Setelah mengakhiri panggilan telponnya, Billy menatap Nindy sebentar untuk memastikan kalau dia masih tertidur, baru setelah itu keluar dari sana"Tidak perlu berterima kasih, cukup naikkan gajiku saja," kata Angga setelah Billy duduk di hadapannya.Padahal, Billy belum mengatakan apa pun padanya. Namun, pria itu seolah tahu apa yang akan disampaikan oleh teman masa kecilnya itu."Kau membohongi Nindy?""Jika tidak begitu, memang kalian bisa bersama lagi seperti sekarang?" ujar Angga dengan santai dengan kedua alis terangkat."Dari mana kau tahu kalau kami bersama lagi?" tanya Billy heran."Aku sudah memprediksi sejak Nindy menanyakan kamar hotelmu padaku. Aku yakin dia akan menemuimu dan aku tahu kau tidak akan melewatkan kesempatan itu untuk membuatnya kembali lagi padamu."Tepat seperti dugaan Angga. Billy memang sengaja mendesak Nindy di waktu genting untuk menjawabnya agar dia tidak memiliki waktu untuk berpikir dan pada akhirnya tidak bisa lagi menolak dirinya lagi."Lagi pula,
"Jadi, Nindy yang kamu sembunyikan di kamarmu sejak tadi??" tanya Ibu Billy sambil menoleh pada putranya. Nada bicaranya terdengar meninggi, membuat Nindy merasa tertekan dan takut."Ma, aku nggak sembunyiin Nindy.""Lalu, kenapa dia bisa di sini?""Ma, ceritanya panjang. Ayo, kita duduk dulu. Aku akan menjelaskan semuanya.""Diam di tempat!" Ibu Billy langsung menepis tangan anaknya ketika Billy ingin mengajaknya duduk di sofa. "Jangan bergerak sedikit pun dari tempat kamu. Mama mau bicara sama Nindy." Ketika melihat wajah marah Ibunya, Billy menjadi cemas, dia takut kalau Nindy akan dimarahi juga oleh ibunya."Ma, bicara sama aku aja. Aku yang maksa Nindy datang ke sini."Ibu Billy yang baru akan melangkah, seketika menoleh pada anaknya. "Kamu ... beraninya menyembunyikan Nindy dari mama."Saat melihat ibunya melayangkan tangan ke arahnya, secepat kilat ditangkis oleh Billy dengan kedua tangan hingga pukul itu mengenai lengannya."Ma, kita bicara baik-baik. Jangan begini."Meskipun
"Menikah, Tante?" ulang Nindy dengan wajah terkejut. Sementara Billy tampak tersenyum lebar dengan eskpresi senang usai mendengar ucapan ibunya."Iya, kamu mau, kan?" tanya Ibu Billy dengan lembut."Mau, Ma." Bukan Nindy yang menjawab, melainkan Billy."Mama nggak tanya kamu." Setelah menatap putranya, Ibu Billy kembali menatap Nindy. "Bagaimana, Nin?"Belum juga Nindy menjawab pertanyaannya, Ibu Billy kembali berbicara, "Kalau kamu mau, sekarang telpon orang tua kamu dan minta mereka ke sini. Biar mama yang bicara dengan orang tua kamu dan menjelaskan semuanya."Sekaligus dia ingin meminta maaf pada keluarga Nindy atas kesalahan yang sudah diperbuat anaknya."Begini, Tante. Sebenarnya ...""Kok masih manggil Tante? Panggil mama dong.""Iya, Sayang, panggil mama aja. Sebentar lagi kita, kan, mau menikah. Mama aku bakal jadi mama kamu juga," sahut Billy tiba-tiba dengan wajah sumringah, seperti habis menang undian berhadiah piring cantik."Diam kamu!" Setelah menegur anaknya, Ibu Billy
Setelah berada di depan kamar kakaknya, Billy segera memencet bel dan tidak lama setelah itu pintu kamar terbuka dan ternyata yang membuka pintu Adalah Shela."Kalian ... Kenapa bisa bersama?" tanya Shela dengan wajah terkejut. Lebih terkejut lagi ketika pandangannya terarah ke bawah, ke arah tangan Billy dan Nindy yang saling bertautan."Siapa Shel?" Tiba-tiba saja terdengar suara lantang dari dalam yang Nindy yakini adalah suara Kakak Billy, Sania."Billy dan temannya, Kak," jawab Shela dengan lantang juga agar suaranya terdengar sampai ke dalam."Minggir. Kamu menghalangi jalan."Secara spontan, Shela menggeser tubuhnya ke dinding.Ketika Billy akan melangkah masuk, Shela segera mencekal sikunya dan pemandangan itu dilihat oleh Nindy. "Aku mau bicara sama kamu.""Bicara aja di sini.""Aku mau bicara berdua aja di luar."Billy melirik sebentar pada Nindy, kemudian berkata, "Oke, kita bicara di luar." Setelah mengatakan itu, Billy beralih pada Nindy. "Kamu masuk dulu, aku mau bicara
Ketika Nindy akan melangkah setelah berbalik, tangannya tiba-tiba dicekal pria itu."Tunggu dulu, aku belum selesai bicara."Nindy segera menoleh dengan tatapan tajam. "Lepasin tangan aku."Pria itu segera menarik tangannya, kemudian berkata, "Maaf, aku nggak ada maksud apa-apa. Aku cuma mau—"Belum selesai pria itu bicara, tiba-tiba Billy datang dari arah belakang. "Kalian sedang apa?"Nindy dan pria itu menoleh bersamaan dan ketika melihat Billy yang datang, Nindy segera menghampiri dan berdiri di sampingnya."Eh, Bill. Tadi aku mencarimu. Kebetulan liat Nindy, jadi nyapa dia sebentar."Billy menatap pria itu sebentar, kemudian berkata, "Ada apa mencariku?" tanya Billy sambil merengkuh pinggang Nindy.Saat melihat itu, pria yang bernama Adi tampak mengerutkan kening. "Kalian balikan lagi?"Adi adalah teman satu kampus Billy sekaligus sepupu Stela. Dia salah satu teman Billy yang pernah ikut dalam taruhan untuk mendapatkan Nindy 6 tahun lalu."Ya," jawab Billy tegas."Terus, bagaima
"Billy, aku mau pulang, udah malem." Sekarang sudah pukul 9 malam. Dia takut orang tuanya mencarinya. Walaupun, ibunya belum menghubunginya, tapi dia takut ibunya sedang menunggu di rumah. Apalagi, dia keluar sejak pagi dan belum kembali sampai sekarang. "Nanti dulu." Billy menghampiri Nindy yang sejak tadi berdiri di dekat ranjang usai masuk ke dalam kamar. Setelah berada di depan Nindy, Billy melingkarkan tangan di pinggangnya. "Aku masih kangen sama kamu." Nindy mendongak. "Tapi, aku harus pulang." "Nanti aku anter kamu jam 10." "Kalau gitu, aku ganti baju dulu." Tidak mungkin dia pulang dengan mengenakan gaun, ibunya pasti bertanya macam-macam nanti. Jadi, lebih baik dia memakai kembali baju yang tadi pagi dia pakai. "Iya." Sambil menunggu Nindy berganti baju, Billy melepas jas, dasi kupu-kupu serta vestnya hingga hanya menyisakan kemeja warna putih. Setelah meletakkan semua itu di sofa single, Billy duduk di tepi ranjang sambil menggulung lengan kemejanya. Kurang lebih 10
Kontak mata keduanya terputus ketika Billy tiba-tiba memajukan wajahnya dan memagut bibir merah Nindy.Namun, tautan itu tidak berlangsung lama karena tiba-tiba saja Billy berhenti. "Maaf. Kita harus berhenti." Billy akhirnya menarik dirinya dan berdiri dengan tegak di samping ranjang. "Sebaiknya, aku antar kamu pulang sekarang."Hampir saja mereka terlena. Beruntung, akal sehat Billy masih berfungsi dan akhirnya dia tersadar tepat waktu. Jika tidak, mereka pasti kembali melakukan kesalahan seperti 6 tahun lalu."Iya."Dengan wajah canggung dan malu, Nindy bangun, kemudian turun dari ranjang."Pakai ini." Billy menyodorkan jas miliknya, kemudian membantu memakaikan jas itu ke tubuh Nindy. "Lain kali, jangan pakai celana sependek ini kalau keluar rumah," ucap Billy setelah selesai memastikan tubuh Nindy tertutupi dengan jasnya. "Aku nggak suka.""Iya, maaf."Setelah itu, Billy menggandeng tangan Nindy, kemudian menariknya keluar.Mereka tidak tahu, kalau sejak tadi ada seseorang yang m
"Nin, kamu dari mana saja? Kenapa baru pulang?"Nindy segera membalik tubuhnya ke belakang usai mendengar pertanyaan ibunya. "Itu, Ma ... tadi Nindy habis pergi ke ..."Melihat Nindy tampak kebingungan menjawab pertanyaannya, Ibu Nindy seketika memicing. "Jangan bilang kamu habis dateng ke acara pernikahan mantan kamu?"Wajah Nindy seketika menegang. Namun, secepat kali dia menarik senyuman lebar agar ibunya tidak menyadari perubahan di wajahnya. "Nggak, Ma. Tadi Nindy minta anter sama Dimas ke rumah Rere."Rere adalah teman kuliah Nindy yang satu jurusan dengannya."Kamu nggak bohong, kan?" Tatapan Ibu Nindy semakin memicing ke arah anaknya."Nggak, Ma. Beneran.""Ingat, ya, Nin. Mama nggak mau kamu ketemu mantan kamu itu lagi. Kamu harus menjauhinya dan jangan pernah berhubungan sama dia lagi."Melihat ibunya begitu tidak menyukai Billy, Nindy semakin ragu untuk memberitahukan mengenai hubungan mereka. Terlebih ibunya sudah salah paham pada Billy dan mengira kalau kekasihnya itu sud