"Rin, aku mau bicara sama kamu sebentar." Airin yang sedang mengobrol dengan Amara di ruangan keluarga seketika mendongak ketika Billy berhenti di dekatnya. "Ada apa?" Melihat wajah serius putranya, Amara yakin kalau mereka pasti ingin berbicara hal serius. Itu sebabnya dia langsung berdiri dan meninggalkan ruangan itu agar mereka bertiga bisa bicara dengan leluasa. "Nindy salah paham tentang hubungan kita berdua. Tolong jelasin supaya dia nggak salah paham lagi." Airin melirik pada Nindy yang sedang berdiri di belakang Billy sebentar, lalu berkata, "Kamu suruh aku jelasin sama dia, apa kamu nggak takut aku bicara yang tidak-tidak?" "Aku yakin kamu nggak mungkin melakukan itu." Airin mengulas senyuman tipis, kemudian berkata dengan lemah lembut, "Oke, tapi aku mau bicara berdua aja sama Nindy." Tanpa pikir panjang, Billy langsung menyetujui permintaan Airin. "Sayang, kamu bicara sama Airin dulu, ya? Aku mau ambil HP di mobil dulu." Nindy mengangguk, kemudian mengikuti Airin m
"Kalau boleh jujur, tentu saja aku nggak rela, tapi mau tidak mau aku harus menerimanya. Billy sudah memilihmu, itu artinya nggak ada kesempatan lagi bagiku untuk memilikinya. Sekuat apa pun aku berusaha untuk mendapatkannya, jika dia memang bukan jodohku, maka dia tidak akan pernah menjadi milikku."Nindy cukup takjub dengan pemikiran Airin. Pantas saja Billy bisa dekat dengan Airin sampai saat ini, ternyata dia berbeda dengan Shela."Jadi, kamu memilih untuk menyerah?"Airin mengangguk. "Dulu, aku pikir lambat laun Billy pasti akan melupakanmu dan aku bisa pelan-pelan masuk ke dalam hatinya, tapi ternyata aku salah. Sejak awal, Billy nggak pernah berniat untuk mencari penggantimu. Jadi, aku memutuskan untuk berhenti sekarang," ucapnya.Meskipun sejak tadi Airin selalu tersenyum. Namun, Nindy sempat menangkap sekilas ada kesedihan di mata wanita itu."Selain itu, aku nggak suka merebut milik orang lain. Tapi, kalau kamu mau merelakan Billy untukku, maka aku akan menerimanya dengan se
“Bill, jangan macam-macam. Nanti Mama ke sini.“Melihat wajah ketakutan Nindy, Billy semakin ingin mengerjainya. “Biarin saja Mama datang ke sini dan melihat kita begini. Dengan begitu, kita akan segera dinikahkan.”Wajah Nindy semakin menegang ketika melihat Billy merendahkan tubuhnya ke depan hingga wajahnya keduanya berada di jarak yang sangat dekat."Bill, nanti Mama marah."Wajah Billy tampak terlihat acuh tak acuh. "Aku cuma ingin kamu segera menjadi milikku.""Bill, aku nggak mau membuat kesalahan lagi, cukup sekali aja waktu itu. Sekarang, biarin aku pergi.""Aku nggak akan mengizinkan kamu keluar sebelum mendapat yang aku inginkan.""Aku bakal teriak kalau kamu berani macam-macam," ancam Nindy dengan berani. "Biarin aja semua orang ke sini.""Teriak aja," kata Billy acuh tak acuh, "tapi, perlu kamu tahu, kamar aku kedap suara. Kamu mau teriak sekencang apa pun, nggak akan ada yang mendengarnya. Jadi, percuma aja kamu teriak."Nindy seketika membeku dengan wajah menengang. Dia
"Makasih kamu udah mau jelasin sama Nindy."Airin yang mendengar itu, seketika tersenyum dan menoleh pada Billy yang sedang berada di sebelah kanannnya."Iya, sama-sama. Aku melakukan itu juga untuk diriku sendiri."Saat ini, keduanya sedang duduk di balkon atas rumah Billy yang berada di lantai 3 yang menghadap ke kolam renang."Maaf, kalau aku melukai hati kamu.""Jangan minta maaf. Ini bukan salah kamu." Airin menghela pelan, kemudian kembali menatap ke depan. "Ini salahku. Aku yang memaksa diriku untuk bertahan sampai saat ini, padahal aku tahu kamu mencintai orang lain.""Kamu pasti bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari aku."Airin menatap ke bawah sebentar, beranjak dari duduknya, kemudian berdiri di pagar pembatas kaca bening sambil meletakkan tangannya di pembatas itu. "Aku harap juga begitu, tapi ..." Airin menoleh pada Billy yang masih setia duduk di kursinya dengan pandangan mengarah padanya, "apa aku bisa menemukan pria sebaik kamu?"Menurutnya, sosok pria sepert
"Apa boleh aku menghabiskan waktu seharian sama Billy besok?"Meskipun permintaan Airin cukup mengejutkan baginya. Namun, Nindy tetap menampilkan ekspresi biasa."Maaf, Airin. Aku nggak izinkan kamu pergi berdua aja sama Billy. Aku cuma mau menghindari hal-hal yang nggak diinginkan."Raut wajah Airin berubah menjadi kecewa. "Sebenarnya, aku cuma mau mengajak Billy untuk makan dan melihat-lihat aja di mal. Aku nggak punya maksud lain."Karena setelah Billy menikah, dia tidak akan bisa pergi dan menghabiskan waktu berdua lagi dengan Billy seperti yang dulu pernah mereka lakukan."Kamu jangan takut aku berbuat macem-macem. Tapi, kalau kamu nggak mengizinkan, aku juga nggak akan maksa kamu.""Kalau begitu, kamu bisa tanya sama Billy. Kalau dia mau, maka aku izinkan."Raut wajah Airin seketika berubah menjadi bahagia. Senyuman lebar tampak mengembang di wajah kecilnya. "Kamu beneran?"Nindy mengangguk yakin. "Asalkan Billy setuju, kamu boleh pergi sama dia."Alasan Nindy mengatakan itu pad
"Kita langsung jemput Airin atau gimana?"Nindy menatap Billy yang baru saja menghidupkan mesin mobilnya. Sore ini, rencana mereka akan menemani Airin seperti permintaan wanita itu kemarin."Ke apartemen aku dulu, ya?""Mau ngapain?""Ganti baju."Kurang lebih 1 jam lamanya, mereka pun tiba di apartemen Billy. Bukannya langsung berganti pakaian, Billy justru duduk bermalas-malasan di sofa ketika Nindy pergi ke kamar mandi."Kenapa belum ganti baju?" Sambil bertanya pada Billy, Nindy menghampiri pria itu dan duduk di sebelahnya. "Nanti Airin kelamaan nunggu kita."Saat ini saja sudah pukul 5 lewat, jika mereka tidak langsung berangkat sekarang, kemungkinan mereka akan tiba di rumah Billy pukul setengah 6 lewat."Kita nggak jadi pergi."Nindy seketika memutar tubuhnya ke arah Billy dengan wajah terkejut. "Kenapa?" tanyanya cepat."Airin batalin rencananya."Alis Nindy saling bertautan. "Kenapa tiba-tiba? Apa karena aku ikut, makanya dia batalin?""Bukan," sanggah Billy, "dia udah balik
"Nin, apa boleh aku ..."Billy menggantungkan ucapannya dengan ekspresi wajah yang sulit ditebak, membuat Nindy merasa bingung sekaligis heran."Boleh apa, Bill?" Akhirnya, Nindy bertanya karena Billy tak kunjung menyelesaikan ucapannya."Apa boleh aku mandi dulu sebelum anter kamu pulang?""Mandi?" ulang Nindy dengan wajah heran."Iya. Aku ngerasa gerah. Aku mau mandi dulu."Nindy pun segera bangkit dan duduk di sofa kosong di sebelah Billy."Kamu tunggu di sini. Kalau capek, kamu tiduran aja di sofa atau kamar aku."Nindy hanya mengangguk sambil terus memperhatikan punggung Billy yang mulai menjauh dengan ekspresi wajah heran dan bingung.Tidak biasanya Billy mandi sebelum mengantarnya pulang. Itu terasa aneh baginya. Apalagi suhu di apartemen Billy sangat dingin, bagaimana bisa Billy merasa kepanasan?"Tumben kamu mandinya lama?" tanya Nindy ketika Billy keluar dari kamar dengan wajah segar dan rambut yang masih setengah basah."Ini semua gara-gara kamu."Nindy segera menoleh pada
"Coba kamu lihat siapa itu."Nindy mengangguk, kemudian mengintip dari lubang kecil yang ada di tengah pintu. Setelah tahu, Nindy segera berbalik dengan wajah khawatir."Mama, Bill. Buruan kamu sembunyi.""Nggak usah sembunyi," ujar Billy dengan tenang, "biarin aja mama kamu tahu aku ada di sini.""Kamu jangan gila, Bill. Mama bisa marahin kita nanti."Karena bel kamarnya terus berbunyi, Nindy menjadi semakin panik. Tanpa pikir panjang, dia segera menarik Billy masuk ke kamar mandi."Kamu tunggu di sini. Jangan berani keluar sebelum Mama pergi dari sini atau aku bakal marah sama kamu," ancam Nindy sebelum menutup pintu.Billy tampak hanya tersenyum dengan wajah santai. "Iya, Sayang."Saat Nindy akan berbalik, tangannya ditahan oleh Billy. "Kasih aku hadiah dulu biar patuh," katanya dengan santai.Meskipun geram, Nindy memutuskan untuk mencium pipi kanan Billy, kemudian keluar dari sana. Setelah menutup pintu kamar mandi, Nindy merapihkan baju serta rambutnya. Tidak lupa dia menyeka ke