"Airin? Memangnya, apa yang mau kamu tanya soal dia?" Nindy terdiam sejenak, kemudian berkata, "Kalau aku boleh tau, siapa Airin, Kak?" Pertanyaan itu, sebenarnya sudah pernah Nindy tanyakan pada Billy dan Billy hanya menjawab kalau Airin adalah temannya. Hanya itu, tidak ada penjelasan apa-apa lagi dari Billy. Dia ingin bertanya lebih dalam lagi, tapi Billy seolah menghindar. "Airin tuh teman dekat Billy." Mulut Nindy membentuk huruf O usai mendengar jawaban Sania. "Semenjak kapan Billy dan Airin saling mengenal, Kak?" "Mereka kenal sejak kuliah," jawab Sania sambil memilih lingerie. Billy memang sudah pernah mengatakan itu padanya, tapi hanya sekedar itu. "Tapi, aku nggak pernah tau kalau Billy punya teman yang namanya Airin, Kak." Jika dia tidak salah ingat, ketika mereka kuliah dulu, Billy tidak memiliki teman di kampus yang bernama Airin. Selama berpacaran dengannya, Nindy belum pernah mendengar nama itu. Dugaannya waktu itu, kemungkinan Airin adalah teman Billy waktu seko
"Surprise." Billy tampak tercengang melihat Airin berdiri di hadapannya ketika dia baru saja membuka pintu. "Aku kangen sama kamu, Bill." Billy mematung ketika Airin tiba-tiba menghambur ke pelukannya tanpa bisa dia hindari. "Maaf." Airin segera menjauhkan diri dari Billy ketika menyadari kalau pria itu tidak membalas pelukannya. "Aku lupa kalau kamu udah punya calon istri." Billy mengangguk, kemudian berusaha tersenyum untuk mencairkan suasan yang tiba-tiba terasa canggung. "Kenapa kamu udah di sini? Kapan sampai?" Padahal, sebelumnya wanita itu bilang belum bisa ke Indonesia karena belum mendapatkan cuti. Tapi, ternyata dia sudah berada di rumahnya sekarang. "Baru aja nyampe," jawab Airin sambil tersenyum manis. "Dari bandara aku langsung ke sini." Keduanya pun berjalan bersama-sama menuju ruangan keluarga. Dia ruangan itu, ternyata sudah ada Amara yang sedang duduk di sofa. "Kenapa Mama nggak bilang kalau ada Airin?" Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, Billy terus saja m
"Apa kamu juga pernah tidur sama dia?" Pertanyaan Nindy itu membuat Billy seketika membeku dengan kelopak mata yang melebar. Tidak pernah terbayangkan olehnya jika Nindy menanyakan hal itu padanya. Terlebih saat hubungan mereka sudah di tahap serius. "Diam berarti iya." Tangan Billy perlahan terkepal. "Kamu bertanya atau sedang menuduhku?" tanyanya dengan sorot mata tajam. "Iya atau nggak?" ujar Nindy dengan wajah tegasnya. "Aku nggak pernah tidur sama dia." "Kamu yakin?" tanya Nindy dengan tatapan menyelidik. "Kamu harus jawab yang jujur. Kalau sampai kamu bohong, maka kita selesai sampai di sini." "Aku sangat yakin. Aku nggak pernah tidur sama dia ataupun wanita lain," jawab Billy dengan tegas. "Mencium dia aja belum pernah, apalagi menidurinya. Satu-satunya wanita yang pernah aku sentuh cuma kamu." Nindy menatap iris coklat Billy dengan tatapan menyelidik, seolah sedang mencari kebenaran di dalam sana. "Lagi pula, Airin bukan wanita seperti itu. Dia wanita baik-baik, tidak
"Rin, aku mau bicara sama kamu sebentar." Airin yang sedang mengobrol dengan Amara di ruangan keluarga seketika mendongak ketika Billy berhenti di dekatnya. "Ada apa?" Melihat wajah serius putranya, Amara yakin kalau mereka pasti ingin berbicara hal serius. Itu sebabnya dia langsung berdiri dan meninggalkan ruangan itu agar mereka bertiga bisa bicara dengan leluasa. "Nindy salah paham tentang hubungan kita berdua. Tolong jelasin supaya dia nggak salah paham lagi." Airin melirik pada Nindy yang sedang berdiri di belakang Billy sebentar, lalu berkata, "Kamu suruh aku jelasin sama dia, apa kamu nggak takut aku bicara yang tidak-tidak?" "Aku yakin kamu nggak mungkin melakukan itu." Airin mengulas senyuman tipis, kemudian berkata dengan lemah lembut, "Oke, tapi aku mau bicara berdua aja sama Nindy." Tanpa pikir panjang, Billy langsung menyetujui permintaan Airin. "Sayang, kamu bicara sama Airin dulu, ya? Aku mau ambil HP di mobil dulu." Nindy mengangguk, kemudian mengikuti Airin m
"Kalau boleh jujur, tentu saja aku nggak rela, tapi mau tidak mau aku harus menerimanya. Billy sudah memilihmu, itu artinya nggak ada kesempatan lagi bagiku untuk memilikinya. Sekuat apa pun aku berusaha untuk mendapatkannya, jika dia memang bukan jodohku, maka dia tidak akan pernah menjadi milikku."Nindy cukup takjub dengan pemikiran Airin. Pantas saja Billy bisa dekat dengan Airin sampai saat ini, ternyata dia berbeda dengan Shela."Jadi, kamu memilih untuk menyerah?"Airin mengangguk. "Dulu, aku pikir lambat laun Billy pasti akan melupakanmu dan aku bisa pelan-pelan masuk ke dalam hatinya, tapi ternyata aku salah. Sejak awal, Billy nggak pernah berniat untuk mencari penggantimu. Jadi, aku memutuskan untuk berhenti sekarang," ucapnya.Meskipun sejak tadi Airin selalu tersenyum. Namun, Nindy sempat menangkap sekilas ada kesedihan di mata wanita itu."Selain itu, aku nggak suka merebut milik orang lain. Tapi, kalau kamu mau merelakan Billy untukku, maka aku akan menerimanya dengan se
“Bill, jangan macam-macam. Nanti Mama ke sini.“Melihat wajah ketakutan Nindy, Billy semakin ingin mengerjainya. “Biarin saja Mama datang ke sini dan melihat kita begini. Dengan begitu, kita akan segera dinikahkan.”Wajah Nindy semakin menegang ketika melihat Billy merendahkan tubuhnya ke depan hingga wajahnya keduanya berada di jarak yang sangat dekat."Bill, nanti Mama marah."Wajah Billy tampak terlihat acuh tak acuh. "Aku cuma ingin kamu segera menjadi milikku.""Bill, aku nggak mau membuat kesalahan lagi, cukup sekali aja waktu itu. Sekarang, biarin aku pergi.""Aku nggak akan mengizinkan kamu keluar sebelum mendapat yang aku inginkan.""Aku bakal teriak kalau kamu berani macam-macam," ancam Nindy dengan berani. "Biarin aja semua orang ke sini.""Teriak aja," kata Billy acuh tak acuh, "tapi, perlu kamu tahu, kamar aku kedap suara. Kamu mau teriak sekencang apa pun, nggak akan ada yang mendengarnya. Jadi, percuma aja kamu teriak."Nindy seketika membeku dengan wajah menengang. Dia
"Makasih kamu udah mau jelasin sama Nindy."Airin yang mendengar itu, seketika tersenyum dan menoleh pada Billy yang sedang berada di sebelah kanannnya."Iya, sama-sama. Aku melakukan itu juga untuk diriku sendiri."Saat ini, keduanya sedang duduk di balkon atas rumah Billy yang berada di lantai 3 yang menghadap ke kolam renang."Maaf, kalau aku melukai hati kamu.""Jangan minta maaf. Ini bukan salah kamu." Airin menghela pelan, kemudian kembali menatap ke depan. "Ini salahku. Aku yang memaksa diriku untuk bertahan sampai saat ini, padahal aku tahu kamu mencintai orang lain.""Kamu pasti bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari aku."Airin menatap ke bawah sebentar, beranjak dari duduknya, kemudian berdiri di pagar pembatas kaca bening sambil meletakkan tangannya di pembatas itu. "Aku harap juga begitu, tapi ..." Airin menoleh pada Billy yang masih setia duduk di kursinya dengan pandangan mengarah padanya, "apa aku bisa menemukan pria sebaik kamu?"Menurutnya, sosok pria sepert
"Apa boleh aku menghabiskan waktu seharian sama Billy besok?"Meskipun permintaan Airin cukup mengejutkan baginya. Namun, Nindy tetap menampilkan ekspresi biasa."Maaf, Airin. Aku nggak izinkan kamu pergi berdua aja sama Billy. Aku cuma mau menghindari hal-hal yang nggak diinginkan."Raut wajah Airin berubah menjadi kecewa. "Sebenarnya, aku cuma mau mengajak Billy untuk makan dan melihat-lihat aja di mal. Aku nggak punya maksud lain."Karena setelah Billy menikah, dia tidak akan bisa pergi dan menghabiskan waktu berdua lagi dengan Billy seperti yang dulu pernah mereka lakukan."Kamu jangan takut aku berbuat macem-macem. Tapi, kalau kamu nggak mengizinkan, aku juga nggak akan maksa kamu.""Kalau begitu, kamu bisa tanya sama Billy. Kalau dia mau, maka aku izinkan."Raut wajah Airin seketika berubah menjadi bahagia. Senyuman lebar tampak mengembang di wajah kecilnya. "Kamu beneran?"Nindy mengangguk yakin. "Asalkan Billy setuju, kamu boleh pergi sama dia."Alasan Nindy mengatakan itu pad