"Surprise." Billy tampak tercengang melihat Airin berdiri di hadapannya ketika dia baru saja membuka pintu. "Aku kangen sama kamu, Bill." Billy mematung ketika Airin tiba-tiba menghambur ke pelukannya tanpa bisa dia hindari. "Maaf." Airin segera menjauhkan diri dari Billy ketika menyadari kalau pria itu tidak membalas pelukannya. "Aku lupa kalau kamu udah punya calon istri." Billy mengangguk, kemudian berusaha tersenyum untuk mencairkan suasan yang tiba-tiba terasa canggung. "Kenapa kamu udah di sini? Kapan sampai?" Padahal, sebelumnya wanita itu bilang belum bisa ke Indonesia karena belum mendapatkan cuti. Tapi, ternyata dia sudah berada di rumahnya sekarang. "Baru aja nyampe," jawab Airin sambil tersenyum manis. "Dari bandara aku langsung ke sini." Keduanya pun berjalan bersama-sama menuju ruangan keluarga. Dia ruangan itu, ternyata sudah ada Amara yang sedang duduk di sofa. "Kenapa Mama nggak bilang kalau ada Airin?" Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, Billy terus saja m
"Apa kamu juga pernah tidur sama dia?" Pertanyaan Nindy itu membuat Billy seketika membeku dengan kelopak mata yang melebar. Tidak pernah terbayangkan olehnya jika Nindy menanyakan hal itu padanya. Terlebih saat hubungan mereka sudah di tahap serius. "Diam berarti iya." Tangan Billy perlahan terkepal. "Kamu bertanya atau sedang menuduhku?" tanyanya dengan sorot mata tajam. "Iya atau nggak?" ujar Nindy dengan wajah tegasnya. "Aku nggak pernah tidur sama dia." "Kamu yakin?" tanya Nindy dengan tatapan menyelidik. "Kamu harus jawab yang jujur. Kalau sampai kamu bohong, maka kita selesai sampai di sini." "Aku sangat yakin. Aku nggak pernah tidur sama dia ataupun wanita lain," jawab Billy dengan tegas. "Mencium dia aja belum pernah, apalagi menidurinya. Satu-satunya wanita yang pernah aku sentuh cuma kamu." Nindy menatap iris coklat Billy dengan tatapan menyelidik, seolah sedang mencari kebenaran di dalam sana. "Lagi pula, Airin bukan wanita seperti itu. Dia wanita baik-baik, tidak
"Rin, aku mau bicara sama kamu sebentar." Airin yang sedang mengobrol dengan Amara di ruangan keluarga seketika mendongak ketika Billy berhenti di dekatnya. "Ada apa?" Melihat wajah serius putranya, Amara yakin kalau mereka pasti ingin berbicara hal serius. Itu sebabnya dia langsung berdiri dan meninggalkan ruangan itu agar mereka bertiga bisa bicara dengan leluasa. "Nindy salah paham tentang hubungan kita berdua. Tolong jelasin supaya dia nggak salah paham lagi." Airin melirik pada Nindy yang sedang berdiri di belakang Billy sebentar, lalu berkata, "Kamu suruh aku jelasin sama dia, apa kamu nggak takut aku bicara yang tidak-tidak?" "Aku yakin kamu nggak mungkin melakukan itu." Airin mengulas senyuman tipis, kemudian berkata dengan lemah lembut, "Oke, tapi aku mau bicara berdua aja sama Nindy." Tanpa pikir panjang, Billy langsung menyetujui permintaan Airin. "Sayang, kamu bicara sama Airin dulu, ya? Aku mau ambil HP di mobil dulu." Nindy mengangguk, kemudian mengikuti Airin m
"Kalau boleh jujur, tentu saja aku nggak rela, tapi mau tidak mau aku harus menerimanya. Billy sudah memilihmu, itu artinya nggak ada kesempatan lagi bagiku untuk memilikinya. Sekuat apa pun aku berusaha untuk mendapatkannya, jika dia memang bukan jodohku, maka dia tidak akan pernah menjadi milikku."Nindy cukup takjub dengan pemikiran Airin. Pantas saja Billy bisa dekat dengan Airin sampai saat ini, ternyata dia berbeda dengan Shela."Jadi, kamu memilih untuk menyerah?"Airin mengangguk. "Dulu, aku pikir lambat laun Billy pasti akan melupakanmu dan aku bisa pelan-pelan masuk ke dalam hatinya, tapi ternyata aku salah. Sejak awal, Billy nggak pernah berniat untuk mencari penggantimu. Jadi, aku memutuskan untuk berhenti sekarang," ucapnya.Meskipun sejak tadi Airin selalu tersenyum. Namun, Nindy sempat menangkap sekilas ada kesedihan di mata wanita itu."Selain itu, aku nggak suka merebut milik orang lain. Tapi, kalau kamu mau merelakan Billy untukku, maka aku akan menerimanya dengan se
“Bill, jangan macam-macam. Nanti Mama ke sini.“Melihat wajah ketakutan Nindy, Billy semakin ingin mengerjainya. “Biarin saja Mama datang ke sini dan melihat kita begini. Dengan begitu, kita akan segera dinikahkan.”Wajah Nindy semakin menegang ketika melihat Billy merendahkan tubuhnya ke depan hingga wajahnya keduanya berada di jarak yang sangat dekat."Bill, nanti Mama marah."Wajah Billy tampak terlihat acuh tak acuh. "Aku cuma ingin kamu segera menjadi milikku.""Bill, aku nggak mau membuat kesalahan lagi, cukup sekali aja waktu itu. Sekarang, biarin aku pergi.""Aku nggak akan mengizinkan kamu keluar sebelum mendapat yang aku inginkan.""Aku bakal teriak kalau kamu berani macam-macam," ancam Nindy dengan berani. "Biarin aja semua orang ke sini.""Teriak aja," kata Billy acuh tak acuh, "tapi, perlu kamu tahu, kamar aku kedap suara. Kamu mau teriak sekencang apa pun, nggak akan ada yang mendengarnya. Jadi, percuma aja kamu teriak."Nindy seketika membeku dengan wajah menengang. Dia
"Makasih kamu udah mau jelasin sama Nindy."Airin yang mendengar itu, seketika tersenyum dan menoleh pada Billy yang sedang berada di sebelah kanannnya."Iya, sama-sama. Aku melakukan itu juga untuk diriku sendiri."Saat ini, keduanya sedang duduk di balkon atas rumah Billy yang berada di lantai 3 yang menghadap ke kolam renang."Maaf, kalau aku melukai hati kamu.""Jangan minta maaf. Ini bukan salah kamu." Airin menghela pelan, kemudian kembali menatap ke depan. "Ini salahku. Aku yang memaksa diriku untuk bertahan sampai saat ini, padahal aku tahu kamu mencintai orang lain.""Kamu pasti bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari aku."Airin menatap ke bawah sebentar, beranjak dari duduknya, kemudian berdiri di pagar pembatas kaca bening sambil meletakkan tangannya di pembatas itu. "Aku harap juga begitu, tapi ..." Airin menoleh pada Billy yang masih setia duduk di kursinya dengan pandangan mengarah padanya, "apa aku bisa menemukan pria sebaik kamu?"Menurutnya, sosok pria sepert
"Apa boleh aku menghabiskan waktu seharian sama Billy besok?"Meskipun permintaan Airin cukup mengejutkan baginya. Namun, Nindy tetap menampilkan ekspresi biasa."Maaf, Airin. Aku nggak izinkan kamu pergi berdua aja sama Billy. Aku cuma mau menghindari hal-hal yang nggak diinginkan."Raut wajah Airin berubah menjadi kecewa. "Sebenarnya, aku cuma mau mengajak Billy untuk makan dan melihat-lihat aja di mal. Aku nggak punya maksud lain."Karena setelah Billy menikah, dia tidak akan bisa pergi dan menghabiskan waktu berdua lagi dengan Billy seperti yang dulu pernah mereka lakukan."Kamu jangan takut aku berbuat macem-macem. Tapi, kalau kamu nggak mengizinkan, aku juga nggak akan maksa kamu.""Kalau begitu, kamu bisa tanya sama Billy. Kalau dia mau, maka aku izinkan."Raut wajah Airin seketika berubah menjadi bahagia. Senyuman lebar tampak mengembang di wajah kecilnya. "Kamu beneran?"Nindy mengangguk yakin. "Asalkan Billy setuju, kamu boleh pergi sama dia."Alasan Nindy mengatakan itu pad
"Kita langsung jemput Airin atau gimana?"Nindy menatap Billy yang baru saja menghidupkan mesin mobilnya. Sore ini, rencana mereka akan menemani Airin seperti permintaan wanita itu kemarin."Ke apartemen aku dulu, ya?""Mau ngapain?""Ganti baju."Kurang lebih 1 jam lamanya, mereka pun tiba di apartemen Billy. Bukannya langsung berganti pakaian, Billy justru duduk bermalas-malasan di sofa ketika Nindy pergi ke kamar mandi."Kenapa belum ganti baju?" Sambil bertanya pada Billy, Nindy menghampiri pria itu dan duduk di sebelahnya. "Nanti Airin kelamaan nunggu kita."Saat ini saja sudah pukul 5 lewat, jika mereka tidak langsung berangkat sekarang, kemungkinan mereka akan tiba di rumah Billy pukul setengah 6 lewat."Kita nggak jadi pergi."Nindy seketika memutar tubuhnya ke arah Billy dengan wajah terkejut. "Kenapa?" tanyanya cepat."Airin batalin rencananya."Alis Nindy saling bertautan. "Kenapa tiba-tiba? Apa karena aku ikut, makanya dia batalin?""Bukan," sanggah Billy, "dia udah balik
"Menantu Anda tidak sakit, tapi dia sedang hamil," jawab Dokter wanita itu dengan senyuman tipis. "Hamil?" ulang Amara dengan wajah tercengang. "Maksud Dokter, ada calon cucu saya di perut menantu saya?" Meski dia sudah menduga kalau menantunya hamil, tapi Amara tetap terkejut ketika mendengar langsung berita baik itu dari mulut sang dokter. "Benar sekali." Nindy yang sejak tadi mendengar itu, tampak mengusap perutnya dengan lembut sambil tersenyum bahagia. Bagaimana tidak bahagia, dirinya bisa langsung hamil setelah pulang dari berbulan madu, sementara kakak iparnya belum hamil sampai sekarang. Padahal, dia sangat berharap bisa segera hamil setelah menikah. "Untuk memastikannya, silahkan langsung melakukan pemeriksaan USG dengan Dokter Obgyn." Setelah tiba di rumah sakit, Amara langsung membawa Nindy ke IGD. Sebenarnya, dia sudah curiga sejak awal kalau menantunya sedang hamil setelah putranya bercerita kalau sudah beberapa hari Nindy tidak napsu makan dan pagi tadi mengal
"Sayang, berhenti. Jangan main-main." Billy mencoba memperingatkan Nindy sejak tadi terus memainkan jemari lentiknya di dada bidangnya. Saat ini keduanya sedang berbaring di ranjang dengan posisi Billy bertelanjang dada menghadap ke langit-langit, sementara Nindy sedang berbaring miring menghadap Billy dengan mengenakan pakaian tidur tipis dan seksi "Aku cuma mau pegang, memangnya nggak boleh?" Billy memejamkan mata sambil menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan saat merasakan tangan Nindy semakin turun ke bawah. "Boleh, tapi jangan lama-lama. Nanti kamu menyesal." Nindy mengabaikan peringatan Billy dan semakin berani meraba tubuh sang suami. "Sayang, cukup." Nindy seketika menghentikan gerakan tangannya ketika tiba di otot perut Billy. "Kamu nggak suka aku pegang badan kamu?" Sebisa mungkin Billy berkata dengan pelan agar tidak menyinggung perasaan sang istri. "Nggak, Sayang. Aku suka, tapi ini untuk kebaikan kamu. Kamu sendiri yang rugi kalau terus memancin
"Sayang, kamu berdiri di sana, nanti aku foto," tunjuk Billy pada latar bangunan berwarna putih yang memiliki kubah warna biru. Saat ini keduanya sedang berada di Thira atau lebih dikenal dengan Santorini. Thira atau Santorini adalah pulau vulkanik yang berada di antara Pulau Ios dan Anafi, Yunani. Santorini terletak di Kepulauan Cyclades sekitar 200 km dari daratan Yunani. Di pulau ini, sangat terkenal dengan sejarah gunung meletus serta keindahan bangunan-bangunan putih dan gereja berkubah biru yang berada di pinggir tebing atau di bangun di atas lereng kaldera yang berada di kota Oia. "Aku nggak mau foto sendirian, maunya sama kamu." Ketika mendengar itu, Billy tidak tahan untuk menggodanya. "Sekarang, kayaknya kamu nggak bisa jauh-jauh dari aku, maunya nempel terus. Aku pergi ke mana, selalu aja mau ikut. Kamu begitu, apa karena takut suami kamu diambil orang?" "Jangan ngeledek terus. Cepetan, ke sini atau aku nanti aku foto sama orang lain." "Jangan coba-coba atau aku lempar
"Sayang, ayo kita berenang di bawah," ajak Nindy sambil menghampiri Billy yang sedang duduk bersantai di bawah payung pantai yang berada di pinggir kolam. "Kamu duluan aja, Sayang. Nanti aku nyusul." "Aku nggak mau berenang sendirian." "Aku istirahat sebentar, ya? Aku masih capek." Bagaimana tidak capek, kemarin dia habis menggempur Nindy hingga malam, lalu dia lanjutkan lagi menjelang pagi. Setelah itu, dia menemani Nindy bermain jet ski hingga pukul 9 pagi, kemudian bermain banana boat, parasailing hingga pukul 12 siang. Setelah makan siang, mereka berjalan-jalan di sekitar pulau sampai menjelang pukul 2 siang, kemudian pulang dan berendam bersama sambil menikmati pemandangan di luar. Jika dihitung-hitung, dia hanya beristirahat selama setengah jam. "Sebentar aja Sayang nanti habis berenang kamu bisa istirahat." Nindy meraih tangan Billy dan mencoba untuk menariknya, tapi sang suami tidak bergerak sedikit pun. "Nanti aku nyusul, Sayang. Aku liatin kamu dulu dari sini." "Ya, u
"Bagus banget pemandangannya." Mata Nindy tampak berbinar ketika melihat pemadangan bintang dari tempat tidurnya. Saat ini, dia dan Billy sedang berbaring di ranjang sambil menikmati pemandangan bintang di malam hari. Kebetulan sekali kamar mereka dilengkapi dengan atap kamar yang bisa dibuka tutup secara otomatis menggunakan tombol. "Rasanya aku pengen tinggal di sini terus." Billy yang sedang berbaring miring menghadap sang istri yang sedang tidur terlentang seketika tersenyum. "Nanti kita ke sini lagi kalau aku ada waktu." "Beneran?" tanya Nindy seketika memiringkan tubuhnya ke arah Billy. "Iya, Sayang." Nindy pun tersenyum. "Besok kita mau ke mana lagi?" Seharian ini, mereka sudah melakukan banyak hal. Snorkling, berjalan-jalan, bersepeda di sekitar resort, bermain air di pantai sampai sore hari, kemudian melakukan spa di resort tersebut. Malam harinya, mereka makan malam romantis di gedung utama resort. "Besok istirahat aja di kamar. Sorenya baru kita jalan-jalan
"Sayang, bangun. Ini sudah pagi."Billy sedang duduk di tepi ranjang kembali memberikan kecupan singkat di pipi sang istri yang masih terlelap sejak siang hingga 7 sore hari. Sejak tadi, dia sudah berusaha untuk membangun Nindy dengan memberikan kecupan-kecupan ringan di wajahnya, tapi sang istri tidak terpengaruh sedikit pun.Sore kemarin, mereka baru saja tiba di penginapan Soneva Jani yang terletak di pulau Medhufaru. Nindy yang kelelahan akibat perjalanan jauh langsung tertidur setelah makan malam bersama dengan Billy dan belum terbangun hingga kini. Padahal, dia bilang ingin berenang sambil melihat matahari terbit."Jam berapa ini?" tanya Nindy dengan suara serak.Akhirnya, dia membuka mata setelah dibangun selama kurang lebih 15 menit oleh Billy. Meski sudah terbangun, tapi matanya belum terbuka dengan sempurna."Jam 7 pagi, Sayang," jawab Billy lembut sambil merapihkan anak rambut sang istri yang menutupi sebagian matanya. "Kamu masih ngantuk?"Nindy menggeleng lemah. "Nggak. C
Baru saja Dimas memasuki lift untuk turun ke lantai bawah, tiba-tiba saja ada seorang wanita ambruk di depannya. Sebelum wanita itu sempat terjatuh di lantai, Dimas sudah lebih dulu menangkap tubuh wanita itu dan menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Selain Dimas dan wanita itu, ada seorang pria juga yang berada di dalam lift."Nona, ada apa denganmu?" tanya Dimas sambil menepuk wajah wanita yang sudah menyandarkan kepala di bahunya."Maaf, ini teman saya. Dia lagi sakit. Biar saya yang bawa dia."Pria yang berada satu lift dengan mereka akhir membuka suara setelah pintu lift tertutup.Saat pria itu akan menyentuh wanita itu, Dimas segera mencengkram tangannya dengan tatapan tajam. "Kau mau berbuat apa dengan wanita yang sedang pingsan?"Pria tinggi berkulit sawo matang yang mengaku sebagai teman wanita itu tampak tidak senang mendengar ucapan Dimas. "Dia temanku. Jadi, apa masalahmu?""Bagaimana aku bisa tahu kalau kau memang temannya? Bisa saja kau mengaku-ngaku. Aku tidak bisa membi
"Di mana Nindy?" tanya Angga setelah Billy duduk di kursi depannya.Siang ini Billy bertemu dengan Angga di restoran hotel tempatnya menginap. Di sana jugalah nanti dia akan bertemu dengan teman-temanya yang berasal dari Singapore."Lagi tidur."Angga seketika tersenyum mendengar itu. "Masih jam 10 pagi, tapi dia udah tidur?Sepertinya kau habis menggempurnya habis-habisan semalam sampai membuatnya kelelahan seperti itu."Bukannya marah diolok-olok oleh Angga, Billy justru menanggapi dengan santai, "Nggak ada yang salah dengan itu. Dia udah resmi menjadi istriku.""Tapi, setidaknya tahan dirimu sedikit. Dia pasti lelah setelah melewati resepsi pernikahan yang panjang. Seharusnya, biarkan dia beristirahat dulu sehari, setelah itu kau bisa melakukannya.""Aku nggak bisa menahannya.""Tapi, selama ini kau berhasil menahannya, bahkan sampai 6 tahun. Kau juga tidak pernah terpengaruh dengan Shela yang sudah berkali-kali menggodamu.""Tidak bisa jika Nindy orangnya," jawab Billy santai, "jan
"Sayang, kamu yakin mau sarapan bersama?" tanya Billy sambil menghampiri Nindy yang sedang mengeringkan rambut di depan cermin kamar mandi dengan menggunakan hairdryer."Iya, nggak enak kalau nggak ikut sarapan.""Memangnya kamu bisa jalan?" Billy melingkarkan tangan di perut istrinya sambil menatapnya dari pantulan cermin setelah Nindy mematikan pengering rambut yang ada di tangan kanannya."Bisa, tapi pelan-pelan." Setelah itu, Nindy membalik tubuhnya menghadap Billy."Kalau nggak bisa, jangan dipaksa, Sayang. Lebih baik sarapan di kamar aja. Mereka juga pasti maklum, kita, kan, pengantin baru.""Ini salah kamu. Katanya cuma sebentar, tapi ternyata keterusan."Billy terkekeh pelan melihat wajah cemberut istrinya. "Maaf, Sayang. Kamu tahu sendiri, aku udah menahannya sejak lama. Ini aja aku masih sedikit menahan diri karena kasihan sama kamu.""Menahan diri apanya, kamu jangan bercanda. Badan aku sakit semua karena ulah kamu."Billy kembali terkekeh pelan. Setelah tawanya mereda, dia