Usai menanyakan itu, Billy semakin merapatkan tubuh keduanya, membuat Nindy terkejut dan seketika mendongakkan kepalanya."Maaf. Waktu itu aku pikir kamu udah nggak peduli dan nggak percaya lagi aku."Billy menarik satu tangannya dari pinggang Nindy, lalu mencubit dagu Nindy dan mengangkatnya hingga mata mereka saling beradu. "Berarti kamu masih cinta sama saya?"Nindy langsung menatap ke arah lain ketika ditatap begitu lekat oleh Billy. "Nggak ada gunanya lagi kamu tanya itu, sebentar lagi kamu juga udah mau menikah."Melihat Nindy kembali tertunduk dengan wajah muram dan mata berkaca-kaca, tiba-tiba saja Billy terkekeh pelan, membuat Nindy menjadi heran dan akhirnya memalingkan kembali wajahnya dengan alis yang hampir menyatu. "Kenapa kamu ketawa? Memangnya ada yang lucu?"Billy menggelengkan kepala sambil menahan tawa. "Aku cuma nggak menyangka kalau kamu bisa tertipu sama Angga.""Maksud kamu?" Nindy menatap heran pada Billy tampak masih terkekeh pelan."Angga bohongin kamu, bukan
Billy pun segera menyudahi dan menarik tubuhnya ke belakang. Dia mengintip dari lubang kecil di pintu dan melihat siapa yang sedang berdiri di sana. "Siapa?" tanya Nindy dengan wajah khawatir. "Mama," jawab Billy sambil menoleh pada Nindy. "Kamu ketemu mama dulu ya sebentar?" Nindy segera menggeleng kuat. "Kenapa?" "Aku belum siap." Dia belum siap, baik dari segi penampilan maupun mental. Meskipun dia sudah pernah dikenalkan kepada kedua orang tua Billy, tapi tetap saja dia merasa canggung. Terlebih, keduanya putus dengan cara yang tidak baik. "Kamu udah lama nggak ketemu mama, setidaknya sapa dulu," kata Billy lembut. "Besok-besok aja, jangan sekarang." Nindy menunduk dan berkata, "Liat penampilan aku kayak gembel gini. Nanti mama kamu ilfeel." Belum lagi nanti Ibu Billy pasti berpikir yang tidak-tidak jika melihatnya berada di dalam kamar hotel putranya. "Nggak. Mama nggak mungkin kayak gitu." "Tetap aja. Aku harus berpenampilan sopan di depan mama kamu." Seke
Setelah mengakhiri panggilan telponnya, Billy menatap Nindy sebentar untuk memastikan kalau dia masih tertidur, baru setelah itu keluar dari sana"Tidak perlu berterima kasih, cukup naikkan gajiku saja," kata Angga setelah Billy duduk di hadapannya.Padahal, Billy belum mengatakan apa pun padanya. Namun, pria itu seolah tahu apa yang akan disampaikan oleh teman masa kecilnya itu."Kau membohongi Nindy?""Jika tidak begitu, memang kalian bisa bersama lagi seperti sekarang?" ujar Angga dengan santai dengan kedua alis terangkat."Dari mana kau tahu kalau kami bersama lagi?" tanya Billy heran."Aku sudah memprediksi sejak Nindy menanyakan kamar hotelmu padaku. Aku yakin dia akan menemuimu dan aku tahu kau tidak akan melewatkan kesempatan itu untuk membuatnya kembali lagi padamu."Tepat seperti dugaan Angga. Billy memang sengaja mendesak Nindy di waktu genting untuk menjawabnya agar dia tidak memiliki waktu untuk berpikir dan pada akhirnya tidak bisa lagi menolak dirinya lagi."Lagi pula,
"Jadi, Nindy yang kamu sembunyikan di kamarmu sejak tadi??" tanya Ibu Billy sambil menoleh pada putranya. Nada bicaranya terdengar meninggi, membuat Nindy merasa tertekan dan takut."Ma, aku nggak sembunyiin Nindy.""Lalu, kenapa dia bisa di sini?""Ma, ceritanya panjang. Ayo, kita duduk dulu. Aku akan menjelaskan semuanya.""Diam di tempat!" Ibu Billy langsung menepis tangan anaknya ketika Billy ingin mengajaknya duduk di sofa. "Jangan bergerak sedikit pun dari tempat kamu. Mama mau bicara sama Nindy." Ketika melihat wajah marah Ibunya, Billy menjadi cemas, dia takut kalau Nindy akan dimarahi juga oleh ibunya."Ma, bicara sama aku aja. Aku yang maksa Nindy datang ke sini."Ibu Billy yang baru akan melangkah, seketika menoleh pada anaknya. "Kamu ... beraninya menyembunyikan Nindy dari mama."Saat melihat ibunya melayangkan tangan ke arahnya, secepat kilat ditangkis oleh Billy dengan kedua tangan hingga pukul itu mengenai lengannya."Ma, kita bicara baik-baik. Jangan begini."Meskipun
"Menikah, Tante?" ulang Nindy dengan wajah terkejut. Sementara Billy tampak tersenyum lebar dengan eskpresi senang usai mendengar ucapan ibunya."Iya, kamu mau, kan?" tanya Ibu Billy dengan lembut."Mau, Ma." Bukan Nindy yang menjawab, melainkan Billy."Mama nggak tanya kamu." Setelah menatap putranya, Ibu Billy kembali menatap Nindy. "Bagaimana, Nin?"Belum juga Nindy menjawab pertanyaannya, Ibu Billy kembali berbicara, "Kalau kamu mau, sekarang telpon orang tua kamu dan minta mereka ke sini. Biar mama yang bicara dengan orang tua kamu dan menjelaskan semuanya."Sekaligus dia ingin meminta maaf pada keluarga Nindy atas kesalahan yang sudah diperbuat anaknya."Begini, Tante. Sebenarnya ...""Kok masih manggil Tante? Panggil mama dong.""Iya, Sayang, panggil mama aja. Sebentar lagi kita, kan, mau menikah. Mama aku bakal jadi mama kamu juga," sahut Billy tiba-tiba dengan wajah sumringah, seperti habis menang undian berhadiah piring cantik."Diam kamu!" Setelah menegur anaknya, Ibu Billy
Setelah berada di depan kamar kakaknya, Billy segera memencet bel dan tidak lama setelah itu pintu kamar terbuka dan ternyata yang membuka pintu Adalah Shela."Kalian ... Kenapa bisa bersama?" tanya Shela dengan wajah terkejut. Lebih terkejut lagi ketika pandangannya terarah ke bawah, ke arah tangan Billy dan Nindy yang saling bertautan."Siapa Shel?" Tiba-tiba saja terdengar suara lantang dari dalam yang Nindy yakini adalah suara Kakak Billy, Sania."Billy dan temannya, Kak," jawab Shela dengan lantang juga agar suaranya terdengar sampai ke dalam."Minggir. Kamu menghalangi jalan."Secara spontan, Shela menggeser tubuhnya ke dinding.Ketika Billy akan melangkah masuk, Shela segera mencekal sikunya dan pemandangan itu dilihat oleh Nindy. "Aku mau bicara sama kamu.""Bicara aja di sini.""Aku mau bicara berdua aja di luar."Billy melirik sebentar pada Nindy, kemudian berkata, "Oke, kita bicara di luar." Setelah mengatakan itu, Billy beralih pada Nindy. "Kamu masuk dulu, aku mau bicara
Ketika Nindy akan melangkah setelah berbalik, tangannya tiba-tiba dicekal pria itu."Tunggu dulu, aku belum selesai bicara."Nindy segera menoleh dengan tatapan tajam. "Lepasin tangan aku."Pria itu segera menarik tangannya, kemudian berkata, "Maaf, aku nggak ada maksud apa-apa. Aku cuma mau—"Belum selesai pria itu bicara, tiba-tiba Billy datang dari arah belakang. "Kalian sedang apa?"Nindy dan pria itu menoleh bersamaan dan ketika melihat Billy yang datang, Nindy segera menghampiri dan berdiri di sampingnya."Eh, Bill. Tadi aku mencarimu. Kebetulan liat Nindy, jadi nyapa dia sebentar."Billy menatap pria itu sebentar, kemudian berkata, "Ada apa mencariku?" tanya Billy sambil merengkuh pinggang Nindy.Saat melihat itu, pria yang bernama Adi tampak mengerutkan kening. "Kalian balikan lagi?"Adi adalah teman satu kampus Billy sekaligus sepupu Stela. Dia salah satu teman Billy yang pernah ikut dalam taruhan untuk mendapatkan Nindy 6 tahun lalu."Ya," jawab Billy tegas."Terus, bagaima
"Billy, aku mau pulang, udah malem." Sekarang sudah pukul 9 malam. Dia takut orang tuanya mencarinya. Walaupun, ibunya belum menghubunginya, tapi dia takut ibunya sedang menunggu di rumah. Apalagi, dia keluar sejak pagi dan belum kembali sampai sekarang. "Nanti dulu." Billy menghampiri Nindy yang sejak tadi berdiri di dekat ranjang usai masuk ke dalam kamar. Setelah berada di depan Nindy, Billy melingkarkan tangan di pinggangnya. "Aku masih kangen sama kamu." Nindy mendongak. "Tapi, aku harus pulang." "Nanti aku anter kamu jam 10." "Kalau gitu, aku ganti baju dulu." Tidak mungkin dia pulang dengan mengenakan gaun, ibunya pasti bertanya macam-macam nanti. Jadi, lebih baik dia memakai kembali baju yang tadi pagi dia pakai. "Iya." Sambil menunggu Nindy berganti baju, Billy melepas jas, dasi kupu-kupu serta vestnya hingga hanya menyisakan kemeja warna putih. Setelah meletakkan semua itu di sofa single, Billy duduk di tepi ranjang sambil menggulung lengan kemejanya. Kurang lebih 10
"Menantu Anda tidak sakit, tapi dia sedang hamil," jawab Dokter wanita itu dengan senyuman tipis. "Hamil?" ulang Amara dengan wajah tercengang. "Maksud Dokter, ada calon cucu saya di perut menantu saya?" Meski dia sudah menduga kalau menantunya hamil, tapi Amara tetap terkejut ketika mendengar langsung berita baik itu dari mulut sang dokter. "Benar sekali." Nindy yang sejak tadi mendengar itu, tampak mengusap perutnya dengan lembut sambil tersenyum bahagia. Bagaimana tidak bahagia, dirinya bisa langsung hamil setelah pulang dari berbulan madu, sementara kakak iparnya belum hamil sampai sekarang. Padahal, dia sangat berharap bisa segera hamil setelah menikah. "Untuk memastikannya, silahkan langsung melakukan pemeriksaan USG dengan Dokter Obgyn." Setelah tiba di rumah sakit, Amara langsung membawa Nindy ke IGD. Sebenarnya, dia sudah curiga sejak awal kalau menantunya sedang hamil setelah putranya bercerita kalau sudah beberapa hari Nindy tidak napsu makan dan pagi tadi mengal
"Sayang, berhenti. Jangan main-main." Billy mencoba memperingatkan Nindy sejak tadi terus memainkan jemari lentiknya di dada bidangnya. Saat ini keduanya sedang berbaring di ranjang dengan posisi Billy bertelanjang dada menghadap ke langit-langit, sementara Nindy sedang berbaring miring menghadap Billy dengan mengenakan pakaian tidur tipis dan seksi "Aku cuma mau pegang, memangnya nggak boleh?" Billy memejamkan mata sambil menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan saat merasakan tangan Nindy semakin turun ke bawah. "Boleh, tapi jangan lama-lama. Nanti kamu menyesal." Nindy mengabaikan peringatan Billy dan semakin berani meraba tubuh sang suami. "Sayang, cukup." Nindy seketika menghentikan gerakan tangannya ketika tiba di otot perut Billy. "Kamu nggak suka aku pegang badan kamu?" Sebisa mungkin Billy berkata dengan pelan agar tidak menyinggung perasaan sang istri. "Nggak, Sayang. Aku suka, tapi ini untuk kebaikan kamu. Kamu sendiri yang rugi kalau terus memancin
"Sayang, kamu berdiri di sana, nanti aku foto," tunjuk Billy pada latar bangunan berwarna putih yang memiliki kubah warna biru. Saat ini keduanya sedang berada di Thira atau lebih dikenal dengan Santorini. Thira atau Santorini adalah pulau vulkanik yang berada di antara Pulau Ios dan Anafi, Yunani. Santorini terletak di Kepulauan Cyclades sekitar 200 km dari daratan Yunani. Di pulau ini, sangat terkenal dengan sejarah gunung meletus serta keindahan bangunan-bangunan putih dan gereja berkubah biru yang berada di pinggir tebing atau di bangun di atas lereng kaldera yang berada di kota Oia. "Aku nggak mau foto sendirian, maunya sama kamu." Ketika mendengar itu, Billy tidak tahan untuk menggodanya. "Sekarang, kayaknya kamu nggak bisa jauh-jauh dari aku, maunya nempel terus. Aku pergi ke mana, selalu aja mau ikut. Kamu begitu, apa karena takut suami kamu diambil orang?" "Jangan ngeledek terus. Cepetan, ke sini atau aku nanti aku foto sama orang lain." "Jangan coba-coba atau aku lempar
"Sayang, ayo kita berenang di bawah," ajak Nindy sambil menghampiri Billy yang sedang duduk bersantai di bawah payung pantai yang berada di pinggir kolam. "Kamu duluan aja, Sayang. Nanti aku nyusul." "Aku nggak mau berenang sendirian." "Aku istirahat sebentar, ya? Aku masih capek." Bagaimana tidak capek, kemarin dia habis menggempur Nindy hingga malam, lalu dia lanjutkan lagi menjelang pagi. Setelah itu, dia menemani Nindy bermain jet ski hingga pukul 9 pagi, kemudian bermain banana boat, parasailing hingga pukul 12 siang. Setelah makan siang, mereka berjalan-jalan di sekitar pulau sampai menjelang pukul 2 siang, kemudian pulang dan berendam bersama sambil menikmati pemandangan di luar. Jika dihitung-hitung, dia hanya beristirahat selama setengah jam. "Sebentar aja Sayang nanti habis berenang kamu bisa istirahat." Nindy meraih tangan Billy dan mencoba untuk menariknya, tapi sang suami tidak bergerak sedikit pun. "Nanti aku nyusul, Sayang. Aku liatin kamu dulu dari sini." "Ya, u
"Bagus banget pemandangannya." Mata Nindy tampak berbinar ketika melihat pemadangan bintang dari tempat tidurnya. Saat ini, dia dan Billy sedang berbaring di ranjang sambil menikmati pemandangan bintang di malam hari. Kebetulan sekali kamar mereka dilengkapi dengan atap kamar yang bisa dibuka tutup secara otomatis menggunakan tombol. "Rasanya aku pengen tinggal di sini terus." Billy yang sedang berbaring miring menghadap sang istri yang sedang tidur terlentang seketika tersenyum. "Nanti kita ke sini lagi kalau aku ada waktu." "Beneran?" tanya Nindy seketika memiringkan tubuhnya ke arah Billy. "Iya, Sayang." Nindy pun tersenyum. "Besok kita mau ke mana lagi?" Seharian ini, mereka sudah melakukan banyak hal. Snorkling, berjalan-jalan, bersepeda di sekitar resort, bermain air di pantai sampai sore hari, kemudian melakukan spa di resort tersebut. Malam harinya, mereka makan malam romantis di gedung utama resort. "Besok istirahat aja di kamar. Sorenya baru kita jalan-jalan
"Sayang, bangun. Ini sudah pagi."Billy sedang duduk di tepi ranjang kembali memberikan kecupan singkat di pipi sang istri yang masih terlelap sejak siang hingga 7 sore hari. Sejak tadi, dia sudah berusaha untuk membangun Nindy dengan memberikan kecupan-kecupan ringan di wajahnya, tapi sang istri tidak terpengaruh sedikit pun.Sore kemarin, mereka baru saja tiba di penginapan Soneva Jani yang terletak di pulau Medhufaru. Nindy yang kelelahan akibat perjalanan jauh langsung tertidur setelah makan malam bersama dengan Billy dan belum terbangun hingga kini. Padahal, dia bilang ingin berenang sambil melihat matahari terbit."Jam berapa ini?" tanya Nindy dengan suara serak.Akhirnya, dia membuka mata setelah dibangun selama kurang lebih 15 menit oleh Billy. Meski sudah terbangun, tapi matanya belum terbuka dengan sempurna."Jam 7 pagi, Sayang," jawab Billy lembut sambil merapihkan anak rambut sang istri yang menutupi sebagian matanya. "Kamu masih ngantuk?"Nindy menggeleng lemah. "Nggak. C
Baru saja Dimas memasuki lift untuk turun ke lantai bawah, tiba-tiba saja ada seorang wanita ambruk di depannya. Sebelum wanita itu sempat terjatuh di lantai, Dimas sudah lebih dulu menangkap tubuh wanita itu dan menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Selain Dimas dan wanita itu, ada seorang pria juga yang berada di dalam lift."Nona, ada apa denganmu?" tanya Dimas sambil menepuk wajah wanita yang sudah menyandarkan kepala di bahunya."Maaf, ini teman saya. Dia lagi sakit. Biar saya yang bawa dia."Pria yang berada satu lift dengan mereka akhir membuka suara setelah pintu lift tertutup.Saat pria itu akan menyentuh wanita itu, Dimas segera mencengkram tangannya dengan tatapan tajam. "Kau mau berbuat apa dengan wanita yang sedang pingsan?"Pria tinggi berkulit sawo matang yang mengaku sebagai teman wanita itu tampak tidak senang mendengar ucapan Dimas. "Dia temanku. Jadi, apa masalahmu?""Bagaimana aku bisa tahu kalau kau memang temannya? Bisa saja kau mengaku-ngaku. Aku tidak bisa membi
"Di mana Nindy?" tanya Angga setelah Billy duduk di kursi depannya.Siang ini Billy bertemu dengan Angga di restoran hotel tempatnya menginap. Di sana jugalah nanti dia akan bertemu dengan teman-temanya yang berasal dari Singapore."Lagi tidur."Angga seketika tersenyum mendengar itu. "Masih jam 10 pagi, tapi dia udah tidur?Sepertinya kau habis menggempurnya habis-habisan semalam sampai membuatnya kelelahan seperti itu."Bukannya marah diolok-olok oleh Angga, Billy justru menanggapi dengan santai, "Nggak ada yang salah dengan itu. Dia udah resmi menjadi istriku.""Tapi, setidaknya tahan dirimu sedikit. Dia pasti lelah setelah melewati resepsi pernikahan yang panjang. Seharusnya, biarkan dia beristirahat dulu sehari, setelah itu kau bisa melakukannya.""Aku nggak bisa menahannya.""Tapi, selama ini kau berhasil menahannya, bahkan sampai 6 tahun. Kau juga tidak pernah terpengaruh dengan Shela yang sudah berkali-kali menggodamu.""Tidak bisa jika Nindy orangnya," jawab Billy santai, "jan
"Sayang, kamu yakin mau sarapan bersama?" tanya Billy sambil menghampiri Nindy yang sedang mengeringkan rambut di depan cermin kamar mandi dengan menggunakan hairdryer."Iya, nggak enak kalau nggak ikut sarapan.""Memangnya kamu bisa jalan?" Billy melingkarkan tangan di perut istrinya sambil menatapnya dari pantulan cermin setelah Nindy mematikan pengering rambut yang ada di tangan kanannya."Bisa, tapi pelan-pelan." Setelah itu, Nindy membalik tubuhnya menghadap Billy."Kalau nggak bisa, jangan dipaksa, Sayang. Lebih baik sarapan di kamar aja. Mereka juga pasti maklum, kita, kan, pengantin baru.""Ini salah kamu. Katanya cuma sebentar, tapi ternyata keterusan."Billy terkekeh pelan melihat wajah cemberut istrinya. "Maaf, Sayang. Kamu tahu sendiri, aku udah menahannya sejak lama. Ini aja aku masih sedikit menahan diri karena kasihan sama kamu.""Menahan diri apanya, kamu jangan bercanda. Badan aku sakit semua karena ulah kamu."Billy kembali terkekeh pelan. Setelah tawanya mereda, dia