Merasa yang dilihatnya tidak nyata, Nindy kembali memejamkan matanya. Ketika merasakan sentuhan lembut di pipinya, tanpa sadar dia meraih tangan itu tanpa membuka mata, kemudian mendekapnya. “Walaupun ini cuma mimpi, tapi aku mau mimpi ini nggak cepat berakhir.” Kembali dia berguman dalam hati dengan mata terpejam. “Sayang, bangun dulu. Kamu harus makan dulu." Saat mendengar suara itu menggema di telinganya, Nindy mengerutkan kening. Namun, matanya masih tertutup. “Kalau kamu nggak buka mata, aku lebih baik pulang.” Seketika itu juga Nindy membuka mata. “Kenapa kelihatan nyata banget,” monolog Nindy seraya bangun dari tidurnya. “Kayak bukan mimpi, dia mirip banget sama Billy yang asli,” lanjutnya dengan tatapan bingung. “Ini memang aku, Sayang.” Begitu mendengar itu, Nindy mengerjap beberapa kali. Dia terlihat linglung sesaat, sebelum akhirnya mengangkat tangan dan perlahan menyentuh wajah pria itu. ”Kamu masih nggak percaya kalau ini aku?” ujar pria itu setelah tersenyum manis
“Aku udah selesai makan.” Nindy meletakkan piring di atas nakas, kemudian menatap Billy dengan serius. “Sekarang kasih tahu aku semuanya, ceritain dari awal.” Billy terdiam sebentar, kemudian berkata, “Minum obat kamu dulu.” Nindy memutar tubuhnya ke kiri, meraih obat yang ada di atas nakas, kemudian meminumnya dengan cepat. “Udah.” “Kemarin aku pergi ke kantor papa kamu setelah minta Angga untuk mencari di mana keberadaan kantor papamu. Di sana aku ...” Di sana, Billy langsung mengutarakan maksud kedatangannya setelah dipersilahkan duduk oleh Ayah Nindy. Billy mengatakan kalau dirinya ingin mengetahui apa alasan orang tua Nindy tidak merestui hubungannya dengan Nindy dan justru menjodohkan Nindy dengan orang lain. Ayah Nindy pun memberitahu kalau sebelum istrinya masuk rumah sakit, ada seseorang yang menghubunginya dan mengajaknya bertemu. Awalnya, Ibu Nindy tidak ingin meladeninya karena dia tidak mengenal orang yang mengirimkan pesan. Namun, setelah Shela memperkenalkan diri s
“Kenapa nggak bilang kalau Denis yang mau dijodohin sama kamu?" “Aku cuma takut kamu cari Denis.” “Tentu aja aku bakal cari dia, beraninya dia mau ambil kamu dari aku.” Nindy menghela napas. Dia sudah menduga hal itu sebelumnya. Itu sebabnya, dia tidak memberitahu Billy. Dia sangat tahu bagaimana watak pria itu, tidak mungkin Billy diam saja ketika tahu kalau dirinya akan dijodohkan dengan Denis. “Jadi, Mama beneran udah merestui hubungan kita?” Rasanya, dia belum percaya kalau akhirnya ibunya mau menerima Billy, mengingat bagaimana ibunya menentang hubungan mereka sebelumnya. “Iya, Sayang. Kalau nggak percaya, kita ke bawah sekarang dan langsung tanya sama mama kamu.” Nindy terdiam sesat dengan pandangan ke bawah, kemudian kembali menatap Billy, “Terus soal perjodohanku sama Denis, gimana?” “Kenapa? Kamu nggak rela kalau perjodohan itu dibatalin?” Tidak ingin Billy salah paham padanya, Nindy buru-buru menjelaskan dengan lembut, “Bukan gitu. Soalnya, Mama bilang hari ini mau n
"Bagaimana rasanya dijemput polisi, Bill?" Adi yang sedang duduk tampak menyeringai ketika melihat Billy memasuki kantor polisi bersama dengan dua orang anggota polisi. "Aku masih bisa berubah pikiran dan berdamai denganmu jika kau mau berlutut di depanku dan mengakui kesalahanmu di depan semua orang." Ketika mendengar itu, Billy justru tersenyum dengan wajah arogan. "Jangan mimpi." "Kalau begitu, nikmati saja tempat tinggal barumu. Aku akan membuatmu mendekam sangat lama di dalam sana." "Kita lihat saja nanti." Setelah itu, Billy berlalu dari sana bersama dengan dua orang polisi di belakangnya. "Masuk." Billy melangkah masuk ke dalam sebuah ruangan yang pintunya sudah dibuka lebar. Dia berada di dalam sana kurang lebih 1 jam lamanya sebelum pengacara keluarganya datang. "Biarkan dia pergi." Seorang pria paruh baya berseragam polisi, masuk ke ruangan itu dan berbicara pada bawahannya yang sedang menginterogasi Billy. "Saya belum selesai—" "Apa kau tidak dengar a
"Sayang, kamu udah dateng?"Ibu Billy tersenyum sangat lebar ketika melihat Nindy memasuki ruangan keluarga."Iya, Ma. Billy di mana, Ma?"Nindy menghampiri Amara yang sedang berbicara dengan seseorang beberapa wanita di ruangan itu. "Ada di atas. Naik aja, Sayang. Kamarnya di sebelah kiri tangga, pintu kedua warna putih.""Nindy tunggu di sini aja, Ma."Meksipun mereka sudah berencana menikah dan Ibu Billy mengizinkannya untuk ke pergi ke kamar putranya, canggung rasanya kalau dia menghampiri Billy ke kamar pribadinya. Jadi, dia lebih baik menunggu di bawah. Toh, dia sudah mengirimkan pesan pada Billy tadi sebelum berangkat ke rumahnya.Siang ini rencananya dia dan Billy akan pergi mencari cincin pertunangan dan pernikahan serta memilih gaun pengantin. Beruntung hari ini bertepatan dengan hari libur kerja, jadi mereka memiliki banyak waktu untuk melakukan semua itu."Nin, sini, Sayang. Coba kamu pilih, konsep pernikahan seperti apa yang kamu mau?"Ternyata sebelum datang dirinya data
Pukul 10 pagi mereka tiba mall terbesar yang ada di Jakarta. Mereka langsung menuju ke toko perhiasan yang memiliki brand terkenal."Sayang, kamu mau yang mana?"Nindy yang sedang memandangi deretan cincin yang ada si etalase tampak menampilkan wajah bingung. Sudah setengah jam mereka berada di toko perhiasan itu dan Nindy belum juga menjatuhkan pilihannya pada salah satu cincin yang ada di sana."Aku bingung," jawabnya sambil menoleh pada Billy yang sedang berdiri di samping kanannya."Tolong carikan cincin pasangan untuk acara pertunangan dan pernikahan yang memiliki desain unik dan tidak pasaran," pinta Billy pada pegawai yang sejak tadi melayani mereka."Baik, Pak. Mohon ditunggu."Billy pun mengajak Nindy untuk duduk di sofa sambil menunggu. Tidak sampai sepuluh menit, pegawai itu kembali datang dengan membawa beberapa pasang cincin."Kamu pilih aja, Sayang. Pilih yang kamu suka."Nindy menatap sejenak pada cincin itu, kemudian meraih salah satu cincin pasangan yang memiliki desa
Sandrina tersenyum tipis, kemudian sedikit memutar posisi duduknya menghadap Billy. "Bukannya dulu kamu sempat menjalin hubungan sama Airin waktu kalian kuliah bareng di Singapura? Kamu sendiri yang bilang waktu itu."Billy membisu sesaat dengan pandangan mengarah ke bawah. "Kami cuma dekat," ujarnya dengan pelan, "waktu itu aku terpaksa berpura-pura berpacaran dengan Airin untuk menghindari Shela."Tapi, ternyata wanita itu memiliki segudang cara untuk memisahkannya dengan Airin sampai akhirnya hubungan pura-puranya bersama Airin terbongkar."Tapi, kamu tahu, kan, kalau Airin punya perasaan lebih sama kamu?"Jelas dia tahu. Tapi, dia berpura-pura tidak tahu agar hubungan mereka tidak canggung. Bagaimanapun, Airin cukup berjasa di hidupnya. Wanita itu selalu berada di sisinya saat masa-masa sulitnya setelah hubungannya dengan Nindy kandas. Airin selalu menyemangati serta menemani hari-harinya."Aku cuma menganggap dia sebagai sahabat.""Tapi, kamu sempat memiliki rasa juga, kan, denga
"Lagi apa?"Billy yang baru saja selesai berganti baju, mendatangi Nindy yang sedang berada di dapur."Aku haus, mau ambil minuman."Karena cuaca siang itu sangat panas, jadi Nindy merasa sangat haus dan ingin mengkonsumsi minuman dingin untuk meredakan rasa hausnya.Kebetulan sekali banyak minuman kaleng dan botol di kulkas apartemen Billy, jadi dia ingin mengambil salah satunya. Hanya saja, karena terlalu banyak pilihan, jadi bingung ingin minuman yang mana. Itu sebabnya, sejak tadi dia berdiri cukup lama di depan kulkas."Jangan ambil yang itu." Billy segera merebut minuman kaleng yang baru saja Nindy ambil dari kulkas."Kenapa?" tanya Nindy."Itu ada alkoholnya."Meskipun kadar alkohol dalam minuman kaleng itu sangat rendah. Namun, tetap saja Billy takut itu bisa berpengaruh pada Nindy. Apalagi, dia belum pernah mengkonsumsi minuman yang mengandung alkohol sebelumnya."Kamu suka minum minuman kayak gitu?""Nggak. Kadang-kadang aja. Angga yang suka minuman itu."Karena dulu Angga s