"Aku khawatir, Mas. Apakah bijaksana kalau Mas mematahkan hatinya." Menelusuri jalan setapak menuju rumah, Padma mengutarakan keraguannya. "Menurutku sudah waktunya, Ma. Nunik sudah terlalu lama hanya memandangku seorang. Sampai-sampai ia tidak bisa melihat kehadiran orang lain. Ia harus segera disadarkan," terang Tirta."Biarkan nanti kami berdua berbincang-bincang. Aku akan menasehatinya pelan-pelan. Kami akan bicara dari hati ke hati." Tirta menjelaskan maksudnya."Ya sudah kalau menurut Mas begitu." Padma pasrah."Ayo masuk, Mas. Kita langsung ke ruang tamu saja." Padma membawa Tirta menuju ruang tamu. Ia akan menemani Tirta sampai Nunik datang."Biar aku saja yang membawanya, Bik. Minumannya juga. Letakkan saja di baki. Nanti aku akan kembali untuk membawanya." Kesibukan Nunik di dapur terdengar hingga ke ruang tamu. Bagaimana hati Padma tidak makin khawatir."Ini Mas pisang goreng coklat kejunya. Masih hangat lho. Ayo dimakan dulu." Ninik menghidangkan makanan kecil dengan mat
Padma memindai jam dinding di dapur. Pukul setengah delapan pagi. Ia tengah menikmati sarapan paginya sendirian. Biasanya ia sarapan pagi bersama dengan Nunik dan Danang sebelum mereka memulai aktivitas. Ayahnya sudah tiga hari ini mengunjungi kerabat yang sedang sakit di luar kota. Sementara Bulik Fatimah berjalan pagi. Sepuluh menit sudah berlalu. Namun ia tidak mendapati sosok Nunik mau pun Danang menghampiri meja makan."Bik, Nunik belum bangun ya?" Penasaran, Padma menanyakan kabar Nunik pada Bik Parni yang tengah mencuci peralatan makan."Sudah kok, Mbak. Bibik rasa Mbak Nunik malah tidak tidur dari semalam." Bik Parni menurunkan nada suaranya menjadi berbisik."Hah, kenapa?" Padma ikut berbisik. Bik Parni mengelap tangan basahnya dulu sebelum menoleh ke lorong. Yakin keadaan aman, barulah ia duduk di sebelah Padma."Bibik nggak tahu pasti kenapanya, Mbak. Yang jelas, Bibik mendengar suara tangisan dari kamar Mbak Nunik setelah Mas Tirta pulang. Terus pukul setengah lima dini ha
"Nik. Mbak ini tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini, kalau Bapak, amit-amit pergi, Mbak tinggal sendirian." Suara Padma bergetar."Mbak bahkan tidak bisa memiliki anak. Mbak nantinya akan benar-benar sendirian kalau tidak punya pasangan. Makanya Mbak memutuskan untuk menerima lamaran Mas Tirta, karena ia sudah tahu dan bersedia menerima kekurangan, Mbak. Menurutmu, Mbak jahat karena menerima lamarannya?" Air mata kini menganak sungai di kedua bola mata Padma. Ia kesulitan membayangkan masa senjanya dalam kesendirian.Hening.Tidak ada satu orang pun yang berbicara. Hanya suara detak jam yang bergerak konstan di dapur yang senyap."Mbak, nggak munafik. Mbak juga nggak jahat. Aku yang belum bisa menerima kenyataan. Padahal aku sudah tahu, kalau Mas Tirta itu menyukai Mbak. Aku hanya pura-pura tidak tahu, karena tidak ingin menerima kenyataan itu," ucap Nunik pelan. Hati nuraninya berhasil melampaui egonya. Akhirnya ia berbesar hati mengakui kekalahannya."Aku iri dengan keberuntu
"Lipstik gue kayaknya ketebelan deh ini, Wil." Padma ngeri melihat bibirnya merah membara. Saat ini Wilma dan Ririn tengah mendandaninya di kamar. Malam ini Tirta akan membawanya ke rumah orang tuanya. Ibunya mengadakan selamatan kecil-kecilan atas ulang tahun pernikahan mereka yang ke-38. Tirta memintanya untuk tampil maksimal hari ini. Makanya ia meminta Wilma dan Ririn untuk membantunya."Kagak, Ma. Dandanan lo ini natural banget. Nah, supaya seimbang, lipstick lo emang harus cetar. Kayak nih liat, sesembak Taylor Swift." Wilma membuka galeri photo di ponselnya. Memperlihatkan lipstick merah menyala penyanyi country terkenal sedunia."Iya, sih. Tapi gue kayak merasa muka gue jadi gimana gitu ya?" Padma kesulitan mendeskripsikan kalimatnya. "Jadi judes-judes seksi kan? Hehehe. Menurut gue juga gitu. Lo nampak menggoda banget, Ma. Apalagi karena lo pake kebaya model koset begini. Lekuk liku body lo seksi abis." Wilma membuat gerakan seperti jam pasir."Astaga, pujian lo membuat gue
"Oke, aku panggilkan. Kalau moodmu nanti rusak karenanya, jangan salahkan aku. Ingat, sudah sudah memperingatkanmu lebih dulu." Padma mengancam Tirta."Iya, sayangku nan cantik jelita. Aku yang akan menanggung resikonya." Tirta melambaikan tangannya.Sementara Padma, ia mencari sang bulik yang sedang mengomeli Bik Parni di dapur. Seperti biasa. Ada saja pekerjaan Bik Parni yang tidak berkenan di hatinya."Bulik dicari Mas Tirta di depan." Ogah-ogahan Padma memanggil sang bulik."Ngapain dia mencariku? Aku 'kan tidak punya hutang padanya?" Berbalik badan Bulik Fatimah menyahuti Padma ketus."Padma tidak tahu, Bulik. Dia cuma bilang ingin bertemu dengan Bulik." Padma sudah mempunyai firasat yang tidak enak. Jangan-jangan Bulik Padma akan mengomeli Tirta nantinya."Mau apa sih anak itu? Mengganggu orang kerja saja!" Bulik Fatimah mencuci tangan dan bergegas ke depan. Ketidakramahan tergambar jelas pada air mukanya. Padma buru-buru mensejajarinya langkah sang Bulik. Agar saat terjadi apa-
"Rame banget ya, Mas? Kata Mas cuma selamatan kecil-kecilan." Padma gentar melihat banyaknya mobil-mobil mewah di halaman rumah Tirta. Bukan hanya di halaman. Sebagian juga terparkir rapi di sisi jalan. "Rame memang. Tapi mereka semuanya kerabatku kok. Tidak ada yang perlu kamu takutkan." Tirta melajukan kendaran langsung ke garasi. Tidak ada tempat kosong lagi di halaman."Ayo kita masuk." Sembari membuka sabuk pengaman, Tirta menegur Padma yang masih duduk tegang di dalam mobil."Ayo, Ma. Kenapa kamu masih bengong di situ?" Tirta menjawil cuping hidung Padma."Aku takut mengacaukan acara orang tuamu, Mas. Aku memang bukan gadis nakal atau pun istri orang. Tapi aku janda dan mandul pula." Padma mengungkapkan kekhawatirannya. "Masalah ini sudah kita bahas berulang kali bukan? Jangan mbulet di situ-situ lagi ah.""Berulang kali dibahas tapi berulang kali juga aku takut, Mas.""Percayalah, semuanya akan baik-baik saja. Memang tidak mudah. Tapi bukan berarti tidak mungkin. Ayo, kita ha
Hening. Semua orang seakan-akan tidak mempercayai mata dan telinga mereka sendiri. Bagaimana tidak? Tirta si bujang lapuk yang biasanya dingin terhadap perempuan, bisa berubah seperti ini, seratus delapan puluh derajat. Hingga ada satu orang yang bertepuk tangan kencang. Orang itu adalah Herman."Tepuk tangan dong semuanya. Masa kalian semua tidak menyelamati Mas Tirta sih?" Herman mengompori kerabat-kerabatnya. Istri dan anaknya yang masih balita mulai bertepuk tangan. Satu orang menyusul. Satu lagi... lagi dan lagi. Hingga akhirnya semua tamu bertepuk tangan dan mengucapkan selamat. Termasuk Bu Nani, Pak Cahyono, Erina dan kedua orang tua Ninis. Menyisakan Ninis yang tampak sibuk dengan ponselnya. Ia pura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Herman."Tidak ada yang perlu kamu takutkan bukan?" Tirta tersenyum pada Padma di antara gegap gempita riuhnya tepuk tangan."Iya, Mas." Padma mengangguk. Dalam hati Padma berkata ; belum. Bukan tidak ada. Tapi ia menyimpan bantahannya
"Zaman sekarang ngeri ya, Mbak? Banyak sekali orang yang tidak tahu malu. Sudah tidak tahu malu, eh tidak tahu diri lagi." Ninis menyenggol bahu Ratna, istri Herman. Saat ini duduk berdekatan dengan Ratna, Padma dan juga Erina."Maksudmu apa sih, Nis? Mbak nggak ngerti. Kamu ini bicara kok ya tidak ada ujung pangkalnya." Ratna menanggapi sekedarnya. Ia bukan type orang yang suka bergosip."Maksudku. Banyak orang yang tidak tahu malu. Pede banget terang-terangan menggoda calon suami orang. Padahal bentukannya kombinasi antara gajah bengkak sama ular kobra." Ninis dengan sengaja mempeleroki Padma saat mengucapkan kata gajah dan ular kobra."Ngerti 'kan sekarang, Mbak? Masa nggak ngerti." Ninis menaikturunkan alisnya. Ekspresinya jelas-jelas meledek Padma. Dia sudah lama menunggu kesempatan ini. Di mana si mbak-mbak janda ini sendirian. Dengan begitu ia bisa membantainya sampai puas. Saat di parkiran rumah sakit dulu, ada Tirta yang membelanya. Kalau sekarang, Tirta pasti sedang dicerama
Lima bulan kemudian."Gue heran lo tetap bisa cantik paripurna begini meski sedang hamil gede ya, Ma? Nggak kayak gue dulu. Hidung gue jadi cutbray dan pipi juga jadi baggy." Wilma mengamati Padma yang tengah makan empek-empek dengan lahap. Dari kemarin, sahabatnya ini mengidam empek-empek, makanya mereka membawa Padma ke gerai ini karena empek-empeknya terkenal enak."Bukan main istilah lo, Wil. Hidung cutbray, pipi baggy. Itu bentuk wajah atau model celana?" Padma terkekeh."Kalo gue sih, hidung dan pipi baik-baik aja. Mekar-mekar dikit lah. Yang parah cuma leher sama ketek gue. Kayak dakian parah euy. Gue gosok-gosok pake scrub, kagak ngaruh. Malu banget gue sama laki gue. Takut dipikir gue jorok." Ririn turut membagi pengalamannya."Kalo gue sih, semua aman sentosa sejahtera. Cuma, badan gue membengkak kayak gajah. Gue naik berat badan 24 kilogram, sodara-sodara. Berasa jadi Hulk setiap kali gue hamil." Yesi meringis mengingat masa-masa di kala hamil besar."Eh, lo tahu nggak kaba
"Kalau Ibu selama ini punya salah padamu, Ibu minta maaf ya, Padma. Tapi tolong, jangan penjarakan Tari. Karena saat ini hanya dialah satu-satunya harapan kami. Tari adalah tulang punggung keluarga, karena Dimas... ya, begitulah." Bu Nursyam menghela napas berat. Masalah tidak ada henti-hentinya membombardir keluarganya akhir-akhir ini. Maka dari itu, hari ini ia menebalkan muka dan diam-diam menemui Padma di kediaman orang tuanya."Di penjara atau tidaknya Tari, itu bukan wewenang saya, Bu. Para penyidiklah yang memutuskannya," Padma memberi jawaban diplomatis."Betul. Memang bukan wewenangmu. Tapi kalau kamu mencabut laporan atas Tari, kasus akan dianggap selesai, bukan?" bujuk Bu Nursyam lagi."Ibu salah lagi. Bukan saya yang melaporkan Tari, tapi pihak rumah sakit. Jadi, yang berhak mencabut ataupun melanjutkan perkara adalah pihak rumah sakit, bukan saya," ucap Padma dingin."Ya, kalau begitu kamu tinggal minta pihak rumah sakit untuk mencabut gugatan. Kan yang mengadu pada pihak
Lestari memegangi dadanya. Telinganya berdenging. Ia panik! Jangan-jangan Padma telah mengetahui kecurangannya."Saya... boleh meminta minum, tidak, Mbak?" pinta Lestari terengah. Ia harus berpikir tenang sebelum bertindak."Tentu saja. Mas, tolong ambilkan air dingin untuk Dek Tari. Ingat ya, Mas. Yang dingin, biar hati Dek Tari bisa adem," sindir Padma. Lestari makin pucat. Sepertinya Padma benar-benar telah mengetahui kecurangannya."Ini, silakan diminum." Tirta menuangkan segelas air dingin dari water jug. Sedari tadi ia diam sambil berjaga-jaga. Ia takut Padma membahayakan dirinya sendiri saat membalas dendam pada Lestari. Padma sedang hamil muda, dan untuk itu, ia harus siap siaga dalam segala situasi.Tanpa perlu disuruh dua kali, Lestari meneguk minumannya dengan rakus. Setelahnya, ia menarik napas panjang beberapa kali untuk menstabilkan emosinya. Setelah merasa lebih tenang, barulah ia bersuara."Mengapa Mbak ingin mensomasi rumah sakit? Apa yang sudah mereka lakukan pada Mb
Selama menunggu Lestari tiba, Padma mengumpulkan tiga lembar hasil lab yang dulu ia terima dari petugas lab di rumah sakit. Ia juga melampirkan satu lembar hasil lab terakhir yang ia terima dari Lestari lima tahun yang lalu. Total ada empat lembar hasil lab di tangannya. Sebelum melakukan tes kesuburan, ia memang sudah lebih dulu melakukan tes hormon, uji ovarium dan ovulasi, serta histerosalpingografi.Hasil ketiga tes ini bagus sekali. Menurut dokter Nastiti, kesehatan reproduksinya normal-normal saja. Hanya hasil tes kesuburannya saja yang sangat buruk. Waktu itu ia putus asa melihat hasilnya, makanya ia tidak kembali lagi ke praktik dokter Nastiti untuk membicarakan soal hasil tes kesuburannya. Ia sudah pasrah menerima nasibnya."Aku tidak menyangka kalau kamu masih menyimpan hasil-hasil lab bertahun lalu, Ma." Tirta yang baru datang dari dapur mendekati Padma. Di tangannya ada segelas susu hangat yang sengaja ia siapkan untuk istri tercintanya. "Minum dulu susunya, Sayang. Supay
"Kalian silakan ke rumah sakit dulu. Kasihan Dika sedang sakit." Melihat keadaan Padma yang tidak stabil, Tirta mengalihkan pembicaraan. "Iya, kami permisi dulu, Pak Tirta, Bu Padma." Puspita dan Bik Painah buru-buru kembali ke rumah sakit."Antar aku ke rumah Dek Tari sekarang, Mas. Aku akan meminta penjelasannya. Anak itu sungguh tidak tahu diuntung!" Padma benar-benar tidak terima dibodohi oleh Lestari."Iya, nanti kita menemui Lestari bersama-sama. Setelah kita pulang, makan dan istirahat. Sekarang kita masuk ke mobil dulu," bujuk Tirta."Aku mau sekarang, tidak mau nanti!" Padma tidak bersedia menunggu. Tirta tidak mengatakan apa pun. Ia membuka pintu mobil dan membantu Padma masuk ke dalam. Sejurus kemudian mobil pun melaju membelah jalan. Sekitar sepuluh menit berkendara, Tirta membelokkan mobilnya. "Lho, kok belok? Rumah Lestari itu di Jalan Thamrin, Mas. Lurus saja." Padma memberitahu alamat rumah Lestari kepada Tirta."Padma, nanti saja kita ke rumah Lestari-nya ya? Kamu i
"Kamu butuh uang untuk membawa Dika ke rumah sakit, Pita?" tanya Padma hati-hati."Iya, Bu. Dika sudah dua hari ini demam tinggi. Saya tidak bisa membawanya berobat karena tidak punya biaya." Dengan menebalkan muka Puspita berterus terang pada Padma. Demi anak, ia bersedia menjilat ludahnya sendiri, meski pernah sesumbar bahwa ia tidak akan pernah memohon lagi pada Padma.Padma bertukar pandang dengan Tirta. Ketika melihat anggukan samar sang suami, Padma pun melaksanakan niatnya. Ia membuka tas dan mengeluarkan ponsel."Nomor rekeningmu yang lama masih aktif tidak, Pita?""Masih, Bu," jawab Puspita sambil menunduk. Ia tidak punya keberanian untuk sekadar menatap wajah mantan majikannya. Padma memanglah sebenar-benarnya orang baik."Saya sudah mengirimkan sejumlah uang untukmu. Saya kira cukup untuk biaya pengobatan Dika. Saya permisi dulu ya, Pita. Semoga Dika segera sembuh." Padma mendekati Dika dan mengelus sayang pipi montok Dika dalam buaian Puspita, yang memang terasa panas."Eh
"Saya tidak bersalah, Pak Polisi. Semua itu terjadi karena ketidaksengajaan. Saya sama sekali tidak bermaksud melukai Ratna," jawab Erina sambil menangis tersedu-sedu.""Anda menusuk perut seseorang dengan pisau buah dan Anda menyebutnya sebuah kecelakaan?!" bentak sang juru periksa."Ya karena memang kecelakaan, Pak Polisi. Saya tidak menusuk Ratna. Dia sendiri yang menerjang ke arah saya," Erina kembali sesenggukan."Jangan menangis terus! Setelah petentengan berani melukai orang, jangan bersikap seperti ayam sayur. Sekarang jawab pertanyaan saya. Kalau Anda tidak bermaksud untuk menyerang, lantas untuk apa Anda menghunus pisau?" cecar sang juru periksa."Untuk menakut-nakuti Herman, Pak Polisi. Dia... sudah jahat pada saya. Saya hanya ingin menggertak Herman saja. Bukan benar-benar ingin membunuhnya. Percayalah Pak Polisi." Dengan ekspresi memelas, Erina merangkapkan kedua tangan di dada, berusaha meyakinkan sang juru periksa kalau dirinya tidak bersalah."Herman bilang ia tidak
"Rin, kamu baru pulang praktek bukan? Sebaiknya kamu istirahat saja. Kamu tadi bilang kalau kamu tidak enak badan." Bu Della memberi kode pada Erina. Naluri keibuannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang telah dilakukan Erina di belakangnya. Naluri seorang ibu juga yang membuatnya ingin melindungi sang putri. "I... iya, Bu. Pasien ramai sekali hari ini. Energiku rasanya terserap habis." Erina menangkap kode yang diisyaratkan sang ibu."Tunggu sebentar, Rin. Temani kami dulu di sini. Ada bagian lain yang belum kamu lihat." Tirta menahan Erina yang sudah berdiri dari duduknya. "A... apa itu, Tir?" Erina kian nervous. Perasaannya tidak enak. Ia merasa akan terjadi sesuatu."Untungnya aku sudah mengetahui siapa orang yang telah melakukan kejahatan ini," ucap Tirta lamat-lamat. Kali ini lebar wajah Erina berubah pucat. Ia tidak bisa menyembunyikan ketakutannya lagi. "Siapa orangnya, Tir?" tanya Pak Ahmad penasaran. "Aku permisi dulu." Erina mencondongkan tubuhnya ke depan. Siap untuk mel
"Bu, nanti biar aku saja yang menghidangkan makanan dan minuman kecilnya ya?" Erina keluar dari kamar dengan senyum semringah. Herman baru saja meneleponnya. Herman bilang, Tirta akan ikut dengan kedua orang tuanya ke sini. Tirta suntuk sendirian di apartemen. Sudah tiga hari ini Padma menginap di rumah orang tuanya. Mendapat kabar baik ini ia sangat bahagia. Ini adalah kesempatan baginya untuk mempengaruhi Tirta. Dulu Tirta pasti akan mencarinya jikalau ia sedang galau. Ternyata sekarang pun seperti itu. Tirta masih membutuhkannya rupanya."Tumben. Apa kamu tidak capek?" Bu Della melirik anak gadisnya. Tidak biasanya Erina rajin seperti ini. Biasanya setiap kali pulang praktek, Erina akan langsung beristirahat. "Capek, sih, Bu. Tapi tidak apa-apa. Sudah lama aku tidak bertemu dengan Tirta.""Tirta? Yang mau ke sini itu Pak Yono dan Bu Nani, Rin. Bukan Tirta.""Tapi Tirta ikut kok, Bu. Herman yang bilang. Kayaknya Tirta ribut dengan Padma. Sudah tiga hari Padma menginap di rumah ora