Pukul 7 malam, setelah selesai bersiap keduanya langsung ke tempat acara pernikahan digelar. Billy dengan mengenakan kemeja batik tulis berwarna marun, sementara Nindy mengenakan one set batik berwarna coklat susu."Pegang lengan saya," pinta Billy sebelum keduanya memasuki tempat acara.Awalnya Nindy enggan menuruti permintaan Billy karena merasa malu. Namun, melihat pria itu sudah menekuk sikunya, dia pun terpaksa mengapit lengannya, kemudian melangkah masuk bersama Billy."Jangan dilepas. Nanti kamu hilang," ucap Billy sambil terus berjalan melewati tamu-tamu lain yang hadir di acara itu."Aku bukan anak kecil, Bill."Billy tidak mengubris protes Nindy dan terus mengajaknya untuk berjalan menemui sang pemilik acara."Ini siapa, Bill?" tanya Pak Roby, ayah dari mempelai pengantin wanita."Calon istri saya, Pak."Nindy langsung menoleh pada Billy ketika mendengar pengakuan pria di sampingnya itu."Pintar juga kamu pilih calon istri," ucap Pak Robby sambil tersenyum hangat pada Nindy.
"Masih dingin?"Nindy yang sejak tadi masih terkesiap dengan tindakan Billy yang tiba-tiba memeluknya, tanpa sadar mengangguk.Ketika melihat itu, Billy menarik senyuman tipis wajahnya. Setelah itu, dia menarik Nindy semakin mendekat, hingga tubuh keduanya tidak berjarak lagi, membuat sekujur tubuh Nindy tiba-tiba dialiri rasa hangat."Seharusnya, kamu dengerin saya tadi. Kamu nggak bakal kehujanan kalau saya pergi beli payung. Kamu bisa sakit nanti. Kalau sudah begitu, kamu sendiri yang susah."Keduanya pulang dalam keadaan basah kuyup karena menorobos hujan. Tubuh Nindy bahkan tidak henti gemetar sejak tadi akibat kedinginan. Padahal, suhu di kamar tidak terlalu dingin."Aku nggak bakal sakit cuma karena kehujanan sebentar. Dulu aja kita hujan-hujanan sampai ..."Nindy seketika menghentikan ucapanya ketika menyadari kalau dia hampir saja membahas malam ketika dirinya menyerahkan dirinya pada Billy.Hari itu, setelah pulang dari kuliah pagi, Billy mengajaknya ke puncak dengan mengend
"Bill, jam berapa kita check out?" Pagi-pagi sekali Nindy sudah bangun dan duduk di sofa kamar sambil memainkan ponselnya setelah selesai mandi. Dia terbangun lebih dulu daripada Billy. Tepatnya, dia tidak bisa tidur setelah Billy memintanya untuk kembali padanya lagi. "Jam 11, kita sarapan dulu." Hari ini rencananya mereka akan kembali ke Surabaya karena esok hari mereka harus kembali bekerja. “Kalau gitu. Aku ke bawah duluan.” Tanpa menunggu jawaban dari Billy, Nindy bergegas keluar dari kamar itu. Namun, secepat kilat dihentikan oleh Billy sebelum Nindy sempat membuka pintu. "Kenapa kamu ngehindarin saya?" Sejak kejadian semalam, Nindy seperti menghindarinya, dia juga lebih banyak diam, bahkan Nindy tidak pernah mau menatap wajahnya dan matanya ketika mereka sedang berbicara. "Kamu sudah setuju memberikan saya kesempatan untuk meyakinkan kamu mengenai perasaan saya, tapi kenapa kau malah mau jauhin saya?" Inilah alasan kenapa selama ini Billy tidak mau terburu-buru mengungk
"Jangan nunduk terus, nanti kamu jatuh." Billy memperingatkan Nindy yang sejak tadi terus menunduk setelah keluar dari kamar mereka. Siang ini rencananya mereka akan check out dan kembali ke Surabaya lagi. "Aku malu." Ketika dia dan Billy akan keluar dari kamar, salah satu tamu hotel yang sempat melihat Billy mencium wajahnya di kolam renang, tiba-tiba saja muncul dari depan mereka dan menatap mereka penuh arti. "Pantes lengket banget, pengantin baru ternyata." Itulah kata-kata yang keluar dari mulut wanita paruh baya yang tidak sengaja berpapasan dengan Nindy dan Billy di lorong hotel. Pagi tadi, Billy berhasil mengerjainya, dia pikir Billy akan mencium bibirnya. Namun, ketika hidung keduanya akan bersentuhan, tiba-tiba saja Billy memalingkan wajah dan membisikkan sesuatu padanya, kemudian mengecup pipinya dengan singkat. Walapun Billy hanya mencium pipi Nindy. Namun, tindakannya itu berhasil membuat wanita-wanita di sekitar kolam itu menjadi iri dan kecewa sekaligus. "Angkat
“Pakai ini.” Billy menyerahkan kaos putih miliknya pada Nindy yang sedang duduk di tepi ranjang. Nindy sudah memutuskan untuk menginap di sana. Saat dirinya akan pulang tadi, Billy memaksa untuk mengantarnya pulang menaiki mobilnya. Karena takut terjadi apa-apa dengan Billy, apalagi pria itu terlihat sudah kelelahan, Nindy pun membatalkan niatnya untuk pulang. “Ganti aja di kamar mandi.” Nindy mengangguk pelan, lalu berjalan menuju kamar mandi untuk berganti pakaian. Lima menit kemudian, dia keluar dari kamat mandi dengan mengenakan kaos dan bawahan hotpants. Dia terpaksa mengenakan itu karena tidak mungkin memiliki celana lain, tidak mungkin juga dia memakai celana milik Billy. “Langsung tidur aja. Ini sudah mau pagi.” Billy akhirnya memecah keheningan di antara keduanya yang sejak tadi terlihat canggung. “Kamu mau ke mana?” Dia menatap heran pada Billy saat melihatnya berjalan menuju pintu setelah mengambil bantal. “Saya mau tidur di luar.” Rencana dia akan tidur di sofa ya
"Kamu kenapa?" Nindy menatap heran pada Billy yang sedang duduk di sofa single yang letaknya di dekat di dinding kaca kamar yang menghadap langsung ke jalan raya. Pria itu terlihat sedang menatap keluar dengan ekspresi biasa. Namun, ada yang aneh dengan pria itu. Meksipun Billy sudah mandi dan berpakaian rapi, tapi wajahnya tampak lesu, matanya sedikit memerah dan guratan kelelahan tergambar jelas pada raut wajahnya. "Aku nggak apa-apa. Mandilah, habis itu aku antar kamu pulang untuk berganti pakaian." Baru setelah itu mereka akan pergi ke kantor bersama-sama. "Iya." Setelah Nindy masuk ke kamar mandi, Billy yang semula masih duduk, akhirnya bangkit dan berjalan keluar dari kamar menuju pantry mini di dekat ruangan depan. Dia menyeduh kopi, lalu meminumnya di ruangan depan sembari menunggu Nindy selesai mandi. "Kita sarapan dulu sebelum pergi." Karena Billy malas untuk turun ke bawah, jadi tadi dia meminta untuk sarapan mereka di antar ke kamar. "Bill, kamu beneran nggak apa-a
Pukul 9 pagi, Nindy memasuki ruangan Billy setelah dipanggil bosnya itu. Sejak tiba di kantor, dia memang belum pergi ke ruangan Billy untuk mengantarkan berkas karena dia sedang mengerjakan laporan."Buatkan saya kopi," pinta Billy."Kamu bukannya udah minum kopi tadi pagi?"Bahkan pria itu sudah minum kopi sebelum sarapan pagi mereka datang."Iya, tapi saya masih ngantuk.""Kenapa nggak izin pulang aja? Nanti kalau ada dokumen penting, aku kirim lewat email."Raut wajah Billy tampak begitu lelah, Nindy jadi merasa iba sekaligus bersalah. Bagaimanapun, itu kesalahannya karena sudah membuat pria itu tidak tidur sampai pagi."Nanti siang aja, masih banyak dokumen yang harus saya periksa dan tanda tangani.""Kalau begitu, aku buatin kopi dulu."Nindy keluar setelah melihat Billy mengangguk. Lima menit kemudian dia kembali ke ruangan Billy lagi dengan secangkir kopi panas."Kopinya mau ditaruh di mana?" tanya Nindy."Taruh aja di meja." Billy mengedikkan dagunya ke meja sofa yang ada di
"Apa yang kalian lakukan?" Suara itu berasal dari orang yang sudah berdiri di pintu dengan mata membulat. Nindy segera mendorong dada Billy dan segera berdiri dan menegakkan punggungnya dengan gugup. "Pak Angga. Jangan salah—" "Kau tidak lihat kami sedang apa?" Billy ikut bangkit dari tidurnya dan duduk dengan wajah acuh tak acuh. Kemudian menarik tangan Nindy hingga mantannya itu terduduk di sebelahnya. Ketika Nindy akan menggeser tubuhnya untuk memberikan jarak, Billy justru meraih pinggang dan merangkulnya dengan santai. Nindy ingin memprotes tindakan pria itu, tapi Billy memberikan kode dengan tatapan, seolah memintanya untuk diam. "Billy, aku tahu kau pemilik perusahaan ini, tapi kau juga harus tahu tempat, ini kantor bukan tempat untuk bermesraan." "Kalau nggak ada yang penting, lebih baik kau pergi. Jangan menggangguku." Angga berdecak lidah. "Sial sekali, kenapa juga aku harus melihat kemesraan kalian," umpatnya dengan kesal. "Lihat saja, aku akan mengadukanmu p
"Menantu Anda tidak sakit, tapi dia sedang hamil," jawab Dokter wanita itu dengan senyuman tipis. "Hamil?" ulang Amara dengan wajah tercengang. "Maksud Dokter, ada calon cucu saya di perut menantu saya?" Meski dia sudah menduga kalau menantunya hamil, tapi Amara tetap terkejut ketika mendengar langsung berita baik itu dari mulut sang dokter. "Benar sekali." Nindy yang sejak tadi mendengar itu, tampak mengusap perutnya dengan lembut sambil tersenyum bahagia. Bagaimana tidak bahagia, dirinya bisa langsung hamil setelah pulang dari berbulan madu, sementara kakak iparnya belum hamil sampai sekarang. Padahal, dia sangat berharap bisa segera hamil setelah menikah. "Untuk memastikannya, silahkan langsung melakukan pemeriksaan USG dengan Dokter Obgyn." Setelah tiba di rumah sakit, Amara langsung membawa Nindy ke IGD. Sebenarnya, dia sudah curiga sejak awal kalau menantunya sedang hamil setelah putranya bercerita kalau sudah beberapa hari Nindy tidak napsu makan dan pagi tadi mengal
"Sayang, berhenti. Jangan main-main." Billy mencoba memperingatkan Nindy sejak tadi terus memainkan jemari lentiknya di dada bidangnya. Saat ini keduanya sedang berbaring di ranjang dengan posisi Billy bertelanjang dada menghadap ke langit-langit, sementara Nindy sedang berbaring miring menghadap Billy dengan mengenakan pakaian tidur tipis dan seksi "Aku cuma mau pegang, memangnya nggak boleh?" Billy memejamkan mata sambil menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan saat merasakan tangan Nindy semakin turun ke bawah. "Boleh, tapi jangan lama-lama. Nanti kamu menyesal." Nindy mengabaikan peringatan Billy dan semakin berani meraba tubuh sang suami. "Sayang, cukup." Nindy seketika menghentikan gerakan tangannya ketika tiba di otot perut Billy. "Kamu nggak suka aku pegang badan kamu?" Sebisa mungkin Billy berkata dengan pelan agar tidak menyinggung perasaan sang istri. "Nggak, Sayang. Aku suka, tapi ini untuk kebaikan kamu. Kamu sendiri yang rugi kalau terus memancin
"Sayang, kamu berdiri di sana, nanti aku foto," tunjuk Billy pada latar bangunan berwarna putih yang memiliki kubah warna biru. Saat ini keduanya sedang berada di Thira atau lebih dikenal dengan Santorini. Thira atau Santorini adalah pulau vulkanik yang berada di antara Pulau Ios dan Anafi, Yunani. Santorini terletak di Kepulauan Cyclades sekitar 200 km dari daratan Yunani. Di pulau ini, sangat terkenal dengan sejarah gunung meletus serta keindahan bangunan-bangunan putih dan gereja berkubah biru yang berada di pinggir tebing atau di bangun di atas lereng kaldera yang berada di kota Oia. "Aku nggak mau foto sendirian, maunya sama kamu." Ketika mendengar itu, Billy tidak tahan untuk menggodanya. "Sekarang, kayaknya kamu nggak bisa jauh-jauh dari aku, maunya nempel terus. Aku pergi ke mana, selalu aja mau ikut. Kamu begitu, apa karena takut suami kamu diambil orang?" "Jangan ngeledek terus. Cepetan, ke sini atau aku nanti aku foto sama orang lain." "Jangan coba-coba atau aku lempar
"Sayang, ayo kita berenang di bawah," ajak Nindy sambil menghampiri Billy yang sedang duduk bersantai di bawah payung pantai yang berada di pinggir kolam. "Kamu duluan aja, Sayang. Nanti aku nyusul." "Aku nggak mau berenang sendirian." "Aku istirahat sebentar, ya? Aku masih capek." Bagaimana tidak capek, kemarin dia habis menggempur Nindy hingga malam, lalu dia lanjutkan lagi menjelang pagi. Setelah itu, dia menemani Nindy bermain jet ski hingga pukul 9 pagi, kemudian bermain banana boat, parasailing hingga pukul 12 siang. Setelah makan siang, mereka berjalan-jalan di sekitar pulau sampai menjelang pukul 2 siang, kemudian pulang dan berendam bersama sambil menikmati pemandangan di luar. Jika dihitung-hitung, dia hanya beristirahat selama setengah jam. "Sebentar aja Sayang nanti habis berenang kamu bisa istirahat." Nindy meraih tangan Billy dan mencoba untuk menariknya, tapi sang suami tidak bergerak sedikit pun. "Nanti aku nyusul, Sayang. Aku liatin kamu dulu dari sini." "Ya, u
"Bagus banget pemandangannya." Mata Nindy tampak berbinar ketika melihat pemadangan bintang dari tempat tidurnya. Saat ini, dia dan Billy sedang berbaring di ranjang sambil menikmati pemandangan bintang di malam hari. Kebetulan sekali kamar mereka dilengkapi dengan atap kamar yang bisa dibuka tutup secara otomatis menggunakan tombol. "Rasanya aku pengen tinggal di sini terus." Billy yang sedang berbaring miring menghadap sang istri yang sedang tidur terlentang seketika tersenyum. "Nanti kita ke sini lagi kalau aku ada waktu." "Beneran?" tanya Nindy seketika memiringkan tubuhnya ke arah Billy. "Iya, Sayang." Nindy pun tersenyum. "Besok kita mau ke mana lagi?" Seharian ini, mereka sudah melakukan banyak hal. Snorkling, berjalan-jalan, bersepeda di sekitar resort, bermain air di pantai sampai sore hari, kemudian melakukan spa di resort tersebut. Malam harinya, mereka makan malam romantis di gedung utama resort. "Besok istirahat aja di kamar. Sorenya baru kita jalan-jalan
"Sayang, bangun. Ini sudah pagi."Billy sedang duduk di tepi ranjang kembali memberikan kecupan singkat di pipi sang istri yang masih terlelap sejak siang hingga 7 sore hari. Sejak tadi, dia sudah berusaha untuk membangun Nindy dengan memberikan kecupan-kecupan ringan di wajahnya, tapi sang istri tidak terpengaruh sedikit pun.Sore kemarin, mereka baru saja tiba di penginapan Soneva Jani yang terletak di pulau Medhufaru. Nindy yang kelelahan akibat perjalanan jauh langsung tertidur setelah makan malam bersama dengan Billy dan belum terbangun hingga kini. Padahal, dia bilang ingin berenang sambil melihat matahari terbit."Jam berapa ini?" tanya Nindy dengan suara serak.Akhirnya, dia membuka mata setelah dibangun selama kurang lebih 15 menit oleh Billy. Meski sudah terbangun, tapi matanya belum terbuka dengan sempurna."Jam 7 pagi, Sayang," jawab Billy lembut sambil merapihkan anak rambut sang istri yang menutupi sebagian matanya. "Kamu masih ngantuk?"Nindy menggeleng lemah. "Nggak. C
Baru saja Dimas memasuki lift untuk turun ke lantai bawah, tiba-tiba saja ada seorang wanita ambruk di depannya. Sebelum wanita itu sempat terjatuh di lantai, Dimas sudah lebih dulu menangkap tubuh wanita itu dan menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Selain Dimas dan wanita itu, ada seorang pria juga yang berada di dalam lift."Nona, ada apa denganmu?" tanya Dimas sambil menepuk wajah wanita yang sudah menyandarkan kepala di bahunya."Maaf, ini teman saya. Dia lagi sakit. Biar saya yang bawa dia."Pria yang berada satu lift dengan mereka akhir membuka suara setelah pintu lift tertutup.Saat pria itu akan menyentuh wanita itu, Dimas segera mencengkram tangannya dengan tatapan tajam. "Kau mau berbuat apa dengan wanita yang sedang pingsan?"Pria tinggi berkulit sawo matang yang mengaku sebagai teman wanita itu tampak tidak senang mendengar ucapan Dimas. "Dia temanku. Jadi, apa masalahmu?""Bagaimana aku bisa tahu kalau kau memang temannya? Bisa saja kau mengaku-ngaku. Aku tidak bisa membi
"Di mana Nindy?" tanya Angga setelah Billy duduk di kursi depannya.Siang ini Billy bertemu dengan Angga di restoran hotel tempatnya menginap. Di sana jugalah nanti dia akan bertemu dengan teman-temanya yang berasal dari Singapore."Lagi tidur."Angga seketika tersenyum mendengar itu. "Masih jam 10 pagi, tapi dia udah tidur?Sepertinya kau habis menggempurnya habis-habisan semalam sampai membuatnya kelelahan seperti itu."Bukannya marah diolok-olok oleh Angga, Billy justru menanggapi dengan santai, "Nggak ada yang salah dengan itu. Dia udah resmi menjadi istriku.""Tapi, setidaknya tahan dirimu sedikit. Dia pasti lelah setelah melewati resepsi pernikahan yang panjang. Seharusnya, biarkan dia beristirahat dulu sehari, setelah itu kau bisa melakukannya.""Aku nggak bisa menahannya.""Tapi, selama ini kau berhasil menahannya, bahkan sampai 6 tahun. Kau juga tidak pernah terpengaruh dengan Shela yang sudah berkali-kali menggodamu.""Tidak bisa jika Nindy orangnya," jawab Billy santai, "jan
"Sayang, kamu yakin mau sarapan bersama?" tanya Billy sambil menghampiri Nindy yang sedang mengeringkan rambut di depan cermin kamar mandi dengan menggunakan hairdryer."Iya, nggak enak kalau nggak ikut sarapan.""Memangnya kamu bisa jalan?" Billy melingkarkan tangan di perut istrinya sambil menatapnya dari pantulan cermin setelah Nindy mematikan pengering rambut yang ada di tangan kanannya."Bisa, tapi pelan-pelan." Setelah itu, Nindy membalik tubuhnya menghadap Billy."Kalau nggak bisa, jangan dipaksa, Sayang. Lebih baik sarapan di kamar aja. Mereka juga pasti maklum, kita, kan, pengantin baru.""Ini salah kamu. Katanya cuma sebentar, tapi ternyata keterusan."Billy terkekeh pelan melihat wajah cemberut istrinya. "Maaf, Sayang. Kamu tahu sendiri, aku udah menahannya sejak lama. Ini aja aku masih sedikit menahan diri karena kasihan sama kamu.""Menahan diri apanya, kamu jangan bercanda. Badan aku sakit semua karena ulah kamu."Billy kembali terkekeh pelan. Setelah tawanya mereda, dia