"Dari mana kamu tahu kalau mereka ada di sini?" "Dari penjaga rumah Billy." Pagi tadi, Dimas ke sana dan menanyakan alamat pernikahan dan jam berapa akad nikah akan dilaksanakan pada penjaga rumah Billy. Dari sanalah dia tahu kalau akad nikah akan diadakan pukul 11 siang. "Nin, kalau kamu masih cinta, bilang sama Billy. Tapi, kalau kamu memang udah memutuskan untuk melepasnya, cukup temui dia terakhir kalinya sekaligus minta maaf. Setelah itu, kita kembali ke Surabaya." Setelah menimang selama beberapa saat, Nindy akhirnya berkata, "Tapi, baju aku kayak gini." Tidak hanya bajunya, tapi juga wajahnya tampak sembab. Dia merasa malu untuk menemui Billy dengan penampilan seperti itu. "Tadi aku sudah suruh kamu ganti, tapi kamu nggak mau," kata Dimas, "udah nggak ada waktu lagi, cepat temui dia." "Tapi, aku nggak tau dia ada di kamar mana. Aku juga nggak punya nomor ponselnya." "Tanya temen terdekatnya atau keluarganya yang kamu kenal." Setelah Dimas mengatakan itu, tiba-tiba saja
Setelah berada di dalam kamar, tangis Nindy tidak juga mereda, Billy yang melihat itu tampak kebingungan selama beberapa saat. Namun, setelah itu dia menarik Nindy dalam pelukannya dan membiarkan Nindy menangis dalam pelukannya sampai akhirnya dia berhenti dengan sendirinya."Sudah bisa tenang?" tanya Billy sambil menunduk, menatap Nindy yang masih berada dalam dekapannya.Nindy hanya mengangguk sambil menunduk dengan wajah sembabnya."Kalau kamu belum bisa bicara, kamu bisa tenangin diri dulu di sini, saya harus pergi." Billy pun melerai pelukannya."Tunggu!" Nindy menghentikan Billy ketika tangannya akan meraih handle pintu. "Aku mau bicara sama kamu sebentar."Billy akhirnya menarik tangannya lagi dan menatap Nindy. "Kita bicara nanti, saya harus pergi.""Cuma 10 menit.""Saya nggak bisa. Kamu bisa tunggu di sini, nanti kita bica—""Kalau kamu nggak bisa, aku nggak maksa. Maaf sudah ganggu waktu kamu." Setelah mengatakan itu, Nindy berbalik dan hendak membuka pintu. Namun, lenganny
Usai menanyakan itu, Billy semakin merapatkan tubuh keduanya, membuat Nindy terkejut dan seketika mendongakkan kepalanya."Maaf. Waktu itu aku pikir kamu udah nggak peduli dan nggak percaya lagi aku."Billy menarik satu tangannya dari pinggang Nindy, lalu mencubit dagu Nindy dan mengangkatnya hingga mata mereka saling beradu. "Berarti kamu masih cinta sama saya?"Nindy langsung menatap ke arah lain ketika ditatap begitu lekat oleh Billy. "Nggak ada gunanya lagi kamu tanya itu, sebentar lagi kamu juga udah mau menikah."Melihat Nindy kembali tertunduk dengan wajah muram dan mata berkaca-kaca, tiba-tiba saja Billy terkekeh pelan, membuat Nindy menjadi heran dan akhirnya memalingkan kembali wajahnya dengan alis yang hampir menyatu. "Kenapa kamu ketawa? Memangnya ada yang lucu?"Billy menggelengkan kepala sambil menahan tawa. "Aku cuma nggak menyangka kalau kamu bisa tertipu sama Angga.""Maksud kamu?" Nindy menatap heran pada Billy tampak masih terkekeh pelan."Angga bohongin kamu, bukan
Billy pun segera menyudahi dan menarik tubuhnya ke belakang. Dia mengintip dari lubang kecil di pintu dan melihat siapa yang sedang berdiri di sana. "Siapa?" tanya Nindy dengan wajah khawatir. "Mama," jawab Billy sambil menoleh pada Nindy. "Kamu ketemu mama dulu ya sebentar?" Nindy segera menggeleng kuat. "Kenapa?" "Aku belum siap." Dia belum siap, baik dari segi penampilan maupun mental. Meskipun dia sudah pernah dikenalkan kepada kedua orang tua Billy, tapi tetap saja dia merasa canggung. Terlebih, keduanya putus dengan cara yang tidak baik. "Kamu udah lama nggak ketemu mama, setidaknya sapa dulu," kata Billy lembut. "Besok-besok aja, jangan sekarang." Nindy menunduk dan berkata, "Liat penampilan aku kayak gembel gini. Nanti mama kamu ilfeel." Belum lagi nanti Ibu Billy pasti berpikir yang tidak-tidak jika melihatnya berada di dalam kamar hotel putranya. "Nggak. Mama nggak mungkin kayak gitu." "Tetap aja. Aku harus berpenampilan sopan di depan mama kamu." Seke
Setelah mengakhiri panggilan telponnya, Billy menatap Nindy sebentar untuk memastikan kalau dia masih tertidur, baru setelah itu keluar dari sana"Tidak perlu berterima kasih, cukup naikkan gajiku saja," kata Angga setelah Billy duduk di hadapannya.Padahal, Billy belum mengatakan apa pun padanya. Namun, pria itu seolah tahu apa yang akan disampaikan oleh teman masa kecilnya itu."Kau membohongi Nindy?""Jika tidak begitu, memang kalian bisa bersama lagi seperti sekarang?" ujar Angga dengan santai dengan kedua alis terangkat."Dari mana kau tahu kalau kami bersama lagi?" tanya Billy heran."Aku sudah memprediksi sejak Nindy menanyakan kamar hotelmu padaku. Aku yakin dia akan menemuimu dan aku tahu kau tidak akan melewatkan kesempatan itu untuk membuatnya kembali lagi padamu."Tepat seperti dugaan Angga. Billy memang sengaja mendesak Nindy di waktu genting untuk menjawabnya agar dia tidak memiliki waktu untuk berpikir dan pada akhirnya tidak bisa lagi menolak dirinya lagi."Lagi pula,
"Jadi, Nindy yang kamu sembunyikan di kamarmu sejak tadi??" tanya Ibu Billy sambil menoleh pada putranya. Nada bicaranya terdengar meninggi, membuat Nindy merasa tertekan dan takut."Ma, aku nggak sembunyiin Nindy.""Lalu, kenapa dia bisa di sini?""Ma, ceritanya panjang. Ayo, kita duduk dulu. Aku akan menjelaskan semuanya.""Diam di tempat!" Ibu Billy langsung menepis tangan anaknya ketika Billy ingin mengajaknya duduk di sofa. "Jangan bergerak sedikit pun dari tempat kamu. Mama mau bicara sama Nindy." Ketika melihat wajah marah Ibunya, Billy menjadi cemas, dia takut kalau Nindy akan dimarahi juga oleh ibunya."Ma, bicara sama aku aja. Aku yang maksa Nindy datang ke sini."Ibu Billy yang baru akan melangkah, seketika menoleh pada anaknya. "Kamu ... beraninya menyembunyikan Nindy dari mama."Saat melihat ibunya melayangkan tangan ke arahnya, secepat kilat ditangkis oleh Billy dengan kedua tangan hingga pukul itu mengenai lengannya."Ma, kita bicara baik-baik. Jangan begini."Meskipun
"Menikah, Tante?" ulang Nindy dengan wajah terkejut. Sementara Billy tampak tersenyum lebar dengan eskpresi senang usai mendengar ucapan ibunya."Iya, kamu mau, kan?" tanya Ibu Billy dengan lembut."Mau, Ma." Bukan Nindy yang menjawab, melainkan Billy."Mama nggak tanya kamu." Setelah menatap putranya, Ibu Billy kembali menatap Nindy. "Bagaimana, Nin?"Belum juga Nindy menjawab pertanyaannya, Ibu Billy kembali berbicara, "Kalau kamu mau, sekarang telpon orang tua kamu dan minta mereka ke sini. Biar mama yang bicara dengan orang tua kamu dan menjelaskan semuanya."Sekaligus dia ingin meminta maaf pada keluarga Nindy atas kesalahan yang sudah diperbuat anaknya."Begini, Tante. Sebenarnya ...""Kok masih manggil Tante? Panggil mama dong.""Iya, Sayang, panggil mama aja. Sebentar lagi kita, kan, mau menikah. Mama aku bakal jadi mama kamu juga," sahut Billy tiba-tiba dengan wajah sumringah, seperti habis menang undian berhadiah piring cantik."Diam kamu!" Setelah menegur anaknya, Ibu Billy
Setelah berada di depan kamar kakaknya, Billy segera memencet bel dan tidak lama setelah itu pintu kamar terbuka dan ternyata yang membuka pintu Adalah Shela."Kalian ... Kenapa bisa bersama?" tanya Shela dengan wajah terkejut. Lebih terkejut lagi ketika pandangannya terarah ke bawah, ke arah tangan Billy dan Nindy yang saling bertautan."Siapa Shel?" Tiba-tiba saja terdengar suara lantang dari dalam yang Nindy yakini adalah suara Kakak Billy, Sania."Billy dan temannya, Kak," jawab Shela dengan lantang juga agar suaranya terdengar sampai ke dalam."Minggir. Kamu menghalangi jalan."Secara spontan, Shela menggeser tubuhnya ke dinding.Ketika Billy akan melangkah masuk, Shela segera mencekal sikunya dan pemandangan itu dilihat oleh Nindy. "Aku mau bicara sama kamu.""Bicara aja di sini.""Aku mau bicara berdua aja di luar."Billy melirik sebentar pada Nindy, kemudian berkata, "Oke, kita bicara di luar." Setelah mengatakan itu, Billy beralih pada Nindy. "Kamu masuk dulu, aku mau bicara