Sandrina tersenyum tipis, kemudian sedikit memutar posisi duduknya menghadap Billy. "Bukannya dulu kamu sempat menjalin hubungan sama Airin waktu kalian kuliah bareng di Singapura? Kamu sendiri yang bilang waktu itu."Billy membisu sesaat dengan pandangan mengarah ke bawah. "Kami cuma dekat," ujarnya dengan pelan, "waktu itu aku terpaksa berpura-pura berpacaran dengan Airin untuk menghindari Shela."Tapi, ternyata wanita itu memiliki segudang cara untuk memisahkannya dengan Airin sampai akhirnya hubungan pura-puranya bersama Airin terbongkar."Tapi, kamu tahu, kan, kalau Airin punya perasaan lebih sama kamu?"Jelas dia tahu. Tapi, dia berpura-pura tidak tahu agar hubungan mereka tidak canggung. Bagaimanapun, Airin cukup berjasa di hidupnya. Wanita itu selalu berada di sisinya saat masa-masa sulitnya setelah hubungannya dengan Nindy kandas. Airin selalu menyemangati serta menemani hari-harinya."Aku cuma menganggap dia sebagai sahabat.""Tapi, kamu sempat memiliki rasa juga, kan, denga
"Lagi apa?"Billy yang baru saja selesai berganti baju, mendatangi Nindy yang sedang berada di dapur."Aku haus, mau ambil minuman."Karena cuaca siang itu sangat panas, jadi Nindy merasa sangat haus dan ingin mengkonsumsi minuman dingin untuk meredakan rasa hausnya.Kebetulan sekali banyak minuman kaleng dan botol di kulkas apartemen Billy, jadi dia ingin mengambil salah satunya. Hanya saja, karena terlalu banyak pilihan, jadi bingung ingin minuman yang mana. Itu sebabnya, sejak tadi dia berdiri cukup lama di depan kulkas."Jangan ambil yang itu." Billy segera merebut minuman kaleng yang baru saja Nindy ambil dari kulkas."Kenapa?" tanya Nindy."Itu ada alkoholnya."Meskipun kadar alkohol dalam minuman kaleng itu sangat rendah. Namun, tetap saja Billy takut itu bisa berpengaruh pada Nindy. Apalagi, dia belum pernah mengkonsumsi minuman yang mengandung alkohol sebelumnya."Kamu suka minum minuman kayak gitu?""Nggak. Kadang-kadang aja. Angga yang suka minuman itu."Karena dulu Angga s
Melihat anaknya yang mulai terbawa emosi, Amara segera menenangkannya. "Dengerin Mama dulu. Alasan kenapa pertunangan itu dibatalin karena ..."Ibu Billy sengaja menggantung ucapannya dengan senyuman misterius untuk membuat anaknya penasaran dan terbukti itu berhasil karena beberapa detik kemudian, Billy langsung memberondong ibunya dengan banyak pertanyaan."Karena apa, Ma? Orang tua Nindy berubah pikiran? Mereka mau batalin pernikahan kami juga?""Ya. Orang tua Nindy berubah pikiran. Tapi, ..."Belum selesai ibunya bicara, Billy sudah bangkit dari duduknya."Kamu mau ke mana?""Mau menemui orang tua Nindy.""Untuk apa?""Aku mau bertanya, kenapa mereka tiba-tiba berubah pikiran. Padahal, hari pertunangan dan pernikahan udah ditentuin.""Kamu duduk dulu, biarkan mamamu selesai bicara," sahut Ayah Billy dengan tenang."Iya, Mama belum selesai bicara, kamu udah mau pergi aja."Akhirnya, Billy kembali duduk, sementara Nindy masih diam dengan perasaan gelisah."Orang tua Nindy memang ber
"Nin, sini."Sania melambaikan tangan pada Nindy yang baru saja datang ke rumah orang tuanya. Setelah Nindy duduk di sebelahnya, Sania mulai membongkar koper."Ini aku bawain oleh-oleh untuk kamu."Sania baru saja pulang dari bulan madu tiga hari yang lalu, tapi dia tidak langsung pulang ke rumah orang tuanya karena suaminya mengajak untuk pulang ke rumah baru mereka terlebih dahulu."Aku beliin ini semua buat kamu."Kelopak mata Nindy membesar ketika melihat begitu banyak barang yang dibelikan oleh kakak Billy untuknya. Ada tas, parfum, jam tangan, dan juga baju. Semua barang-barang itu berasal dari brand yang sangat terkenal dan namanya sudah mendunia. Nindy yakin semua harga barang-barang itu sangat mahal."Aku baju aja, Kak."Nindy merasa sungkan untuk menerima semua barang mewah itu, terlebih ketika dia tahu harga dari tas yang dibelikan oleh Sania jika dirupiahkan seharga mobil baru. Itu hanya harga untuk sebuah tas, belum lagi harga barang lainnya. Mana bisa dia menerima semua
Nindy melirik Billy sekilas melalui kaca spion, kemudian menjawab, "Itu belum dibicarain, Kak. Kalau aku sih, tergantung Billy aja.""Kamu harusnya minta, Nin. Mahar itu, kan, untuk kamu. Kalau kamu bingung, minta aja uang atau logam mulia. Minta yang banyak, jangan nanggung-nanggung."Billy yang sejak tadi sedang menyetir hanya diam dan tidak memberikan komentar apa pun mendengar ucapan kakaknya."Aku nggak mau memberatkan Billy, Kak."Mana mungkin dia meminta mahar yang banyak, sementara dirinya saja sudah tidak utuh. Meskipun, Billy yang sudah mengambilnya, tetap saja dia merasa tidak pantas untuk meminta lebih."Duh, Nin. Uang Billy itu banyak, jadi dia nggak bakal keberatan kalau kamu minta mahar banyak. Kalau dia memang cinta sama kamu, dia pasti nggak keberatan kamu minta berapa aja."Setelah mengatakan itu, Sania menatap Billy dari kaca spion. "Bill, kamu tuh jangan kasih mahar sedikit dong buat Nindy. Kamu jangan bikin malu keluarga kita. Jangan pelit-pelit."Billy mengembusk
"Airin? Memangnya, apa yang mau kamu tanya soal dia?" Nindy terdiam sejenak, kemudian berkata, "Kalau aku boleh tau, siapa Airin, Kak?" Pertanyaan itu, sebenarnya sudah pernah Nindy tanyakan pada Billy dan Billy hanya menjawab kalau Airin adalah temannya. Hanya itu, tidak ada penjelasan apa-apa lagi dari Billy. Dia ingin bertanya lebih dalam lagi, tapi Billy seolah menghindar. "Airin tuh teman dekat Billy." Mulut Nindy membentuk huruf O usai mendengar jawaban Sania. "Semenjak kapan Billy dan Airin saling mengenal, Kak?" "Mereka kenal sejak kuliah," jawab Sania sambil memilih lingerie. Billy memang sudah pernah mengatakan itu padanya, tapi hanya sekedar itu. "Tapi, aku nggak pernah tau kalau Billy punya teman yang namanya Airin, Kak." Jika dia tidak salah ingat, ketika mereka kuliah dulu, Billy tidak memiliki teman di kampus yang bernama Airin. Selama berpacaran dengannya, Nindy belum pernah mendengar nama itu. Dugaannya waktu itu, kemungkinan Airin adalah teman Billy waktu seko
"Surprise." Billy tampak tercengang melihat Airin berdiri di hadapannya ketika dia baru saja membuka pintu. "Aku kangen sama kamu, Bill." Billy mematung ketika Airin tiba-tiba menghambur ke pelukannya tanpa bisa dia hindari. "Maaf." Airin segera menjauhkan diri dari Billy ketika menyadari kalau pria itu tidak membalas pelukannya. "Aku lupa kalau kamu udah punya calon istri." Billy mengangguk, kemudian berusaha tersenyum untuk mencairkan suasan yang tiba-tiba terasa canggung. "Kenapa kamu udah di sini? Kapan sampai?" Padahal, sebelumnya wanita itu bilang belum bisa ke Indonesia karena belum mendapatkan cuti. Tapi, ternyata dia sudah berada di rumahnya sekarang. "Baru aja nyampe," jawab Airin sambil tersenyum manis. "Dari bandara aku langsung ke sini." Keduanya pun berjalan bersama-sama menuju ruangan keluarga. Dia ruangan itu, ternyata sudah ada Amara yang sedang duduk di sofa. "Kenapa Mama nggak bilang kalau ada Airin?" Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, Billy terus saja m
"Apa kamu juga pernah tidur sama dia?" Pertanyaan Nindy itu membuat Billy seketika membeku dengan kelopak mata yang melebar. Tidak pernah terbayangkan olehnya jika Nindy menanyakan hal itu padanya. Terlebih saat hubungan mereka sudah di tahap serius. "Diam berarti iya." Tangan Billy perlahan terkepal. "Kamu bertanya atau sedang menuduhku?" tanyanya dengan sorot mata tajam. "Iya atau nggak?" ujar Nindy dengan wajah tegasnya. "Aku nggak pernah tidur sama dia." "Kamu yakin?" tanya Nindy dengan tatapan menyelidik. "Kamu harus jawab yang jujur. Kalau sampai kamu bohong, maka kita selesai sampai di sini." "Aku sangat yakin. Aku nggak pernah tidur sama dia ataupun wanita lain," jawab Billy dengan tegas. "Mencium dia aja belum pernah, apalagi menidurinya. Satu-satunya wanita yang pernah aku sentuh cuma kamu." Nindy menatap iris coklat Billy dengan tatapan menyelidik, seolah sedang mencari kebenaran di dalam sana. "Lagi pula, Airin bukan wanita seperti itu. Dia wanita baik-baik, tidak