Pukul 10 pagi mereka tiba mall terbesar yang ada di Jakarta. Mereka langsung menuju ke toko perhiasan yang memiliki brand terkenal."Sayang, kamu mau yang mana?"Nindy yang sedang memandangi deretan cincin yang ada si etalase tampak menampilkan wajah bingung. Sudah setengah jam mereka berada di toko perhiasan itu dan Nindy belum juga menjatuhkan pilihannya pada salah satu cincin yang ada di sana."Aku bingung," jawabnya sambil menoleh pada Billy yang sedang berdiri di samping kanannya."Tolong carikan cincin pasangan untuk acara pertunangan dan pernikahan yang memiliki desain unik dan tidak pasaran," pinta Billy pada pegawai yang sejak tadi melayani mereka."Baik, Pak. Mohon ditunggu."Billy pun mengajak Nindy untuk duduk di sofa sambil menunggu. Tidak sampai sepuluh menit, pegawai itu kembali datang dengan membawa beberapa pasang cincin."Kamu pilih aja, Sayang. Pilih yang kamu suka."Nindy menatap sejenak pada cincin itu, kemudian meraih salah satu cincin pasangan yang memiliki desa
Sandrina tersenyum tipis, kemudian sedikit memutar posisi duduknya menghadap Billy. "Bukannya dulu kamu sempat menjalin hubungan sama Airin waktu kalian kuliah bareng di Singapura? Kamu sendiri yang bilang waktu itu."Billy membisu sesaat dengan pandangan mengarah ke bawah. "Kami cuma dekat," ujarnya dengan pelan, "waktu itu aku terpaksa berpura-pura berpacaran dengan Airin untuk menghindari Shela."Tapi, ternyata wanita itu memiliki segudang cara untuk memisahkannya dengan Airin sampai akhirnya hubungan pura-puranya bersama Airin terbongkar."Tapi, kamu tahu, kan, kalau Airin punya perasaan lebih sama kamu?"Jelas dia tahu. Tapi, dia berpura-pura tidak tahu agar hubungan mereka tidak canggung. Bagaimanapun, Airin cukup berjasa di hidupnya. Wanita itu selalu berada di sisinya saat masa-masa sulitnya setelah hubungannya dengan Nindy kandas. Airin selalu menyemangati serta menemani hari-harinya."Aku cuma menganggap dia sebagai sahabat.""Tapi, kamu sempat memiliki rasa juga, kan, denga
"Lagi apa?"Billy yang baru saja selesai berganti baju, mendatangi Nindy yang sedang berada di dapur."Aku haus, mau ambil minuman."Karena cuaca siang itu sangat panas, jadi Nindy merasa sangat haus dan ingin mengkonsumsi minuman dingin untuk meredakan rasa hausnya.Kebetulan sekali banyak minuman kaleng dan botol di kulkas apartemen Billy, jadi dia ingin mengambil salah satunya. Hanya saja, karena terlalu banyak pilihan, jadi bingung ingin minuman yang mana. Itu sebabnya, sejak tadi dia berdiri cukup lama di depan kulkas."Jangan ambil yang itu." Billy segera merebut minuman kaleng yang baru saja Nindy ambil dari kulkas."Kenapa?" tanya Nindy."Itu ada alkoholnya."Meskipun kadar alkohol dalam minuman kaleng itu sangat rendah. Namun, tetap saja Billy takut itu bisa berpengaruh pada Nindy. Apalagi, dia belum pernah mengkonsumsi minuman yang mengandung alkohol sebelumnya."Kamu suka minum minuman kayak gitu?""Nggak. Kadang-kadang aja. Angga yang suka minuman itu."Karena dulu Angga s
Melihat anaknya yang mulai terbawa emosi, Amara segera menenangkannya. "Dengerin Mama dulu. Alasan kenapa pertunangan itu dibatalin karena ..."Ibu Billy sengaja menggantung ucapannya dengan senyuman misterius untuk membuat anaknya penasaran dan terbukti itu berhasil karena beberapa detik kemudian, Billy langsung memberondong ibunya dengan banyak pertanyaan."Karena apa, Ma? Orang tua Nindy berubah pikiran? Mereka mau batalin pernikahan kami juga?""Ya. Orang tua Nindy berubah pikiran. Tapi, ..."Belum selesai ibunya bicara, Billy sudah bangkit dari duduknya."Kamu mau ke mana?""Mau menemui orang tua Nindy.""Untuk apa?""Aku mau bertanya, kenapa mereka tiba-tiba berubah pikiran. Padahal, hari pertunangan dan pernikahan udah ditentuin.""Kamu duduk dulu, biarkan mamamu selesai bicara," sahut Ayah Billy dengan tenang."Iya, Mama belum selesai bicara, kamu udah mau pergi aja."Akhirnya, Billy kembali duduk, sementara Nindy masih diam dengan perasaan gelisah."Orang tua Nindy memang ber
"Nin, sini."Sania melambaikan tangan pada Nindy yang baru saja datang ke rumah orang tuanya. Setelah Nindy duduk di sebelahnya, Sania mulai membongkar koper."Ini aku bawain oleh-oleh untuk kamu."Sania baru saja pulang dari bulan madu tiga hari yang lalu, tapi dia tidak langsung pulang ke rumah orang tuanya karena suaminya mengajak untuk pulang ke rumah baru mereka terlebih dahulu."Aku beliin ini semua buat kamu."Kelopak mata Nindy membesar ketika melihat begitu banyak barang yang dibelikan oleh kakak Billy untuknya. Ada tas, parfum, jam tangan, dan juga baju. Semua barang-barang itu berasal dari brand yang sangat terkenal dan namanya sudah mendunia. Nindy yakin semua harga barang-barang itu sangat mahal."Aku baju aja, Kak."Nindy merasa sungkan untuk menerima semua barang mewah itu, terlebih ketika dia tahu harga dari tas yang dibelikan oleh Sania jika dirupiahkan seharga mobil baru. Itu hanya harga untuk sebuah tas, belum lagi harga barang lainnya. Mana bisa dia menerima semua
Nindy melirik Billy sekilas melalui kaca spion, kemudian menjawab, "Itu belum dibicarain, Kak. Kalau aku sih, tergantung Billy aja.""Kamu harusnya minta, Nin. Mahar itu, kan, untuk kamu. Kalau kamu bingung, minta aja uang atau logam mulia. Minta yang banyak, jangan nanggung-nanggung."Billy yang sejak tadi sedang menyetir hanya diam dan tidak memberikan komentar apa pun mendengar ucapan kakaknya."Aku nggak mau memberatkan Billy, Kak."Mana mungkin dia meminta mahar yang banyak, sementara dirinya saja sudah tidak utuh. Meskipun, Billy yang sudah mengambilnya, tetap saja dia merasa tidak pantas untuk meminta lebih."Duh, Nin. Uang Billy itu banyak, jadi dia nggak bakal keberatan kalau kamu minta mahar banyak. Kalau dia memang cinta sama kamu, dia pasti nggak keberatan kamu minta berapa aja."Setelah mengatakan itu, Sania menatap Billy dari kaca spion. "Bill, kamu tuh jangan kasih mahar sedikit dong buat Nindy. Kamu jangan bikin malu keluarga kita. Jangan pelit-pelit."Billy mengembusk
"Airin? Memangnya, apa yang mau kamu tanya soal dia?" Nindy terdiam sejenak, kemudian berkata, "Kalau aku boleh tau, siapa Airin, Kak?" Pertanyaan itu, sebenarnya sudah pernah Nindy tanyakan pada Billy dan Billy hanya menjawab kalau Airin adalah temannya. Hanya itu, tidak ada penjelasan apa-apa lagi dari Billy. Dia ingin bertanya lebih dalam lagi, tapi Billy seolah menghindar. "Airin tuh teman dekat Billy." Mulut Nindy membentuk huruf O usai mendengar jawaban Sania. "Semenjak kapan Billy dan Airin saling mengenal, Kak?" "Mereka kenal sejak kuliah," jawab Sania sambil memilih lingerie. Billy memang sudah pernah mengatakan itu padanya, tapi hanya sekedar itu. "Tapi, aku nggak pernah tau kalau Billy punya teman yang namanya Airin, Kak." Jika dia tidak salah ingat, ketika mereka kuliah dulu, Billy tidak memiliki teman di kampus yang bernama Airin. Selama berpacaran dengannya, Nindy belum pernah mendengar nama itu. Dugaannya waktu itu, kemungkinan Airin adalah teman Billy waktu seko
"Surprise." Billy tampak tercengang melihat Airin berdiri di hadapannya ketika dia baru saja membuka pintu. "Aku kangen sama kamu, Bill." Billy mematung ketika Airin tiba-tiba menghambur ke pelukannya tanpa bisa dia hindari. "Maaf." Airin segera menjauhkan diri dari Billy ketika menyadari kalau pria itu tidak membalas pelukannya. "Aku lupa kalau kamu udah punya calon istri." Billy mengangguk, kemudian berusaha tersenyum untuk mencairkan suasan yang tiba-tiba terasa canggung. "Kenapa kamu udah di sini? Kapan sampai?" Padahal, sebelumnya wanita itu bilang belum bisa ke Indonesia karena belum mendapatkan cuti. Tapi, ternyata dia sudah berada di rumahnya sekarang. "Baru aja nyampe," jawab Airin sambil tersenyum manis. "Dari bandara aku langsung ke sini." Keduanya pun berjalan bersama-sama menuju ruangan keluarga. Dia ruangan itu, ternyata sudah ada Amara yang sedang duduk di sofa. "Kenapa Mama nggak bilang kalau ada Airin?" Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, Billy terus saja m
"Menantu Anda tidak sakit, tapi dia sedang hamil," jawab Dokter wanita itu dengan senyuman tipis. "Hamil?" ulang Amara dengan wajah tercengang. "Maksud Dokter, ada calon cucu saya di perut menantu saya?" Meski dia sudah menduga kalau menantunya hamil, tapi Amara tetap terkejut ketika mendengar langsung berita baik itu dari mulut sang dokter. "Benar sekali." Nindy yang sejak tadi mendengar itu, tampak mengusap perutnya dengan lembut sambil tersenyum bahagia. Bagaimana tidak bahagia, dirinya bisa langsung hamil setelah pulang dari berbulan madu, sementara kakak iparnya belum hamil sampai sekarang. Padahal, dia sangat berharap bisa segera hamil setelah menikah. "Untuk memastikannya, silahkan langsung melakukan pemeriksaan USG dengan Dokter Obgyn." Setelah tiba di rumah sakit, Amara langsung membawa Nindy ke IGD. Sebenarnya, dia sudah curiga sejak awal kalau menantunya sedang hamil setelah putranya bercerita kalau sudah beberapa hari Nindy tidak napsu makan dan pagi tadi mengal
"Sayang, berhenti. Jangan main-main." Billy mencoba memperingatkan Nindy sejak tadi terus memainkan jemari lentiknya di dada bidangnya. Saat ini keduanya sedang berbaring di ranjang dengan posisi Billy bertelanjang dada menghadap ke langit-langit, sementara Nindy sedang berbaring miring menghadap Billy dengan mengenakan pakaian tidur tipis dan seksi "Aku cuma mau pegang, memangnya nggak boleh?" Billy memejamkan mata sambil menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan saat merasakan tangan Nindy semakin turun ke bawah. "Boleh, tapi jangan lama-lama. Nanti kamu menyesal." Nindy mengabaikan peringatan Billy dan semakin berani meraba tubuh sang suami. "Sayang, cukup." Nindy seketika menghentikan gerakan tangannya ketika tiba di otot perut Billy. "Kamu nggak suka aku pegang badan kamu?" Sebisa mungkin Billy berkata dengan pelan agar tidak menyinggung perasaan sang istri. "Nggak, Sayang. Aku suka, tapi ini untuk kebaikan kamu. Kamu sendiri yang rugi kalau terus memancin
"Sayang, kamu berdiri di sana, nanti aku foto," tunjuk Billy pada latar bangunan berwarna putih yang memiliki kubah warna biru. Saat ini keduanya sedang berada di Thira atau lebih dikenal dengan Santorini. Thira atau Santorini adalah pulau vulkanik yang berada di antara Pulau Ios dan Anafi, Yunani. Santorini terletak di Kepulauan Cyclades sekitar 200 km dari daratan Yunani. Di pulau ini, sangat terkenal dengan sejarah gunung meletus serta keindahan bangunan-bangunan putih dan gereja berkubah biru yang berada di pinggir tebing atau di bangun di atas lereng kaldera yang berada di kota Oia. "Aku nggak mau foto sendirian, maunya sama kamu." Ketika mendengar itu, Billy tidak tahan untuk menggodanya. "Sekarang, kayaknya kamu nggak bisa jauh-jauh dari aku, maunya nempel terus. Aku pergi ke mana, selalu aja mau ikut. Kamu begitu, apa karena takut suami kamu diambil orang?" "Jangan ngeledek terus. Cepetan, ke sini atau aku nanti aku foto sama orang lain." "Jangan coba-coba atau aku lempar
"Sayang, ayo kita berenang di bawah," ajak Nindy sambil menghampiri Billy yang sedang duduk bersantai di bawah payung pantai yang berada di pinggir kolam. "Kamu duluan aja, Sayang. Nanti aku nyusul." "Aku nggak mau berenang sendirian." "Aku istirahat sebentar, ya? Aku masih capek." Bagaimana tidak capek, kemarin dia habis menggempur Nindy hingga malam, lalu dia lanjutkan lagi menjelang pagi. Setelah itu, dia menemani Nindy bermain jet ski hingga pukul 9 pagi, kemudian bermain banana boat, parasailing hingga pukul 12 siang. Setelah makan siang, mereka berjalan-jalan di sekitar pulau sampai menjelang pukul 2 siang, kemudian pulang dan berendam bersama sambil menikmati pemandangan di luar. Jika dihitung-hitung, dia hanya beristirahat selama setengah jam. "Sebentar aja Sayang nanti habis berenang kamu bisa istirahat." Nindy meraih tangan Billy dan mencoba untuk menariknya, tapi sang suami tidak bergerak sedikit pun. "Nanti aku nyusul, Sayang. Aku liatin kamu dulu dari sini." "Ya, u
"Bagus banget pemandangannya." Mata Nindy tampak berbinar ketika melihat pemadangan bintang dari tempat tidurnya. Saat ini, dia dan Billy sedang berbaring di ranjang sambil menikmati pemandangan bintang di malam hari. Kebetulan sekali kamar mereka dilengkapi dengan atap kamar yang bisa dibuka tutup secara otomatis menggunakan tombol. "Rasanya aku pengen tinggal di sini terus." Billy yang sedang berbaring miring menghadap sang istri yang sedang tidur terlentang seketika tersenyum. "Nanti kita ke sini lagi kalau aku ada waktu." "Beneran?" tanya Nindy seketika memiringkan tubuhnya ke arah Billy. "Iya, Sayang." Nindy pun tersenyum. "Besok kita mau ke mana lagi?" Seharian ini, mereka sudah melakukan banyak hal. Snorkling, berjalan-jalan, bersepeda di sekitar resort, bermain air di pantai sampai sore hari, kemudian melakukan spa di resort tersebut. Malam harinya, mereka makan malam romantis di gedung utama resort. "Besok istirahat aja di kamar. Sorenya baru kita jalan-jalan
"Sayang, bangun. Ini sudah pagi."Billy sedang duduk di tepi ranjang kembali memberikan kecupan singkat di pipi sang istri yang masih terlelap sejak siang hingga 7 sore hari. Sejak tadi, dia sudah berusaha untuk membangun Nindy dengan memberikan kecupan-kecupan ringan di wajahnya, tapi sang istri tidak terpengaruh sedikit pun.Sore kemarin, mereka baru saja tiba di penginapan Soneva Jani yang terletak di pulau Medhufaru. Nindy yang kelelahan akibat perjalanan jauh langsung tertidur setelah makan malam bersama dengan Billy dan belum terbangun hingga kini. Padahal, dia bilang ingin berenang sambil melihat matahari terbit."Jam berapa ini?" tanya Nindy dengan suara serak.Akhirnya, dia membuka mata setelah dibangun selama kurang lebih 15 menit oleh Billy. Meski sudah terbangun, tapi matanya belum terbuka dengan sempurna."Jam 7 pagi, Sayang," jawab Billy lembut sambil merapihkan anak rambut sang istri yang menutupi sebagian matanya. "Kamu masih ngantuk?"Nindy menggeleng lemah. "Nggak. C
Baru saja Dimas memasuki lift untuk turun ke lantai bawah, tiba-tiba saja ada seorang wanita ambruk di depannya. Sebelum wanita itu sempat terjatuh di lantai, Dimas sudah lebih dulu menangkap tubuh wanita itu dan menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Selain Dimas dan wanita itu, ada seorang pria juga yang berada di dalam lift."Nona, ada apa denganmu?" tanya Dimas sambil menepuk wajah wanita yang sudah menyandarkan kepala di bahunya."Maaf, ini teman saya. Dia lagi sakit. Biar saya yang bawa dia."Pria yang berada satu lift dengan mereka akhir membuka suara setelah pintu lift tertutup.Saat pria itu akan menyentuh wanita itu, Dimas segera mencengkram tangannya dengan tatapan tajam. "Kau mau berbuat apa dengan wanita yang sedang pingsan?"Pria tinggi berkulit sawo matang yang mengaku sebagai teman wanita itu tampak tidak senang mendengar ucapan Dimas. "Dia temanku. Jadi, apa masalahmu?""Bagaimana aku bisa tahu kalau kau memang temannya? Bisa saja kau mengaku-ngaku. Aku tidak bisa membi
"Di mana Nindy?" tanya Angga setelah Billy duduk di kursi depannya.Siang ini Billy bertemu dengan Angga di restoran hotel tempatnya menginap. Di sana jugalah nanti dia akan bertemu dengan teman-temanya yang berasal dari Singapore."Lagi tidur."Angga seketika tersenyum mendengar itu. "Masih jam 10 pagi, tapi dia udah tidur?Sepertinya kau habis menggempurnya habis-habisan semalam sampai membuatnya kelelahan seperti itu."Bukannya marah diolok-olok oleh Angga, Billy justru menanggapi dengan santai, "Nggak ada yang salah dengan itu. Dia udah resmi menjadi istriku.""Tapi, setidaknya tahan dirimu sedikit. Dia pasti lelah setelah melewati resepsi pernikahan yang panjang. Seharusnya, biarkan dia beristirahat dulu sehari, setelah itu kau bisa melakukannya.""Aku nggak bisa menahannya.""Tapi, selama ini kau berhasil menahannya, bahkan sampai 6 tahun. Kau juga tidak pernah terpengaruh dengan Shela yang sudah berkali-kali menggodamu.""Tidak bisa jika Nindy orangnya," jawab Billy santai, "jan
"Sayang, kamu yakin mau sarapan bersama?" tanya Billy sambil menghampiri Nindy yang sedang mengeringkan rambut di depan cermin kamar mandi dengan menggunakan hairdryer."Iya, nggak enak kalau nggak ikut sarapan.""Memangnya kamu bisa jalan?" Billy melingkarkan tangan di perut istrinya sambil menatapnya dari pantulan cermin setelah Nindy mematikan pengering rambut yang ada di tangan kanannya."Bisa, tapi pelan-pelan." Setelah itu, Nindy membalik tubuhnya menghadap Billy."Kalau nggak bisa, jangan dipaksa, Sayang. Lebih baik sarapan di kamar aja. Mereka juga pasti maklum, kita, kan, pengantin baru.""Ini salah kamu. Katanya cuma sebentar, tapi ternyata keterusan."Billy terkekeh pelan melihat wajah cemberut istrinya. "Maaf, Sayang. Kamu tahu sendiri, aku udah menahannya sejak lama. Ini aja aku masih sedikit menahan diri karena kasihan sama kamu.""Menahan diri apanya, kamu jangan bercanda. Badan aku sakit semua karena ulah kamu."Billy kembali terkekeh pelan. Setelah tawanya mereda, dia