Melihat Denis menjeda ucapannya, Nindy jadi tidak sabar untuk mendengar kelanjutannya. "Sedang apa?"Denis terdiam sesaat, kemudian menjawab pertanyaan Nindy dengan senyuman yang dibuat-buat, "Aku pernah liat dia mandangi kamu terus waktu di parkiran."Padahal, bukan itu yang ingin Denis beritahukan pada Nindy. Dia tidak ingin memberitahu yang sebenarnya pada Nindy karena ingin memastikan lebih dulu dugaannya apakah benar atau tidak."Aku kira apaan." Nindy menggeser piring miliknya, lalu meminum es jeruknya."Kenapa muka kamu kayak lesu gitu, capek?" tanya Denis ketika melihat Nindy ceria seperti biasanya. Bahkan, dia terlihat tidak bersemangat sejak tadi. "Atau kamu masih sakit?""Gak. Cuma lagi males ngapa-ngapain."Padahal, pikirannya terganggu sejak dia mendengar nama Shela disebut oleh Angga. Nama itu berhasil mengusik ketenangannya. Tidak bisa dipungkiri olehnya kalau dia masih merasakan kekecewaan jika mengingat masa lalu."Kemarin, aku lihat Pak Billy panik waktu liat kamu pi
"Nindy pulang sama saya, Pak." Suara itu adalah suara Billy. "Kami sudah janjian pulang bersama." Nindy membulatkan matanya, lalu melayangkan tatapan tajam pada Billy. Bisa-bisanya pria itu berbohong pada Pak Edwin. Padahal, tidak ada obrolan apa pun di antara mereka sebelum dirinya keluar dari ruangan Billy tadi. "Maaf, Pak Billy. Saya gak tahu. Kalau begitu saya duluan, Pak.." Billy hanya mengangguk sambil berjalan mendekati Nindy. "Nin, saya duluan, ya?" pamit Pak Edwin pada Nindy. "Iya, Pak." Setelah mobil Pak Edwin pergi, Nindy langsung menoleh pada Billy dan memberikan tataoab menusuk pada pria itu. "Kenapa kamu bilang gitu sama Pak Edwin? Gimana kalau dia mikir yang gak-gak sama kita?" Billy tersenyum miring melihat wajah kesal Nindy. "Saya memang mau antar kamu pulang," jawab Billy enteng. "Ada yang mau saya diskusikan sama kamu." "Tapi, saya gak—" "Cepat ikut saya. Saya buru-buru." Kalau saja Billy tidak memiliki pengaruh besar di kantornya, sudah pasti Nindy akan to
“Bukannya itu mantan kamu?” Dimas langsung bertanya pada Nindy setelah keduanya duduk di ruangan tamu. "Kenapa dia di sini? Kalian balikan lagi?""Gak," jawab Nindy cepat. "Tahu dari mana kalau dia mantan aku?” Nindy mendaratkan punggungnya di sandaran sofa dengan wajah lelah.Dimas adalah sepupu Nindy. Dia anak dari kakak Ibu Nindy. Billy tidak tahu kalau Dimas adalah sepupu Nindy. Waktu mereka menjalin hubungan dulu, Nindy memang belum pernah mengenalkan Dimas pada Billy, karena dia tinggal di Bandung. Jadi, keduanya tidak pernah bertemu dan Billy tidak mengetahui hubungan keduanya.“Aku pernah melihat galeri foto kamu, ada fotonya di sana,” ungkap Dimas.Hanya ada satu pria yang ada di galeri foto ponsel Nindy saat dia tidak sengaja membuka galeri di ponselnya. Saat itu, Dimas ingin mengirim foto mereka berdua ketika wisuda dan dia tidak sengaja melihat foto Billy di wallpaper ponsel Nindy dan saat membuka galeri foto, banyak foto Nin
"Bill, harus ada bukti kalau kamu memang udah tidur sama dia. Siapa yang bisa dapetin Nindy dan tidur sama dia, orang itu yang bakal jadi pemenangnya.""Bener, Bill. Kamu harus sportif. Tunjukkin buktinya. Setelah itu, kita semua gak bakal ngincar Nindy lagi."Setelah terdiam selama beberapa saat, Billy akhirnya mengambil ponsel, lalu menunjukkan foto kepada teman-temannya. "Ini buktinya." Semua serentak menatap layar ponsel dengan antusias. "Itu foto setelah kami melakukannya."Di dalam foto tersebut terlihat Billy bertelanjang dada dan ada Nindy di belakangnya sedang berbaring memunggunginya dengan tubuh berbalut selimut dan hanya menampakkan sedikit bahu putihnya.Wajahnya tidak terlihat jelas karena dia menghadap belakang. Namun, jika diperhatikan dengan jelas, memang sedikit mirip dengan Nindy, terutama rambut panjangnya."Kamu memang hebat Bill bisa dapetin Nindy. Padahal, selama ini banyak yang deketin dia, tapi gak ada yang berhasil dapetin dia. Aku aja ditolak dua kali sam
Dari pagi hingga siang hari, Nindy bekerja tanpa gangguan dari siapa pun. Tidak biasanya Billy tidak memanggilnya hingga menjelang makan siang. Pagi tadi, Billy hanya melewatinya tanpa menjawab sapaannya ketika mereka berpasasan. Nindy juga tidak mengerti, kenapa pria itu bersikap sangat dingin padanya. Apa mungkin karena dia tidak menjawab pertanyaan yang diajukan pria itu semalam? Itu sebabnya, dia mengabikannya pagi tadi?Pukul 11 siang, Nindy akhirnya pergi ke ruangan Billy. Namun, pria itu tidak ada di sana. Dia akhirnya pergi ke ruangan meeting untuk mencari pria itu, dan pria itu memang sedang berada di sana, mengobrol serius dengan Angga sembari menatap pada laptop yang ada di depannya."Ada apa, Nin?" Angga langsung bertanya ketika melihat Nindy membuka pintu."Saya mencari Pak Billy, Pak." Nindy menatap Billy setelah menjawab itu, sementara orang yang dimaksud hanya menampilkan wajah acuh tak acuh dengan sorot mata yang masih tertuju pada laptop, seolah bukan dia yang seda
Denis yang sedang duduk di samping Nindy seketika menoleh pada Nindy. "Kamu mau aku bawa ke sana terus ketemu sama mama?""Lah, kenapa aku yang mau dibawa? Ya, bawa pacar kamulah .""Gak ada pacar.""Masa ganteng-ganteng jomblo. Dari sekian banyak cewek masa gak ada yang kamu suka, sih?""Ada, tapi dianya gak suka sama aku.""Cewek buta mana sih yang gak mau sama kamu," sahut Dewi."Nindy, buktinya dia gak mau sama aku."Nindy yang disebut namanya, mendadak menghentikan gerakannya ketika akan meraih minumannya. "Kenapa dari tadi jadi aku yang dibawa-bawa terus?""Duuuh, Nin. Peka dikit dong. Denis lagi kasih kode keras sama kamu. Masa gitu aja gak tahu," ucap Dewi seraya memutar bola matanya.Nindy bukannya tidak tahu kalau Denis menyukainya. Dia tahu, tapi sengaja berpura-pura tidak tahu. Dia hanya tidak mau memberikan harapan paslu pada Denis. Luka di hatinya belum sembuh. Jadi, dia belum bisa menerima orang lain. Lagi pula, dia merasa tidak pantas untuk pria sebaik Denis, terlebih
“Nin, mau sarapan bareng?” ajak Denis ketika Nindy baru saja memasuki ruangan. Di ruangan itu hanya mereka berdua karena semua orang belum ada yang datang.“Boleh.” Setelah meletakkan tasnya di atas meja, Nindy menuju kantin bersama dengan Denis.Setelah tiba dikantin, mereka berdua langsung memesan makanan dan mencari tempat duduk yang berada di pojok. Baru saja duduk di kursi, seseorang menghampiri mereka berdua, orang itu adalah Dewi. Mereka bertiga pun sarapan bersama.Selesai sarapan, mereka berniat kembali ke ruangan, tapi tidak sengaja berpapasan dengan Angga, Pak Edwin serta Billy di tangga. Nindy, Denis, dan Dewi serempak menyapa mereka bertiga. Hanya Angga dan Pak Edwin yang menjawab, sementara Billy hanya menganggukkan kepala, lalu melangkah pergi.“Duuh, pak bos makin hari makin ganteng aja,” puji Dewi dengan tatapan memuja sambil terus mengikuti ke mana Billy melangkah."Kejar, Wi. Jangan sampai lepas," sahut Denis sambil terkekeh ringan."Pengennya gitu, tapi apalah daya,
“Tolong temani Pak Billy untuk mencari rumah sewa. Minggu ini saya ada acara keluarga di luar kota, jadi gak bisa nemanin Pak Billy,” jawab Pak Edwin. “Lokasi hotel Pak Billy saat ini jauh dari kantor. Jadi, untuk menghemat waktu, Pak Billy berencana untuk mencari rumah sewa yang lokasinya tidak jauh dari kantor kita. Kamu bisa, kan, nemenin Pak Billy?” Tiba-tiba saja Nindy merasa menyesal karena sudah menyanggupi permintaan Pak Edwin tadi. Jika dia tahu Pak Edwin memintanya untuk menemani Billy, dia pasti sudah menolak dari awal dengan berbagai alasan. Kalau sekarang dia menolak permintaan itu, tentu saja itu akan menimbulkan kecurigaan pada Pak Edwin dan Dewi. Dia tidak mau kalau orang kantor tahu kalau sebenarnya dia mengenal Billy, bahkan pernah sempat menjalin hubungan dengannya. “Saya aja Pak yang nemenin Pak Billy mencari rumah sewa. Saya juga tahu kok rumah sewa yang ada di dekat kantor,” tawar Dewi tanpa ada rasa sungkan sama sekali. Ini kesempatannya untuk bisa de