"Dia mencarimu."Billy langsung menoleh pada Angga yang baru saja duduk di sebelahnya. Keduanya saat ini berada di restoran rooftop yang ada di Jakarta."Siapa?""Nindy," jawab Angga santai, "dua hari yang lalu, sebelum aku kembali ke sini dia meminta nomormu, tapi tidak aku berikan.""Oh.""Hanya itu?" Angga cukup terkejut melihat respon Billy yang tampak tidak antusias sama sekali. Padahal, dia mengira Billy akan bertanya banyak hal karena penasaran, tapi ternyata tidak."Lalu, aku harus apa?" Billy yang sejak tadi terus memandang ke depan, menoleh dengan malas pada Angga yang tampak sedang menatap heran padanya."Kau tidak ingin tahu, apa saja yang aku obrolkan dengannya?"Billy meneguk minuman, lalu menjawab dengan datar, "Tidak."Karena terkejut mendengar jawab Billy, Angga sampai memutar tubuh menghadap Billy untuk memastikannya lagi. "Kau sungguh tidak mau tahu tentangnya lagi? Sungguh ingin melepasnya?""Sudah saatnya aku berhenti.""Kau yakin dengan keputusanmu?'Billy terdia
"Kita mau ke mana lagi?" tanya Dimas setelah menoleh sebentar pada Nindy yang duduk di sampingnya.Sejak meninggalkan kediaman Billy, Nindy hanya diam dengan wajah murung, bahkan Dimas sempat menangkap ada air mata yang menetes di pipi kiri Nindy usai meningalkan rumah Billy."Langsung pulang aja."Pikirannya saat ini sudah kacau dan kalut. Dia memang tahu kalau Billy akan menikah, tapi dia tidak menyangka kalau Billy akan menikah secepat itu dengan orang lain. Setibanya di rumah, Nindy langsung masuk ke dalam kamar, air matanya langsung tumpah setelah menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Dia bahkan mengabaikan ketukan pintu di kamarnya.Sementara itu, Ibu Nindy yang berada di luar merasa heran dengan sikap putrinya yang langsung berlari ke tangga usai masuk ke dalam rumah."Sayang, buka pintunya. Mama mau bicara sama kamu sebentar," ujar Ibu Nindy sambil mengetuk pintu."Nindy, lagi mau sendiri, Ma."Dari luar, Ibu Nindy bisa mendengar suara putrinya terdengar serak dan bergetar. Dia
"Dari mana kamu tahu kalau mereka ada di sini?" "Dari penjaga rumah Billy." Pagi tadi, Dimas ke sana dan menanyakan alamat pernikahan dan jam berapa akad nikah akan dilaksanakan pada penjaga rumah Billy. Dari sanalah dia tahu kalau akad nikah akan diadakan pukul 11 siang. "Nin, kalau kamu masih cinta, bilang sama Billy. Tapi, kalau kamu memang udah memutuskan untuk melepasnya, cukup temui dia terakhir kalinya sekaligus minta maaf. Setelah itu, kita kembali ke Surabaya." Setelah menimang selama beberapa saat, Nindy akhirnya berkata, "Tapi, baju aku kayak gini." Tidak hanya bajunya, tapi juga wajahnya tampak sembab. Dia merasa malu untuk menemui Billy dengan penampilan seperti itu. "Tadi aku sudah suruh kamu ganti, tapi kamu nggak mau," kata Dimas, "udah nggak ada waktu lagi, cepat temui dia." "Tapi, aku nggak tau dia ada di kamar mana. Aku juga nggak punya nomor ponselnya." "Tanya temen terdekatnya atau keluarganya yang kamu kenal." Setelah Dimas mengatakan itu, tiba-tiba saja
Setelah berada di dalam kamar, tangis Nindy tidak juga mereda, Billy yang melihat itu tampak kebingungan selama beberapa saat. Namun, setelah itu dia menarik Nindy dalam pelukannya dan membiarkan Nindy menangis dalam pelukannya sampai akhirnya dia berhenti dengan sendirinya."Sudah bisa tenang?" tanya Billy sambil menunduk, menatap Nindy yang masih berada dalam dekapannya.Nindy hanya mengangguk sambil menunduk dengan wajah sembabnya."Kalau kamu belum bisa bicara, kamu bisa tenangin diri dulu di sini, saya harus pergi." Billy pun melerai pelukannya."Tunggu!" Nindy menghentikan Billy ketika tangannya akan meraih handle pintu. "Aku mau bicara sama kamu sebentar."Billy akhirnya menarik tangannya lagi dan menatap Nindy. "Kita bicara nanti, saya harus pergi.""Cuma 10 menit.""Saya nggak bisa. Kamu bisa tunggu di sini, nanti kita bica—""Kalau kamu nggak bisa, aku nggak maksa. Maaf sudah ganggu waktu kamu." Setelah mengatakan itu, Nindy berbalik dan hendak membuka pintu. Namun, lenganny
Usai menanyakan itu, Billy semakin merapatkan tubuh keduanya, membuat Nindy terkejut dan seketika mendongakkan kepalanya."Maaf. Waktu itu aku pikir kamu udah nggak peduli dan nggak percaya lagi aku."Billy menarik satu tangannya dari pinggang Nindy, lalu mencubit dagu Nindy dan mengangkatnya hingga mata mereka saling beradu. "Berarti kamu masih cinta sama saya?"Nindy langsung menatap ke arah lain ketika ditatap begitu lekat oleh Billy. "Nggak ada gunanya lagi kamu tanya itu, sebentar lagi kamu juga udah mau menikah."Melihat Nindy kembali tertunduk dengan wajah muram dan mata berkaca-kaca, tiba-tiba saja Billy terkekeh pelan, membuat Nindy menjadi heran dan akhirnya memalingkan kembali wajahnya dengan alis yang hampir menyatu. "Kenapa kamu ketawa? Memangnya ada yang lucu?"Billy menggelengkan kepala sambil menahan tawa. "Aku cuma nggak menyangka kalau kamu bisa tertipu sama Angga.""Maksud kamu?" Nindy menatap heran pada Billy tampak masih terkekeh pelan."Angga bohongin kamu, bukan
Billy pun segera menyudahi dan menarik tubuhnya ke belakang. Dia mengintip dari lubang kecil di pintu dan melihat siapa yang sedang berdiri di sana. "Siapa?" tanya Nindy dengan wajah khawatir. "Mama," jawab Billy sambil menoleh pada Nindy. "Kamu ketemu mama dulu ya sebentar?" Nindy segera menggeleng kuat. "Kenapa?" "Aku belum siap." Dia belum siap, baik dari segi penampilan maupun mental. Meskipun dia sudah pernah dikenalkan kepada kedua orang tua Billy, tapi tetap saja dia merasa canggung. Terlebih, keduanya putus dengan cara yang tidak baik. "Kamu udah lama nggak ketemu mama, setidaknya sapa dulu," kata Billy lembut. "Besok-besok aja, jangan sekarang." Nindy menunduk dan berkata, "Liat penampilan aku kayak gembel gini. Nanti mama kamu ilfeel." Belum lagi nanti Ibu Billy pasti berpikir yang tidak-tidak jika melihatnya berada di dalam kamar hotel putranya. "Nggak. Mama nggak mungkin kayak gitu." "Tetap aja. Aku harus berpenampilan sopan di depan mama kamu." Seke
Setelah mengakhiri panggilan telponnya, Billy menatap Nindy sebentar untuk memastikan kalau dia masih tertidur, baru setelah itu keluar dari sana"Tidak perlu berterima kasih, cukup naikkan gajiku saja," kata Angga setelah Billy duduk di hadapannya.Padahal, Billy belum mengatakan apa pun padanya. Namun, pria itu seolah tahu apa yang akan disampaikan oleh teman masa kecilnya itu."Kau membohongi Nindy?""Jika tidak begitu, memang kalian bisa bersama lagi seperti sekarang?" ujar Angga dengan santai dengan kedua alis terangkat."Dari mana kau tahu kalau kami bersama lagi?" tanya Billy heran."Aku sudah memprediksi sejak Nindy menanyakan kamar hotelmu padaku. Aku yakin dia akan menemuimu dan aku tahu kau tidak akan melewatkan kesempatan itu untuk membuatnya kembali lagi padamu."Tepat seperti dugaan Angga. Billy memang sengaja mendesak Nindy di waktu genting untuk menjawabnya agar dia tidak memiliki waktu untuk berpikir dan pada akhirnya tidak bisa lagi menolak dirinya lagi."Lagi pula,
"Jadi, Nindy yang kamu sembunyikan di kamarmu sejak tadi??" tanya Ibu Billy sambil menoleh pada putranya. Nada bicaranya terdengar meninggi, membuat Nindy merasa tertekan dan takut."Ma, aku nggak sembunyiin Nindy.""Lalu, kenapa dia bisa di sini?""Ma, ceritanya panjang. Ayo, kita duduk dulu. Aku akan menjelaskan semuanya.""Diam di tempat!" Ibu Billy langsung menepis tangan anaknya ketika Billy ingin mengajaknya duduk di sofa. "Jangan bergerak sedikit pun dari tempat kamu. Mama mau bicara sama Nindy." Ketika melihat wajah marah Ibunya, Billy menjadi cemas, dia takut kalau Nindy akan dimarahi juga oleh ibunya."Ma, bicara sama aku aja. Aku yang maksa Nindy datang ke sini."Ibu Billy yang baru akan melangkah, seketika menoleh pada anaknya. "Kamu ... beraninya menyembunyikan Nindy dari mama."Saat melihat ibunya melayangkan tangan ke arahnya, secepat kilat ditangkis oleh Billy dengan kedua tangan hingga pukul itu mengenai lengannya."Ma, kita bicara baik-baik. Jangan begini."Meskipun