Dari pagi hingga siang hari, Nindy bekerja tanpa gangguan dari siapa pun. Tidak biasanya Billy tidak memanggilnya hingga menjelang makan siang. Pagi tadi, Billy hanya melewatinya tanpa menjawab sapaannya ketika mereka berpasasan. Nindy juga tidak mengerti, kenapa pria itu bersikap sangat dingin padanya. Apa mungkin karena dia tidak menjawab pertanyaan yang diajukan pria itu semalam? Itu sebabnya, dia mengabikannya pagi tadi?Pukul 11 siang, Nindy akhirnya pergi ke ruangan Billy. Namun, pria itu tidak ada di sana. Dia akhirnya pergi ke ruangan meeting untuk mencari pria itu, dan pria itu memang sedang berada di sana, mengobrol serius dengan Angga sembari menatap pada laptop yang ada di depannya."Ada apa, Nin?" Angga langsung bertanya ketika melihat Nindy membuka pintu."Saya mencari Pak Billy, Pak." Nindy menatap Billy setelah menjawab itu, sementara orang yang dimaksud hanya menampilkan wajah acuh tak acuh dengan sorot mata yang masih tertuju pada laptop, seolah bukan dia yang seda
Denis yang sedang duduk di samping Nindy seketika menoleh pada Nindy. "Kamu mau aku bawa ke sana terus ketemu sama mama?""Lah, kenapa aku yang mau dibawa? Ya, bawa pacar kamulah .""Gak ada pacar.""Masa ganteng-ganteng jomblo. Dari sekian banyak cewek masa gak ada yang kamu suka, sih?""Ada, tapi dianya gak suka sama aku.""Cewek buta mana sih yang gak mau sama kamu," sahut Dewi."Nindy, buktinya dia gak mau sama aku."Nindy yang disebut namanya, mendadak menghentikan gerakannya ketika akan meraih minumannya. "Kenapa dari tadi jadi aku yang dibawa-bawa terus?""Duuuh, Nin. Peka dikit dong. Denis lagi kasih kode keras sama kamu. Masa gitu aja gak tahu," ucap Dewi seraya memutar bola matanya.Nindy bukannya tidak tahu kalau Denis menyukainya. Dia tahu, tapi sengaja berpura-pura tidak tahu. Dia hanya tidak mau memberikan harapan paslu pada Denis. Luka di hatinya belum sembuh. Jadi, dia belum bisa menerima orang lain. Lagi pula, dia merasa tidak pantas untuk pria sebaik Denis, terlebih
“Nin, mau sarapan bareng?” ajak Denis ketika Nindy baru saja memasuki ruangan. Di ruangan itu hanya mereka berdua karena semua orang belum ada yang datang.“Boleh.” Setelah meletakkan tasnya di atas meja, Nindy menuju kantin bersama dengan Denis.Setelah tiba dikantin, mereka berdua langsung memesan makanan dan mencari tempat duduk yang berada di pojok. Baru saja duduk di kursi, seseorang menghampiri mereka berdua, orang itu adalah Dewi. Mereka bertiga pun sarapan bersama.Selesai sarapan, mereka berniat kembali ke ruangan, tapi tidak sengaja berpapasan dengan Angga, Pak Edwin serta Billy di tangga. Nindy, Denis, dan Dewi serempak menyapa mereka bertiga. Hanya Angga dan Pak Edwin yang menjawab, sementara Billy hanya menganggukkan kepala, lalu melangkah pergi.“Duuh, pak bos makin hari makin ganteng aja,” puji Dewi dengan tatapan memuja sambil terus mengikuti ke mana Billy melangkah."Kejar, Wi. Jangan sampai lepas," sahut Denis sambil terkekeh ringan."Pengennya gitu, tapi apalah daya,
“Tolong temani Pak Billy untuk mencari rumah sewa. Minggu ini saya ada acara keluarga di luar kota, jadi gak bisa nemanin Pak Billy,” jawab Pak Edwin. “Lokasi hotel Pak Billy saat ini jauh dari kantor. Jadi, untuk menghemat waktu, Pak Billy berencana untuk mencari rumah sewa yang lokasinya tidak jauh dari kantor kita. Kamu bisa, kan, nemenin Pak Billy?” Tiba-tiba saja Nindy merasa menyesal karena sudah menyanggupi permintaan Pak Edwin tadi. Jika dia tahu Pak Edwin memintanya untuk menemani Billy, dia pasti sudah menolak dari awal dengan berbagai alasan. Kalau sekarang dia menolak permintaan itu, tentu saja itu akan menimbulkan kecurigaan pada Pak Edwin dan Dewi. Dia tidak mau kalau orang kantor tahu kalau sebenarnya dia mengenal Billy, bahkan pernah sempat menjalin hubungan dengannya. “Saya aja Pak yang nemenin Pak Billy mencari rumah sewa. Saya juga tahu kok rumah sewa yang ada di dekat kantor,” tawar Dewi tanpa ada rasa sungkan sama sekali. Ini kesempatannya untuk bisa de
"Kamu menguping pembicaraan saya?" tebak Billy dengan mata memicing."Gak, Pak. Saya baru aja mau ngetuk pintu waktu Bapak keluar."Billy menyoroti wajah Nindy dengan mata hitamnya selama beberapa sesaat, setelah itu berkata, "Kenapa lama sekali, apa kamu tidak tahu kalau saya sudah menunggu kamu sejak tadi?""Maaf, Pak. Tadi saya sedang ke toilet."Billy memasang wajah datar, kemudian kembali ke meja kerja setelah meminta Nindy untuk masuk ke ruangannya. Keduanya duduk di sofa yang bersebelahan. Billy langsung menjelaskan sesuatu pada Nindy seraya menunjuk ke arah laptopnya. Namun, ternyata Nindy tidak mendengarkannya. Dia justru terlihat sedang melamun."Nindy, apa kamu dengar apa yang saya bicarakan dengan kamu sejak tadi?"Nindy yang sejak tadi sibuk dengan pikirannya sendiri seketika sadar ketika mendengar suara dingin bernada kesal dari pria yang sedang di sampingnya."Maaf, Pak. Tadi Bapak bilang apa?"Billy membuang napasnya dengan kasar, lalu menegakkan punggung dan sedikit m
"Nin, kamu lembur juga?"Angga yang baru saja memasuki ruang kerja Billy tampak terkejut ketika melihat keberadaan Nindy di sana."Iya, Pak.""Kamu mau aja dikerjain Billy. Jangan mau nemenin dia lembur," kata Angga seraya melemparkan senyuman penuh arti pada Billy."Jangan mengganggunya," ujar Billy dengan suara berat disertai tatapan tajam."Nin, Billy boongin kamu. Pekerjaan cuma alasan dia aja. Dia tuh sebenarnya mau berduaan sama kamu.""Keluar!"Angga langsung menghindar ketika Billy melemparkan bolpoin padanya."Nin, kalau dia macam-macam sama kamu, teriak aja. Nanti saya langsung datang."Ketika melihat Billy akan melemparkan buku ke arahnya, Angga bergegas keluar dari ruangan itu setelah terkekeh."Jangan dengarin dia. Angga selalu bicara omong kosong."Nindy hanya mengangguk dan meneruskan pekerjaannya. Sudah 3 jam mereka berada di kantor semenjak jam kerja selesai."Pekerjaan kamu belum selesai?" tanya Billy setengah jam kemudian."Belum, Pak."Billy berdiri, melepas jasnya
"Kamu takut sama saya?" Nindy membeku ketika wajah Billy semakin dekat. Saat dia akan membuka suara, tiba-tiba terdengar suara petir yang saling menyambar membuat keduanya terkejut. Disaat bersamaan, listrik tiba-tiba padam. Spontan saja Nindy memeluk tubuh Billy dengan kuat karena merasa takut. "Nin, lepaskan." Suara Billy terdengar serak. "Bill, jangan tinggalin aku. Aku takut." Billy menunduk, meskipun tidak bisa melihat wajah Nindy saat ini. Namun, dia bisa merasakan kalau wanita yang sedang memeluknya itu sangat ketakutan. Dia bisa merasakan tubuh Nindy gemetar dan jantungnya berdebar kencang saat ini. "Saya gak akan ninggalin kamu. Saya cuma mau ngambil ponsel saya buat nerangin kamar ini." Nindy menggeleng saat Billy ingin melepaskan diri. "Gak. Kamu pasti boong. Kamu pasti mau ninggalin aku." Duuuaaaaarrr!!! Nindy semakin memperat pelukannya setelah mendengar suara petir yang menggelegar. Firasatnya memang sudah tidak enak ketika melihat hujan turun dengan lebat
Billy terdiam sesaat, memasang wajah datar, kemudian berkata, "Kalau hujanya gak reda juga, terpaksa kamu tidur di sini. Terlalu bahaya kalau berkendara disaat hujan deras seperti ini. Saya akan anter kamu pulang besok pagi. Kamu bisa tidur di kamar saya dan saya akan tidur di sini."Mata Nindy membeliak seketika. "Saya harus pulang, Pak. Kalau Bapak tidak bisa mengantar saya, nanti saya bisa naik taksi."Tidak pantas rasanya jika menginap di sana karena keduanya tidak memiliki ikatan apa pun. Apalagi, Billy sudah memiliki kekasih, takut Shela akan salah paham padanya jika sampai dia tahu kalau dirinya menginap di sana."Saya hanya bercanda." Billy menyesap teh hangatnya dengan datar, lalu menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Nanti akan saya antar kamu pulang, tapi tunggu sedikit reda."Nindy menoleh ke arah jendela untuk melihat kondisi hujan di luar. Ternyata hujan masih sangat deras. Dia pun menghela napas, setelah itu kembali menatap Billy. "Iya, Pak, tapi saya minta izin ke toilet seb