Padma memindai jam dinding di dapur. Pukul setengah delapan pagi. Ia tengah menikmati sarapan paginya sendirian. Biasanya ia sarapan pagi bersama dengan Nunik dan Danang sebelum mereka memulai aktivitas. Ayahnya sudah tiga hari ini mengunjungi kerabat yang sedang sakit di luar kota. Sementara Bulik Fatimah berjalan pagi. Sepuluh menit sudah berlalu. Namun ia tidak mendapati sosok Nunik mau pun Danang menghampiri meja makan."Bik, Nunik belum bangun ya?" Penasaran, Padma menanyakan kabar Nunik pada Bik Parni yang tengah mencuci peralatan makan."Sudah kok, Mbak. Bibik rasa Mbak Nunik malah tidak tidur dari semalam." Bik Parni menurunkan nada suaranya menjadi berbisik."Hah, kenapa?" Padma ikut berbisik. Bik Parni mengelap tangan basahnya dulu sebelum menoleh ke lorong. Yakin keadaan aman, barulah ia duduk di sebelah Padma."Bibik nggak tahu pasti kenapanya, Mbak. Yang jelas, Bibik mendengar suara tangisan dari kamar Mbak Nunik setelah Mas Tirta pulang. Terus pukul setengah lima dini ha
"Nik. Mbak ini tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini, kalau Bapak, amit-amit pergi, Mbak tinggal sendirian." Suara Padma bergetar."Mbak bahkan tidak bisa memiliki anak. Mbak nantinya akan benar-benar sendirian kalau tidak punya pasangan. Makanya Mbak memutuskan untuk menerima lamaran Mas Tirta, karena ia sudah tahu dan bersedia menerima kekurangan, Mbak. Menurutmu, Mbak jahat karena menerima lamarannya?" Air mata kini menganak sungai di kedua bola mata Padma. Ia kesulitan membayangkan masa senjanya dalam kesendirian.Hening.Tidak ada satu orang pun yang berbicara. Hanya suara detak jam yang bergerak konstan di dapur yang senyap."Mbak, nggak munafik. Mbak juga nggak jahat. Aku yang belum bisa menerima kenyataan. Padahal aku sudah tahu, kalau Mas Tirta itu menyukai Mbak. Aku hanya pura-pura tidak tahu, karena tidak ingin menerima kenyataan itu," ucap Nunik pelan. Hati nuraninya berhasil melampaui egonya. Akhirnya ia berbesar hati mengakui kekalahannya."Aku iri dengan keberuntu
"Lipstik gue kayaknya ketebelan deh ini, Wil." Padma ngeri melihat bibirnya merah membara. Saat ini Wilma dan Ririn tengah mendandaninya di kamar. Malam ini Tirta akan membawanya ke rumah orang tuanya. Ibunya mengadakan selamatan kecil-kecilan atas ulang tahun pernikahan mereka yang ke-38. Tirta memintanya untuk tampil maksimal hari ini. Makanya ia meminta Wilma dan Ririn untuk membantunya."Kagak, Ma. Dandanan lo ini natural banget. Nah, supaya seimbang, lipstick lo emang harus cetar. Kayak nih liat, sesembak Taylor Swift." Wilma membuka galeri photo di ponselnya. Memperlihatkan lipstick merah menyala penyanyi country terkenal sedunia."Iya, sih. Tapi gue kayak merasa muka gue jadi gimana gitu ya?" Padma kesulitan mendeskripsikan kalimatnya. "Jadi judes-judes seksi kan? Hehehe. Menurut gue juga gitu. Lo nampak menggoda banget, Ma. Apalagi karena lo pake kebaya model koset begini. Lekuk liku body lo seksi abis." Wilma membuat gerakan seperti jam pasir."Astaga, pujian lo membuat gue
"Oke, aku panggilkan. Kalau moodmu nanti rusak karenanya, jangan salahkan aku. Ingat, sudah sudah memperingatkanmu lebih dulu." Padma mengancam Tirta."Iya, sayangku nan cantik jelita. Aku yang akan menanggung resikonya." Tirta melambaikan tangannya.Sementara Padma, ia mencari sang bulik yang sedang mengomeli Bik Parni di dapur. Seperti biasa. Ada saja pekerjaan Bik Parni yang tidak berkenan di hatinya."Bulik dicari Mas Tirta di depan." Ogah-ogahan Padma memanggil sang bulik."Ngapain dia mencariku? Aku 'kan tidak punya hutang padanya?" Berbalik badan Bulik Fatimah menyahuti Padma ketus."Padma tidak tahu, Bulik. Dia cuma bilang ingin bertemu dengan Bulik." Padma sudah mempunyai firasat yang tidak enak. Jangan-jangan Bulik Padma akan mengomeli Tirta nantinya."Mau apa sih anak itu? Mengganggu orang kerja saja!" Bulik Fatimah mencuci tangan dan bergegas ke depan. Ketidakramahan tergambar jelas pada air mukanya. Padma buru-buru mensejajarinya langkah sang Bulik. Agar saat terjadi apa-
"Rame banget ya, Mas? Kata Mas cuma selamatan kecil-kecilan." Padma gentar melihat banyaknya mobil-mobil mewah di halaman rumah Tirta. Bukan hanya di halaman. Sebagian juga terparkir rapi di sisi jalan. "Rame memang. Tapi mereka semuanya kerabatku kok. Tidak ada yang perlu kamu takutkan." Tirta melajukan kendaran langsung ke garasi. Tidak ada tempat kosong lagi di halaman."Ayo kita masuk." Sembari membuka sabuk pengaman, Tirta menegur Padma yang masih duduk tegang di dalam mobil."Ayo, Ma. Kenapa kamu masih bengong di situ?" Tirta menjawil cuping hidung Padma."Aku takut mengacaukan acara orang tuamu, Mas. Aku memang bukan gadis nakal atau pun istri orang. Tapi aku janda dan mandul pula." Padma mengungkapkan kekhawatirannya. "Masalah ini sudah kita bahas berulang kali bukan? Jangan mbulet di situ-situ lagi ah.""Berulang kali dibahas tapi berulang kali juga aku takut, Mas.""Percayalah, semuanya akan baik-baik saja. Memang tidak mudah. Tapi bukan berarti tidak mungkin. Ayo, kita ha
Hening. Semua orang seakan-akan tidak mempercayai mata dan telinga mereka sendiri. Bagaimana tidak? Tirta si bujang lapuk yang biasanya dingin terhadap perempuan, bisa berubah seperti ini, seratus delapan puluh derajat. Hingga ada satu orang yang bertepuk tangan kencang. Orang itu adalah Herman."Tepuk tangan dong semuanya. Masa kalian semua tidak menyelamati Mas Tirta sih?" Herman mengompori kerabat-kerabatnya. Istri dan anaknya yang masih balita mulai bertepuk tangan. Satu orang menyusul. Satu lagi... lagi dan lagi. Hingga akhirnya semua tamu bertepuk tangan dan mengucapkan selamat. Termasuk Bu Nani, Pak Cahyono, Erina dan kedua orang tua Ninis. Menyisakan Ninis yang tampak sibuk dengan ponselnya. Ia pura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Herman."Tidak ada yang perlu kamu takutkan bukan?" Tirta tersenyum pada Padma di antara gegap gempita riuhnya tepuk tangan."Iya, Mas." Padma mengangguk. Dalam hati Padma berkata ; belum. Bukan tidak ada. Tapi ia menyimpan bantahannya
"Zaman sekarang ngeri ya, Mbak? Banyak sekali orang yang tidak tahu malu. Sudah tidak tahu malu, eh tidak tahu diri lagi." Ninis menyenggol bahu Ratna, istri Herman. Saat ini duduk berdekatan dengan Ratna, Padma dan juga Erina."Maksudmu apa sih, Nis? Mbak nggak ngerti. Kamu ini bicara kok ya tidak ada ujung pangkalnya." Ratna menanggapi sekedarnya. Ia bukan type orang yang suka bergosip."Maksudku. Banyak orang yang tidak tahu malu. Pede banget terang-terangan menggoda calon suami orang. Padahal bentukannya kombinasi antara gajah bengkak sama ular kobra." Ninis dengan sengaja mempeleroki Padma saat mengucapkan kata gajah dan ular kobra."Ngerti 'kan sekarang, Mbak? Masa nggak ngerti." Ninis menaikturunkan alisnya. Ekspresinya jelas-jelas meledek Padma. Dia sudah lama menunggu kesempatan ini. Di mana si mbak-mbak janda ini sendirian. Dengan begitu ia bisa membantainya sampai puas. Saat di parkiran rumah sakit dulu, ada Tirta yang membelanya. Kalau sekarang, Tirta pasti sedang dicerama
"Ya, Ma. Ada apa?" Tirta mendekat. Dari kejauhan ia memang sempat melihat kalau Ninis, Erina dan Padma tengah berbincang seru. Hanya saja ia tidak mengetahui apa yang menjadi bahan obrolan keempatnya."Ini lho, Mas. Ninis dan Erina... ingin mengucapkan selamat padaku." Padma membelokkan topik pembicaraan. Ia nyaris bisa mendengar suara napas tertahan yang dilepaskan. Ninis dan Erina menghembuskan nafas lega bersamaan. Keduanya lega karena Padma tidak mengatakan hal yang sebenarnya."Oh, aku kira mereka berdua mencari ribut denganmu," pungkas Tirta curiga. Ia ikut duduk di samping Padma."Tadinya," Padma sengaja menggantung kalimatnya. Ia sengaja membuat Ninis dan Erina penasaran."Tadinya apa?" Tirta mengernyitkan kening. Ninis dan Erina tidak lagi cemas. Mereka santai-santai saja. Mereka tahu bahwa Padma hanya mengeprank mereka. Buktinya Padma tidak sedikit pun menyinggung aksi mereka bedua tadi."Tadinya mereka berdua mengeroyokku. Ninis mengatai aku pelakor yang bentukannya seperti