"Bagaimana saksi?""Sah."Setelah mendengar ucapan itu, ekspresi wajah Billy yang semula tampak tegang dan kaku, seketika melunak. Urat di dahi dan sekitar leher pun perlahan mengendur.Sejak bangun dari tidurnya, Billy merasa gelisah, gugup, dan berdebar. Tidak ada senyum sedikit pun di wajahnya ketika sejak menuju lokasi pernikahan hingga memasuki aula pernikahan. Bahkan, gurauan Angga saja tidak mampu membuat Billy tersenyum dan menjadi rileks."Silahkan tanda tangan."Setelah selesai menandatangani surat nikah, Billy dan Nindy bertukar cincin."Kamu cantik banget."Billy mengatakan itu melalui gerakan mulutnya usai memasang cincin pernikahan ke jari manis Nindy, membuat sang istri jadi tersipu. Rona di wajah Nindy semakin terlihat ketika melihat tatapan penuh cinta dari Billy.Acara akad yang digelar pukul 10 pagi baru selesai pukul 11 siang lewat. Selesai acara akad, kedua pengantin baru itu dibawa kembali ke kamar untuk beristirahat sambil menunggu acara resepsi yang akan di gel
Dengan senyuman penuh arti, Billy menjawab, "Aku mau makan kamu." Tubuh Nindy seketika membeku, matanya tampak membelalak ketika merasakan tangan Billy mulai bergerak di tubuhnya. "Bill, apa kamu lupa pesen Mama tadi? Kita masih harus melakukan resepsi pernikahan dulu." Melihat wajah panik Nindy, tiba-tiba saja Billy ingin mengerjainya. "Sayang, kamu harus patuh sama aku. Nggak boleh menolak keinginan suami." Nindy menelan salivanya dengan cepat. Perkataan Billy sukses membuat Nindy bungkam. Yang dikatakan Billy memang benar, dia tidak boleh menolak keinginan pria itu karena dia sudah menjadi suaminya. "Iya, aku tahu. Tapi, kondisinya nggak memungkinkan, Bill. Kita masih harus melakukan dengan resepsi. Aku bukannya mau nolak, tapi ..." Ucapan Nindy seketika terhenti ketika Billy tiba-tiba merubah posisi tubuhnya menjadi di atas. Karena merasa sangat panik dan gugup, wajah Nindy berubah menjadi kaku dan tegang. "Bill, ka-kamu beneran mau lakuin sekarang?" Billy tersenyum penuh a
Billy akhirnya menjauhkan wajahnya dari leher Nindy. "Aku akan membantumu melepas gaun ini," bisik Billy dengan suara rendah. Belum sempat menolak, Billy sudah lebih dulu melepas pengait gaunnya yang berada di belakang. Pengait gaunnya belum sepenuhnya terlepas semua, tapi bagian bahunya sudah diturunkan oleh Billy hingga bahu putih Nindy terpampang dengan jelas. "Tubuhmu wangi sekali, Sayang." Tubuh Nindy kembali meremang ketika sebuah kecupan mendarat di bahu dan punggungnya. "Bill, cepat bantu aku lepas gaunnya. Aku mau mandi." Kakinya bisa lemas jika Billy terus menerus memberikan kecupan di punggung dan bahunya. "Kenapa terburu-buru, Sayang. Malam kita masih panjang," ujar Billy dengan suara parau. Dia kembali melepas pengait hingga batas paling bawah. Namun, Billy tidak langsung melepasnya. Hanya membiarkan gaun itu menggantung sebatas dada. "Aku ingin kamu menikmati setiap detik momen malam pengantin kita. Jangan terburu-buru." Tangan Billy kembali melingkar di perut Ni
Billy tersenyum tipis ketika melihat Nindy begitu nyaman berada di pelukannya. Karena merasa gemas dengan istrinya, Billy menunduk dan memberikan kecupan di dahi dan hidungnya membuat tidur Nindy menjadi terganggu. "Jam berapa sekarang?" tanya Nindy sambil mendongak dengan mata yang setengah terpejam. Billy menoleh ke kanan, di mana ponselnya berada, kemudian beralih pada Nindy lagi. "Jam 3 pagi, Sayang." "Kamu dari tadi nggak tidur?" Mata Billy tampak masih sangat segar, itu sebabnya Nindy menanyakan itu. "Iya. Belum ngantuk." Kelopak mata Nindy melebar sesaat. "Memangnya, kamu nggak capek?" Menurut Nindy hari pernikahan mereka adalah hari yang sangat melelahkan. Selain karena habis melakukan resepsi yang panjang, mereka juga baru saja melakukan aktifitas yang menguras keringat. "Nggak, Sayang. Aku masih punya banyak tenaga," jawab Billy. "Aku bahkan nggak keberatan sama sekali kalau kamu mau mengulang lagi kegiatan kita yang tadi. Tenang aja, aku masih sanggup melakukannya s
"Sayang, kamu yakin mau sarapan bersama?" tanya Billy sambil menghampiri Nindy yang sedang mengeringkan rambut di depan cermin kamar mandi dengan menggunakan hairdryer."Iya, nggak enak kalau nggak ikut sarapan.""Memangnya kamu bisa jalan?" Billy melingkarkan tangan di perut istrinya sambil menatapnya dari pantulan cermin setelah Nindy mematikan pengering rambut yang ada di tangan kanannya."Bisa, tapi pelan-pelan." Setelah itu, Nindy membalik tubuhnya menghadap Billy."Kalau nggak bisa, jangan dipaksa, Sayang. Lebih baik sarapan di kamar aja. Mereka juga pasti maklum, kita, kan, pengantin baru.""Ini salah kamu. Katanya cuma sebentar, tapi ternyata keterusan."Billy terkekeh pelan melihat wajah cemberut istrinya. "Maaf, Sayang. Kamu tahu sendiri, aku udah menahannya sejak lama. Ini aja aku masih sedikit menahan diri karena kasihan sama kamu.""Menahan diri apanya, kamu jangan bercanda. Badan aku sakit semua karena ulah kamu."Billy kembali terkekeh pelan. Setelah tawanya mereda, dia
"Di mana Nindy?" tanya Angga setelah Billy duduk di kursi depannya.Siang ini Billy bertemu dengan Angga di restoran hotel tempatnya menginap. Di sana jugalah nanti dia akan bertemu dengan teman-temanya yang berasal dari Singapore."Lagi tidur."Angga seketika tersenyum mendengar itu. "Masih jam 10 pagi, tapi dia udah tidur?Sepertinya kau habis menggempurnya habis-habisan semalam sampai membuatnya kelelahan seperti itu."Bukannya marah diolok-olok oleh Angga, Billy justru menanggapi dengan santai, "Nggak ada yang salah dengan itu. Dia udah resmi menjadi istriku.""Tapi, setidaknya tahan dirimu sedikit. Dia pasti lelah setelah melewati resepsi pernikahan yang panjang. Seharusnya, biarkan dia beristirahat dulu sehari, setelah itu kau bisa melakukannya.""Aku nggak bisa menahannya.""Tapi, selama ini kau berhasil menahannya, bahkan sampai 6 tahun. Kau juga tidak pernah terpengaruh dengan Shela yang sudah berkali-kali menggodamu.""Tidak bisa jika Nindy orangnya," jawab Billy santai, "jan
Baru saja Dimas memasuki lift untuk turun ke lantai bawah, tiba-tiba saja ada seorang wanita ambruk di depannya. Sebelum wanita itu sempat terjatuh di lantai, Dimas sudah lebih dulu menangkap tubuh wanita itu dan menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Selain Dimas dan wanita itu, ada seorang pria juga yang berada di dalam lift."Nona, ada apa denganmu?" tanya Dimas sambil menepuk wajah wanita yang sudah menyandarkan kepala di bahunya."Maaf, ini teman saya. Dia lagi sakit. Biar saya yang bawa dia."Pria yang berada satu lift dengan mereka akhir membuka suara setelah pintu lift tertutup.Saat pria itu akan menyentuh wanita itu, Dimas segera mencengkram tangannya dengan tatapan tajam. "Kau mau berbuat apa dengan wanita yang sedang pingsan?"Pria tinggi berkulit sawo matang yang mengaku sebagai teman wanita itu tampak tidak senang mendengar ucapan Dimas. "Dia temanku. Jadi, apa masalahmu?""Bagaimana aku bisa tahu kalau kau memang temannya? Bisa saja kau mengaku-ngaku. Aku tidak bisa membi
"Sayang, bangun. Ini sudah pagi."Billy sedang duduk di tepi ranjang kembali memberikan kecupan singkat di pipi sang istri yang masih terlelap sejak siang hingga 7 sore hari. Sejak tadi, dia sudah berusaha untuk membangun Nindy dengan memberikan kecupan-kecupan ringan di wajahnya, tapi sang istri tidak terpengaruh sedikit pun.Sore kemarin, mereka baru saja tiba di penginapan Soneva Jani yang terletak di pulau Medhufaru. Nindy yang kelelahan akibat perjalanan jauh langsung tertidur setelah makan malam bersama dengan Billy dan belum terbangun hingga kini. Padahal, dia bilang ingin berenang sambil melihat matahari terbit."Jam berapa ini?" tanya Nindy dengan suara serak.Akhirnya, dia membuka mata setelah dibangun selama kurang lebih 15 menit oleh Billy. Meski sudah terbangun, tapi matanya belum terbuka dengan sempurna."Jam 7 pagi, Sayang," jawab Billy lembut sambil merapihkan anak rambut sang istri yang menutupi sebagian matanya. "Kamu masih ngantuk?"Nindy menggeleng lemah. "Nggak. C