"Zaman sekarang ngeri ya, Mbak? Banyak sekali orang yang tidak tahu malu. Sudah tidak tahu malu, eh tidak tahu diri lagi." Ninis menyenggol bahu Ratna, istri Herman. Saat ini duduk berdekatan dengan Ratna, Padma dan juga Erina."Maksudmu apa sih, Nis? Mbak nggak ngerti. Kamu ini bicara kok ya tidak ada ujung pangkalnya." Ratna menanggapi sekedarnya. Ia bukan type orang yang suka bergosip."Maksudku. Banyak orang yang tidak tahu malu. Pede banget terang-terangan menggoda calon suami orang. Padahal bentukannya kombinasi antara gajah bengkak sama ular kobra." Ninis dengan sengaja mempeleroki Padma saat mengucapkan kata gajah dan ular kobra."Ngerti 'kan sekarang, Mbak? Masa nggak ngerti." Ninis menaikturunkan alisnya. Ekspresinya jelas-jelas meledek Padma. Dia sudah lama menunggu kesempatan ini. Di mana si mbak-mbak janda ini sendirian. Dengan begitu ia bisa membantainya sampai puas. Saat di parkiran rumah sakit dulu, ada Tirta yang membelanya. Kalau sekarang, Tirta pasti sedang dicerama
"Ya, Ma. Ada apa?" Tirta mendekat. Dari kejauhan ia memang sempat melihat kalau Ninis, Erina dan Padma tengah berbincang seru. Hanya saja ia tidak mengetahui apa yang menjadi bahan obrolan keempatnya."Ini lho, Mas. Ninis dan Erina... ingin mengucapkan selamat padaku." Padma membelokkan topik pembicaraan. Ia nyaris bisa mendengar suara napas tertahan yang dilepaskan. Ninis dan Erina menghembuskan nafas lega bersamaan. Keduanya lega karena Padma tidak mengatakan hal yang sebenarnya."Oh, aku kira mereka berdua mencari ribut denganmu," pungkas Tirta curiga. Ia ikut duduk di samping Padma."Tadinya," Padma sengaja menggantung kalimatnya. Ia sengaja membuat Ninis dan Erina penasaran."Tadinya apa?" Tirta mengernyitkan kening. Ninis dan Erina tidak lagi cemas. Mereka santai-santai saja. Mereka tahu bahwa Padma hanya mengeprank mereka. Buktinya Padma tidak sedikit pun menyinggung aksi mereka bedua tadi."Tadinya mereka berdua mengeroyokku. Ninis mengatai aku pelakor yang bentukannya seperti
"Mbak Padma kenapa sih? Dari tadi Bibik perhatikan, kok mandar-mandir terus di pintu kamar kerja bapak." Bik Parni menegur Padma. Ia heran melihat majikannya mondar mandir seperti orang linglung."Nggak apa-apa, Bik. Sebenarnya saya ingin berbicara dengan bapak. Tapi takutnya saya malah mengganggu." Padma mencari alasan."Kayaknya nggak sih, Mbak. Kalau masih jam-jam segini, bapak paling cuma memeriksa berkas-berkas bon di toko hari ini. Ini Bibik disuruh bikin kopi." Bik Parni mengangkat nampan dengan secangkir kopi di atasnya."Baiklah kalau begitu. Sini kopinya biar saya saja yang mengantar." Padma mengambil alih nampan dari tangan Bik Parni."Yo, wes. Hati-hati mengangkatnya. Nanti tumpah.""Iya, Bik. Tenang saja."Padma menarik napas panjang dua kali sebelum mengetuk pintu."Ya, masuk saja, Bik." Padma mendorong pintu dengan bahunya setelah ayahnya menjawab."Lho kamu toh yang mengantar kopi, Nduk. Tumben. Apa ada hal penting yang ingin kamu bicarakan." Pak Manan menggeser tumpuk
"Iya, Mas. Baru saja. Makanya aku agak bingung," adu Padma resah."Bingung bagaimana? Apa ayahmu tidak setuju?" tanya Tirta cemas."Bapak bilang, ia akan menjawabnya setelah bertemu dengan Mas. Duh, aku jadi deg-deg-an, Mas. Jangan-jangan Bapak tidak setuju lagi," ujar Padma lesu. Rasanya baru kemarin ia meminta izin ayahnya untuk menikah dengan Dimas dan ditolak. Jangan-jangan kali ini keinginannya juga tidak akan dikabulkan."Jangan berpikir yang tidak-tidak dulu ah. Mungkin ayahmu tidak yakin dengan niatku. Makanya ia belum memberi jawaban langsung. Ayahmu takut kamu jatuh ke lubang yang sama dua kali." Tirta menghibur Padma yang galau."Mungkin juga ya, Mas." Padma mendecakkan lidah."Ya sudah. Daripada kita menduga yang tidak-tidak, aku temui saya ayahmu. Doakan agar aku berhasil meyakinkan ayahmu ya, Sayang?" Tirta mengelus sekilas puncak kepala Padma."Sayang... sayang... nanti kedengaran orang lain, Mas. Malu. Kita bukan abege lagi," sungut Padma."Biar saja. Aku memang sayang
"Yes, berhasil!"Padma meninju-ninju udara tatkala timbangannya menunjukkan angka enam puluh tiga kilogram. Itu artinya ia berhasil memangkas berat badannya sebanyak lima kilogram lagi. Pantas saja beberapa bajunya sudah terasa longgar. Padahal baru dua bulan yang lalu ia membelinya. Diet ketat dan olahraga konsistennya selama tiga minggu ini telah membuahkan hasil. Ia memang sengaja diet ketat agar saat pernikahannya nanti, ia bisa tampil manglingi."Ya, masuk saja," seru Padma tatkala mendengar suara ketukan pintu. Kepala Nunik nongol di ambang pintu."Udah, Mbak. Nggak usah ditimbang lagi. Akhir-akhir ini aku merasa Mbak Padma makin langsing." Nunik masuk ke dalam kamar. Pandangannya tercurah pada kosmetik yang berjajar rapi di meja rias. Padma sekarang memang suka berdandan."Semua hal itu harus ada pembuktiannya, Nik. Tidak bisa main rasa-rasa saja. Makanya diciptakanlah timbangan. Supaya angkanya signifikan." Padma turun dari timbangan."Yang pasti angka Mbak turun 'kan? Bukan h
Baru saja memasuki parkiran rumah sakit, Padma mendecakkan lidah. Ia mengenali mobil Dimas yang terparkir di sebelahnya. Padma berdoa dalam hati. Semoga saja ia tidak bertemu dengan Dimas di dalam sana. Setelah memasuki pintu utama rumah sakit Padma segera berjalan ke arah lift. Ia kemudian menekan angka empat. Karena di lantai empat-lah Rena dirawat. Rena adalah salah satu anak buahnya. Di dalam lift, ponselnya bergetar. Padma buru-buru mengangkat telepon saat memindai nama Tirta di layarnya."Ya, Mas?""Kamu jadi menjenguk Rena, Ma?""Jadi dong, Mas. Ini aku sudah berada dalam lift.""Oke. Aku juga sebentar lagi sampai. Meeting dengan Mr. Harris batal. Beliau mendadak sakit. Jadi aku menyusul saja ke sana ya?""Oke, Mas. Aku tutup dulu teleponnya ya. Sampai jumpa di ruangan Melati 157." "Oke, Sayang. Tadi di kantor kita baru saja berpisah. Tapi sekarang aku sudah rindu berat.""Kamu jadi perayu ulung sekarang ya, Mas? Sudah ya, aku tutup teleponnya. Seperti anak abege saja." Sambi
"Apa maksud kalian berdua? Kok kalian bisa mengatakan tidak mirip? Kalau tidak mirip bapaknya, jadi mirip siapa? Mirip tetangga?" Bu Nursyam mencak-mencak. Ia emosi karena cucunya dikatakan tidak mirip dengan sang putra."Eh, bukan begitu maksud saya, besan. Andika ini tentu saja mirip dengan Dimas. Hanya saja lebih mirip lagi dengan ibunya." Bik Painah menjelaskan dengan suara tergagap. "Lebih mirip katamu? Lebih mirip dari mana? Hidung anakmu itu yang nampak hanya lubangnya saja. Sementara Andika, hidungnya mancung begini. Masa Andika kamu bilang lebih mirip dengan anakmu?" Bu Nursyam benar-benar mengamuk. Ia tidak terima kalau gen cucunya dikatakan lebih mirip dengan Puspita. Padma meringis. Kalau mau bicara jujur, apa yang dikatakan oleh Bik Painah itu benar. Terlepas dari masalah hidung, Andika memang sedikit lebih mirip dengan Puspita. Lebih mirip lagi dengan Faiz alias kembaran. Mancungnya Andika ini tampak khas karena di pertengahan tulang hidung sedikit membengkok. Type hid
"Sudah, Bu! Jangan membuat keributan di rumah sakit. Lagi pula Ibu yang salah. Untuk apa Ibu mencampuri urusan orang? Ayo kita pergi." Pak Samin menghela lengan sang istri. Ia harus memisahkan istrinya dengan Padma."Pergi ke mana? Orang kita sedang menunggu panggilan dokter. Lagi pula Padma yang salah. Dia menghina anak kita." Bu Nursyam menepis lengan Pak Samin. Ia tidak mau mengalah."Saya hanya mengklarifikasi apa yang Ibu tuduhkan. Pun kalau saya mau, saya bisa saja membalas Ibu dengan kata-kata yang lebih kejam. Tapi saya tidak sampai hati mengucapkannya. Saya tidak dididik untuk menjadikan kekurangan orang lain sebagai cemoohan," tukas Padma tegas. Dari sudut mata Padma memindai kehadiran Tirta. Tirta tampak berdiri di samping Nurse Station. Melihat cara berdiri Tirta yang bersedekap, sepertinya Tirta sudah berdiri cukup lama di sana. Kini Tirta mulai berjalan mendekat. Bu Nursyam tidak mengetahui keberadaan Tirta. Karena ia berdiri membelakangi Tirta."Mau membalas saya? Ya ba