"Bagaimana rasanya dijemput polisi, Bill?" Adi yang sedang duduk tampak menyeringai ketika melihat Billy memasuki kantor polisi bersama dengan dua orang anggota polisi. "Aku masih bisa berubah pikiran dan berdamai denganmu jika kau mau berlutut di depanku dan mengakui kesalahanmu di depan semua orang." Ketika mendengar itu, Billy justru tersenyum dengan wajah arogan. "Jangan mimpi." "Kalau begitu, nikmati saja tempat tinggal barumu. Aku akan membuatmu mendekam sangat lama di dalam sana." "Kita lihat saja nanti." Setelah itu, Billy berlalu dari sana bersama dengan dua orang polisi di belakangnya. "Masuk." Billy melangkah masuk ke dalam sebuah ruangan yang pintunya sudah dibuka lebar. Dia berada di dalam sana kurang lebih 1 jam lamanya sebelum pengacara keluarganya datang. "Biarkan dia pergi." Seorang pria paruh baya berseragam polisi, masuk ke ruangan itu dan berbicara pada bawahannya yang sedang menginterogasi Billy. "Saya belum selesai—" "Apa kau tidak dengar a
"Sayang, kamu udah dateng?"Ibu Billy tersenyum sangat lebar ketika melihat Nindy memasuki ruangan keluarga."Iya, Ma. Billy di mana, Ma?"Nindy menghampiri Amara yang sedang berbicara dengan seseorang beberapa wanita di ruangan itu. "Ada di atas. Naik aja, Sayang. Kamarnya di sebelah kiri tangga, pintu kedua warna putih.""Nindy tunggu di sini aja, Ma."Meksipun mereka sudah berencana menikah dan Ibu Billy mengizinkannya untuk ke pergi ke kamar putranya, canggung rasanya kalau dia menghampiri Billy ke kamar pribadinya. Jadi, dia lebih baik menunggu di bawah. Toh, dia sudah mengirimkan pesan pada Billy tadi sebelum berangkat ke rumahnya.Siang ini rencananya dia dan Billy akan pergi mencari cincin pertunangan dan pernikahan serta memilih gaun pengantin. Beruntung hari ini bertepatan dengan hari libur kerja, jadi mereka memiliki banyak waktu untuk melakukan semua itu."Nin, sini, Sayang. Coba kamu pilih, konsep pernikahan seperti apa yang kamu mau?"Ternyata sebelum datang dirinya data
Pukul 10 pagi mereka tiba mall terbesar yang ada di Jakarta. Mereka langsung menuju ke toko perhiasan yang memiliki brand terkenal."Sayang, kamu mau yang mana?"Nindy yang sedang memandangi deretan cincin yang ada si etalase tampak menampilkan wajah bingung. Sudah setengah jam mereka berada di toko perhiasan itu dan Nindy belum juga menjatuhkan pilihannya pada salah satu cincin yang ada di sana."Aku bingung," jawabnya sambil menoleh pada Billy yang sedang berdiri di samping kanannya."Tolong carikan cincin pasangan untuk acara pertunangan dan pernikahan yang memiliki desain unik dan tidak pasaran," pinta Billy pada pegawai yang sejak tadi melayani mereka."Baik, Pak. Mohon ditunggu."Billy pun mengajak Nindy untuk duduk di sofa sambil menunggu. Tidak sampai sepuluh menit, pegawai itu kembali datang dengan membawa beberapa pasang cincin."Kamu pilih aja, Sayang. Pilih yang kamu suka."Nindy menatap sejenak pada cincin itu, kemudian meraih salah satu cincin pasangan yang memiliki desa
Sandrina tersenyum tipis, kemudian sedikit memutar posisi duduknya menghadap Billy. "Bukannya dulu kamu sempat menjalin hubungan sama Airin waktu kalian kuliah bareng di Singapura? Kamu sendiri yang bilang waktu itu."Billy membisu sesaat dengan pandangan mengarah ke bawah. "Kami cuma dekat," ujarnya dengan pelan, "waktu itu aku terpaksa berpura-pura berpacaran dengan Airin untuk menghindari Shela."Tapi, ternyata wanita itu memiliki segudang cara untuk memisahkannya dengan Airin sampai akhirnya hubungan pura-puranya bersama Airin terbongkar."Tapi, kamu tahu, kan, kalau Airin punya perasaan lebih sama kamu?"Jelas dia tahu. Tapi, dia berpura-pura tidak tahu agar hubungan mereka tidak canggung. Bagaimanapun, Airin cukup berjasa di hidupnya. Wanita itu selalu berada di sisinya saat masa-masa sulitnya setelah hubungannya dengan Nindy kandas. Airin selalu menyemangati serta menemani hari-harinya."Aku cuma menganggap dia sebagai sahabat.""Tapi, kamu sempat memiliki rasa juga, kan, denga
"Lagi apa?"Billy yang baru saja selesai berganti baju, mendatangi Nindy yang sedang berada di dapur."Aku haus, mau ambil minuman."Karena cuaca siang itu sangat panas, jadi Nindy merasa sangat haus dan ingin mengkonsumsi minuman dingin untuk meredakan rasa hausnya.Kebetulan sekali banyak minuman kaleng dan botol di kulkas apartemen Billy, jadi dia ingin mengambil salah satunya. Hanya saja, karena terlalu banyak pilihan, jadi bingung ingin minuman yang mana. Itu sebabnya, sejak tadi dia berdiri cukup lama di depan kulkas."Jangan ambil yang itu." Billy segera merebut minuman kaleng yang baru saja Nindy ambil dari kulkas."Kenapa?" tanya Nindy."Itu ada alkoholnya."Meskipun kadar alkohol dalam minuman kaleng itu sangat rendah. Namun, tetap saja Billy takut itu bisa berpengaruh pada Nindy. Apalagi, dia belum pernah mengkonsumsi minuman yang mengandung alkohol sebelumnya."Kamu suka minum minuman kayak gitu?""Nggak. Kadang-kadang aja. Angga yang suka minuman itu."Karena dulu Angga s
Melihat anaknya yang mulai terbawa emosi, Amara segera menenangkannya. "Dengerin Mama dulu. Alasan kenapa pertunangan itu dibatalin karena ..."Ibu Billy sengaja menggantung ucapannya dengan senyuman misterius untuk membuat anaknya penasaran dan terbukti itu berhasil karena beberapa detik kemudian, Billy langsung memberondong ibunya dengan banyak pertanyaan."Karena apa, Ma? Orang tua Nindy berubah pikiran? Mereka mau batalin pernikahan kami juga?""Ya. Orang tua Nindy berubah pikiran. Tapi, ..."Belum selesai ibunya bicara, Billy sudah bangkit dari duduknya."Kamu mau ke mana?""Mau menemui orang tua Nindy.""Untuk apa?""Aku mau bertanya, kenapa mereka tiba-tiba berubah pikiran. Padahal, hari pertunangan dan pernikahan udah ditentuin.""Kamu duduk dulu, biarkan mamamu selesai bicara," sahut Ayah Billy dengan tenang."Iya, Mama belum selesai bicara, kamu udah mau pergi aja."Akhirnya, Billy kembali duduk, sementara Nindy masih diam dengan perasaan gelisah."Orang tua Nindy memang ber
"Nin, sini."Sania melambaikan tangan pada Nindy yang baru saja datang ke rumah orang tuanya. Setelah Nindy duduk di sebelahnya, Sania mulai membongkar koper."Ini aku bawain oleh-oleh untuk kamu."Sania baru saja pulang dari bulan madu tiga hari yang lalu, tapi dia tidak langsung pulang ke rumah orang tuanya karena suaminya mengajak untuk pulang ke rumah baru mereka terlebih dahulu."Aku beliin ini semua buat kamu."Kelopak mata Nindy membesar ketika melihat begitu banyak barang yang dibelikan oleh kakak Billy untuknya. Ada tas, parfum, jam tangan, dan juga baju. Semua barang-barang itu berasal dari brand yang sangat terkenal dan namanya sudah mendunia. Nindy yakin semua harga barang-barang itu sangat mahal."Aku baju aja, Kak."Nindy merasa sungkan untuk menerima semua barang mewah itu, terlebih ketika dia tahu harga dari tas yang dibelikan oleh Sania jika dirupiahkan seharga mobil baru. Itu hanya harga untuk sebuah tas, belum lagi harga barang lainnya. Mana bisa dia menerima semua
Nindy melirik Billy sekilas melalui kaca spion, kemudian menjawab, "Itu belum dibicarain, Kak. Kalau aku sih, tergantung Billy aja.""Kamu harusnya minta, Nin. Mahar itu, kan, untuk kamu. Kalau kamu bingung, minta aja uang atau logam mulia. Minta yang banyak, jangan nanggung-nanggung."Billy yang sejak tadi sedang menyetir hanya diam dan tidak memberikan komentar apa pun mendengar ucapan kakaknya."Aku nggak mau memberatkan Billy, Kak."Mana mungkin dia meminta mahar yang banyak, sementara dirinya saja sudah tidak utuh. Meskipun, Billy yang sudah mengambilnya, tetap saja dia merasa tidak pantas untuk meminta lebih."Duh, Nin. Uang Billy itu banyak, jadi dia nggak bakal keberatan kalau kamu minta mahar banyak. Kalau dia memang cinta sama kamu, dia pasti nggak keberatan kamu minta berapa aja."Setelah mengatakan itu, Sania menatap Billy dari kaca spion. "Bill, kamu tuh jangan kasih mahar sedikit dong buat Nindy. Kamu jangan bikin malu keluarga kita. Jangan pelit-pelit."Billy mengembusk