"Makasih kamu udah mau jelasin sama Nindy."Airin yang mendengar itu, seketika tersenyum dan menoleh pada Billy yang sedang berada di sebelah kanannnya."Iya, sama-sama. Aku melakukan itu juga untuk diriku sendiri."Saat ini, keduanya sedang duduk di balkon atas rumah Billy yang berada di lantai 3 yang menghadap ke kolam renang."Maaf, kalau aku melukai hati kamu.""Jangan minta maaf. Ini bukan salah kamu." Airin menghela pelan, kemudian kembali menatap ke depan. "Ini salahku. Aku yang memaksa diriku untuk bertahan sampai saat ini, padahal aku tahu kamu mencintai orang lain.""Kamu pasti bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari aku."Airin menatap ke bawah sebentar, beranjak dari duduknya, kemudian berdiri di pagar pembatas kaca bening sambil meletakkan tangannya di pembatas itu. "Aku harap juga begitu, tapi ..." Airin menoleh pada Billy yang masih setia duduk di kursinya dengan pandangan mengarah padanya, "apa aku bisa menemukan pria sebaik kamu?"Menurutnya, sosok pria sepert
"Apa boleh aku menghabiskan waktu seharian sama Billy besok?"Meskipun permintaan Airin cukup mengejutkan baginya. Namun, Nindy tetap menampilkan ekspresi biasa."Maaf, Airin. Aku nggak izinkan kamu pergi berdua aja sama Billy. Aku cuma mau menghindari hal-hal yang nggak diinginkan."Raut wajah Airin berubah menjadi kecewa. "Sebenarnya, aku cuma mau mengajak Billy untuk makan dan melihat-lihat aja di mal. Aku nggak punya maksud lain."Karena setelah Billy menikah, dia tidak akan bisa pergi dan menghabiskan waktu berdua lagi dengan Billy seperti yang dulu pernah mereka lakukan."Kamu jangan takut aku berbuat macem-macem. Tapi, kalau kamu nggak mengizinkan, aku juga nggak akan maksa kamu.""Kalau begitu, kamu bisa tanya sama Billy. Kalau dia mau, maka aku izinkan."Raut wajah Airin seketika berubah menjadi bahagia. Senyuman lebar tampak mengembang di wajah kecilnya. "Kamu beneran?"Nindy mengangguk yakin. "Asalkan Billy setuju, kamu boleh pergi sama dia."Alasan Nindy mengatakan itu pad
"Kita langsung jemput Airin atau gimana?"Nindy menatap Billy yang baru saja menghidupkan mesin mobilnya. Sore ini, rencana mereka akan menemani Airin seperti permintaan wanita itu kemarin."Ke apartemen aku dulu, ya?""Mau ngapain?""Ganti baju."Kurang lebih 1 jam lamanya, mereka pun tiba di apartemen Billy. Bukannya langsung berganti pakaian, Billy justru duduk bermalas-malasan di sofa ketika Nindy pergi ke kamar mandi."Kenapa belum ganti baju?" Sambil bertanya pada Billy, Nindy menghampiri pria itu dan duduk di sebelahnya. "Nanti Airin kelamaan nunggu kita."Saat ini saja sudah pukul 5 lewat, jika mereka tidak langsung berangkat sekarang, kemungkinan mereka akan tiba di rumah Billy pukul setengah 6 lewat."Kita nggak jadi pergi."Nindy seketika memutar tubuhnya ke arah Billy dengan wajah terkejut. "Kenapa?" tanyanya cepat."Airin batalin rencananya."Alis Nindy saling bertautan. "Kenapa tiba-tiba? Apa karena aku ikut, makanya dia batalin?""Bukan," sanggah Billy, "dia udah balik
"Nin, apa boleh aku ..."Billy menggantungkan ucapannya dengan ekspresi wajah yang sulit ditebak, membuat Nindy merasa bingung sekaligis heran."Boleh apa, Bill?" Akhirnya, Nindy bertanya karena Billy tak kunjung menyelesaikan ucapannya."Apa boleh aku mandi dulu sebelum anter kamu pulang?""Mandi?" ulang Nindy dengan wajah heran."Iya. Aku ngerasa gerah. Aku mau mandi dulu."Nindy pun segera bangkit dan duduk di sofa kosong di sebelah Billy."Kamu tunggu di sini. Kalau capek, kamu tiduran aja di sofa atau kamar aku."Nindy hanya mengangguk sambil terus memperhatikan punggung Billy yang mulai menjauh dengan ekspresi wajah heran dan bingung.Tidak biasanya Billy mandi sebelum mengantarnya pulang. Itu terasa aneh baginya. Apalagi suhu di apartemen Billy sangat dingin, bagaimana bisa Billy merasa kepanasan?"Tumben kamu mandinya lama?" tanya Nindy ketika Billy keluar dari kamar dengan wajah segar dan rambut yang masih setengah basah."Ini semua gara-gara kamu."Nindy segera menoleh pada
"Coba kamu lihat siapa itu."Nindy mengangguk, kemudian mengintip dari lubang kecil yang ada di tengah pintu. Setelah tahu, Nindy segera berbalik dengan wajah khawatir."Mama, Bill. Buruan kamu sembunyi.""Nggak usah sembunyi," ujar Billy dengan tenang, "biarin aja mama kamu tahu aku ada di sini.""Kamu jangan gila, Bill. Mama bisa marahin kita nanti."Karena bel kamarnya terus berbunyi, Nindy menjadi semakin panik. Tanpa pikir panjang, dia segera menarik Billy masuk ke kamar mandi."Kamu tunggu di sini. Jangan berani keluar sebelum Mama pergi dari sini atau aku bakal marah sama kamu," ancam Nindy sebelum menutup pintu.Billy tampak hanya tersenyum dengan wajah santai. "Iya, Sayang."Saat Nindy akan berbalik, tangannya ditahan oleh Billy. "Kasih aku hadiah dulu biar patuh," katanya dengan santai.Meskipun geram, Nindy memutuskan untuk mencium pipi kanan Billy, kemudian keluar dari sana. Setelah menutup pintu kamar mandi, Nindy merapihkan baju serta rambutnya. Tidak lupa dia menyeka ke
"Bagaimana saksi?""Sah."Setelah mendengar ucapan itu, ekspresi wajah Billy yang semula tampak tegang dan kaku, seketika melunak. Urat di dahi dan sekitar leher pun perlahan mengendur.Sejak bangun dari tidurnya, Billy merasa gelisah, gugup, dan berdebar. Tidak ada senyum sedikit pun di wajahnya ketika sejak menuju lokasi pernikahan hingga memasuki aula pernikahan. Bahkan, gurauan Angga saja tidak mampu membuat Billy tersenyum dan menjadi rileks."Silahkan tanda tangan."Setelah selesai menandatangani surat nikah, Billy dan Nindy bertukar cincin."Kamu cantik banget."Billy mengatakan itu melalui gerakan mulutnya usai memasang cincin pernikahan ke jari manis Nindy, membuat sang istri jadi tersipu. Rona di wajah Nindy semakin terlihat ketika melihat tatapan penuh cinta dari Billy.Acara akad yang digelar pukul 10 pagi baru selesai pukul 11 siang lewat. Selesai acara akad, kedua pengantin baru itu dibawa kembali ke kamar untuk beristirahat sambil menunggu acara resepsi yang akan di gel
Dengan senyuman penuh arti, Billy menjawab, "Aku mau makan kamu." Tubuh Nindy seketika membeku, matanya tampak membelalak ketika merasakan tangan Billy mulai bergerak di tubuhnya. "Bill, apa kamu lupa pesen Mama tadi? Kita masih harus melakukan resepsi pernikahan dulu." Melihat wajah panik Nindy, tiba-tiba saja Billy ingin mengerjainya. "Sayang, kamu harus patuh sama aku. Nggak boleh menolak keinginan suami." Nindy menelan salivanya dengan cepat. Perkataan Billy sukses membuat Nindy bungkam. Yang dikatakan Billy memang benar, dia tidak boleh menolak keinginan pria itu karena dia sudah menjadi suaminya. "Iya, aku tahu. Tapi, kondisinya nggak memungkinkan, Bill. Kita masih harus melakukan dengan resepsi. Aku bukannya mau nolak, tapi ..." Ucapan Nindy seketika terhenti ketika Billy tiba-tiba merubah posisi tubuhnya menjadi di atas. Karena merasa sangat panik dan gugup, wajah Nindy berubah menjadi kaku dan tegang. "Bill, ka-kamu beneran mau lakuin sekarang?" Billy tersenyum penuh a
Billy akhirnya menjauhkan wajahnya dari leher Nindy. "Aku akan membantumu melepas gaun ini," bisik Billy dengan suara rendah. Belum sempat menolak, Billy sudah lebih dulu melepas pengait gaunnya yang berada di belakang. Pengait gaunnya belum sepenuhnya terlepas semua, tapi bagian bahunya sudah diturunkan oleh Billy hingga bahu putih Nindy terpampang dengan jelas. "Tubuhmu wangi sekali, Sayang." Tubuh Nindy kembali meremang ketika sebuah kecupan mendarat di bahu dan punggungnya. "Bill, cepat bantu aku lepas gaunnya. Aku mau mandi." Kakinya bisa lemas jika Billy terus menerus memberikan kecupan di punggung dan bahunya. "Kenapa terburu-buru, Sayang. Malam kita masih panjang," ujar Billy dengan suara parau. Dia kembali melepas pengait hingga batas paling bawah. Namun, Billy tidak langsung melepasnya. Hanya membiarkan gaun itu menggantung sebatas dada. "Aku ingin kamu menikmati setiap detik momen malam pengantin kita. Jangan terburu-buru." Tangan Billy kembali melingkar di perut Ni