itu masih aktif. Hanya saja, tidak dibalas oleh pria itu. Salah satu Isinya pesan yang dia kirimkan pada Billy adalah Nindy tidak
"Nggak tahu apa, Pak?" "Pak Billy sudah kembali ke Jakarta." Pupil mata Nindy membesar, tidak menyangka kalau Billy sudah kembali ke Jakarta. "Dia sudah kembali 2 hari yang lalu, tugasnya sudah selesai di sini." Dua hari yang lalu, itu bertepatan dengan ponsel Billy mulai tidak aktif. "Pak Billy kembali dengan tim audit, Pak?" Pak Edwin menggeleng pelan. "Nggak. Tim audit baru kembali besok. Masih ada yang mereka urus hari ini." "Baik, Pak. Terima kasih informasinya." Nindy kembali naik ke lantai atas untuk mencari Angga untuk menanyakan sesuatu padanya. Ketika Nindy memasuki ruangan meeting yang biasa di tempati oleh tim audit, Angga tampak sedang sibuk berbicara di telpon. Ketika melihat Nindy masuk Angga segera mengakhiri panggilan tersebut. "Ada apa, Nin?" tanya Angga setelah meletakkan ponselnya di atas meja. "Saya mau bicara sebentar dengan Bapak di luar. Apa bisa?" Karena di ruangan itu banyak orang, Nindy merasa tidak nyaman berbicara di sana. Itu sebabnya Nindy ingi
"Dia mencarimu."Billy langsung menoleh pada Angga yang baru saja duduk di sebelahnya. Keduanya saat ini berada di restoran rooftop yang ada di Jakarta."Siapa?""Nindy," jawab Angga santai, "dua hari yang lalu, sebelum aku kembali ke sini dia meminta nomormu, tapi tidak aku berikan.""Oh.""Hanya itu?" Angga cukup terkejut melihat respon Billy yang tampak tidak antusias sama sekali. Padahal, dia mengira Billy akan bertanya banyak hal karena penasaran, tapi ternyata tidak."Lalu, aku harus apa?" Billy yang sejak tadi terus memandang ke depan, menoleh dengan malas pada Angga yang tampak sedang menatap heran padanya."Kau tidak ingin tahu, apa saja yang aku obrolkan dengannya?"Billy meneguk minuman, lalu menjawab dengan datar, "Tidak."Karena terkejut mendengar jawab Billy, Angga sampai memutar tubuh menghadap Billy untuk memastikannya lagi. "Kau sungguh tidak mau tahu tentangnya lagi? Sungguh ingin melepasnya?""Sudah saatnya aku berhenti.""Kau yakin dengan keputusanmu?'Billy terdia
"Kita mau ke mana lagi?" tanya Dimas setelah menoleh sebentar pada Nindy yang duduk di sampingnya.Sejak meninggalkan kediaman Billy, Nindy hanya diam dengan wajah murung, bahkan Dimas sempat menangkap ada air mata yang menetes di pipi kiri Nindy usai meningalkan rumah Billy."Langsung pulang aja."Pikirannya saat ini sudah kacau dan kalut. Dia memang tahu kalau Billy akan menikah, tapi dia tidak menyangka kalau Billy akan menikah secepat itu dengan orang lain. Setibanya di rumah, Nindy langsung masuk ke dalam kamar, air matanya langsung tumpah setelah menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Dia bahkan mengabaikan ketukan pintu di kamarnya.Sementara itu, Ibu Nindy yang berada di luar merasa heran dengan sikap putrinya yang langsung berlari ke tangga usai masuk ke dalam rumah."Sayang, buka pintunya. Mama mau bicara sama kamu sebentar," ujar Ibu Nindy sambil mengetuk pintu."Nindy, lagi mau sendiri, Ma."Dari luar, Ibu Nindy bisa mendengar suara putrinya terdengar serak dan bergetar. Dia
"Dari mana kamu tahu kalau mereka ada di sini?" "Dari penjaga rumah Billy." Pagi tadi, Dimas ke sana dan menanyakan alamat pernikahan dan jam berapa akad nikah akan dilaksanakan pada penjaga rumah Billy. Dari sanalah dia tahu kalau akad nikah akan diadakan pukul 11 siang. "Nin, kalau kamu masih cinta, bilang sama Billy. Tapi, kalau kamu memang udah memutuskan untuk melepasnya, cukup temui dia terakhir kalinya sekaligus minta maaf. Setelah itu, kita kembali ke Surabaya." Setelah menimang selama beberapa saat, Nindy akhirnya berkata, "Tapi, baju aku kayak gini." Tidak hanya bajunya, tapi juga wajahnya tampak sembab. Dia merasa malu untuk menemui Billy dengan penampilan seperti itu. "Tadi aku sudah suruh kamu ganti, tapi kamu nggak mau," kata Dimas, "udah nggak ada waktu lagi, cepat temui dia." "Tapi, aku nggak tau dia ada di kamar mana. Aku juga nggak punya nomor ponselnya." "Tanya temen terdekatnya atau keluarganya yang kamu kenal." Setelah Dimas mengatakan itu, tiba-tiba saja
Setelah berada di dalam kamar, tangis Nindy tidak juga mereda, Billy yang melihat itu tampak kebingungan selama beberapa saat. Namun, setelah itu dia menarik Nindy dalam pelukannya dan membiarkan Nindy menangis dalam pelukannya sampai akhirnya dia berhenti dengan sendirinya."Sudah bisa tenang?" tanya Billy sambil menunduk, menatap Nindy yang masih berada dalam dekapannya.Nindy hanya mengangguk sambil menunduk dengan wajah sembabnya."Kalau kamu belum bisa bicara, kamu bisa tenangin diri dulu di sini, saya harus pergi." Billy pun melerai pelukannya."Tunggu!" Nindy menghentikan Billy ketika tangannya akan meraih handle pintu. "Aku mau bicara sama kamu sebentar."Billy akhirnya menarik tangannya lagi dan menatap Nindy. "Kita bicara nanti, saya harus pergi.""Cuma 10 menit.""Saya nggak bisa. Kamu bisa tunggu di sini, nanti kita bica—""Kalau kamu nggak bisa, aku nggak maksa. Maaf sudah ganggu waktu kamu." Setelah mengatakan itu, Nindy berbalik dan hendak membuka pintu. Namun, lenganny