"Kenapa?" tanya Nindy sambil menoleh pada Billy yang sedang terduduk dengan sorot mata sendu. "Tolong ambilkan air hangat. Tenggorokan saya gatal." Nindy mengangguk. "Tunggu sebentar." Setelah Nindy dari kamarnya, Billy berbaring usai menyalakan pendingin ruangan. Tidak sampai 3 menit, Nindy kembali masuk. Dia melihat tubuh Billy sudah di balut selimut tebal. "Ini minumnya" Billy membuka matanya kembali setelah sebelumnya sempat memejamkan mata. "Tolong ambilkan obat saya di laci." Nindy segera membuka laci nakas paling atas, lalu mengeluarkan plastik obat dari dalam sana dan memberikan pada Billy. "Kamu udah berobat?" Billy mengangguk, kemudian meminum obat tersebut, setelah itu meletakkan gelas itu di atas nakas yang berada di samping kiri tempat tidurnya. "Kamu keringetan. Kenapa pake selimut tebal?" tanya Nindy ketika Billy kembali membalut tubuhnya dengan selimut usai berbaring di tempat tidur. "Dingin." Nindy mengernyit. Kalau dia kedinginan, kenapa berkeringat? "Kal
"Kenapa tiba-tiba menghilang setelah mutusin aku?" tanya Billy lagi ketika melihat Nindy terdiam dengan kepala tertunduk.“Aku cuma mau cari suasana baru aja,” jawab Nindy dengan datar.“Kalau begitu, beritahu aku kenapa kamu memutuskan aku waktu itu?”Nindy seketika memalingkan wajah ke samping usai mendapatkan pertanyaan tersebut. Matanya tampak mulai mengembun saat memikirkan alasan perpisahan mereka. Pertanyaan itulah yang paling sebenarnya paling dia hindari.“Jawab aku, Nin!” desak Billy melihat Nindy hanya diam dan tampak tidak berniat untuk menjawab pertanyaannya.Sebelum membuka suara, Nindy menarik panjang dan menghembuskannya dengan cepat. “Bill, bisakah kamu menyelesaikan pekerjaanmu lebih dulu baru kita bicara?”Dia yakin, jika saat ini tidak meminta Billy untuk menyelesaikan pekerjaannya lebih dulu, pria itu pasti tidak akan melepaskannya sebelum dia menjawab pertanyaannya.“Oke, tapi ingat, setelah itu, kamu harus jawab semua pertanyaanku.”Billy mengabaikan kebisuan Ni
Kedua alis Billy saling tertautan dengan rahang yang mengetat. "Aku gak pernah jadiin kamu mainan, Nin. Taruhan itu memang benar, tapi aku melakukan itu karena ...""Kamu gak perlu dijelaskan lagi. Aku udah tahu semuanya. Kamu gak perlu bersusah payah negejelisin sama aku. Kamu tenang aja, aku gak akan nyalahin kamu, karena itu memang kesalahan aku. Aku yang bodoh bisa percaya sama kamu. Aku kira kamu mencintai aku dengan tulus, tapi ternyata ..." Bukannya meneruskan ucapannya, Nindy justru memperlihatkan ekspresi menertawakan diri."Kata siapa aku gak mencintai kamu?" tanya Billy dengan suara penuh penekanan."Kalau kamu memang mencintai aku, kamu gak mungkin menjadikanku taruhan dan juga kamu gak mungkin dekat dengan wanita lain. Terlebih lagi, mengaku sudah putus sama aku. Padahal, saat itu kita masih menjalin hubungan.""Aku gak pernah dekat dengan wanita mana pun waktu kita masih pacaran," kata Billy dengan tegas. "Dan, aku gak pernah bilang sama siapa pun kalau kita sudah putus
"Apa bedanya kamu sama Adi? Pada akhirnya, kamu juga tidurin aku dan menjadikan aku tempat pelampiasan napsu kamu."Rahang Billy mengeras usai mendengar tuduhan Nindy. Matanya tampak berkilat, walaupun hanya sesaat. "Kalau aku memang jadiin kamu sebagai pelampiasan napsu aku, aku gak mungkin cuma nyentuh kamu satu kali. Aku pasti akan melakukannya berkali-kali seperti yang dilakukan teman-teman aku sama pacar mereka. Tapi, kamu lihat sendiri, aku gak pernah nyentuh kamu selain malam itu."Setelah malam itu, Billy memang tidak pernah menyentuh Nindy lagi. Bukannya tidak ingin, tapi berusaha keras untuk menahan diri agar tidak menyentuh Nindy lagi."Perlu kamu tahu, aku mati-matian menahan diri untuk gak menyentuh kamu lagi karena aku gak mau mengulang kesalahan yang sama. Satu hal yang paling aku sesali dalam hidup aku selama ini adalah menyentuh kamu sebelum waktunya. Aku merasa menjadi laki-laki paling brengksek karena sudah merusak kamu, Nin."Entah apa yang merasukinya malam itu, h
"Selamat malam Om, Tante," sapa Billy sopan setelah berada di hadapan keduan orang tua Nindy."Malam," jawab orang tua Nindy serempak."Ini siapa, Nin?" tanya Ayah Nindy sambil menatap putrinya.Sebelum Nindy sempat menjawab pertanyaan ayahnya, Billy sudah lebih dulu mengulurkan tangan sambil merendahkan sedikit tubuhnya ke depan. "Perkenalkan nama saya Billy, Om.""Saya Papanya Nindy." Setelah itu ayah Nindy memperkenalkan istrinya juga pada Billy."Kamu pacar Nindy?""Iy—"Nindy segera memotong ucapan Billy sebelum mantannya itu menyelesaikan ucapannya. "Bukan, Pa," sanggah Nindy. "Pak Billy ini bos Nindy di kantor," ralatnya. "Benar, kan, Pak?"Nindy memberikan kode lewat gerakan matanya agar Billy mengiyakan ucapannya. Jangan sampai Billy mengatakan kalau dirinya adalah mantan kekasih pria itu. Biasa ketahuan rahasianya selama ini jika dia pernah perpacaran dengan Billy ketika masih kuliah.Meskipun kejadian itu sudah lama berlalu, tapi bisa Nindy pastikan kalau dirinya akan dimar
"Bill, ada orang yang mau ke sini. Gimana ini?" Sebelum pintu berhasil di buka, Billy sudah lebih dulu menarik tangan Nindy dan bersembunyi dibalik lemari penyimpanan. Ssstttt! Billy memberikan isyarat pada Nindy untuk tidak bersuara ketika gagang pintu bergerak turun. Nindy tampak terdiam dengan pikiran kosong ketika Billy menyudutkannya ke dinding lemari dan tiba-tiba mengurungnya dengan sedikit jarak di antara keduanya. Sepertinya, Billy tidak sadar dengan hal itu karena sejak tadi dia sedang menajamkan pendengarannya supaya bisa mendengar pembicaraan dua orang wanita yang baru saja masuk ke ruangan itu. Dari yang Billy dengar, mereka seperti sedang mencari beberapa barang di ruangan itu atas perintah Pak Edwin. "Vit, bindernya di mana?" tanya Nuri pada wanita yang bernama Vita. "Aku lupa. Kayaknya di sana?" tunjuk Vita ke arah lemari penyimpanan, tempat Nindy dan Billy sedang bersembunyi. "Coba kamu cari sana, aku cari di sini." "Oke." Ketika mendengar suara langkah kaki m
"Masuk," titah Billy usai membuka pintu kamar hotelnya.Nindy yang sejak tadi mengekori Billy, menatap pria itu dengan heran sejenak, kemudian masuk ke dalam kamar hotel Billy dengan langkah pelan."Tunggu di sini."Billy beranjak ke kamarnya dan kembali keluar tidak lama setelahnya dengan membawa sesuatu di tangan. Dia duduk tepat di sebelah Nindy, kemudian berkata, "Kemarikan tangan kamu."Nindy mengernyit. Namun, tetap mengulurkan tangan pada Billy. "Tangan kanan kamu," kata Billy ketika Nindy menjulurkan tangan sebelah kiri.Nindy pun kembali mengulurkan tangannya, tapi kini yang sebelah kanan. Tanpa banyak bicara, Billy segera membuka kotak obat, kemudian mengeluarkan sesuatu dari sana. "Tutup mata kamu."Setelah Nindy menutup matanya, Billy menyemprotkan spray pereda sakit dan nyeri ke pergelangan tangan Nindy yang tampak membiru dengan beberapa kali semprot."Sudah."Nindy kembali membuka mata. Tangannya yang semula terasa sedikit nyeri, kini tergantikan dengan rasa dingin."La
“Kenapa ke sini?” tanya Billy setelah mengurai pelukan wanita itu. “Aku sengaja ke sini untuk habiskan waktu sama kamu,” jawab wanita itu sambil tersenyum manis. “Kamu kangen aku gak?” tanyannya dengan manja sambil bergelayut manja di lengan Billy. “Shel, ini kantor. Jaga sikap kamu. Bagaimana kalau ada yang mel …” Ucapan Billy terhenti ketika menyadari kalau ada Nindy yang sedang berdiri tidak jauh dari sana. Dia lupa kalau sejak tadi Nindy mengikutinya dari belakang. “Maaf, mengganggu, Pak. Saya mau ambil laptop di dalam." Billy hanya diam mematung di tempat, tidak membalas ucapan Nindy dan hanya membiarkan Nindy masuk ke ruangannya dan mengambil laptopnya. Setelah kepergian Nindy, wanita bernama Shela itu terus menatap punggung wanita yang pernah menjadi mantan kekasih Billy. “Itu bukannya Nindy? Dia mantan kamu, kan?” tanya Shela. Setelah Nindy menghilang dari pandangannya, Shela menoleh pada Billy. “Kenapa kamu gak bilang sama aku kalau dia kerja di kantor kamu?” Tanpa menj