Melihat anaknya yang mulai terbawa emosi, Amara segera menenangkannya. "Dengerin Mama dulu. Alasan kenapa pertunangan itu dibatalin karena ..."Ibu Billy sengaja menggantung ucapannya dengan senyuman misterius untuk membuat anaknya penasaran dan terbukti itu berhasil karena beberapa detik kemudian, Billy langsung memberondong ibunya dengan banyak pertanyaan."Karena apa, Ma? Orang tua Nindy berubah pikiran? Mereka mau batalin pernikahan kami juga?""Ya. Orang tua Nindy berubah pikiran. Tapi, ..."Belum selesai ibunya bicara, Billy sudah bangkit dari duduknya."Kamu mau ke mana?""Mau menemui orang tua Nindy.""Untuk apa?""Aku mau bertanya, kenapa mereka tiba-tiba berubah pikiran. Padahal, hari pertunangan dan pernikahan udah ditentuin.""Kamu duduk dulu, biarkan mamamu selesai bicara," sahut Ayah Billy dengan tenang."Iya, Mama belum selesai bicara, kamu udah mau pergi aja."Akhirnya, Billy kembali duduk, sementara Nindy masih diam dengan perasaan gelisah."Orang tua Nindy memang ber
"Nin, sini."Sania melambaikan tangan pada Nindy yang baru saja datang ke rumah orang tuanya. Setelah Nindy duduk di sebelahnya, Sania mulai membongkar koper."Ini aku bawain oleh-oleh untuk kamu."Sania baru saja pulang dari bulan madu tiga hari yang lalu, tapi dia tidak langsung pulang ke rumah orang tuanya karena suaminya mengajak untuk pulang ke rumah baru mereka terlebih dahulu."Aku beliin ini semua buat kamu."Kelopak mata Nindy membesar ketika melihat begitu banyak barang yang dibelikan oleh kakak Billy untuknya. Ada tas, parfum, jam tangan, dan juga baju. Semua barang-barang itu berasal dari brand yang sangat terkenal dan namanya sudah mendunia. Nindy yakin semua harga barang-barang itu sangat mahal."Aku baju aja, Kak."Nindy merasa sungkan untuk menerima semua barang mewah itu, terlebih ketika dia tahu harga dari tas yang dibelikan oleh Sania jika dirupiahkan seharga mobil baru. Itu hanya harga untuk sebuah tas, belum lagi harga barang lainnya. Mana bisa dia menerima semua
Nindy melirik Billy sekilas melalui kaca spion, kemudian menjawab, "Itu belum dibicarain, Kak. Kalau aku sih, tergantung Billy aja.""Kamu harusnya minta, Nin. Mahar itu, kan, untuk kamu. Kalau kamu bingung, minta aja uang atau logam mulia. Minta yang banyak, jangan nanggung-nanggung."Billy yang sejak tadi sedang menyetir hanya diam dan tidak memberikan komentar apa pun mendengar ucapan kakaknya."Aku nggak mau memberatkan Billy, Kak."Mana mungkin dia meminta mahar yang banyak, sementara dirinya saja sudah tidak utuh. Meskipun, Billy yang sudah mengambilnya, tetap saja dia merasa tidak pantas untuk meminta lebih."Duh, Nin. Uang Billy itu banyak, jadi dia nggak bakal keberatan kalau kamu minta mahar banyak. Kalau dia memang cinta sama kamu, dia pasti nggak keberatan kamu minta berapa aja."Setelah mengatakan itu, Sania menatap Billy dari kaca spion. "Bill, kamu tuh jangan kasih mahar sedikit dong buat Nindy. Kamu jangan bikin malu keluarga kita. Jangan pelit-pelit."Billy mengembusk
"Airin? Memangnya, apa yang mau kamu tanya soal dia?" Nindy terdiam sejenak, kemudian berkata, "Kalau aku boleh tau, siapa Airin, Kak?" Pertanyaan itu, sebenarnya sudah pernah Nindy tanyakan pada Billy dan Billy hanya menjawab kalau Airin adalah temannya. Hanya itu, tidak ada penjelasan apa-apa lagi dari Billy. Dia ingin bertanya lebih dalam lagi, tapi Billy seolah menghindar. "Airin tuh teman dekat Billy." Mulut Nindy membentuk huruf O usai mendengar jawaban Sania. "Semenjak kapan Billy dan Airin saling mengenal, Kak?" "Mereka kenal sejak kuliah," jawab Sania sambil memilih lingerie. Billy memang sudah pernah mengatakan itu padanya, tapi hanya sekedar itu. "Tapi, aku nggak pernah tau kalau Billy punya teman yang namanya Airin, Kak." Jika dia tidak salah ingat, ketika mereka kuliah dulu, Billy tidak memiliki teman di kampus yang bernama Airin. Selama berpacaran dengannya, Nindy belum pernah mendengar nama itu. Dugaannya waktu itu, kemungkinan Airin adalah teman Billy waktu seko
"Surprise." Billy tampak tercengang melihat Airin berdiri di hadapannya ketika dia baru saja membuka pintu. "Aku kangen sama kamu, Bill." Billy mematung ketika Airin tiba-tiba menghambur ke pelukannya tanpa bisa dia hindari. "Maaf." Airin segera menjauhkan diri dari Billy ketika menyadari kalau pria itu tidak membalas pelukannya. "Aku lupa kalau kamu udah punya calon istri." Billy mengangguk, kemudian berusaha tersenyum untuk mencairkan suasan yang tiba-tiba terasa canggung. "Kenapa kamu udah di sini? Kapan sampai?" Padahal, sebelumnya wanita itu bilang belum bisa ke Indonesia karena belum mendapatkan cuti. Tapi, ternyata dia sudah berada di rumahnya sekarang. "Baru aja nyampe," jawab Airin sambil tersenyum manis. "Dari bandara aku langsung ke sini." Keduanya pun berjalan bersama-sama menuju ruangan keluarga. Dia ruangan itu, ternyata sudah ada Amara yang sedang duduk di sofa. "Kenapa Mama nggak bilang kalau ada Airin?" Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, Billy terus saja m
"Apa kamu juga pernah tidur sama dia?" Pertanyaan Nindy itu membuat Billy seketika membeku dengan kelopak mata yang melebar. Tidak pernah terbayangkan olehnya jika Nindy menanyakan hal itu padanya. Terlebih saat hubungan mereka sudah di tahap serius. "Diam berarti iya." Tangan Billy perlahan terkepal. "Kamu bertanya atau sedang menuduhku?" tanyanya dengan sorot mata tajam. "Iya atau nggak?" ujar Nindy dengan wajah tegasnya. "Aku nggak pernah tidur sama dia." "Kamu yakin?" tanya Nindy dengan tatapan menyelidik. "Kamu harus jawab yang jujur. Kalau sampai kamu bohong, maka kita selesai sampai di sini." "Aku sangat yakin. Aku nggak pernah tidur sama dia ataupun wanita lain," jawab Billy dengan tegas. "Mencium dia aja belum pernah, apalagi menidurinya. Satu-satunya wanita yang pernah aku sentuh cuma kamu." Nindy menatap iris coklat Billy dengan tatapan menyelidik, seolah sedang mencari kebenaran di dalam sana. "Lagi pula, Airin bukan wanita seperti itu. Dia wanita baik-baik, tidak
"Rin, aku mau bicara sama kamu sebentar." Airin yang sedang mengobrol dengan Amara di ruangan keluarga seketika mendongak ketika Billy berhenti di dekatnya. "Ada apa?" Melihat wajah serius putranya, Amara yakin kalau mereka pasti ingin berbicara hal serius. Itu sebabnya dia langsung berdiri dan meninggalkan ruangan itu agar mereka bertiga bisa bicara dengan leluasa. "Nindy salah paham tentang hubungan kita berdua. Tolong jelasin supaya dia nggak salah paham lagi." Airin melirik pada Nindy yang sedang berdiri di belakang Billy sebentar, lalu berkata, "Kamu suruh aku jelasin sama dia, apa kamu nggak takut aku bicara yang tidak-tidak?" "Aku yakin kamu nggak mungkin melakukan itu." Airin mengulas senyuman tipis, kemudian berkata dengan lemah lembut, "Oke, tapi aku mau bicara berdua aja sama Nindy." Tanpa pikir panjang, Billy langsung menyetujui permintaan Airin. "Sayang, kamu bicara sama Airin dulu, ya? Aku mau ambil HP di mobil dulu." Nindy mengangguk, kemudian mengikuti Airin m
"Kalau boleh jujur, tentu saja aku nggak rela, tapi mau tidak mau aku harus menerimanya. Billy sudah memilihmu, itu artinya nggak ada kesempatan lagi bagiku untuk memilikinya. Sekuat apa pun aku berusaha untuk mendapatkannya, jika dia memang bukan jodohku, maka dia tidak akan pernah menjadi milikku."Nindy cukup takjub dengan pemikiran Airin. Pantas saja Billy bisa dekat dengan Airin sampai saat ini, ternyata dia berbeda dengan Shela."Jadi, kamu memilih untuk menyerah?"Airin mengangguk. "Dulu, aku pikir lambat laun Billy pasti akan melupakanmu dan aku bisa pelan-pelan masuk ke dalam hatinya, tapi ternyata aku salah. Sejak awal, Billy nggak pernah berniat untuk mencari penggantimu. Jadi, aku memutuskan untuk berhenti sekarang," ucapnya.Meskipun sejak tadi Airin selalu tersenyum. Namun, Nindy sempat menangkap sekilas ada kesedihan di mata wanita itu."Selain itu, aku nggak suka merebut milik orang lain. Tapi, kalau kamu mau merelakan Billy untukku, maka aku akan menerimanya dengan se